Jumat, 29 Agustus 2008

Undangan Seminar "PEMUDA, POLITIK, DAN PEMILU":

UNDANGAN TERBUKA

Seminar "Pemuda Politik & Pemilu"

PEMBICARA:
Nurani Soyomukti
(Penulis buku RESIST--Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez)

Fajhrul Rachman
(Calon Presiden Independen dari Kaum Muda)

Didik Prasetyo
(KPUD Jatim)

Waktu dan Tempat:
Jumat, 12 September 2008/13.00-15.00 WIB
Ruang Adisukadana Lt 2 Gedung A
Fisip Unair
Surabaya


Resensi Bukuku di KOMPAS YOGYA ::

Paradoks Kehidupan Mahasiswa
  • KOMPAS YOGYA/Rabu, 13 Agustus 2008 | 11:01 WIB

    Judul Buku: Dari Demonstrasi hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era
    Kapitalisme dan Hedonisme
    Penulis: Nurani Soyomukti
    Penerbit: Garasi - Cetakan: 2008
    Tebal: 184 Halaman

    Kehidupan mahasiswa hampir selalu diidentikkan dengan kebebasan dan selalu asyik untuk dijadikan sorotan. Di tengah idealisme tinggi yang dijunjung oleh sebagian mahasiwa, paradoks kehidupan pun terjadi.

Ketika mereka harus berjuang mendewasakan pikiran, mahasiswa juga dihadapkan pada berbagai godaan yang menarik dan menggiurkan sehingga bisa menyimpang dari idealisme hakiki manusia. Melalui buku bertajuk Dari Demonstrasi hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme, Nurani Soyomukti menggambarkan kehidupan dari mahasiswa dengan melihat gaya hidup mereka.

Nurani mencoba merangkai kata dalam buku ini dari catatan-catatan yang dibuat sejak kuliah di sebuah kampus negeri di Jawa Timur yang menurutnya merupakan catatan sentimental. Nurani mengawali buku dengan menyisipkan pandangan beberapa tokoh pendidikan tentang mahasiswa.

Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi, menuliskan pemikirannya tentang kaum muda dalam labirin neoliberalisme. Tokoh pemuda dan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia, Daniel Johan, juga menyisipkan buah pikiran tentang gugatan nurani terhadap budaya bisu mahasiswa.

Menggunakan gaya penulisan yang cenderung resmi seperti layaknya penulisan skripsi, Nurani menilai bahwa mahasiswa cenderung memasuki perguruan tinggi dengan berbagai macam obsesi. Mereka, antara lain, ingin memperoleh pembekalan untuk mencari pekerjaan. Dengan menjadi mahasiswa, mereka setidaknya juga bisa mengalami perubahan gaya hidup.

Gaya hidup mahasiswa adalah gaya hidup kelas menengah ke atas yang dicirikan dengan kemampuan mengonsumsi produk dan gaya hidup modern, ungkap Nurani dalam bukunya. Citra negatif cenderung melekat pada mahasiswa karena pencitraan yang buruk melalui media. Mahasiswa sering kali digambarkan sibuk mengejar urusan cinta dengan gaya hidup yang menonjolkan tampilan fisik. Masyarakat pun semakin lupa bahwa mahasiswa punya potensi besar untuk menjadi kekuatan penting dalam mengubah tatanan sosial.

Negara, menurut Nurani, tidak cukup serius dalam memperbaiki sejarah mahasiswa Indonesia. Meskipun penulisan kerap kali meluas ke topik lain yang tak berhubungan dengan tema tulisan, Nurani mencoba menulis ulang tragedi unjuk rasa di Universitas Trisakti pada Mei tahun 2008.

Dia menambahkan buah-buah pemikirannya maupun pemikiran tokoh-tokoh dunia seperti Karl Marx dan Johan Galtung. Dalam buku tersebut, sistem kapitalisme-neoliberalisme dinilai oleh Nurani sebagai sistem yang jahat dan destruktif bagi kemanusiaan. Buku setebal 182 halaman tersebut juga dilengkapi data tentang kemunduran kampus. Mengutip survei dari harian The Times Inggris, dari 520 universitas terkemuka, perguruan tinggi di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan negara lain.

Tidak satu pun dari perguruan tinggi Indonesia masuk ke dalam 10 besar universitas terbaik dunia. Berdasarkan data-data yang diungkapkan, Nurani menyatakan bahwa kualitas pendidikan semakin menurun dan berdampak pada kemunduran kemanusiaan. Pada bab ke-3, Nurani baru menyinggung tentang kehidupan pribadi mahasiswa terutama seputar kisah percintaan.

Contoh tentang kisah cinta mahasiswa dimulai dengan mengungkap kembali video cabul dua mahasiswa di Bandung. Kasus tersebut hendaknya tidak dipahami sebagai kebrobokan mental mahasiswa. Kebrobokan, menurutnya, harus dipahami sebagai kebobrokan masyarakat kapitalis yang gagal menata hubungan antarmanusia. (WKM)

--------------------------------------------

Kamis, 07 Agustus 2008

Dimuat di SUARA KARYA/Jumat, 8 Agustus 2008:

Dari Keintiman hingga Pembunuhan

Oleh Nurani Soyomukti*)


Dalam buku "Civilization and Discontents (Peradaban dan Kekecewaan-kekecewaannya)", Sigmund Freud mengatakan, "peradaban adalah suatu proses melayani Eros, yang tujuannya adalah untuk menggabungkan individu-individu manusia tunggal, selanjutnya keluarga-keluarga, kemudian ras-ras, masyarakat-masyarakat dan negara-negara, ke dalam suatu kesatuan besar, kesatuan umat manusia".

Tetapi ketika cinta membuat kecewa, orang pun mendendam dan kemudian juga tak ragu untuk membunuh secara kejam. Perasaan ingin mencintai dan ketakutan ditolak menghinggapi. Sedangkan penolakan dan kekecewaan akibat (merasa) tersakiti, juga tak jarang membuat orang yang awalnya penuh rasa cinta menjadi orang yang penuh kebencian dan melampiaskan perasaannya itu dengan cara menyakiti, salah satunya membunuh.

Dan peradaban juga menunjukkan adanya tragedi berupa pembunuhan berantai sebagaimana terjadi akhir-akhir ini. Ryan, seorang pemuda yang diduga mengalami penyimpangan psiko-seksual, (didakwa) telah melakukan pembunuhan berantai. Pembunuhan dengan cara memutilasi ini telah menimbulkan rasa sedih bagi mereka yang anak-anak atau saudaranya dibunuh secara tak berperikemanusiaan, juga menghenyak kita semua karena peristiwa semacam ini tak seharusnya terjadi.

Orang awam barangkali mengira bahwa pembunuhan semacam itu mustahil terjadi. Tetapi, bagi mereka yang memahami bagaimana dinamika psikologis merupakan suatu wilayah yang sangat ditentukan oleh pengalaman-pengalaman hidupnya sejak kecil, tentunya sudah tak mengherankan lagi.

Kalau kita kembali pada teori psikoanalisis (psikologi mendalam) Sigmund Freud, tentunya kita akan banyak melihat bahwa kekecewaan-kekecewaan (discontents) sering kali muncul dalam jiwa orang, terutama karena realitas (kondisi yang ada) tidak memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan yang ada dalam diri manusia sering kali tak memungkinkan untuk dipenuhi, terutama dalam kondisi material yang diskriminatif bagi pemenuhan kebutuhan itu.

Kasus Ryan menunjukkan bahwa si pelaku korban tersebut mengalami obsesi penyatuan seksual dengan orang-orang yang merupakan sesama jenis. Di balik penampilan sehari-hari di lingkungan tetangganya yang masih tabu dengan percintaan sesama jenis, ternyata dunia Ryan dalam hubungannya dengan teman-temannya adalah dunia percintaan yang juga diwarnai dengan obsesi-obsesi dan kekecewaan-kekecewaannya. Kekecewaan yang mendalam itulah yang konon membuat Ryan merasa dendam dengan orang-orang yang kemudian dibunuhnya secara kejam.

Tiap individu dikuasai oleh dua insting sekaligus, yaitu insting (naluri) yang disebut Eros dan Tanatos. Insting Eros adalah insting ingin menyatukan diri yang manifestasinya adalah cinta dan kasih sayang yang secara material dan konkret adalah tindakan persetubuhan. Sedangkan insting Tanatos adalah insting menyerang atau merusak, yang manifestasinya adalah tindakan kekerasan dan bahkan membunuh.

Kedua insting ini sama-sama ingin mendendalikan makhluk hidup dan manusia. Kadang sulit membedakan di antara keduanya. Tarik-menarik kedua insting inilah yang membuat manusia resah, gundah, dan kadang lebih banyak dikuasai oleh ketidaksadaran (tidak rasional), sehingga dalam melakukan hal-hal jarang dipikirkan, spontan, dan baru menyesal setelah dipikirkan secara keras dengan rasio yang ada.

Secara pribadi, saya punya pandangan bahwa untuk melihat bagaimana Eros dan Tanatos dapat dilihat manifestasinya secara mudah dalam waktu yang bersamaan adalah pada saat orang melakukan persetubuhan.

Jadi persetubuhan seakan bukan didorong oleh insting Eros, tetapi juga Tanatos. Jadi cinta sebetulnya tak hanya layak dipahami sebagai suatu hal yang melekat pada Eros. Untuk memahami cinta, kita harus melihat seluruh eksistensi yang ada pada diri manusia. Cinta adalah dorongan untuk menyatukan diri, berarti kita mengenal bagaimana ada suatu dorongan material dalam tubuh manusia. Dorongan ini ternyata sungguh-sungguh riil keberadaannya, dengan diekspresikan dengan pola-pola yang membentuk kebiasaan dalam kebudayaan universal umat manusia.

Kasus Ryan harus kita kembalikan pada analisis psikologi mendalam (psikoanalisis), kemudian kita kaitkan dengan bagaimana basis material sejarah (situasi sosial) membentuk perkembangan individu-individu dalam masyarakat kita. Ajaran psikologi sosial menghendaki adanya terapi individu dalam kaitannya dengan kondisi yang membentuk pengalaman-pengalaman individu yang ada.***
--------------------------------------------------------------------

KEMERDEKAAN BUKAN 'KEBEBASAN' ALA LIBERALISME-KAPITALISME!

Pentingnya Aturan, Kerjasama, dan Solidaritas!

Oleh: Nurani Soyomukti

Sangat penting bagi kita untuk mengidentifikasi hidup kita, sebelum kita memahami apa makna kebebasan bagi kita. Kebebasan tidak identik dengan orang yang malas berbuat sesuatu. Orang yang malas dan orang yang tidak melakukan apa-apa bukanlah orang bebas. Orang yang tak melakukan ap
a-apa aalah orang yang keberadaan dirinya mundur. Orang bebas yang sejati adalah orang yang menikmati pekerjaannya dan merasa bahwa pekerjaan itu benar-benar sesuai dengan hakekat dirinya, keinginan dan kemampuan (kapasitas dirinya).

Orang yang diam yang menghabiskan banyak waktu untuk berkhayal dan melamun memang merasakan kebebasan dalam ilusinya, tetapi tetap saja ia tampak sebagai orang yang tidak berguna. Apalagi dengan diam, tidak melakukan apa-apa dan tidak menghasilkan itu ia menggantungkan keberadaannya pada orang lain, artinya merugikan orang lain, maka sesungguhnya ia bukan hanya tidak bebas, tetapi sekaligus eksploitatif. Orang yang menikmati waktu luang tetapi biaya dari waktu yang dihabiskan untuk menggunakan waktu luang itu dilimpahkan pada orang lain adalah parasit.

Jadi dalam hal ini, tampaknya kebebasan yang dimiliki oleh orang yang tak produktif hanyalah sejenis kebebasan yang merugikan. Mungkin orang-orang yang bebas karena mengggur itu, karena bebas dari kerja justru karena tak dapat pekerjaan (tidak berproduksi), boleh jadi begitu tersiksa. Bebas dari pekerjaan yang justru membuat pikirannya tertekan dan otaknya terus berkhayal.

Jadi sangat mengherankan kalau ada orang yang yang memahami kebebasan dengan melupakan adanya fakta bahwa hidup ini diatur oleh ikatan dan oleh pola-pola yang ada dalam hubungan. Bahkan alam itu sendiri tampaknya juga menunjukkan keteraturan dan pola-pola. Tiap hari matahari terbit dari Timur ke Barat, hal ini berlaku bagi semua orang di Indonesia. Bahkan aturan itu tampaknya menjadi kodrat di mana alam telah menetapkan pola-polanya yang telah ada: kita memasukkan makanan untuk menghindari kelaparan melalui mulut, kita berak dengan mengeluarkan “tai” dari dubur. Kita belum dapat berbuat sesuka kita, kita blum mampu memenuhi apa saja yang kita kehendaki.

Artinya kita masih menghadapi pola-pola alam, baik yang gejalanya sederhana maupun yang rumit (untuk dijelaskan). Justru dengan kondisi itu kita harus menuruti aturan dan bekerjasama, menggalang
solidaritas antar sesame dan tak boleh hidup sendiri-sendiri tanpa aturan. Menghadapi gejala-gejala (atau kontradiksi) alam, bahkan kita harus bekerja-bersama-sama mencurahkan kemampuan kita agar kita selamat. Karena kita, manusia ini, hanyalah segolongan kecil dibanding kekuatan alam. Kita belum dapat menghadapi (bencana) alam seperti banjir, angin topan, gempa bumi, tanah longsor, Tsunami. Kita tiada berdaya menghadapi alam itu, apalagi masing-masing manusia hanya memikirkan dirinya sendiri dan tak mau saling membantu serta berbagi.

Sebagian besar pura-pura mau berbagi setelah bencana benar-benar datang. Saat bencana kelaparan diberitakan, mereka pura-pura membantu. Mereka juga tak begitu hirau: banyak bahan pangan yang mereka simpan, yang berlebih dan tak terpakai, tetapi masih banyak orang yang kekurangan makan. Para penguasa, minoritas di tengah-tengah mayoritas rakyat yang menderita itu, cuek pada nasib orang lain; mereka mau mencari selamatnya sendiri.

Dan ketidakmampuan manusia dalam menghadapi kontradiksi alam salah satunya karena mereka tak mau membuat rakyat produktif, berpengetahuan dan menguasai IPTEK. Mereka menginginkan pendidikan hanya untuk anak-anaknya, sedangkan hak-hak anak-anak rakyat mayoritas terhadap pendidikan dilanggar. Pada hal, rakyat akan mampu menemukan tenaga produktif, pengetahuan dan teknologi baru untuk mengatasi kesulitan-kesulitan menghadapi alam, jika hak-hak mereka akan ekonomi diberikan. Mereka bahkan ada yang justru membodohi: mereka mengatakan bahwa kemiskinan dan bencana alam disebabkan oleh takdir Tuhan dan sudah diatur. Pada hal kemiskinan adalah karena eksploitasi mereka, bencana alam juga karena peristiwa alam yang biasa terjadi—dan seringkali terjadi karena rakyat tak berdaya akibat ditindas dan dihisap dan tidak dikondisikan untuk produktif.

Kita yang dapat berpikir rasional tentu tahu bahwa kebebasan mungkin saja diraih jika kita diberikan syara
t-syarat materialnya. Kita masih mirip binatang karena, dengan dijauhkannya kita dari pengetahuan dan teknologi serta ditindas, kita masih tertekan. Bagaimana kita bebas dari perasaan takut dan was-was jika kita masih harus mati-matian untuk memikirkan urusan yang sebenarnya dapat saja kita penuhi dengan mudah jika mereka tidak menguasai sumber-sumber ekonomi dan alat-alat produksi dan hasil-hasilnya untuk mereka sendiri. Bagaimana kita bebas dari rasa takut, rasa sakit fisik dan mental, kalau segala hasil dari alam kita dan hasil kerja kita dirampas oleh mereka yang ingin terus saja mencuri untuk kekayaan dan kemewahan dirinya sendiri, keluarga, dan orang-orang dekatnya. Mereka bebas, termasuk bebas mengeksploitasi dan menindas kita, tetapi kita rakyat mayoritas ini tak memiliki kebebebasan. Dengarkan kata-kata buruh dan tani itu saat kita bertanya “Apakah kalian menikmati kebebasan saat para artis-selebritis begitu bebasnya bergaya dan begitu cerianya wajahnya dengan tubuhnya yang menari dengan ucapan-uapannya yang lepas meskipun kacangan?”.

Mereka yang merupakan rakyat mayoritas itu akan menjawab: “Kami tak punya waktu luang untuk rekreasi, tak punya rumah dan tempat indah untuk tinggal dan ditempati atau sekedar dikunjungi, karena kami harus kerja dari subuh hingga senja hari tetapi kerja kami tak dihargai. Sebagai buruh, upah kami semakin rendah dan kenyamanan kerja kami juga terancam karena sekarang sistemnya buruh kontrak dan outsorcing. Gabah kami juga harganya sedikit sementara biaya bertan
am an merawat tanaman juga naik… Kami tak bebas karena pendapatan kami minim, sementara kami butuh makan cukup dan bergizi; sedangkan anak-anak kami harus sekolah. Kami tak punya kebebasan karena kami tertekan secara psikis, dihantui oleh kelangsungan hidup kamu dan anak-anak cucu kami. Kami tak bebas karena mau bergerak bebas rumah kami sempit dan kotor, kami tak punya vila dan bepergian ke tempat-tempat indah seperti kaum borjuis itu! Para pengusaha dan para politisi, jenderal, intelektual dan seniman yang dibiayainya itu bebas keluar negeri, bebas ganti-ganti pasangan, seks bebas, waktu luangnya banyak… tanah dan ruangnya luas, dapat pergi kemana saja… sedang kami tidak. Kebebasan hanyalah ilusi bagi kami”.

Karenanya, rakyat miskin itu harus hidup dengan saling membantu seadanya, kerjasama antara orang miskin. Se
dangkan para borjuis, pengusaha (pemodal) besar atau konglomerat, jenderal, seniman-artis selebritis, dan intelektual yang diuntungkan oleh tatanan kapitalisme-liberal hidupnya cenderung individualis, liberal, dan mereka mencita-citakan kebebasan karena mereka memungkinkan untuk berbuat semaunya. Pada hal semua harus diatur, secara adil, setara, agar semua bebas. Tapi mereka tidak mau.

Lihatlah, betapa pengecut dan jahatnya mereka yang ingin enaknya sendiri dan mencari selamat sendiri. Jangan percaya pada slogan kebebasan itu (yang sebenarnya mirip ilusi untuk saat ini)!. Mereka para penyanjung kebebasan radikal ala borjuis tampaknya tidak memahami itu. Mereka tidak boleh berbuat semaunya. Mereka terikat dengan hukum-hukum material dan dengan memahami hukum-hukum material itulah seharusnya hubungan diatur secara adil. Kaum liberal yang mewakili kepentingan borjuis-kapitalis (pemodal) sebagai penguasa di bidang ekonomi (kapitalis-liberal) tidak menginginkan aturan jika itu menghalanginya untuk data hidup seenaknya sendiri. Lihatlah, mereka membuat negara tak boleh mengatur ekonomi rakyat—mereka men
ginginkan semuanya diserahkan ke (mekanisme) pasar.

Berangkat dari situasi itu, perlu saya tegaskan bahwa kebebasan bukanlah suatu hal yang abstrak. Kebebasan bukanlah situasi tanpa aturan atau “anarki”. Kebebasan semacam itu akan dapat dirasakan kalau kita mati atau gila, karena tak sadar kalau ingin melakukan apa saja!***
-------------------------------------------------

Senin, 04 Agustus 2008

Diomuat di KOMPAS Jatim, Jumat 1 Agustus 2008:

Mutilasi Jombang, Kekerasan,
dan Tragedi Eros


Oleh: Nurani Soyomukti,
penulis buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Aruzzmedia, Yogyakarta 2008); kini sebagai kordinator Taman Bacaan untuk Rakyat (TABuR) Jawa Timur


Tragedi pembunuhan berantai di Jombang Jawa Timur dengan terdakwa Ryan merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang mengenaskan. Pembunuhan dengan motif penyimpangan seksualitas da
n secara psikologis dikendalikan oleh penyakit kejiwaan itu patut mendapatkan perhatian kita semua.

Tentunya peristiwa kekerasan berupa pembunuhan itu harus kita sikapi secara arif dan bijaksana. Lebih jauh yang patut kita renungkan adalah sebuah pertanyaan mengapa kondisi kejiwaan seperti dialami Ryan muncul. Tidak mungkin segala sesuatu terjadi tanpa sebab-sebab yang jelas. Sebuah kondisi kejiwaan pasti diakibatkan oleh pengalaman kehidupan yang dibentuknya sejak kecil. Artinya, mental, watak, dan situasi kejiwaan individu dibentuk dari lingkungan tempat ia tinggal.

Tentu kita akan menuduh keluarga sebagai penyebab dari cacatnya pertumbuhan sang anak. Ryan sebagai seorang anak dari keluarganya memiliki kejiwaan yang secara tidak disadari membahayakan orang-orang dekatnya. Tetapi menyalahkan keluarga saja tidak cukup karena keluarga bukanlah lembaga yang independen dari hubungan-hubungan ekonomi-sosial dalam masyarakat yang lebih luas.

Instinktual
Kasus Ryan harus kita kembalikan pada analisa psikologi mendalam (psikoanalisis), kemudian kita kaitkan dengan bagaimana basis material sejarah (situasi sosial) membentuk perkembangan individu-individu dalam masyarakat kita. Ajaran psikologi sosial menghendaki adanya terapi individu dalam kaitannya dengan kondisi yang membentuk pengalaman-pengalaman indindividu yang ada.

Jika tiap-tia
p individu adalah makhluk hidup, ada dua instink yang sebenarnya ada dalam diri manusia, yaitu Eros dan Tanatos. Eros adalah instink (naluri) untuk menyatukan diri karena ada dasarnya keberadaan kita ini adalah materi,tubuh dengan hubungan materi-materi (dari sel hingga organ yang saling berhubungan membentuk kerja tubuh yang hidup), dan materi selalu terdiri materi-materi yang lebih kecil yang saling menyatu atau cenderung mengarah pada penyatuan. Kita berasal dari materi itu, yaitu berasl dari satu dan akan kembali ke satu itu—makanya kita ingin selalu menyatu. Kecenderungan menyatukan tubuh atau merasakan suatu kebersamaan dalam satu inilah yang membuat kita ingin membangun suatu kelompok umat manusia yang juga melekat (memenuhi dengan dan dipenuhi dari) alam.

Manifestasi konkrit dari instink Eros itu adalah kecenderungan untuk menyatukan diri dan melekat dengan tubuh orang lain. Saya benar-benar curiga bahwa jangan-jangan, sebelum terjadi ledakan besar (big-bank) yang oleh para pengamat alam disebut sebagai awal terjadinya jagat raya, asal materi itu adalah satu bentuk materi.

Gejala yang hampir sama adalah kecenderungan kasih sayang yang kuat (attachment) antara seorang ibu dan anak. Kenapa itu terjadi tentu tidak sulit ditebak. Awalnya ibu dan anak adalah satu, menjadi satu, satu darah. Dari darah, menjadi janin, hingga wujud manusia, anak melekat menjadi satu dalam tubuh (kandungan) ibu selama 9 bulan. Inilah yang membuat saya berani mengatakan bahwa tiada kasih sayang yang paling besar sebanding dengan kasih sayang ibu terhadap seorang anaknya.

Lihatlah betapa perkembangan anak tergantung pada kenyamanan fisikal dan psikologis (rasa aman dan nyaman) yang didapatkan dari Ibu pada awal-awal perkembangannya. Setelah keluar dari rahim dan hubungan badan itu dipisahkan setelah daging penghubung itu dipotong, bayi tetap saja mencari-cari tubuh ibu. Pertama-tama untuk menghubungkan fisiknya dengan fisik Ibu adalah dengan cara mencari-cari puting susu ibu untuk dimasukkan ke dalam mulutnya.

Dan siapapun ia, laki-laki atau perempuan, sepanjang umurnya instink untuk menyatukan diri ini tetap abadi. Inilah yang membuat saya begitu yakin bahwa kita ini adalah makhluk erotis, yang dikuasai instink untuk menyalurkan energy Eros dengan cara menyatukan diri dengan orang lain. Manifestasi Eros adalah pada kehendak untuk menyatukan diri melalui hubungan seksual (bersetubuh) dan yang berujung pada orgasme. Eros adalah instink positif yang mendasari rasa solidaritas dan pengalaman kebersamaan dengan sesame manusia. Kita seakan merasa sakit saat oang lain, terutama orang yang dekat dengan kita, disakiti.

Tetapi konon ada satu lagi instink yang dimiliki, yang bertarung dengan instink Eros, yaitu instink Tanatos. Kalau Eros disebut sebagai instink kehidupan, yang ini adalah instink kematian. Kalau Eros adalah instink menyatukan diri, ini adalah instink penghancuran, memisahkan diri, atau instink agresi (menyerang). Kita tentu dapat mengenali instink ini pada manusia saat material mereka akan cenderung rusak, sel-sel tubuhnya hancur, dan menua menuju pada kematian. Manifestasi sikapnya adalah kecenderungan orang untuk menyerang secara fisik dengan apa yang ada di sekiranya, bahkan juga orang lain.

Frustasi Sosial
Penyimpangan psikologis dalam tiap-tiap anggota masyarakat selalu berkaitan dengan situasi material masyarakat yang juga tak sehat. Erich Fromm, dalam bukunya “Masyarakat Yang Sehat” (1995) menunjukkan bahwa penyimpangan psikologis dan ketimpangan pemanknaan hidup orang sangat berkaitan dengan perkembangan masyarakat kapitalis mutakhir yang semakin menunjukkan wajah ganasnya. Meskipun studi Erich Fromm dilakukan di Negara Barat yang maju (Amerika Serikat/AS), tentu kita dapat menarik kesimpulan yang sama untuk melihat berbagai macam perkembangan masyarakat di dunia Ketiga seperti Ind
onesia.

Data membuktikan bahwa frustasi merupakan gejala yang meningkat pada saat kapitalisme dengan penindasannya juga merajalela. Pada tahun 2010, sebagaimana ditulis Strategic Plan for Health Development, rasio gangguan kesehatan mental dalam jumlah penduduk nasional diperkirakan 140:1000 bagi orang yang berumur lebih dari 15 tahun. Artinya, dalam setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 140 orang yang mentalnya tidak sehat. Jumlah ini jauh lebih besar dari pada rasio penyakit fisik, seperti diabetes (16:1000), penyakit kardiak pulmonaris (4,8:1000) atau stokes (5,2:1000). Bagaimanapun, menteri kesehatan memperkirakan bahwa pasien gangguan mental hanya berjumlah 1,5 persen yang saat ini dirawat di rumah-rumah sakit (Jakarta Post, Sabtu 22 Oktober 2005).

Jumlah masyarakat tidak sehat secara fisik seperti pertumbuhannya terganggu, cacat, menderita sakit, di Indonesia sangat besar. Setiap orang di Indonesia dihinggapi rasa takut kalau sewaktu-
waktu menderita sakit. Hal ini dihadapkan pada fakta bahwa biaya kesehatan sangat tinggi. Kesehatan fisik masih sangat sulit diakses ketika harga-harga mahal akan membuat orangtua miskin mengurangi anggaran konsumsi nutrisi berkualitas (bergizi) bagi anak-anaknya. Sedangkan kesehatan mental juga jelas-jelas tergantung pada kesehatan fisik. Pertumbuhan tubuh yang jelek akan menghasilkan kualitas pemikiran dan kreatifitas yang jelek. Adagium mensana in korporesano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) masih tidak dapat terbantahkan.***
-------------------------------------------------------------