Kamis, 24 Januari 2008

Dimuat di BATAM POS/Senin, 21 Januari 2008


Pemimpin yang Visioner

Oleh:
Nurani SoyomuktiAktif di JAMAN (Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional) Jawa Timur


Meninggalkan tahun 2007, kita masih dihadapkan pada kondisi nasional yang belum menuju pada idealitas kebangsaan. Tak heran jika beranjak pada tahun baru 2008 ini, kita masih menyisakan satu pekerjaan rumah (PR) untuk memperbaiki bangsa ini. Isu yang masih aktual dan nampaknya akan semakin kuat? Adalah mengenai kepemimpinan nasional. Meskipun isu ini bukan satu-satunya kata kunci dalam upaya untuk mengubah kondisi menuju tatanan yang adil, aspek kepemimpinan nasional tidak bisa dikatakan strategis untuk membawa kondisi social. Apalagi untuk ukuran bangsa Indonesia di mana masyarakatnya masih tergantung pada pemimpin dan tokoh, memilih pemimpin yang baik tentunya akan berhubungan dengan perbaikan nasib rakyat secara umum.

Meskipun demikian, bukan berarti kepemimpinan yang kita harapkan akan muncul terpisah dari massa atau menyisakan kesadaran massa yang tertinggal. Kalau itu terjadi berarti sama dengan kebohongan karena kedewasaan berpikir dan bertindak massa dengan munculnya pemimpin yang maju tak bisa dipisahkan. Keselarasan antara keduanya adalah prasyarat bagi demokrasi sejati, bukan demokrasi yang manipulatif dan semu. Jika pemimpin muncul tanpa kedewasaan kesadaran massa, potensi untuk menempatkan massa sebagai objek akan terjadi. Jika massa terlibat aktif dalam politik dan memiliki kesadaran yang objektif pula, maka tidak ada celah sedikitpun bagi pemimpin untuk elitis, untuk memanipulasi, membohongi, dan menindasnya. Singkatnya, dialektika kepemimpinan harus dicerminkan dari dialektika massa.

Membangun Kepercayaan
Jika Indonesia adalah sebuah keluarga, saat ini keluarga bangsa ini juga sedang retak. Anak-anak bangsa tidak lagi percaya pada negara: mereka lebih suka di jalan-jalan meluapkan ketidakpuasannya pada apa yang terjadi dan dihasilkan oleh pembangunan. Demonstrasi di jalan semakin massif, konflik dan kekerasan merajalela, ketertekanan dan ketegangan jiwa tiap anggota masyarakat semakin menguat. Lama-lama yang muncul adalah keputusasaan karena situasi yang diharapkan tak kunjung datang.Karena kepercayaanlah, pemuda dari berbagai suku bangsa bisa mendeklarasikan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Karena kepercayaanlah mereka menyatukan diri untuk membangun sebuah bangsa yang besar. Karena kepercayaanlah mereka bersatu untuk melawan penjajah dan mengolah sebuah bangsa untuk kemakmuran dan keadilan.

Dan kini, karena ketidakpercayaanlah, orang saling membunuh, daerah-daerah ingin lepas dari kesatuan republik Indonesia, serta masing-masing ingin menyelamatkan dan menjalankan agenda atau kepentingannya sendiri-sendiri. Orang yang sudah berkuasa hanya ingin menjalankan kebijakan ekonomi-politik yang menguntungkan dirinya, keluarga, dan kelompoknya. Bahkan atas dasar ketidakpercayaan pula, mereka masih berusaha mendekat kepada rakyat pada saat dibutuhkan.

Elit politik tidak lagi percaya pada massa rakyat, maka mereka hanya pura-pura mewakili rakyat. Menjelang pemilu mereka akan butuh rakyat untuk mendukung. Rakyat juga dibohongi berkali-kali.

Selama 32 tahun di masa Orde Baru dan dua kali pemilu nasional di era pasca-Soeharto, juga telah menyimpan rasa ketidakpercayaan yang kian meningkat pada elit-elit politik. Merekapun malas untuk didekati oleh para elit politik. Tetapi rakyat sangat dibutuhkan untuk menjalankan ritualitas lima tahunan. Ke manapun rakyat bersembunyi? Di lubang semut ataupun di bawah selokan? Nampaknya akan dicari. Akan diyakinkan dengan rayuan-rayuan atau sogokan-sogokan seperti uang, kaos partai, sembako, mi instan, atau pembangunan masjid, jembatan, atau jalan di kampungnya. Tapi ketidakpercayaan rakyat terhadap elit sudah tidak bisa diubah lagi nampaknya. Maka bisa saja mereka menerima sogokan atau bantuan (kebaikan yang dibuat-buat oleh elit yang ujungnya juga untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri). Menuruti bukan karena percaya, tetapi kemungkinan besar karena keterpaksaan atau ikut-ikutan.

Sekarang ini banyak sekali kekuatan sosial-politik, dan semakin menguat, yang mengalihkan kepercayaan sebagai basis hubungan antara sesama manusia menjadi kepercayaan pada hal-hal gaib. Ketika orang tak percaya lagi pada sesuatu yang material, maka kepada mistiklah mereka berpaling. Mereka menyerahkan hubungan sosial kepada suatu hal yang bersifat fatalis. Mereka hanya percaya pada Tuhan untuk mengatasi masalahnya, dan realitas hubungan rasional yang nyata dalam aras ikatan material (sosial, ekonomi, politik) disangkalnya. Inilah yang membuat elit-elit politik yang membungkus kepentingannya dengan label moral dan agama lumayan laku.

Tetapi juga semakin banyak orang yang, karena ketidakpercayaan, akhirnya tidak percaya pada kemanusiaan atau potensi kebaikan. Mereka adalah kalangan yang menjalani profesi yang oleh hukum disebut sebagai ?kriminal? atau oleh agama disebut ?para pendosa?. Maling, pemerkosa, pembunuh, perampok, dan lain-lainpun semakin banyak. Juga pelacur, pengemis, dan penipu.

Kita dapat belajar dari negara-negara lain yang memiliki pemimpin-pemimpin pemberani, yang berani lepas dari penjajahan neoliberalisme dan ekspansi Amerika Serikat (AS). Era ini muncul kepemimpinan alternatif dan para pemberani seperti Hugo Chavez di Venezuela, Evo Moralez di Bolivia, Mahmood Ahmajinedad di Iran, belum negara-negara lainnya yang mulai bermunculan. ***

Senin, 14 Januari 2008

Intelektual dan Elitisme:


Dibutuhkan Intelektual Yang Bertindak

Oleh: Nurani Soyomukti


Menjelang tahun 2009, dapat dipastikan pula jumlah intelektual di negeri ini akan berkurang. Bisa juga posisi dan peran mereka tak lagi begitu bermakna karena semua pernyataan lisan dan tulisan yang mereka buat hanya akan terserap dalam logika dukung-mendukung atau menentang, terserap dalam pertarungan yang bersifat politis dan taktis. Pertanyaan yang sering muncul dalam kondisi seperti itu biasanya adalah: lalu dimanakah para intelektual yang dapat diharapkan untuk merubah nasib rakyat?

Sebenarnya potensi kaum intelektual masihlah besar disbanding para politisi karena para politisi telah mendapatkan reaksi yang negatif, terbukti rakyat kian apatis terhadap mekanisme politik formal. Apalagi alat politik formal seperti partai politik (parpol) telah terbukti, berdasarkan penelitian, sebagai lembaga yang paling korup. Demikian juga dewan perwakilan. Rakyat merasa tak lagi terwakili oleh “wakil rakyat”, pun melihat partai politik bukan sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka tetapi sebagai suatu organisasi yang menjijikkan.

Di tengah apatisme rakyat terhadap nasib mereka, hubungan social akan terancam jika mereka tidak mendapatkan kepercaan diri atau semacam sandaran eksistensi. Sebagai kumpulan individu yang mengalami proses psikologis dalam kaitannya dengan posisi mereka sebagai manusia yang berada dalam lingkungan material kehidupan, rakyat membutuhkan sandaran eksistensial. Sandaran eksistensi ini tentunya secara sosial adalah munculnya kepemimpinan yang bukan hanya mampu menjelaskan pada mereka tentang apa yang terjadi, tetapi sekaligus memenuhi kebutuhan-kebutuhan material mereka.

Kepemimpinan nasional terbukti gagal, demikian juga kepemimpinan daerah. Sehingga banyak pengamat yang menegaskan dibutuhkannya kepemimpinan alternatif. Kepemimpinan alternatif secara ideal memang harus memiliki posisi dan peran sebagaimana kaum intelektual. Lalu siapakah kaum intelektual itu? Apakah mereka adalah orang yang dianggap netral yang bikin pernyataan-pernyataan hati-hati dan tidak menyerang atau membela pihak-pihak yang sedang bertarung dalam kekuasaan?

Intelektual dan Tindakan
Sayangnya, kekuasaan selalu diidentikan dengan suatu hal yang negatif. Pada hal mustahil kita akan merubah sesuatu tanpa memegang kekuasaan karena sumber-sumber utama untuk membuat kebijakan berhubungan dengan kekuasaan. Pandangan yang salah lainnya berkaitan dengan identifikasi bahwa intelektual adalah orang yang hanya dibutuhkan pikiran-pikirannya dan bukan tindakannya. Sehingga intelektual hanyalah mereka yang berada di belakang meja, yang focus kegiatannya sekedar berbicara, menulis, dan berpikir. Kalau toh ia menggerakkan tubuhnya, ia hanya melakukan penelitian (di lapangan).

Pemahaman tersebut sangatlah feudal. Dan kita tahu bahwa feudalisme adalah musuh demokrasi karena tatanan yang bertumpu pada filsafat feudal telah ditumbangkan melalui berbagai macam revolusi demokratik di Negara-negara Barat tempo sejak 200 tahun yang lalu. Pandangan itu juga menunjukkan adanya suatu indikasi bahwa cara pandang masyarakat kita belum demokratis, mendewakan elitisme dan konservatisme. Pandangan itu harus dihancurkan dan dibutuhkan cara berpikir baru bahwa intelektual bukanlah orang yang hanya berpikir, tetapi juga yang bertindak. Dalam hal ini kerja pengetahuan tak harus dipisahkan dengan kerja konkrit. Mengetahui juga harus bermakna bergerak dan bertindak untuk merubah keadaan yang tidak sesuai dengan ukuran-ukuran yang dibuat berdasarkan analisa objektif.

Sejarah terpisahnya antara kerja fisik dengan kerja intelektual memunculkan elitisme bagi mereka yang merasa memiliki ilmu pengetahuan lebih. Mereka merasa bahwa ilmu pengetahuan, informasi, dan intelektualitas yang dimilikinya terpisah dari relasi dialektis dalam hubungan kelas. Dan bahkan mereka memembenci kerja fisik, merasa eksklusif dan bahkan butuh dihormati karena monopoli intelektualitas itu. Bahkan mereka jijik pada orang lain yang menghabiskan waktunya untuk kerja fisik.

Allan Wood dalam bukunya yang berjudul Reason and Revolt (1996) menemukan kecenderungan yang menjijikkan di kalangan kaum “intelektual” masa lalu. Mereka adalah para pemonopoli pengetahuan dan kalangan kelas eksklusif yang begitu mengagung-agungkan kesempatannya dalah mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi serta kekayaan matertial. Aristokrasi intelektual itu bahkan secara terang-terangan mengungkapkan kejijikan mereka akan kerja-kerja fisik. Kutipan berikut berasal dari teks Mesir yang dikenal sebagai The Satire on the Traders, yang ditulis sekitar tahun 2000 SM dan diperkirakan berisi nasehat dari seorang ayah kepada anaknya, yang ia kirim ke Sekolah Menulis untuk berlatih menjadi seorang juru tulis:
"Saya telah melihat bagaimana seorang pekerja kasar disuruh untuk bekerja kasar—kamu harus mengeraskan hati kamu dalam mempelajari tulisan. Dan saya telah mengamati bagaimana seseorang dapat menghindari pekerjaannya. Lihatlah, tidak sesuatupun yang dapat melebihi tulisan…. Saya telah melihat bagaimana seorang pandai besi bekerja di depan mulut tungku apinya. Jari-jarinya menjadi mirip jari-jari buaya; batu tubuhnya melebihi bau seekor ikan busuk….Seorang kuli pembangun rumah mengusung lumpur…. Ia lebih kotor dari seorang gelandangan atau babi karena ia mengarungi lumpur. Bajunya kaku karena dilumuri tanah liat….”

Yang mengkawatirkan, jangan-jangan kebencian pada kerja fisik ini terjadi dalam alam bawah sadar kaum intelektual dan pemegang informasi yang tidak menyadari bahwa posisinya disangga oleh kerja-kerja fisik rakyat yang menyediakan banyak hal, memenuhi kebutuhan-kebutuhan materialnya dalam relasi eksploitatif pada struktur kelas. Kalau itu terjadi, intelektual tentu akan selalu menjadi kekuatan anti-demokrasi. Sayangnya, kebanyakan kaum intelektual di era ini berasal dari kelas menengah dan bukan kelas penguasa dari keluarga raja-raja seperti jaman feudal.

Mereka kini berasal dari kelas menengah yang menjadi penyangga struktur social yang ada. Posisi kelas ini di satu sisi dapat terseret pada kepentingan kekuasaan, di sisi lain dapat terseret pada kepentinga rakyat miskin yang sedang ditindas. Dalam kaitannya dengan kondisi ini, Antonio Gramsci, sebagaimana diulas Tom Bottomore (dalam A Dictionary of Marxist Thought, 1988: 194 dan 231), membedakan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual organis yang berarti kaum intelektual yang merespons dan mengalami keterlibatan dalam kebutuhan-kebutuhan kelas progresif yang baru. Mereka berupaya mengorganisasikan tatanan sosial yang baru.

Kedua, intelektual tradisional yang memiliki arti sebagai kelompok intelektual yang memiliki kebiasaan untuk kembali pada periode historis sebelumnya. Mereka menganggap diri sebagai kelas atau komunitas yang terpisah dari masyarakat. Mereka hanya menuliskan kondisi rakyat dan mendiskusikannya untuk kepuasan individual, sekedar menjalani aktivitas akademik atau untuk menghasilkan uang. Mereka tidak mau menggugah kesadaran dan membangkitkan gerakan untuk mengontrol dan melawan penyimpangan. Mereka tidak berperan sama sekali untuk perubahan realitas material. Mereka hanya berpuas diri dengan meneliti, menulis, berbicara di ruang mewah. Mereka hal itu lebih berguna dari pada terjun langsung ke basis masyarakat, membuat gerakan, dan berjejaring dengan kelompok lainnya untuk mengkonkretkan gagasan-gagasan perubahan. Kemustahilan peran peran intelektual tradisional terhadap demokrasi yang didasarkan pada partisipasi aktif dan kesadaran maju tersebut disinggung oleh Wiji Thukul dalam puisinya: “…dunia bergerak bukan karena omongan/para pembicara dalam ruang seminar/yang ucapannya dimuat/di halaman surat kabar//Mungkin pembaca terkagum-kagum/tapi dunia tak bergerak/setelah surat kabar itu dilipat”. Wallahu’alam!

Jumat, 04 Januari 2008

WAJAH BARU BUDAYA KITA:

Dina Olivia, ARTIS TERBAIK FFI 2007 (PEMAIN "MENGEJAR MAS MAS")

Foto Koleksi Nurani Soyomukti

Dimanakah Artis-Selebritis
yang Humanis Itu?

Oleh: Nurani Soyomukti

Artis Selebritis ternyata bukan hanya sejenis manusia yang semata-mata menghibur. Kenyataan ini berbeda dengan pandangan lamaku tentang kalangan yang dulu hanya kupahami sebagai orang-orang glamour yang kerjaannya hanya menghibur. Ada perkembangan yang menarik karena artis-selebritis kian banyak yang humanis, punya peran yang lumayan besar untuk kemanusiaan.

Dulu aku begitu jijik pada selebrtitis karena hanya melihat penampilan mereka yang hanya glamour, memamerkan kemewahan, bergaya hidup bebas dan hanya mencari kesenangan—apalagi ketika mereka tampil di infoteinmen untuk ‘curhat’ mengenai masalah-masalah mereka yang remeh-temeh, juga dengan komentar-komentar yang dangkal dan selalu diawali dan diakhiri dengan frase kata “Plis Deh!!!” atau “Gitu Lho(h)!!!

Dan memang di mata orang kebanyakan artis-selebritis identik dengan dunia orang-orang mewah yang hanya mencari kesenangan: mereka menghibur masyarakat pop tetapi mereka juga banyak mencari hiburan dan kesenangan diri. Dengan menjadi bintang film, model, penyanyi, presenter, pelawak, dan lai-lainnya, mereka mendapatkan banyak uang. Bayangkan, untuk sekali tampil di panggung saja Krisdayanti mendapatkan uang 20 juta, paling-paling untuk pekerjaan menyanyikan beberapa lagu.

Glamourisme

Kalangan selebritis juga identik dengan dunia kesenangan yang didasari oleh pelampiasan hawa nafsu dan gaya hidup bebas. Sejarah dunia hiburan bisa menunjuk Madonna sebagai ikon penghibur yang konon mengukuhkan dunia kapitalisme hiburan telah mencerminkan perubahan masyarakat kita ke era posmodernitas. Dan Madonna banyak disebut oleh para ahli sebagai Ikon Posmodernitas! Majalah ‘The Time’ pada tahun 1991 menuliskan berita bahwa Madonna telah merebut posisi sebagai penghibur dengan bayaran tertinggi dalam industri pop. Dia disebut dalam majalah itu sebagai bintang terbesar di planet ini. Bahkan Koran “Sunday Telegraph” mengakui Madonna sebagai 'female Icon of the age...'.

Bahkan Ikon keserakahan dan mengejar kesenangan hidup memang melekat pada diri Madonna. Hal itu bisa dilihat dari penampilannya dan bahkan juga pernyataan-pernyataannya, lebih jauh lagi—kalau mau meneliti sebenarnya—dari caranya berfilsafat atau memandang sesuatu. Keserakahan berarti pula: menghalalkan segala cara. Kolumnis ‘The New York Post’ Ray Kerrison pernah mengatakan seperti ini tentang Madonna:

“She will do anything, say anything, wear anything, mock anything, degrade anything to draw attention to herself and make a buck. She is the quintessential symbol of the age; self indulgent, sacrilegious, shameless, hollow.”

Terjemahanku:

“Ia akan melakukan apapun, mengatakan apa saja, memakai apa saja, pura-pura meniru apa saja, mendegradasikan apa saja untuk menarik perhatian pada dirinya dan menguntungkannya. Ia adalah simbul paling murni dari egoisme, tipe pelanggar susila, tak punya rasa malu, palsu”.

Michael Ignatieff mengatakan:

“I don't mind that I see her face on every magazine cover; I certainly don't mind that she is obscene; I don't even mind that she can't sing, can't dance, can't act and is nonetheless the most famous person on the planet. What I can't stand about Madonna is that she thinks she's an artist”.

“Saya tak keberatan bahwa saya melihat wajahnya di setiap sampul majalah; saya sungguh tak keberatan bahwa ia cabul; saya bahkan tak peduli bahwa ia tak bisa menyanyi, tak bisa menari, tak bisa akting dan meskipun adalah orang yang paling terkenal di planet ini. Apa yang tak saya pahami tentang Madonna adalah bahwa ia mengira bahwa dirinya adalah seorang artis”.

Dan filsafat Madonna sebagai selebritis mewakili kalangan borjuis yang tujuan hidupnya adalah mengumpulkan kekayaan dan mencari kesenangan hidup. Filsafatnya pastilah filsafat hedonisme, filsafat moralnya adalah materialisme. Dan para pengamat studi kultural menyebutnya sebagai ‘material girl’. Pada kenyataannya, ia selalu mengatakan tentang apa yang dilakukannya, “Hei, ayolah, jangan terlalu serius tentang segala sesuatu, ayo bersenang-senang” (Hey, come on, don't get too serious about things, let's have fun).

Sebagaimana yang sering kita lihat bahwa kalangan artis-selebritis di Indonesia adalah mereka yang begitu mudahnya bergonta-ganti pasangan, pandangan itu juga diperkuat oleh pernyataan Madonna tentang hidupnya. Madonna mengatakan: “Kadang aku merasa jijik karena aku suka ganti-ganti pasangan. … Kamu mengambil yang kamu dapat lalu pindah ke lainnya” (Sometimes I feel guilty because I like travel through people. ...You take what you can and then move on).

Ya, begitulah. Bagaimana kita tak jijik dengan orang yang hanya mengerjakan sesuatu untuk kesenangan dirinya sendiri, mengajari orang-orang untuk cuek dan tidak berperan bagi orang lain. Orang yang hanya memikirkan kesenangan dirinya secara vulgar tak lebih dari jenis spesies rendahan (binatang) yang hidup hanya didasarkan pada instink biologisnya saja. Masalahnya, manusia adalah makhluk yang hidup dengan menggunakan pikiran dan hatinya, rasio (akal) dan perasaannya. Kamu tak bisa hidup enak-enakan pada saat dunia yang kamu hidupi penuh dengan permasalahan (penindasan, perang, kelaparan, bencana alam, pemanasan global, wabah penyakit).

Cranbraries dan The Corrs

Mungkin aku waktu itu memanglah orang yang “berkacamata kuda” atau melihat segala sesuatu secara hitam putih. Masalahnya adalah bahwa dunia ini tidak terdiri dari satu. Kejijikan yang meraja pada kalangan artis-selebritis adalah sejenis kekanak-kanakan. Dan kekanak-kanakan adalah fase kehidupan yang nantinya akan berubah jadi kedewasaan. Artis-selebritis tidak satu, bukan hanya Madonna—mungkin untuk ukuran sekarang juga bukan hanya Dewi Persik atau Yulia Peres.

Tentu saja selalu ada pengalaman konkrit dan perjumpaan nyata yang akan merubah cara pandang seseorang. Saat seorang kekasih itu hadir dalam hidupku, ia menawariku untuk melihat dunia secara berbeda. Dan dia memberiku kaset berisi lagu-lagu. Ada dua, Cranbraries dan The Corrs, keduanya adalah grup musik dari negeri Britania. Mendengarkan musik, tentu saja, akan membuat kamu mencari tahu siapakah penyanyinya, dari mana asalnya, dan bagaimana kehidupannya.

Sebagai seorang yang mencintai puisi dan kata-kata melebihi segalanya, tentu saja aku selalu menyelidiki kata-kata yang diucapkan sebagai lagu: lyrics. Konon lirik lagu merupakan jiwa dari penyanyi atau penciptanya—kalau kita belajar teori diskursus (wacana) atau mempelajari Semiotika, kita tentu paham bahwa kata-kata adalah pandangan hidup, bahasa adalah filsafat.

Dari lirik-liriknya, lagu-lagu Cranbrarries bukan hanya bernuansa kemanusiaan universal, tetapi hujatan dan perlawanan. Ide anti-Perang, cinta lingkungan, hak-hak anak, dan kritik terhadap budaya popular yang dekaden diangkat. Dalam lagu yang berjudul Zombie’, misalnya, Dollores (perempuan vokalis Cranbraries) melantunkan suara-suara menolak kekerasan perang yang membuat manusia menjadi bodoh dan mirip ‘mayat hidup’. Perang dianggap sebagai kekerasan yang merusak jiwa, bahkan yang ditakutkan Cranbraries akan sangat fatal karena menularkan ideologi kekerasan ke dalam kepala anak-anak. Perang menyebabkan kebisuan kemanusiaan. Anak-anak telah dirampas dari peradabannya:

Another head hangs lowly,
Child is slowly taken.
And the violence caused such silence,
Who are we mistaken?

Tema anti-Perang juga diusung dalam lagu “Bosnia”, lagu yang dibuat untuk menggugat pasukan sekutu dan intervensi Negara-negara imperialis ke wilayah Balkan.

Bosnia was so unkind.
Sarajevo changed my mind.
And we all call out in despair.
All the love we need isn't there.
And we all sing songs in our room.
Sarajevo erects another doom.

… …

Sure things would change if we really wanted them to.
No fear for children anymore.
There are babies in their beds,
Terror in their heads,
Love for the love of life.

Lagi-lagi, Cranbraries begitu peduli terhadap anak-anak. Dalam perang anak-anaklah yang paling banyak dikorbankan karena menghancurkan kehidupan berarti merebut peradaban dari mereka. Dan Cranbraries selalu mengajak kita untuk merenungkan segala sesuatu dalam hidup ini sebelum para pengambil kebijakan (atau siapapun) melakukan sesuatu. Bencana terjadi karena ulah manusia itu sendiri, mereka yang tamak yang tak peduli pada lingkungan dan sesame manusia. Dalam lagu “Time is Ticking out” dilantunkanlah ajakan untuk bersikap dengan penuh pertimbangan dan menunjukkan bukti-bukti bencana kibat ulah tangan-tangan keserakahan:

Ada baiknya kita memikirkan perkataan yang kita ucapkan

Ada baiknya kita memikirkan permainan yang kita jalankan

Dunia kita ini bulat

Ada baiknya kita memikirkan konsekuensinya

Ada baiknya kita pertimbangkan akibat globalnya

Waktu terus berjalan,waktupun berjalan

Bagaimana dengan Chernobyl?
bagaimana dengan sinar radiasi nuklir?
kita tak tahu, kita tak tahu

Bagaimana dengan pemiskinan?
Keserakahan, bangsa manusia?

Kita tak tahu, kita tak tahu

Bagiku Cinta adalah segalanya

Bagiku cinta adalah segalanya

Waktu terus berdetak

Sepertinya kita memasang lapisan ozon

Mengerankan jika para politisi peduli

Dan waktu berjalan, waktu berjalan

Lalu bagaimana dengan anak-anak kita?

Adakah yang tersisa untuk mereka?

Kita tak tahu, kita tak tahu

Bagiku Cinta adalah segalanya

Bagiku cinta adalah segalanya

Ah, mereka butuh oksigen, mereka butuh oksigen

Bagiku Cinta adalah segalanya, bagiku Cinta adalah semuanya

Waktu terus berdetak

Waktu berdetak.

Sedangkan, larik-lirik Corrs mengangkat tema-tema cinta, tetapi bukan cinta kacangan yang cengeng dan dekaden, juga ada lirik-lirik yang sangat puitis dan mendalam tentang hidup. Betapa puitiknya, bacalah lirik yang aku terjemahkan secara bebas ini:

Sayap Kecil

Sekarang perempuan itu berjalan melalui mega

Dengan cara pandang sirkus

Yang berlari liar

Lalat-lalat dan zebra

Dan kunang-kunang dan dongeng-dongeng

Semua yang pernah ia pikirkan adalah mengendarai angin…

Ketika aku sedang sedih ia datang padaku

Dengan selaksa senyum

Ia berikan padaku, kebebasan

“Baiklah, baiklah”, katanya, “Ambilah dariku semua yang engkau inginkan

Apapun yang engkau mau”.

Terbanglah sayap kecil, terbanglah

Tidak banyak pemusik yang mau melantunkan lagu seperti itu. Setahuku, lagu “Little Wing” itu pernah dinyanyikan oleh Jimmy Hendrix. Tetapi dilantunkan oleh The Corss dengan nada yang lebih melo dengan suara vocal Caroline yang merdu-mendayu begitu meresap di hati, membuat hatiku bergetar saat mendengarnya.

The Corrs nampak hirau pada tema-tema kemanusiaan. Aku ingin menunjukkan lirik puitis lainnya yang, menurutku, cukup penting untuk ditunjukkan di sini. Lagu yang berjudul “No Frontiers” (Tanpa Batas-batas) yang dilantunkan secara saut-sautan oleh Caroline dan Sharon ini menandai pemikiran universalnya soal hidup dan kehidupan:

[SHARON:]
Jika hidup air dan hatimu adalah perahunya

Dan jadilah air, Sayang, lahirlah untuk terapung

Dan jika hidup adalah angin liar

Yang berhembus kencang dan meninggi

Dan hatimu terbentang untuk terbang

Surga Tahu bahwa tak ada batas-batas dan aku telah

Melihat surga di matamu


[CAROLINE:]
Dan jika hidup adalah ruangan di mana di dalamnya kita harus menunggu

Dikelilingin orang-orang yang jarinya memegang pintu gerbang yang terbuat dari gading

Di mana kita masih bernyanyi hingga senja

Tentang ketakutan dan keyakinan
dan kita menempatkan semua orang yang mati

Di dalam petinya masing-masing

[CAROLINE DAN SHARON: ]
Di matamu tiba-tiba nyanyian itu redup

Di malam yang gelap

Maka rasakan hangatnya nyala api

Yang membuat kita bertahan hingga hari ini

Ketika ketakutan muncul ketika ada yang kehilangan pegangan

Dan surga punya jalannya sendiri-sendiri

Surga tahu bahwa tak ada batas-batas

Dan telah kulihat surga di matamu


[
SHARON: ]
Jika hidup adalah tempat tidur yang kasar

Yang di atasnya penuh kerikil dan onak duri

Dan semangatmu membudak pada cambuk dan penjara orang-orang


[ CAROLINE: ]
Dimana rasa haus dan laparmu

Terhadap keadilan dan kebenaran

Dan hatimu adalah nyala yang murni

Yang menyinari tiap malam


[ BOTH: ]
… ketika semua berjalan secara harmonis

Dan engkau tahu apa yang ada di hati kami

Mimpi akan menjadi kenyataan

Surga tahu bahwa tak ada batas-batas

Dan telah kulihat surga di matamu

Surga tak melihat batas-batas

Dan kulihat surga di matamu

Bagiku lirik-lirik kedua kelompok musik itu mengagumkan. Ternyata ada potensi keindahan sejati dari produks seni popular dan para artis atau pegiat-pegiat budaya pop itu tak semata-mata harus kulihat sebagai kalangan yang tanpa idealisme. Dulu aku melihat segala yang muncul di hadapanku melalui mekanisme kapitalistik (pasar) adalah “garbage”. Tetapi berangsur-angsur penyakit anti-budaya popular dengan gaya pandang hitam-putih itu hilang.

Setelah kuselidiki lebih lanjut ternyata baru kusimpulkan: Apa sih di dalam masyarakat kapitalis sekarang ini yang dapat kita nikmati tanpa perantaraan mekanisme pasar? Bukankah semua kebutuhan hidupku dipenuhi oleh barang-barang dan prosduk-produk dihantarkan dihadapanku melalui mekanisme hubungan jual-beli? Jadi bukanlah pegiat seni atau produk seni yang salah, tetapi sistem hubungan produksinyalah yang salah. Dan kaupun tak bisa melawan di luar mekanisme itu, justru engkau harus memanfaatkannya. Contoh kecil, jika aku memiliki pandangan yang berbeda soal kehidupan atau kalau aku ingin memperjuangkan sesuatu untuk mendukung kehidupan yang lebih baik dengan cara menulis buku atau artikel agar pandangan-pandanganku tersebar, bukankah aku butuh media (koran/penerbit) yang eksis karena modal?

Sebenarnya Cranbraries dan The Corrs adalah contoh kecil. Karena, tentu saja setelah aku mengerti informasi lebih banyak, para pekerja seni (artis) dan selebritis bisa menjadi pelopor dari gerakan radikal melawan budaya yang tidak beres. Terutama memang terjadi di Barat. Musik dan seni-budaya anti-Perang, misalnya, telah melekat dalam gerakan social-politik itu sendiri. Artis-selebritis adalah bagian dari ‘GENERASI BUNGA’ (flower generation), yaitu generasi yang berani menyatakan pikiran dan orientasi gerakan yang berbeda. Pertanyaan generasi tersebut diwakili oleh syair lagu The Police yang berjudul “Born in the 50’s”: “We are the class, they couldn’t teach, cause we know better!” (Kami adalah generasi yang tak dapat mereka didik, karena kami memahami lebih baik). Budaya dominan (kapitalisme) yang menyebar dianggap tidak mampu memberikan apa-apa karena hanya dangkal dan beku, sedangkan kaum muda yang mampu merasakan dan mengetahui lebih baik ini menginginkan gaya hidup yang berbeda.

Dian Sastro, Heppy Salma, Oneng, …

Maka, belakangan aku menemukan titik terang dalam kebudayaan. Artis-selebritis bukan lagi mimpi buruk, tetapi status yang telah ada sejak lama yang kini tampil lebih indah. Ada di antara mereka yang telah tercerahkan. Bahkan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri peran mereka. Mereka bukan hanya jadi aktifis partai politik dan LSM, mereka tak hanya menjadi pembicara dalam seminar, dan tentunya mereka tak hanya tampil di sinetron dan terdengar dari lagu-lagu. Mereka bahkan terjun langsung ke lapangan.

Jakarta, 1 Oktober 2007. Dalam aksi yang diadakan oleh massa yang menamakan diri “KOMITE AKSI BERSIHKAN MA itu saya memang datang terlambat. Ketika saya turun dari taksi, sekitar 200 meter dari kumpulan massa, orasi telah dilakukan. Dan ketika saya bergabung dalam kumpulan massa itu, saya menanyakan tentang betapa lama aksi dimulai. Salah seorang peserta aksi, yang tidak saya tahu namanya, mengatakan bahwa aksi telah dimulai setengah jam yang lalu.

Aksi sore itu tergolong istimewa karena diikuti oleh lumayan banyak orang. Cukup lumayan mengingat memobilisasi massa untuk diajak turun ke jalan di dera sekarang ini tak lagi mudah...

Yang istimewa adalah kehadiran Dian Sastro, yang sempat membuatku kaget setengah tak percaya. Setelah seorang kawan menunjukkan tangannya memberitahuku bahwa ada Dian Sastro, terus terang aku terkejut. Kucoba memfokuskan pandangan pada seorang perempuan muda yang menutupi hampir sebagian wajahnya dengan topi yang membuat wajahnya tenggelam. Wajahnya mungil berkulit putih. Kucoba menambah daya akomodasi pandanganku karena wajah yang dibelai oleh sinar matahari sore itu memang agak kelihatan tak jelas jika tidak diamati secara serius. Baru aku yakin, wajah itu memang mirip dan persis dengan yang kulihat selama ini di TV, majalah, dan postersebagian teman-teman kuliahku bahkan memajang gambar Dian sastro di kamarnya, meskipun aku tidak pernah melakukan hal yang sama.

Ternyata tidak hanya Dian yang turun ke jalan pada aksi Hari Kamis itu. Tetapi, kata kawanku (yang nampaknya begitu keranjingan pada artis-selebritis), juga ada artis lainnya. Dia menunjuk dua perempuan lainnya. Dia mengatakan padaku, Itu lho yang main di sinetron...”—aku lupa apa judul sinetron yang dikatakannya. Keduanya memang bukan artis yang tingkat popularitasnya sekuat Dian Sastro.

Belakangan aku mendengar cerita bahwa aksi yang dilakukan Hari Kamis itu ternyata memang sering diikuti oleh para artis-selebritis. Sebut saja artis yang akrab di telingaku adalah Rieke Diah Pitaloka, Hepi Salma, serta artis-artis lainnya yang bermaksud memberikan solidaritas bagi perjuangan menuntut keadilan dan HAM.

Berikut ini selebaran aksi di depan Kejaksaan Agung sore itu:

MANIFESTO KEADILAN

Keputusan Mahkamah Agung menghukum majalah Time dan memenangkan Suharto, membebaskan pembunuh Munir, serta membebaskan para koruptor adalah contoh-contoh telanjang dari pengkhianatan reformasi. Benteng terakhir penjaga keadilan itu bukan saja telah mempermainkan mandat suci keadilan, tetapi sekaligus telah menghamba kembali pada kepentingan kekuasaan Orde Baru.

Penghambaan itu bukanlah suatu kebetulan belaka, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk mengembalikan politik lama, memberangus kebebasan pers, dan menutupi-nutupi pelanggaran HAM, justru dalam kondisi di mana rakyat sangat mendambakan keadilan dan kebenaran.

Keangkuhan Mahkamah Agung bukan sekedar tampak pada kegilaan lembaga itu dalam hal pengaturan administrasinya sendiri (penentuan sesukanya dalam hal gaji dan masa jabatan), tetapi juga pada keangkuhannya untuk menampilkan diri sebagai lembaga yang tak tersentuh aturan bernegara (seperti dalam penolakan pengauditan oleh BPK).

Tentu saja kondisi itu berkaitan juga dengan kondisi umum kehidupan politik kita yang makin tanpa arah dan tanpa etika. Keseluruhan gerak reformasi memang sedang dalam bahaya, karena kepemimpinan politik tidak mampu memperlihatkan ketegasan habis-habisan dalam soal pemberantasan korupsi Suharto dan kroni-kroninya, dan dalam soal penegakan Hak Asasi Manusia

Maka dengan ini kami menuntut Pembersihan Total Mahkamah Agung dari para pemerkosa keadilan, penjual hukum dan orang-orang berwatak Orde Baru.


Jakarta, 1 Oktober 2007

KOMITE AKSI BERSIHKAN MA

Kami yang menandatangani:
Bagus Takwin - Usman Hamid - Rachland Nashidik - Robertus Robet - Nugroho Dewanto - Dian Sastrowardoyo - Ahmad Salman - Abdul Qodir Agil - Donny Ardyanto - Rocky Gerung - Ikravany Hilman - Harlans M. Fachra - Fajrimei A. Gofar - Andi Achdian - A. Rahman Tolleng - Daniel Hutagalung - Otto F. Pratama - Heru - Rusdi Marpaung - Rafendi Djamin - Ahmad Taufik - Robby Kurniawan - Daddi H. Gunawan - John Muhammad - Winarso - Nono Marijono - Rizal Valefi - Agus Muhajirin

Ternyata kutahu itu adalah aksi pertama yang dilakukan Dian Sastro karena pada hari berikutnya, di sebuah situs, aku membaca berita artis ini yang mengomentari keterlibatannya dalam aksi tersebut. Di berita itu Dian mengatakan: "Demo yang kemarin itu, aku cuma diajak ikut. Kebetulan aku juga prihatin dengan hukum di Indonesia yang terkesan lamban. Banyak kasus-kasus hukum yang tidak selesai. Seperti kasus Munir yang penanganannya kurang maksimal. Aku sempat kaget waktu disuruh orasi, bingung. Aku merasa nggak kompeten ngomong. Aku usahakan ikut demo karena ini untuk kebaikan negara juga. Memang, proses perbaikan lama, nggak langsung instant. Sekarang kita yang muda yang harus bergerak," pungkasnya (lihat http://www.okezone.com/index. php?option=com_content&task=view&id=52179&Itemid=50 ).

Dian Sastro, Rieke Diah Pitaloka, Franky Sahilatua, Ayu Diah Pasa, Iwan Fals, … kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri mereka ikut aksi demontrasi menggugat kebijakan pemerintah yang melanggar HAM. Mereka nampak bersahaja harti ini. Cranbraries dalam lagunya yang berjudul “Daffodil Lament” (Ratapan Bunga Bakung) mengatakan:


Has anyone seen lightning?
Has anyone looked lovely?
And the daffodils look lovely today,
And the daffodils look lovely today,
Look lovely today...

Ya, bunga bakung itu kelihatan indah kini. Apa yang dulu nampak buruk, kini ada yang kelihatan indah. Aku yakin peran humanis mereka akan membawa dampak yang besar bagi perubahan kebudayaan menuju revitalisasi kemanusiaan kita yang hingga saaat ini masih destruktif.

Jadi aku tak perlu pesimis karena sekarang ini ada kecenderungan baru dari posisi dan peran artis-selebritis. Tak sedikit selebritis yang mulai menyadari pentingnya berperan dalam ranah social politik untuk membangun bangsa dengan caranya yang partisipatoris dalam kegiatan positif yang bernuansa kemanusiaan dan baahkan gerakan kerakyatan. Mereka adalah beberapa artis yang memang memiliki partisipasi kreatif dan produktif dalam hari-harinya. Kalangan artis ini memiliki peran sosial, tidak semata-mata sibuk untuk mencari kesenangan diri dan menghibur masyarakat.

Mereka memanfaatkan waktu luang untuk menulis buku, terlibat dalam organisasi sosial dan acara-acara kemanusiaan. Artis seperti Rieke Dyah Pitaloka, Heppy Salma, Franky Sahilatua, Iwan Fals, Olga Lidya, Angelina Sondakh, Wanda Hamidah, Dede Yusuf, Ayu Utami, Jenar Maesa Ayu, dan sederet nama-nama lain dikenal bukan hanya karena kemampuan mereka menghibur masyarakat dan mencari kesenangan diri. Tetapi juga dikenal sebagai aktivis, politikus, penulis, dan bahkan juga ada yang disebut intelektual.

Ada perkembangan menarik saat ini ketika banyak para artis yang tertarik untuk menulis buku, meskipun sekedar tulisan tentang kisah hidupnya. Itu adalah salah satu pelarian kreatif yang dapat mencegah kepenatan hari-hari mereka yang pada kenyataannya memang membuat penat, apalagi jika hanya diikuti dengan alur nafsu untuk sekedar mencari kesenangan dan bukannya untuk membentuk eksistensi diri untuk dapat berperan bukan hanya sebagai tukang pamer gaya hidup, tetapi juga ikut mendidik masyarakat. (*)

Jakarta, 30 Desember 07