Senin, 25 Februari 2008

Politik Budaya Massa:



Kebutuhan(ku) dan Kebahagiaan(ku) Bukan Semu!

Oleh:Nurani Soyomukti*)

“Kebahagiaan adalah kesedihan yang terbuka kedoknya”.
(Kahlil Gibran)

Belakangan ini aku merasa bahagia. Bagaimana aku harus mendefinisikan kebahagiaan ini sebab aku perlu tahu kenapa aku bahagia dan bagaimanakah kualitas kebahagiaanku. Umumnya kebahagiaan dianggap sebagai kondisi perasaan atau pikiran yang disebabkan karena kebutuhan-kebutuhan yang tercapai atau terpenuhi. Bukankah dengan demikian, aku harus mendefinisikan kebutuhan-kebutuhanku?
“Terlampau banyak, bahkan tak bisa dihitung”—begitulah orang selalu menjawab ketika kita tanyakan “apa saja kebutuhanmu akhir-akhir ini?”
Bagiku, hidup sebenarnya begitu sederhana. Hidup harus melahirkan peran karena manusia—yang membedakannya dengan binatang—memiliki akal untuk menilai, mengukur, dan merubah: pada tingkat ini kita bicara soal universalitas kemanusiaan yang harus bisa diukur.
Hakekat manusia adalah makhluk yang sadar dan berkesadaran. Jika ia tak menyadari posisinya, termasuk kebutuhannya, ia hanya akan terombang-ambing oleh ketidaktahumenahuan yang didalamnya diisi oleh kehendak objek di luarnya yang mempermainkan dan membentuknya—yang dalam banyak hal demi kepentingan tertentu.
Lalu bagaimana kalau kebutuhan itu dibentuk? Artinya, bagaimana kalau manusia butuh sesuatu tetapi kebutuhan yang ada pada dirinya itu adalah bentukan oleh sesuatu yang berasal dari luarnya, misalnya melalui rayuan, godaan, bahkan terror (iklan)? Kata Herbert Marcuse, dalam “One-Dimensional Man”, inilah yang dinamakan ‘kebutuhan semu’ (false needs).
Maka kebutuhan inilah yang terus melingkar mirip legenda yang direkayasa oleh para penumpuk modal yang hanya menginginkan kita hanya untuk mengkonsumsi dan membeli. Ada hal lain yang sebenarnya kita butuhkan—atau bahkan dibutuhkan orang lain tetapi orang lain itu (terutama orang miskin) tak mampu memenuhinya (membelinya)—tetapi kita pada akhirnya hanya menginginkan suatu benda atau barang (atau juga gaya hidup) yang seakan mendesak karena iklan terus merayu kita, atau karena kita malu kalau tak punya karena kita malu kalau tak punya. Kita butuh sesuatu karena gengsi, atau malu kalau “nggak gaul” atau ‘ketinggalan jaman’.

Anda kenal System Of A Down, sebuah kelompok musik metal dari Amerika Serikat (AS) yang kerap menyuarakan lirik anti-globalisasi, lirik ekologis dan anti-budaya konsumeristik itu? Dalam lagunya “Chick And Stew” ia menggambarkan kebutuhan semu bentukan iklan yang datang “setiap detik” (every second) yang menyuruh kita hanya untuk “beli” (buy) karena “iklan membuat kita menuju pelarian” (when advertising got you on the run):

This ballgame's in the refrigerator,T
he door is closed,
The lights are out
And the butter's getting hard.

What a splendid pie,
Pizza-pizza pie,
Every minute,
every second,
Buy, buy, buy, buy, buy,
What a splendid pie,
Pizza-pizza pie,
Every minute,
every second,
Buy, buy, buy, buy, buy,
Pepperoni and green peppers
Mushrooms, olives, chives,
Pepperoni and green peppersMushrooms, olives, chives,
Need therapy, therapy,Advertising causes need,

Therapy, therapy,Advertising causes,
What a splendid pie,Pizza-pizza pie,
Every minute, every second,Buy, buy, buy, buy, buy,
What a splendid pie,Pizza-pizza pie,
Every minute, every second,Buy, buy, buy, buy, buy,
Pepperoni and green peppersMushrooms, olives, chives,

Pepperoni and green peppersMushrooms, olives, chives,
Need therapy, therapy,Advertising causes need,
Therapy, therapy,Advertising causes need,Therapy, therapy…


Jadi, betapa psikologisnya proses terciptanya kebutuhan. Bahkan dari mulut Serj Tankian (sang vokalis), SoaD nampak begitu percaya bahwa para ‘korban iklan’ adalah mereka yang layak untuk diterapi: “need teraphy, teraphy… advertising causes need” (butuh terapi… iklan menimbulkan kebutuhan). Dan kadang, para koban memang menciptakan remaja-remaja gila yang hanya menghabiskan waktu belanja (shoppaholic).

*
Dan untungnya aku bukanlah korban iklan karena aku paling sumpek ketika diajak belanja. Meskipun pernah suatu ketika (mantan) ‘pacar’-ku marah-marah dan ngambek karena aku malas diajak belanja, aku tetap tak mau kompromi karena mondar-mandir di toko swalayan membuatku pusing, seakan kaki juga cepat pegal.

“Kamu butuh hem bagus, agar layak dilihat orang. Nggak pantas untuk ukuran orang kayak kamu, nggembel terus, Mas”, katanya berkali-kali, “Bagaimana kamu bisa membuat orang yakin pada apa yang kamu sampaikan kalau kamu nggak menghargai dirimu sendiri?”
Aku tak pernah membeli apa yang ia inginkan. Kadang aku juga tak melihat keinginannya rasional. Dan dia, tanpa sepengetahuanku, membelikan sandal dan celana untukku. Pada hal aku tak menginginkannya. Secara psikologis, aku tak merasa malu atau resah hanya dengan pakai celana belel, sandal seadanya, kaos yang berisi tulisan propaganda dan berjaket.
“Sudahlah, lebih baik uang itu kita simpan untuk makan agar bisa bertahan hidup lebih lama. Apa sih yang kita butuhkan? Yang penting kita dapat berperan kan?”, jawabku selalu. Aku memang lebih suka wisata kuliner (berkeliling mencari makanan yang enak dan baru) daripada belanja beli baju. Atau mendingan membeli buku untuk koleksi “agar perpustakaan keluarga kita cepat besar dan meriah” [sic!].

Sejak awal (mantan) ‘pacar’-ku memang tak pernah paham aku, terutama ketika belakangan ia begitu pragmatisnya dan begitu mudah tergoda untuk mendandani tubuhnya dan menciptakan citra-citra dirinya. Aku bukan tak mau konformis dengan tuntutan-tuntutannya agar aku ‘merubah penampilan’. Tapi sejak awal, bahkan sebelum dia datang dalam hidupku, aku adalah orang yang tak begitu takut dan hirau pada pendapat kacangan orang-orang awam yang masih mempertimbangkan citra diri. Menurutku, orang tak harus dilihat dari caranya berpenampilan atau merekayasa diri agar kelihatan ‘alim’, ‘baik’, ‘manis’, ‘gak aneh-aneh’. Kalau dia membaca catatan-catatanku, dan dia mengerti diriku, tentu segalanya sudah tuntas sejak awal. Aku mencatat, yang kelak catatan ini juga terkodifikasikan dalam bukuku yang berjudul “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (lihat http://www.bukubukunurani.blogspot.com/):

“.... Tanpa celana, baju dan kebudayaan, tanpa koteka, tanpa jas almamater, tanpa mahkota dan tanpa pakaian resmi seperti para legeslatif dan majikan yang telah terlanjur jadi orang “kotor, misalnya koruptor”.
... Sejak kelahirannya manusia telah ditakdirkan miskin, tapi murni, tulus, tanpa tuntutan dan tak ternoda apalagi oportunis. Siapa dan apa yang disalahkan kemudian?: Setelah besar mereka berlagak secara vulgar di hadapan dirinya, menyangkal keabsahan dan keotentikannya, menempatkan diri sebagai makhluk hipokrit dan penipu—dan terparah lagi menciptakan jaring-jaring penindasan dan kemunafikan yang dilembagakan...”
[1]


Ah, mengingat-ngingat soal masa lalu yang mirip sampah memang tak ada gunanya.
(Mantan) ‘pacar’-ku sudah pergi dengan membawa keegoisan dan beban kebutuhan yang nampaknya begitu berat karena keinginannya harus segera dilampiaskan: kalau tidak ia akan stressed atau kepalanya meledak—seperti membentur-benturkan kepalanya saat kebutuhan libidinalnya memuncak dan tanpa pelampiasan, hingga ia begitu cepat mendapatkan laki-laki setelah meninggalkanku. Ia hanyalah sampah psikologis dalam otakku, dan kenyataannya ia sejak awal tak pernah paham ‘kesederhanaan’-ku. Ia takut pada pilihanku pada kemiskinan, keotentikan, ke-‘murni’-an.

Kepergiannya adalah anugerah terbesar karena berarti aku tak perlu memasang kata-kata dan tulisanku untuk diklaim miliknya. Belakangan ia terpaksa memungut kata-katanya sendiri, tetapi tetap tak bisa lepas dari model dan urutan kata-kataku, meskipun disampaikan secara berbata-bata dan diulang-ulang, tema-tema yang itu-itu juga. (Kami sama-sama sentimental, tapi kami tak ketemu dalam hal lain, terutama karena ia begitu tergesa-gesa dan takut kehilangan pelampiasan libidinalnya: Atau jangan perempuan identik dengan ketergesaan?).
Jadi, belakangan saya aku begitu bebasnya untuk mendefinisikan, mengkalkulasi, dan mendaftar kebutuhan-kebutuhanku. Karena aku telah memiliki otonomi diri, bebas dari represi hubungan yang menindas dan membebani atau yang nyatanya membuat aku ikut larut dalam ketergesa-gesaan. Bangga dan menyandarkan diri pada keinginan, obsesi, atau kebutuhan yang sederhana itu membuat jiwa tenang (safe, secure).

Aku tak tahu apakah kebutuhan-kebutuhan ini begitu borjuistik atau terlalu ‘rendahan’. Tapi aku telah mendaftar apa-apa yang aku inginkan dan kubutuhkan dalam waktu ke depan. Aku telah menulisnya di notebook-ku. Tapi alangkah baiknya aku cantumkan pula apa kebutuhan dan obsesiku saat ini—dan ini yang membuat aku bahagia.

Aku bahagia karena secara financial tak lagi kesulitan, artinya ada peningkatan, dan aku ingin bekerja keras agar siap memenuhi kebutuhan berikutnya. Misalnya, banyak orang yang selalu menanyakan kapan aku akan menikah. Dan aku selalu menjawab bahwa aku akan melakukannya setelah umurku 30 tahun atau minimal setelah pemilu 2009 usai. Aku punya alasan untuk itu. Pertama, umur 30 tahun secara medis dan biologis, bagi laki-laki (seperti aku), adalah masa di mana sperma kita sedang matang dan saat bersetubuh dengan calon ibu anakku akan menghasilkan anak yang terbaik. Bagi kaum perempuan (calon istriku) usia yang baik untuk melahirkan anak adalah usia 20-25 tahun. Artinya, kalau saat ini aku sedang menjalin hubungan kasih (‘pacaran’) dengan seorang perempuan cantik dan baik hati berumur 21 tahun, artinya itu harus kupertahankan—dan karena alasan ini pula aku merasa bahagia! Hehehe…

- Obsesi terbesarku akhir-akhir ini: (A) membeli 4 buku tetralogi Pramoedya Ananta Toer untuk menambah koleksi perpustakaanku karena buku-buku itu adalah karya terbaik milik bangsa ini. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca menjadi mata bacaan wajib bagi mata kuliah sastra di luar negeri (berbagai Negara), sementara aku belum menuntaskan bagian keempatnya (Rumah Kaca)—kata kawan-kawanku, yang keempat itulah yang terbaik; (B) Hingga akhir tahun 2009, aku telah berujar bahwa aku sudah menerbitkan sepuluh buku—sekarang sudah lima buku yang terbit dan kedepan akan ada beberapa buku yang menyusul dan aku sedang mempersiapkan naskah-naskah lainnya; (C) Merapikan kembali koleksi buku dan mengorganisir perpustakaan agar lebih memudahkan mencari buku, tak berantakan dan membuat kamarku mirip ‘kapal pecah’… buku-bukuku sudah aku sampuli semua, tinggal bagaimana meningkatkan kerapiannya pada level yang lebih tinggi.

-Aku harus tetap bisa berperan dalam mendukung (gerakan) demokrasi, entah apa alatnya dan dimana tempatnya: gabung dengan partai politik lagi? Gabung dengan NGO? Belum tahu pasti, yang jelas aku tak kan bisa meninggalkan peran ini. Artinya kulakukan semaksimal mungkin sesuai kondisi yang ada. Tapi,,,, bukankah menulis buku, puisi, esai, opini di media juga bagian dari membangun kesadaran demokratis? Tapi aku perlu organisasi, komunitas…
Apalagi ya? Itu dulu lah! Karena aku sering bingung kalau ditanya apa yang akan aku beli dalam waktu dekat. Mungkin TV, mungkin HP baru, …
Ah, ribet sekali. Pada hal kebutuhanku hanya sederhana: bisa bertahan hidup dan berperan!
Itu saja!

***
___________________________________
[1] Nurani Soyomukti, “Pendidikan Kapitalisme yang Licik”, dalam buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi”. Yogyakarta: Arruzzmedia, 2008, hal. 63

Sabtu, 23 Februari 2008

Politik Kebudayaan: Pragmatisme


The Story of Pragmatism!!

Oleh: Nurani Soyomukti


“Aku butuh seorang laki-laki tinggi besar, yang bisa melindungiku”, ujar seorang perempuan muda itu saat bercakap dengan teman kosnya.

“Kalau aku jujur saja, aku butuh laki-laki seperti itu untuk memuaskan seksku. Vaginaku sudah gak nyaman lagi dengan penis yang kecil”, ujar perempuan satunya lagi, “Aku ingin bercinta dengan banyak laki-laki yang gagah, tajir, karena belakangan aku sadar bahwa kepuasan seksual adalah yang paling kubutuhkan dalah hidupku”.

*
Moral materialis telah menyeruak dalam kehidupan kita, berkembangbiak dari rahim kapitalisme yang licik, yang menggerogoti jiwa manusia-manusia yang kian pragmatis dan resah jika pemenuhan kebutuhannya tak segera terlampiaskan. Materialisme moral ini memunculkan penilaian segala sesuatu berdasarkan ukuran, bentuk, warna, bau, besar-kecil, tinggi-rendah, cantik/tampan-jelek, kaya-miskin.

Ukuran besarlah yang dikejar karena yang besar identik dengan jumlah yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang banyak, kebutuhan yang tak terpuaskan. Kesederhanaan, ketulusan, kerelaan, kesantaian adalah sesuatu yang dibenci karena orang yang pikirannya digerogoti pragmatisme begitu takut kalau kebutuhannya tak segera terlampiaskan. Pragmatisme ingin memakan segalanya tanpa berpikir, keterburu-buruan, hanya memenuhi hingga tubuh gemuk dan pada akhirnya tak memungkinkan untuk berpikir lagi. Kata Marx Horkheimer, “pragmatisme merefleksikan suatu masyarakat yang tak punya waktu untuk mengenang dan merenung”.[1]

Mengenang, merenung/ber-refleksi, berpikir, akan menghasilkan nilai-nilai baik-buruk yang sejati, keindahan hakiki, sebuah situasi hidup yang keindahannya begitu ultimate, abadi, dan agung (The Greatness of Phylosophy).

“Aku dulu aktifis feminis, berjuang demi kesteraan, mengejar hakekat persamaan. Toh itu semua tak ada gunanya. Percayalah, tak ada yang lebih menggairahkan dalam hidup ini dari pada kesenangan badan dan ‘mencari penghidupan’ (mencari uang) agar kebutuhan-kebutuhan kita terpenuhi. Kita selalu bingung jika tak memenuhi kebutuhan kita, termasuk kebutuhan seks dan kepuasan badan… Itu yang mendesak!”, ujar seorang perempuan yang begitu pragmatis dan mulai mengacaukan antara mempertahankan prinsip dengan petualangan.
Pragmatisme adalah sejenis godaan besar.

“Untuk apa kita berfilsafat, toh ujung-ujungnya kita juga akan kesulitan untuk makan. Untuk apa kita menanggung resiko besar akan kesulitan material, untuk apa ndakik-ndakik bicara kemanusiaan, ternyata, sebagaimana pengalamanku, kita tak akan kuat untuk melampiaskan kepuasan tubuh”.

“Lebih baik kita kerja mencari uang agar tak kebingungan dan merepotkan orang lain. Toh nanti kalau kita dah mapan kita juga bisa berfilsafat”, begitu kata seseorang suatu waktu.

Tapia apa lacur, lagi-lagi, pragmatisme adalah godaan terbesar yang akan terus menghalau idealisme. Setelah merasa nyaman dengan kondisi material yang dicapai, apalagi terus bertambah diiringi dengan pengalaman cinta eksklusif yang penuh nafsu, filsafat kian jauh dari otak dan hatinya. Orang yang secara nyaman secara material memang tak bisa berfilsafat, sebab filsafat memang lahir dari kontradiksi.

Dalam bagian akhir buku “Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas”, saya telah uraikan bahwa kemampuan berfilsafat dimiliki oleh orang yang mampu merasakan kontradiksi. Dan tanpa terlibat lansung dalam kenyataan kontradiktif itu, orang tak akan mampu merasakan. Karena rasa itu lahir dari keterlibatan.

Tak heran jika menjauhkan dari hidup yang kontradiksi dilakukan oleh orang-orang yang ingin menikmati kemapanan dan situasi normal bagi pemenuhan-pemenuhan fisiologisnya. Dalam kasus kehidupan remaja gaul, tak nyaman dengan satu pasangan, pindah ke lain hati: tak memungkinkan untuk mendapatkan pasangan yang menjamin kebutuhan seks dan kegilaan akan belanja, pindah ke pasangan lain yang mapan dan siap menjamin kehidupannya (baca: “Parasite Eve”).

Seakan hidup hanyalah lingkaran kerja mesin nafsu dan kebutuhan mekanis. Manusia-manusia pragmatis yang mirip mesin biologis begitu takut pada kenyataan, begitu miris, dalam keadaan susah sedikit menangis, dalam keadaan lainnya yang lebih menyusahkan bisa ‘kalap’ dan membabi-buta bertindak. Pragmatisme dengan ketakutan-ketakutannya adalah produk masyarakat kapitalis. Dalam “Pendidikan Kapitalisme yang Licik” (dalam Buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi”) aku bertanya:

“Takut pada kemiskinan? Takut menanggung resiko? Takut akan masa depan? Takut, karena beban berat yang harus ditanggung sendiri… takut tak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Takut. Menyerah. Kalah… Melatih diri jadi pengecut dan pecundang”.[2]

Kelicikan, ya. Pragmatisme adalah kelicikan. (Pendidikan) kapitalisme yang licik telah memproduksi manusia-manusia bangkrut secara ide(ologi) dan eksistensi diri. Para pengecut itu berbaris sepanjang sejarah, mereka menghuni kantor-kantor, lembaga politik dan keagamaan, lembaga pendidikan, rumahtangga yang akan melahirkan anak-anak yang bangkrut pula. Mereka menutupi ketakutan, kepengecutan, dan kemunafikan dengan kepemilikan pribadi (yang begitu dibanggakan dan menjelaskan eksistensi), dengan baju-baju, dengan rumah, dengan topeng, kosmetik, dan atribut-atribut lainnya.

Hanya itu yang dibanggakan, selain kepuasan diri dan ketakutan kalau tidak memperolehnya dalam waktu cepat, adalah Kepemilikan Pribadi. Bagi yang sudah memiliki, potensianya akan dimaksimalkan dan berharap mendapatkan keuntungan dari apa yang dimiliki. Modal harus bertambah.

Yang dimiliki harus dimaksimalkan agar tercipta keuntungan. Wajah dibungkus baju agar kelihatan seksi dan menimbulkan sex appeal, dan wajah dipoles, goresan lipstick kian dipertebal, agar banyak yang tertarik dan segera dapat mendapatkan laki-laki yang akan memenuhi kebutuhan seks dan materialnya. Citra diri dibikin agar hakekat sebenarnya tak kelihatan, harus pandai-pandai menampilkan kitch. Semuanya untuk keuntungan pribadi, kemudahan hidup individual, serta kenikmatan tubuh yang dimiliki.

Sejak kelahirannya manusia telah ditakdirkan miskin, tapi murni, tulus, tanpa tuntutan dan tak ternoda apalagi oportunis. Siapa dan apa yang disalahkan kemudian?: Setelah besar mereka berlagak secara vulgar di hadapan dirinya, menyangkal keabsahan dan keotentikannya, menempatkan diri sebagai makhluk hipokrit dan penipu—dan terparah lagi menciptakan jaring-jaring penindasan dan kemunafikan yang dilembagakan: Perbudakan, Feodalisme, Kapitalisme yang membuat manusia dalam perkembangannya menjadi sakit, penakut, angkuh, hipokrit, peragu, dan pengecut.***









[1] Dikutip dalam Hanno Hardt, Critical Communication Studies: Sebuah Pengantar Comprehensif Sejarah Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika. Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hal. 177
[2] Nurani Soyomukti. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Yogyakarta: Arruzzmedia, 2008, hal. 63

Kamis, 21 Februari 2008

Dari Pemilu Pakistan yang Tanpa Benazir Bhutto:

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Benazir Bhutto, Perempuan, dan Demokrasi

Oleh: Nurani Soyomukti

Pemilu Pakistan yang diadakan pada 18 Februari 2008 merupakan pemilu yang ditunda setelah Benazir Bhutto dibunuh pada 27 Desember 2008. Penundaan dilakukan akibat kemarahan massa pendukung Benazir yang memuncak pada kerusuhan di berbagai kota, yang mengakibatkan banyak kerusakan pada prasarana pemilihan umum, misalnya kantor-kantor “Komisi Pemilihan Umum” Pakistan.

Tetapi dalam sejarah Pakistan, kehadiran Benazir Bhutto dalam sejarah Pakistan dan bahkan sejarah politik dunia merupakan suat berkah sekaligus tanda. Berkah bagi rakyat Pakistan karena, bagaimanapun, apa yang dilakukan Benazir lebih baik ketimbang pemimpin lainnya yang kebanyakan mempraktekkan perilaku diktator, memasung demokrasi, dan menyebarkan ideologi kebencian berdasarkan sentiment agama dan suku di masyarakat yang seharusnya dididik untuk melihat persoalan secara objektif dan terbuka. Dunia modern membutuhkan para pemimpin seperti Bhutto, baik Benazir Bhutto maupun ayahnya Zulfikar Ali Bhutto. Mereka diidentifikasi sebagai pemimpin yang murni berasal dari kalangan sipil, nasionalis, dan karakter ideologi dan kebijakan politiknya bersifat kerakyatan alias membeka rakyat kecil.

Meskipun telah meninggal, warisan demokrasi Bhutto tentunya masih melekat dikalangan rakyat, terutama mereka yang masih percaya bahwa demokrasi, bagaimanapun, merupakan sistem yang lebih baik dari pada fasisme dan pandangan keagamaan ekstrim yang tak mengenal toleransi dan menghalalkan kekerasan. Warisan inilah yang harganya mahal, yang dapat digunakan untuk merubah negeri Pakistan, yang nampaknya akan benar-benar jatuh ke tangan kaum fasis jika kaum demokratnya tidak bekerja keras untuk membangun gerakan demokrasi yang strategis dan taktis.

Sementara kehadiran Benazir adalah tanda karena kemunculannya dalam arena politik dunia seiring dengan diterimanya keterbukaan politik demokrasi yang berhembus pada tahun 1980-an. Gelombang demokrasi yang menurut Samuel Huntington, mau tak mau, akan melanda Negara manapun karena syarat-syarat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyediakannya. Sejak Benazir hadir sebagai perempuan pertama yang menjadi presiden pertama di Negara Muslim, mungkin juga salah satu dari perempuan yang sangat sedikit mendapatkan posisi sebagai pemimpin di Negara-negara Ketiga, lalu masyarakat mulai terbuka pada hadirnya pemimpin perempuan.

Sebuah tanda kemajuan, tanda bahwa telah terjadi kesetaraan. Benazir telah memberikan inspirasi bagi Negara-negara Ketiga lainnya, termasuk Indonesia. Memasuki millennium baru, inspirasi Benazir kian meluas. Banyak Negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang dipimpin oleh kaum perempuan.

Berkah Globalisasi
Hembusan angin demokrasi memang memberikan kondisi politik baru di masyarakat dunia. Seiring dengan globalisasi yang membawa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama informasi dan komunikasi, akan mengakibatkan mustahilnya membatasi ide-ide dan kesadaran akan adanya persamaan hak antara laki-laki perempuan. Selain itu, kesetaraan dan kebebasan itu sendiri merupakan suatu tujuan yang juga diperoleh melalui gerakan social-politik.

Gerakan perempuan—entah itu di dunia politik, ekonomi, maupun sosial-budaya—menyodorkan bukti adanya masyarakat warga (civil society) di negara di mana gerakan itu lahir dan tumbuh berkembang. Selain itu, bersama dengan gerakan sosial lainnya, gerakan perempuan-juga di dunia politik-meningkatkan harapan bahwa demokrasi dapat mendorong pencepatan serta pengejaran agenda-agenda progresif tetapi tidak radikal.

Pada akhirnya, karena kesempatan terbuka lebar dan pembatasan-pembatasan ide dan materialnya semakin melenyap bagi terciptanya nilai kesamaan, tak begitu mengherankan jika semakin banyak perempuan yang mampu tampil menjadi kaum yang memiliki posisi dan peran yang besar—yang pada jaman dulu hanya dapat diperoleh laki-laki. Masyarakat yang pada awalnya dipenuhi dengan ide-ide kolot yang anti-persamaaan, yang kadang dijaga dengan kekuatan militer yang represif, pada akhirnya harus membuka diri pada perubahan menuju demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu (entah laki-laki ataupun perempuan) untuk tampil ke depan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Ruang keterbukaan sendiri juga menawarkan bagi setiap orang untuk meningkatkan kapasitasnya, kekuatannya (kemandiriannya, kecerdasannya, dan memampuannya mengolah realitas).

Ketika pada tahun 1988 Benazir Bhutto terpilih sebagai perdana menteri Pakistan, seluruh dunia mulai terbelalak, terutama masyarakat muslim yang dulunya mengharamkan perempuan untuk berkiprah di ranah public. Pada akhirnya mereka paham bahwa dunia telah berubah. Ketika Bhutto menjalankan pemerintahan secara lebih baik, orang juga semakin sadar bahwa pemimpin perempuan itu adalah hal yang wajar. Penolakan musuh-musuh Bhutto terhadap kepemimpinannya sendiri harus dipahami sebagai tindakan politis yang hanya didasari pada kecemburuan kekuasaan—dan nampaknya rakyat Pakistan tahu persis itu. Ketika Bhutto dipecat dan diasingkan ke luar negeri, Pakistan justru berada dalam kondisi lebih buruk, berada dalam cengkeraman militer dictator di bawah Jenderal Nawas Sharrif yang pro-Amerika Serikat dan membuat kesejahteraan rakyat semakin mundur.

Maka ketika Benazir Bhutto hendak kembali lagi ke Pakistan dengan janji untuk merubah keadaan, maka kerinduan rakyat Pakistan padanya bagaikan kerinduan anak-anak pada seorang ibu yang mengayomi dan memberikan kasih saying pada mereka—dan di sinilah kekuatan perempuan ketika memimpin. Sayangnya, orang yang tak menyukai Bhutto dan merasa terancam kekuasaannya harus menempuh segala cara, sehingga Bhutto harus dibunuh. Iapun meninggal dunia pada akhir tahun 2007 lalu, dengan harapan rakyat Pakistan yang pupus karena kerinduannya tak akan terbalas. Pakistan dipastikan akan menjadi Negara yang rakyatnya kian terombang-ambing dalam konflik berkepanjangan atau berada dalam cengkraman militer yang mencirikan negeri ini selama berpuluh-puluh tahun sejak berdirinya.
Munculnya para pemimpin perempuan, terutama di era akhir abad ke-20 dan di awal abad ke-21 sekarang ini tak lepas dari pengaruh ketenaran Bhutto yang muncul seiring berhembusnya angina demokrasi di awal tahun 1990-an. Tengok saja sejarah politik Indonesia, pada era itu gerakan demokratisasi benar-benar berhembus kuat. Demikian juga gerakan feminisme atau perjuangan menuntut kesetaraan gender.

Kepemimpinan Perempuan Indonesia
Sindroma kepemimpinan perempuan benar-benar muncul. Nama Megawati Soekarnoputri di awal tahun 1990-an mulai popular, bahkan menjadi calon ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang kelak namanya dianggap berbahaya bagi kekuasaan Orde Baru (Soeharto). Beberapa kolumnis surat kabar waktu itu juga mengkait-kaitkan nama Megawati dengan Benazir Bhutto. Antara keduanya memang memilik banyak kesamaan. Benazir dan Mega sama-sama putra seorang ayah yang pernah menjadi orang nomer satu di negerinya masing-masing. Zulfikar Ali Bhutto (ayah Benazir) dan Soekarno (ayah Megawati) sama-sama pemimpin yang populis dan merakyat, anti-imperialis dan sekaligus sama-sama menjalankan program nasionalisasi.

Pada era awal 1990-an itu pula Benazir Bhutto kerapmuncul di televisi Indonesia (waktu itu masih TVRI) dan surat-surat kabar. Orang Indonesia cukup akrab dengan perempuan yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri Pakistan. Kepemimpinan perempuan, secara tak sadar, dianggap suatu fakta yang wajar—dan alam bawah sadar ini cukup penting untuk membantu menciptakan bentukan psikis masyarakat agar kesadaran demokrasi muncul. Di Indonesia, sejak saat itu, tokoh-tokoh perempuan yang muncul mendapatkan banyak apresiasi.
Selain Megawati banyak menghiasi media, pada saat Marsinah diketahui dienyahkan nyawanya, ia mendapatkan tingkat publikasi yang luar biasa: Marsinah disebut sebagai perempuan pembela rakyat kecil yang berani melawan kesewenang-wenangan penguasa. Setelah itu nama Dita Indah Sari yang mengorganisir buruh dan aktif di gerakan politik kerakyatan juga begitu dikenal. Setiap perempuan yang hendak tampil untuk berperan di ranah public, terutama yang dianggap membela kekuatan arus bawah, segera mendapatkan tempat di hati rakyat. Salahkah jika ini terjadi karena adanya “Sindrom Benazir Bhutto”? Tidak ada yang salah dari kemajuan dan keadilan!***


Rabu, 20 Februari 2008

Budaya: Perempuan Non-Produktif


“Parasite Eve”

Oleh: Nurani Soyomukti*)


"Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri "
(Pramoedya Ananta Toer —via Nyai Ontosoroh, dalam “Bumi Manusia”, hal 39)


Sebagai peresah budaya, ada baiknya saya mengajak Anda untuk merenungkan suatu ketidakadilan kebudayaan yang sebenarnya berakar dari ketidakadilan kelas (ekonomi). Orang yang bersenang-senang dan mengejar kebebasan adalah orang yang tidak pernah bekerja keras, tetapi hanya melakukan aktifitas ringan dengan resiko lelah dan ancaman maut yang sedikit. Sedangkan orang yang bekerja keras (bahkan tak jarang mengeluarkan banyak keringat, darah, dan air mata) mendapatkan ruang budaya yang sempit.

Konon Krisdayanti menghabiskan biaya dandan sekitar 100 juta tiap bulannya. Tampil di atas panggung dengan dua lagu mendapatkan bayaran (honor) dengan jumlah yang tak pernah didapat oleh buruh yang bekerja setahun. Pada saat yang bersamaan, jangankan beli bedak untuk pipinya yang jelek karena sejak kecil memang tidak terawat, untuk membeli sabun cuci atau susu bayinya saja seorang ibu di desa atau perkampungan kumuh tidak bisa.

Peradaban kita terlanjur salah (manipulatif) karena lebih menghargai aktifitas gampangan yang tak membutuhkan kerja keras atau kerja sejati dalam makna berhadapan dengan realitas dan benda-benda yang ada di alam lalu mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna. Orang-orang yang malas kerja dan lebih banyak memiliki waktu luang, atau kerja ringan dan santai, lebih bisa menikmati kekayaan yang melimpah.

Sejak awal, ada seorang sosiolog melontarkan kritik pedas atas gejala kebudayaan santai, yang merongrong kebudayaan Amerika Serikat (AS). Sosiolog tersebut bernama Thorsten Veblen (1857-1929). Dalam bukunya yang berjudul “The Theory of the Leisure Class” ia merasa jijik dengan budaya kolektif pada kelas yang malas bekerja tetapi menghabiskan banyak waktu senggang dan menjalani gaya hidup yang bebas. Mereka adalah kelas non-produktif, karena mampu mengumpulkan modal dalam dorongan pembajakan (predatory instinct). “The Leissure Class” atau kelas pemboros ini berminat pada urusan manajemen (mengurus orang lain, kelompok pekerja lapangan atau pelaksana teknis), atau berperang (militer, angkatan bersenjata), mengurus upacara keagamaan (kaum ulama), atau berolahraga.

Sebagai sosiolog kritis, Veblen nampaknya begitu membenci para spekulan, makelar, cukong, lintah-darat, plutokrat, birokrat, dan kaum manipulator, yang mengerumuni kota-kota besar Amerika waktu itu. Didorong oleh instink penyamun atau pembajak, mereka berusaha memperkaya diri tanpa kerja produktif, sibuk memajukan pelbagai pengetahuan yang tidak relevan dengan keadaan yang nyata, memamerkan gengsi dari dalam budi bahasa halus dan etiket eksklusif untuk memikat perhatian kelas bawah—tetapi pada saat tertentu juga bisa menjadi agre
sif dan galak serta mampu menggunakan cara-cara yang kotor, keras, dan korup untuk mencapai tujuannya.

Dari kelas ‘pemboros’ dan ‘pemalas’ ini tercipta gaya hidup snobisme, mode-mode yang meledak dan hilang dalam sekejab, lagu dan novel pop, selera eksklusif. Merekalah pencipta kebudayaan kota yang belakangan membawa dampak besar pada kebudayaan desa. Dengan singkat kata, Veblen lebih menghargai manusia kerja (homo faber) karena menurut dia kebudayaan kerja (workmanship) memunculkan sosialitas manusia yang paling nyata.

Perempuan-Perempuan Non-Produktif
Kata-kata yang saya kutip dari Pramoedya Ananta Toer di atas adalah kritikan dan sindiran (baca: kebenaran): Orang yang makan dan memenuhi kebutuhan hidup dari keringatnya sendiri adalah orang yang paling tidak teraalienasi (terasing) dari kehidupan. Sedangkan orang yang tidak melakukan aktifitas kerja tetapi berharap akan mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup adalah orang pemimpi, peminta, dan pemalas. Kerja yang paling utama dan pertama adalah kerja buruh-tani karena merekalah yang terlibat langsung dalam proses produksi, mengubah dan mengolah bahan menjadi produk-produk dan barang-barang lain yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Kepada kelas pekerjalah peradaban berjalan. Jika tiada tangan perempuan petani yang rajin menancapkan tanaman padi setelah beberapa laki mencangkul dan menyemai benihnya, saya pastikan Anda semua tak akan bisa makan nasi. Jika tak ada tangan-tangan dan badan perempuan buruh-buruh tekstil, saya pastikan kita semua akan telanjang dan tak punya pakaian.

Jadi saya hanya ketawa (‘ngempet’) melihat perempuan-perempuan sekarang yang begitu bangganya mengenakan pakian-pakaian trendi dan seksi, yang bangga hanya karena bisa berbelanja pakaian tiap bulan. Saya bayangkan, seandainya tak ada tangan-tangan perkasa yang menyentuh kapas jadi kain, lalu kain jadi baju, perempuan-perempuan itu pasti telanjang: dan akan kelihatan pantatnya yang sebenarnya hitam atau susunya yang kendor (karena kutang juga tak dibuat).

Kebiasaan berbelanja dan mendandani tubuh awalnya memang merupakan kebiasaan perempuan elit feudal: mereka dipaksa memoles mukanya dengan kosmetik agar sang raja senang, perempuan-perempuan yang hanya dinikmati tubuhnya oleh penguasa kerajaan untuk melengkapi (narsisme) kekuasaannya. Perempuan yang rajin mendandani tubuh dan mengenakan pakian bagus dan hiasan emas ini adalah murni pelayan (pure servant—“servant” dalam bahasa Inggris artinya “pembantu”). Tentu saja mereka adalah sedikit sekali perempuan di jaman kerajaan karena sebagian besar perempuan lainnya tak memiliki pakaian sebagus itu, bahkan hanya berpakaian seadanya (sewek atau kemben yang menutupi dada hingga betisnya).

Setelah feudal kerajaan runtuh, titik ekstrim antara perempuan kaum elit dan perempuan rakyat jelata semakin parah. Para perempuan yang menjadi istri atau anak (perempuan) laki-laki kapitalis mampu membeli apa saja yang diinginkan. Dengan menjadi pelayan suaminya yang kaya, ia mendapatkan sogokan ekonomis yang besar, yang memungkinkan mereka memiliki banyak uang untuk belanja. Kecantikan, apa lagi kalau bukan itu, yang dituntut dan ditonjolkan. Ia berkata: “Papi, pakaian ini pantas nggak? Mami cantik, kan?”
“Pantes, mi. Harus cantik, jangan sampai istri papi gak cantik. Papi bisa malu sama kolega-kolega bisnis Papi”.

Sebuah peran pelengkap. Sebuah peran pelayan. Perempuan bekerja melayani laki-laki dengan dan demi gaya hidup, agar bisa tampil cantik dan dipuji banyak orang karena kecantikannya. Dan didandaninya tubuh dan dibuat-buatlah pencitraan dirinya agar ia dapat menarik laki-laki yang kaya.
Citra diri dilengkapi dengan gaya hidup dan tindakan mengkonsumsi positional goods. Mereka memang mengonsumsi/mengkoleksi buku-buku, film-film, barang-barang bagus dan branded goodies—tetapi semuanya hanya untuk menunjukkan gaya hidup dan mencipta citra (merayakan narsisme). Benda-benda itu, bagi mereka, dianggap sebagai penanda bagi ‘kekayaan” hidupnya.

Menurut Bourdieu dalam bukunya Distinction (1984), selera terhadap berbagai benda budaya berfungsi sebagai tanda kelas. Struktur kelas/pekerjaan yang prinsip struktur dasarnya adalah volume dan komposisi (ekonomi dan budaya) kapital mendasari dinamika gaya hidup masyarakat sekarang ini. Sebagai contoh, mereka yang memiliki volume kapital ekonomi tinggi (industriawan, penguasaha komersil, selebritis) memiliki selera makanan praktis (business meals), mobil impor, perlelangan, rumah lain (second house), dan lain-lainnya. Dalam masyarakat berkelas seperti saat ini, kelompok atau kelas dominan berusaha untuk memiliki atau memapankan ‘benda-benda posisional’ (positional goods), menurut istilah William Leiss, yaitu benda-benda yang prestisius karena kejarangan artifisial dari suplai yang ditentukan.
Kelas atas yang terdiri dari kaum korporasi bisnis dan kerabatnya bukanlah pihak yang paling berperan dalam mempercepat penularan gaya hidup. Dalam masyarakat industri yang kompleks—yang sering disebut sebagai masyarakat (pos)modern sekarang ini—lembaga-lembaga yang ada juga semakin kompleks dan bervariasi. Lembaga-lembaga ini biasanya diisi oleh kelas menengah yang terdiri dari seniman, intelektual, dan artis selebritis ini biasanya memiliki independensi dalam menemukan definisi budaya atau gaya hidup baru, meskipun untuk kasus Indonesia dalam banyak hal meniru dari rekan-rekannya di negara-negara Barat. Lihatlah mulai dari acara TV hingga model baju, hampir semuanya adalah acara-acara yang dijiplak dari TV-TV di Amerika dan Eropa—paling banyak untuk acara reality show.

Menurut Featherstone (2002), kaum intelektual tersebut harus masih dilihat sebagai fraksi kelas dominan yang mendominasi, yang menggunakan logika sistem simbolik untuk menghasilkan pembedaan yang memberikan kontribusi pada reproduksi antara fraksi kelas dan kelas-kelas yang ada. Dalam hal ini mereka sama saja dengan kaum borjuis (fraksi yang mendominasi dari kelas yang dominan) yang untuk mempertahankan kondisi material hubungan kelas yang ada di dalam hubungan kelas itu kapital ekonomi mengalami prestise dan nilai tukar yang tinggi jika dirubah menjadi kapital budaya.

Oleh karena itu, menurut Featherstone, “mereka akan selalu berupaya untuk meningkatkan otonomi bidang budaya serta menambah langkanya kapital budaya dengan cara menolak demokratisasi budaya.” Dari sinilah, banyaknya kekecewaan yang muncul dari para kritikus terhadap budaya posmodern adalah karena terjadinya homogenisasi budaya dan menciutnya kreatifitas masyarakat. Budaya instan, imitatif, permisif, dan karikatif adalah hasil dekaden dari masyarakat industri pasar bebas (posmodern).

Kaum perempuan borjuis—atau yang ‘sok’borjuis—adalah barisan dari kalangan parasit dalam kelasnya yang hanya mengharap belas kasihan dari laki-laki, berharap menemukan pasangan hidup yang kaya sehingga status kian meningkat. Merekalah yang sering disebut sebagai “parasist eves” (‘hawa-hawa parasit’)—bahasa kasarnya: pelacur papan atas. Ketakutan utama mereka adalah kalau tidak bisa bertahan hidup dengan menunjukkan kecantikan tubuh dan citra diri narsistik, dan ketakutan itu dibayar dengan kerja rekayasa yang keras agar dapat mendapatkan laki-laki kaya atau kerja-kerja apa saja yang menghasilkan penghasilan tetap. Mereka hanya menyadari potensi tubuhnya dan kecerdasan artifisialnya yang hanya relevan untuk merayu, melayani, dan memanipulasi hubungan sejati.

“Parasite Eve”—entah identik dengan istilah yang dibuat Ayu Utami (‘Parasit Lajang’)—adalah penyangga berlangsungnya kebudaan manipulatif dalam menyokong tatanan material kapitalisme yang memang mengeksploitasi kerja-kerja produktif untuk dieksploitasi dan tiada dihargai. Betapa banyak pengangum kaum perempuan yang hanya tampil cantik (entah mereka punya otak atau tidak)! Dan betapa tak berharga perempuan yang secara fisik buruk di masyarakat yang kian manipulatif sekarang ini!

Inilah awal dari kebangkrutan keberadaan kaum perempuan setelah di jaman sebelumnya kaum perempuan justru berperan secara produktif di masyarakat. Perempuan sejati—sebagaimana manusia sejati—adalah mereka yang berproduksi memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan masyarakatnya. Berproduksi untuk ekonomi, dan lebih maju lagi berproduksi untuk ideologi dan kesadaran maju—mereka adalah perempuan pendidik dan pejuang perubahan! Minimal produktif secara ekonomi dan tak menggantungkan pada orang lain, dan lebih maju ikut berjuang dalam proses pembebasan dan penggagas kesadaran maju (seperti Kartini yang mendobrak kesadaran lama yang membuat perempuan jamannya tertindas).
Perempuan sejati hilang di masa kini, dia hanya dapat kita lihat pada masa lalu. Pada hal. dalam sejarah ditunjukkan bahwa kaum perempuan lebih identik dengan peran mengayomi kehidupan dan mewarnainya dengan produktifitas dan kreatifitas yang dilakukannya. Sementara kaum laki-laki di jaman dulu lebih disibukkan dengan pekerjaan berburu dan membunuh hewan-hewan di di hutan-hutan dan menebangi pohon-pohon, pada saat yang sama kaum perempuan disibukkan dengan usaha pertanian, bumbu-bumbu masakan yang dibutuhkan bagi keperluan hidup sehari-hari, dan peralatan-peralatan masak lainnya. Artinya, kaum perempuan berhasil menemukan teknologi bagi keberlangsungan hidup, kesehatan, dan pertumbuhan manusia.

Sebagaimana dikisahkan Nawal El Sadawi dalam buku “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan”, perempuan-perempuan Mesir kuno adalah nenek moyang penemu kebudayaan bercocok tanam di Mesir di sepanjang pesisir sungai Nil. Di antara mereka bahkan ada yang dikenal dalam sejarah kemanusiaan yang disimbolkan sebagai dewi langit yaitu Nut, dewi hikmah yaitu Izis, dewi keadilan yaitu M’ât, dan dewi kedokteran yaitu Sekhmet. Kaum perempuan Mesir waktu itu benar-benar leluasa untuk melakukan aktifitas yang produktif dan kreatif. Mereka tidaklah terkekang oleh hijab ataupun tembok-tembok kokoh rumah dan dapur. Akan tetapi di antara perempuan ada yang menjadi pemikir, ahli filsafat, ahli ilmu pengetahuan dalam disiplin ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu arsitektur, ilmu perundang-undangan sosial, politik, ekonomi, strategi perang, dan ilmu perdamaian.

Berhadapan dengan adanya tatanan yang menindas dan tidak adil, perempuan-perempuan Mesir kuno telah terlebih dahulu melakukan gerakan pembebasan kaum perempuan mendahului saudara-saudara mereka yang ada di Yunani dan negara-negara lainnya. Akan tetapi, sejarah yang bersifat patriarkis seolah-olah tidak mengakui gerakan perempuan dan aktivitas mereka, persis seperti sikap acuh sejarah penjajahan modern yang tidak mengakui gerakan massa dan aktivitas mereka.

Kalau kita mau jujur, kaum perempuan di masyarakat sekarang ini masih terbelakang dan tertindas karena sistem sosio-ekonomi yang ada membuat mereka sedikit terlibat dalam proses dan tindakan produksi. Dilegitimasi oleh budaya yang mengharuskan perempuan hanya berperan di wilayah yang sempit (domestik), peran-peran memenuhi kebutuhan produktif keluarga dianggap sebagai tugas laki-laki. Sistem keluarga semacam ini berarti mengkonsepsikan bahwa laki-laki adalah pihak yang paling dominant dan perempuan (istri) adalah pelayan yang harus tunduk dan patuh. Parameter kepatuhan dan ketundukan bahkan disokong oleh doktrin-doktrin budaya seperti agama dan adat-istiadat.

Memang telah muncul masyarakat modern yang memungkinkan keterlibatan kaum perempuan berpartisipasi dalam ranah publik, baik sector industri maupun pengambilan keputusan (sosial-politik). Tetapi aturan yang diberlakukan (biasanya dikukuhkan secara legal oleh Negara) juga masih tetap diskriminatif. Bahkan dalam masyarakat yang telah menuju fase industri (kapitalis), keterlibatan perempuan di sector industri dapat dikatakan lebih banyak dari pada laki-laki. Tetapi seringkali imbalan dan pendapatan yang diperoleh juga masih dibedakan daripada laki-laki.

Di Indonesia, sektor industri membutuhkan lebih banyak perempuan untuk kerja di pabrik-pabrik daripada laki-laki. Upah mereka lebih rendah, bahkan terlalu rendah dan tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Industrialisasi kapitalis memang menarget kaum perempuan dalam menjalankan proses produksinya. Modal asing begitu senang menanamkan modalnya di Indonesia karena buruh perempuan Indonesia dapat diupah dengan biaya murah, sangat jauh dibanding buruh-buruh perempuan di Negara-negara Barat.
Selain itu, bagi pemilik modal yang menjalankan industri, perempuan merupakan sasaran pasar yang lebih potensial daripada laki-laki. Perempuan yang berjumlah lebih banyak daripada laki-laki adalah konsumen yang diharapkan akan menjadi pembeli produk-produk yang dihasilkan untuk mencari keuntungan. Tak heran jika kebanyakan iklan lebih banyak mempengaruhi kaum perempuan daripada laki-laki.

Ketergantungan
Bagi kaum perempuan yang kebanyakan masih tak memperoleh pendapatan dari keringatnya sendiri (kerja produktif dan menghasilkan upah), mereka hanya berharap pada laki-laki (suami) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak heran jika bagi kebanyakan kaum perempuan, mereka lebih berharap mendapatkan laki-laki yang kaya dan mampu memenuhi kebutuhannya. Kondisi ini membuat kaum perempuan hanya sibuk untuk berkegiatan mencetak citra diri agar menjadi sosok yang cantik dan kualitas-kualitas lainnya agar menghasilkan daya tawar yang kuat untuk mendapatkan suami yang kaya dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya akan barang-barang dan gaya hidup.
Mencetak citra dan kualitas dalam konteks “menjual” ini juga berlaku dalam hal mencari kerja. Agar kaum perempuan diterima kerja, mereka harus menyiapkan diri untuk tampil cantik dan kelihatan cerdas atau terampil. Sayangnya, kebanyakan kerja yang diperuntukkan bagi perempuan adalah kerja-kerja yang membutuhkan “kualitas” yang menegaskan bahwa kaum perempuan hanya layak untuk tampil cantik, seksi, ramah, terampil, dan servicefully. Penjaga toko, mode, entertainer, administrasi, customer service, sales, dan sejenisnya adalah kerja yang jelas-jelas menonjolkan kualitas tersebut.

Terutama dalam sektor industri hiburan (entertainment), ideologi kecantikan merupakan pilar dari keberadaan industrialisasi yang menempatkan perempuan disajikan untuk menghibur masyarakat. Dan kalau mau jujur, ideologi kecantikan yang menyokong logika produktifitas dan kreatifitasnya, kini juga mempengaruhi sector industri dan kegiatan produktif (kerja) lainnya. Misalnya, perempuan pekerja administrasi haruslah dipilih dari perempuan yang cantik, pegawai bank harus cantik dan seksi, pada hal tak ada hubungannya antara kualitas kecantikan dan mutu pelayanan.

Dan hanya karena citra akan tubuh itulah industrialisasi era ini dibangun. Ideologi kecantikanpun menular ke mana-mana. Pada akhirnya, seorang perempuan dosen atau guru akan merasa lebih percaya diri kalau ia tampil cantik, pada hal jelas-jelas tak ada kaitannya antara kecantikan guru dengan meningkatnya kecerdasan mahasiswa atau pelajar. Hal ini tak lepas dari konstruksi media kapitalis seperti iklan yang menghargai perempuan dari penampilan fisiknya dalam rangka membuat kaum perempuan (baik cantik ataupun jelek) tergoda untuk membeli produk-produk yang ditawarkan. Bahkan kalau kita telisik, citra tentang perempuan guru dan dosen juga dibangun (baca: dirusak) oleh sinetron remaja di mana para guru perempuan ditampilkan dengan citra yang negative (tak memiliki kekuatan edukatif sebagaimana keberadaan guru yang dibutuhkan masyarakat).

Dengan demikian, harus ada upaya serius untuk mengembalikan produktifitas perempuan sebagai upaya membalikkan sejarah penindasan menjadi sejarah keadilan yang pernah terjadi dalam sejarah. Hal ini berarti bahwa sejarah membuktikan bahwa dalam kehidupan jaman dulu, perempuan bisa lebih produktif dan memainkan peranan yang besar dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Belakangan, perempuan justru tertindas karena mereka terlempar dari kegiatan produktifnya.

Menjauhkan manusia dari aktifitas produksi sama dengan menjauhkan mereka dari kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, pada saat yang sama juga membuat mereka tergantung pada orang lain. Pihak yang tergantung cenderung untuk patuh pada pihak yang bergantung. Ketergantungan inilah yang menjadi awal bagi kebiasaan menindas dan menundukkan.***


Surabaya, 19 Februari 2008

Jumat, 15 Februari 2008

Film Politik Peradaban Maya:

Film ‘Apocalypto’:
Politik Tumbal dan Imperialisme Suku Maya



“A great civilization is not conquered from without until it is destroyed from within”.

—W. Durant

Uhhh… banyak hal (memperkuat teori sejarah, sosiologi, antropologi, bahkan politik) yang saya dapatkan dari menonton film ini.

Saya mendapat film ini dari seorang mahasiswi S2 di kampus Universitas Jember. “Kamu kayaknya harus nonton film ini dech! Kamu telah menulis buku tentang Amerika Latin, tak nonton sejarah masyarakat kuno di Amerika Latin kayaknya gak akan afdol”.
Lalu dia memasukkan film yang dibeli kakaknya seharga Rp 75.000,- dari Surabaya itu ke dalam tasku. Tak sabar ingin nonton, sepulang ke rumah kunyalakan notebook-ku, bersama anggota keluarga kecil di Jember film itu kutonton, bahkan belakangan kuulangi waktu aku pulang kampung (kuajak saudara-saudaraku menonton dan kujelaskan tentang film tersebut).

Seandainya film ini bisa dinikmati di bioskop, mungkin film ini akan menimbulkan penerimaan yang lumayan meluas karena banyak para pengamat dan pekerja film yang akan mendiskusikannya. Film kolosal tentang barbarisme peradaban Maya ini sungguh menyuguhkan warna yang memukau, menggunakan unsur kebudayaan asli penduduk suku yang dikisahkannya, dan, saya kira, memiliki tingkat historical accuracy yang kuat, terbukti dari penampilan kostum dan penggambaran kebiasaan yang autentik sebagaimana suku-suku kuno yang banyak dipelajari dalam penelitian sosiologis dan antropologis. (Apocalypto mengingatkanku pada film “Pathfinder”, sebuah film tentang masyarakat kuno dan peradaban barbar, yang menceritakan tentang ketangguhan—sekaligus keganasan dan kecanggihan bangsa Viking).


Mengingatkan Kita pada Tesis Engels
Tapi “Apolcalypto”—yang berarti “awal baru”—menyuguhkan depiksi yang lebih dialektis. Bagi mereka yang mendalami analisa materialisme dialektis untuk melihat perjalanan sejarah masyarakat, film ini akan menambah keyakinan bahwa apa yang digambarkan Frederich Engels dalam “The Origin of Family, State, and Private Property” benar-benar terbukti. Ada suku yang hidup kolektif dengan mencari kebutuhan hidup, terutama makanan, secara bersama-sama dan hasilnya dipakai bersama pula. Tidak ada penindasan dan tak ada hirarki. Sudah ada keluarga, memang, yang hidup di rumah masing-masing dengan suami istri dan anak-anak yang telah dihasilkannya—ada yang memiliki 12 anak.

Kehidupan kolektif dihiasi dengan budaya yang rukun, saling bercanda, dan di malam hari anak-anak dan orangtuanya berkumpul bersama keluarga lain mendengarkan dongeng dari seorang tokoh. Dalam film ini si Pendongeng mengisahkan tentang pentingnya keberanian dan menghilangkan rasa takut, wanita-wanita muda, pemuda, anak-anak yang berada dalam pangkuan ibu sedang mendengarkan kisah dengan penuh perhatian: raut muka mereka ceria, dan sebagian anak-anak mendengarkan secara seksama tentang keberanian: Kisah yang didengar menguatkan kaum muda dan anak-anak karena Si Pendongeng mengajarkan bahwa sukunya haruslah diisi dengan orang-orang kuat, yang selalu berhasil dalam berburu, yang tak pernah kalah dan menyerah menghadapi binatang buas dan kontradiksi alam. Setelah itu mereka bersama-sama menari dan menyanyi untuk menikmati malam.

Mel Gibson memotret tokoh Jaguar Paw (diperankan oleh Rudy Youngblood) yang memiliki seorang istri, Seven (diperankan Dalia Hernandez), dan satu anak kecil bernama Turtles Run. Keluarga inilah pada akhirnya yang tersisa dari suku yang hidup dalam hubungan kolektif, sebelum diserang oleh pasukan kerajaan Maya di bawah pimpinan Zero Wolf (yang diperankan Raoul Trujillo). Bangsa maya yang haus darah tergambar dalam film ini, mereka diculik untuk dijadikan sesembahan dan sebagian lagi dijadikan budak. Nampaknya para penguasa bangsa Maya percaya bahwa mengorbankan nyawa tiap hari dengan membunuh orang akan membuat matahari akan bersinar tiap hari, akan menyebabkan tanaman tumbuh dengan hasil panen yang banyak, dan akan menyebabkan para perempuan subur dan menghasilkan banyak anak.

Adegan film ini dimulai dengan kegiatan perburuan yang dilakukan oleh Jaguar Paw (‘Cakar Macan’), ayahnya Flint Sky (diperankan Morris Birdyellowhead), dan laki-laki di hutan tempat sukunya tinggal. Pada saat pulang setelah mendapatkan hasil buruan binatang Tapir, di perjalanan mereka menjumpai penduduk dari desa lainnya yang sedang melakukan perjalanan pindah tempat karena daerah tinggalnya telah diserang dan laki-laki dan perempuannya ditangkap.

Sampai di rumah mereka disambut oleh istri dan anak-anak karena membawa hasil buruan yang banyak. Saat istirahat setelah makan siang, Jaguar Paw nampak masih kepikiran soal penduduk yang pindah karena tempatnya diserang. Ia memiliki firasat buruk dan kawatir, tentu saja karena istrinya yang cantik, Seven, sedang mengandung anaknya yang kedua. Pada malam harinya bahkan ia bermimpi.

Ternyata benar, tepat pada pagi buta saat Jaguar Paw dan penduduk desanya masih tidur, serangan terencana itu datang. Mirip genocida karena yang melawan dibunuh, rumah-rumah dibakar, yang tersisa hanyalah anak-anak kecil dan yang lain adalah laki-laki dan perempuan yang ditangkap hidup-hidup. Mereka inilah yang akan dipersembahkan pada Kukulkan Dewa Matahari bangsa Maya, termasuk Jaguar Paw dan beberapa orang. Fortunately, pada saat pasukan itu datang, Jaguar Paw berhasil menyembunyikan anak dan istrinya yang hamil di sebuah sumur gua: “Jangan kemana-mana, aku pasti kembali. Aku akan ikut melawan mereka dulu”.

Sebagaimana dicirikan oleh Marx dan Engels, masyarakat berkelas dicirikan dengan adanya hirarki dan juga adanya kekuatan militer regular. Dalam film ini jelas, para penculik dan penjarah yang dipimpin Zero Wolf adalah pasukan regular yang ditugasi menjarah ke penduduk lain dengan tujuan mencari orang yang akan dijadikan tumbal pada dewa matahari. Persenjataan mereka lebih maju dan atribut serta perlengkapan yang lebih canggih. Meskipun tak banyak, tentu saja mereka selalu menang dalam penakhlukan. Meskipun Jaguar Paw dan penduduk lainnya melawan, tetap saja mereka dapat ditakhlukkan dan ditawan, lalu di bawa ke daerah di mana peradaban Maya berada.

Meskipun demikian, Jaguar Paw dan lainnya yang dalam keadaan terikat tak tahu akan dibawa kemana karena ia tak tahu kalau di luar sukunya ada masyarakat yang maju dan lebih beradab secara teknologi dan pengorganisiran masyarakatnya, meskipun lebih barbar. Dari sini kita disuguhi oleh film ini tentang adanya ketimpangan peradaban antara suku-suku. Bangsa Maya adalah suku yang telah mengenal kelas, tidak seperti suku (komunitas) tempat Jaguar Paw yang masih hidup dalam komune yang hidup secara kolektif.

Kebengisan Bangsa Maya
Mereka dibawa ke suatu tempat yang tak pernah diketahui sebelumnya. Tempat itu adalah daerah perkotaan maju dengan penduduk banyak, menunjukkan kemajuan masyarakat, tak seperti daerah tempat Jaguar Paw tinggal (masih berhutan-hutan). Sebut saja Kota bangsa Maya. Ada piramida tinggi dan bertingkat, di sebuah panggung yang terletak di atasnya para penguasa, termasuk raja Bangsa Maya dan keluargannya menyaksikan di depannya para kurban diambil jantungnya dan dipancung kepalanya, dan dijatuhkan dari tangga pyramid: kepala-kepala yang terpisah dari tubuh setelah dipancung itu tiap lima menit bergelindingan dari atas piramid melalui tangga, di bawahnya rakyat berebut untuk menangkapnya lalu ditancapkan ke tiang-tiang.

Dalam adegan ini kita melihat tayangan barbarisme pembunuhan. Ya, pembunuhan yang dirayakan karena dianggap sebagai kegiatan yang akan menjauhkan bangsa Maya dari musim paceklik, untuk menghormati Dewa Matahari (Kukulkan). Begitu banyak (tak dapat terhitung jumpah kepala yang tertancap ditombak, dan agak jauh darinya juga ada ribuan mayat tertumpuk di sebelah ladang jagung—ladang pembantaian!

Jaguar Paw menyaksikan sendiri saat menunggu giliran, bagaimana begitu ritualistiknya upacara pemancungan untuk dipersembahkan pada Dewa Matahari: perut ditusuk dan jantungnya diambil, lalu kampak besar diayunkan untuk memotong kepala yang setelah terpisah dari badan dilempar ke bawah dari atas piramida itu. Betapa sedihnya Jaguar Paw saat sahabatnya sendiri mendapatkan giliran.

Dan betapa beruntungnya ia karena pada saat gilirannya akan dibunuh, tiba-tiba terjadi peristiwa alam terjadi. Gerhana matahari menahan tangan algojo yang akan mengayunkan kampak yang akan mengayun ke leher Jaguar Paw. Tiba-tiba bumi menjadi gelap karena matahari tertutup. Gerhana itu terjadi beberapa menit, lalu matahari muncul lagi; orang-orangpun bersorak. Peristiwa inilah yang membuat para dukun dan penguasa Maya menganggap bahwa Kukulkan telah puas dengan persembahan. Jaguar Paw dan sedikit orang yang tersisa tak jadi dibunuh.

Seorang pembesar Bangsa Maya menyuruh mereka dilepaskan. Mereka dilepaskan di sebuah lapangan bola tetapi akan dibuat permainan para prajurit Maya. Dari garis lapangan para tawanan yang akan dilepaskan itu disuruh lari menuju lading jagung dan kemudian di depannya; dan pada saat lari mereka akan dipanah atau dilempar dengan lembing. Mula-mula, dua orang lari, mereka dihujani panah dan lembing, mereka lari ke sambil menghindar. Dua orang teman Jaguar itu semakin kencang lari, tetapi pada akhirnya mereka kena lembing dan panah juga. Keduanya meninggal.

Kini giliran si Cakar Macan dan satu orang lagi yang dijadikan permainan sambil dilepaskan. Mereka harus lari dan menghindari lemparan lembing dan serangan anak panah. Jaguar pun mengambil taktik dengan cara lari zig zag sehingga kecil kemungkinan kena, demikian juga satu temannya. Lari kencang sambil zig zag memang mempersulit serangan. Keduanya lari zig zag tetapi satu orang temannyapun kena pahan karena serangan panah kian diperbanyak. Mendekati ladang jagung, Jaguar pun kena panah, tetapi masih kuat bertahan. Dan akhirnya ia lari mendekati ladang jagung untuk kemudian bermaksud menyelamatkan diri. Ternyata para prajurit yang masih dipimpin Zero Wolf masih mengejarnya karena tiap orang yang diburu tak boleh dibiarkan hidup atau kembali ke hutan dan datang ke daerah asalnya.

Pengejaran di Hutan yang Amazing
Dari sinilah perburuan dimulai. Jaguar bermaksud kembali ke hutan karena ingin menyelamatkan anak dan istrinya yang ditempatkan di sumur gua di desanya yang telah dibakar.

Adegan pengejaran inilah yang, menurut saya, paling seru. Jaguar lari kencang, demikian yang mengejarnya. Dengan nafas terengah-engah ia tetap lari kencang. Jaguar berhenti sebentar untuk mengambil kulit kayu dengan giginya yang digunakan untuk menghentikan pendarahan pada lukanya akibat kena anak panah. Ia naik ke atas pohon, ia sembunyi di semak-semak.

Suatu ketika seekor macan kumbang menghadangnya. Kana iapun melarikan diri dalam kejaran macan itu. Macan itulah yang justru menyelamatkannya karena pada saat macan itu telah mendekat ke dirinya, ternyata prajurit Maya yang mengejarnya juga berhasil mendekat dan akan menangkapnya. Prajurit itulah yang justru terterkam macan kumbang ganas, wajahnya robek dimakan macan dan Jaguar pun telah lari meninggalkannya. Kematian prajurit itu membuat berhenti pengejaran karena mereka harus membunuh macan itu lebih dulu.

Kedatangan Spanyol
Pengejaran ini digambarkan dalam berbagai peristiwa yang menarik. Misalnya, jaguar harus menerjunkan dirinya ke air terjun yang cukup tinggi untuk menghindari penangkapan. Dengan berbagai cara, pada akhirnya para pengejar lah yang kalah. Zero Wolf sebagai pimpinan mati tertancap kayu-kayu tajam yang digunakan untuk menjebak Tapir. Setelah itu tinggal kedua orang prajurit yang terus saja mengejar. Hingga kemudian Jaguar dan dua orang prajurit itu tiba di pinggir pantai.

Mereka malah kaget ketika melihat pantai, mereka memfokuskan pandangannya ke pantai: Mereka terkaget-kaget melihat kapal-kapal besar yang di dalamnya terdapat banyak orang. Maka merekalan bangsa Spanyol yang kemudian datang untuk menjajah, mencari sumber-sumber daya alam yang kaya di daratan Amerika Latin, selain juga untuk misi agama Yesus (misionaris). Merekalah yang kelak akan menguasai bangsa-bangsa di kontinen yang pernah dikuasai bangsa Maya ini.
Dua orang prajurit yang mengejar Jaguar Paw malah lebih tertegun menyaksikan kapal-kapal yang kian mendekat. Mungkin mereka berpikir bahwa orang-orang yang datang itu bisa jadi lebih maju dari bangsa Maya, buktinya mereka datang dari lautan yang luas.

Jaguar Paw malah kembali ke hutan karena ia harus menyelamatkan anak dan istrinya yang sebenarnya sudah melahirkan bayi sehat di dalam gua sumur pada saat hujan lebat. Akhir kisah film ini adalah pembicaraan sepasang suami istri yang baru saja dianugerahi seorang bayi baru, dan mereka berencana akan masuk ke hutan menemukan kehidupan baru disana.

Penonton diharapkan menebak sendiri. Bagi kita yang pernah belajar sejarah, tentu itulah awal dari penjajahan Spanyol yang datang dengan tenaga produktif yang lebih kuat, ilmu pengetahuan dan teknologi dan teknologi perang yang lebih canggih—bangsa Maya yang dianggap barbar itu tentu akan dikalahkan. Barbarisme kuno akan dihancurkan, dan penghancur itu mencengkeramkan model penjajahan baru: kolonialisme dan imperialisme.

Oh ya, saya sarankan bagi Anda yang ingin melengkapi gambaran tentang temuan dan kedatangan bangsa Barat (Spanyol) di kontinen Amerika ini: tontonlah film “New World”, film yang tak kalah menariknya dengan “Apolcalypto” ini. Percayalah, menonton film akan memperkaya perspektif sejarah dan cara pandang akan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang.

Saya menuliskan sedikit sejarah Amerika Latin dalam beberapa buku saya yang mengangkat tema-tema Negara Amerika Latin: 2 buku tentang “Revolusi Bolivarian” (Venezuela), dan 1 “Revolusi Sandinista” (Nikaragua)—kunjungi buku-buku saya tersebut di
www.bukubukunurani.blogspot.com.
Menonton “Apolcalypto” membuat bayangan saya tentang masyarakat lama (Amerika Latin) semakin dekat. Jadinya, ia adalah motivating and inspiring movie bagi saya! Saya akan terpacu menulis dan menulis buku lagi! [***]



Jember/Februari 2008