Selasa, 24 Februari 2009

Dimuat di Koran PO, 16 Februari 2009:

Di Balik Peningkatan Standar Unas

Oleh: Nurani Soyomukti*

Permendiknas No 78/2008 menetapkan standar kelulusan dalam ujian nasional (unas) 5,50 dengan nilai minimal 4,0 paling banyak di dua mapel dan 4,25 di mapel lain. Angka ini naik 0,25 dibanding tahun lalu. Tampaknya tidak muncul reaksi yang cukup kuat mengenai kebijakan ini sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Pro-kontra tentang standardisasi angka kelulusan Unas kali ini tampaknya hampir tidak terjadi.

Ujian nasional adalah sarana untuk menentukan lulus atau tidaknya anak didik yang telah menempuh pendidikan tingkat tertentu. Proses pembelajaran harus dilihat dari berbagai aspek. Dan saya berani bertaruh bahwa aspek yang paling penting adalah kualitas-kualitas yang dapat diukur. Jadi, ketika masih banyak orang memperdebatkan UN tanpa melihat masalah yang paling penting dalam proses pembelajaran kita, saya melihat bahwa perdebatan tersebut tidaklah berkualitas—mungkin hanya perdebatan politis.

Standardisasi yang sekarang ramai diperdebatkan adalah standardisasi menurut logika kapitalisme karena ukuran kualitas pendidikan Indonesia dibuat berdasarkan para pengambil kebijakan kapitalistik. Pemerintah selalu berargumen bahwa standar UN dengan nilai yang ditetapkan untuk mengeksekusi anak didik lulus atau tidak, didasarkan pada perbandingan kualitas pendidikan Indonesia dengan negara-negara lain. Ditingkatkannya nilai standard kelulusan disesuaikan dengan kepentingan kapitalisme global. Jadi, masalahnya bukanlah dipatoknya standard—bagaimanapun patokan untuk mengevaluasi segala sesuatu sangat penting. Yang masalah adalah dalam kepentingan apa standard itu dibuat dan bagaimana standard itu dibuat dengan dimulai dengan persiapan yang matang, demokratis, dan serius dalam proses pembelajaran.

Jadi ada semacam kelucuan kalau kita menelisik debat kusir standardisasi ujian nasional itu! Di satu sisi pemerintah, melalui Departemen Pendidikan, harus membuat patokan agar di mata kapitalis asing dan negara-negara Barat Indonesia terkesan serius dalam membuat patokan arah pendidikannya—setidaknya dari caranya menaikkan standard kelulusan. Standard itulah yang ingin ditunjukkan oleh pemerintah: “Ini lho, negaraku punya standard lulusan pendidikan sebegini bagus, pasti layak bersaing dalam kapitalisme global!”

Sayangnya, dengan jelas diketahui bahwa peran pemerintah selalu memakai double standard: ketika berbicara mengenai standard kelulusan dan aturan pendidikan mereka bersuara lantang, tapi ketika berbicara alokasi anggaran pendidikan mereka diam seribu bahasa. Alokasi anggaran yang sudah terealisasikan hanya sekitar 8,5% dari anggaran yang seharusnya 20% dari APBN. Alokasi anggaran yang ada diturunkan menjadi BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dana ini lebih menitik beratkan pada proiritas perbaikan gedung dan penambahan alat praktek belajar-mengajar. Anggaran untuk memperbaiki kualitas guru dan kurikulum ternyata tidak disentuh.

Kepentingan
Para guru dan beberapa pekerja sekolah yang menyetujui kebijakan pemerintah, selain punya tujuan politis, memang telah memiliki sekolah yang maju—tentu saja sekolah favorit yang fasilitasnya bagus, yang dimasuki anak-anak yang lulus dari sekolah tingkat sebelumnya yang bernilai bagus—tentu saja sekolah ini sangat mahal. Mereka adalah sekolah yang memang terbukti selalu meluluskan siswa-siswanya meskipun standard UN yang titetapkan tinggi.

Sedangkan para guru yang menolak standard kelulusan punya kepentingan untuk melihat anak-anak didiknya lulus semua. Sayangnya, tujuannya adalah agar sekolahnya laku dan tidak punya citra buruk. Karena sekali ketahuan kalau banyak yang tidak lulus dari sekolah tersebut, citra sekolahnya akan buruk. Orangtua yang mengirimkan anaknya ke sekolah itu akan marah-marah dan kadang bernada provokasi agar para orangtua lain jangan menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Di tengah berjalannya era perdagangan sekolah, tentu pihak sekolah tidak ingin kalau sekolahnya “tidak laku”.

Itulah yang menyebabkan para guru di sekolah tersebut memanipulasi dengan berbagai cara agar murid-muridnya lulus. Tak heran, jika kecurangan UN adalah gejala yang semarak. Mulai dari guru yang membocorkan jawaban pada siswa-siswanya. Bocornya soal yang masih menjadi rahasia negara sebelum siswa mengerjakannya pada saat hari H ujian. Hingga berbagai macam kecurangan yang selalu menjadi bahan berita media.

Ketidaklulusan pun semakin besar. Berbagai mediapun memberitakan—kadang agak didramatisir—berbagai akibat dari UN, seperti adanya anak yang bunuh diri karena tidak lulus; anak yang rela dicabuli dukun yang dimintai tolong agar lulus mengerjakan soal UN; aksi demonstrasi menolak UN dan gugatan hukum (class action) terhadap pemerintah yang sebagai pengambil kebijakan UN yang dianggap salah; dan berbagai macam “gonjang-ganjing” Ujian Nasional. Kritik terhadap kebijakan ini juga dimanfaatkan oleh faksi-faksi politik yang ingin mendeligitimasi pemerintah untuk tujuan politik tertentu.

Jadi dari kasus semacam itu, yang ingin saya tegaskan adalah bahwa “gonjang-ganjing” UN itu tidak mencerminkan tuntutan masyarakat akan sebuah model pendidikan baru yang mampu menjawab bukan hanya masalah pendidikan Indonesia itu sendiri, tetapi juga proses mencetak manusia-manusia Indonesia ke depan—lebih tegas lagi pendidikan yang mampu membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan yang membuatnya tak menjadi manusia yang sebenarnya (bodoh, tertindas, putus-asa, pasif, tanpa peran sejarah).

_____________
*)Voluntary Educator (Pengajar Sukarelawan) dan Penulis Buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Januari 2008) dan “Metode Pendidikan Marxis-Sosialis: Antara Teori dan Praktek” (Desember 2008).

Rabu, 18 Februari 2009

Ponari, Kembalilah Ke Sekolah!

PONARI, KEMBALILAH KE SEKOLAH!

Oleh Nurani, Ketua Yayasan TABUR (Taman Belajar untuk Rakyat) Jawa Timur; Voluntary Educator (Pengajar Sukarelawan) dan Penulis Buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Januari 2008) dan “Metode Pendidikan Marxis-Sosialis: Antara Teori dan Praktek” (Desember 2008)


Ponari, kembalilah ke sekolah!

Sudah hampir satu bulan engkau tidak masuk sekolah. Bangku di sekolahmu kosong. Teman-temanmu mencarimu, mereka menunggumu, hingga mereka menempelkan nama “Ponari, Kelas III SD” di kursimu.

Ponari, aku tahu engkau adalah anak yang dipilih oleh alam dengan kekuatan rahasianya. Kekuatan yang tak dapat kau jelaskan, bahkan kekuatan alam yang juga tak mampu dijelaskan oleh orang-orang tua dan bahkan para pendidik di negeri ini. Mereka hanya tahu bahwa kamu beri kekuatan untuk menyembuhkan.

Mereka yang berdatangan padamu untuk minta penyembuhan melalui ‘batu petir’-mu dengan berdesak-desakan itu... mungkin hanya memandang kamu sebagai dewa penolong. Mereka tidak perlu penyelidikan ilmiah tentang kemampuanmu. Mereka butuh obat mendesak untuk menyembuhkan sakitnya, juga sakit parah yang diderita saudara-saudaranya!

Dan memang bukan salah mereka kalau mereka datang dari berbagai daerah.. untuk menemuimu, yang membuatmu harus menemui dan mengharuskanmu mencelupkan batu ajaib itu ke dalam air yang akan diminumkan pada si sakit, selain juga dioleskan pada bagian tubuh yang sakit dengan harapan bahwa air dewa petir yang menurut Mama Laurent mengandung kekuatan elektrik itu menyembuhkannya.

Tapi aku lihat, meskipun dari layar kaca (TV), kelihatan bahwa tubuh dan wajahmu kelihatan capek memberikan pelayanan itu. Aku tahu, meskipun kamu tersenyum dan tertawa-tawa saat berada dalam gendongan ketika menemui antrean orang itu, sesungguhnya aku tahu bahwa kamu sudah mulai bosan membawakan peranmu.

Serba sulit, Ponari! Aku juga tak tahu, siapakah yang diuntungkan oleh peranmu ini. Menurutku pemerintahlah yang tertawa-tawa karena bebas dari tuntutan rakyat untuk memberikan kesehatan murah bahkan kalau bisa gratis. Akhirnya engkau tahu, Ponari!—Bahwa negerimu yang kaya ini adalah negara di mana orang sakit sangatlah besar jumlahnya. Dari penyakit yang ringan, hingga penyakit yang parah, semuanya membutuhkan pengobatan agar sembuh. Tetapi pelayanan kesehatan di negeri ini juga belum memadahi. Rakyat masih berbenturan dengan mahalnya harga berobat, sedangkan infrastruktur dan tenaga kesehatan juga masih belum memadahi. Bahkan kebijakan pelayanan kesehatan bukan hanya minim, tetapi juga melanggar hak-hak rakyat akan kesehatan. Dalam laporan WHO (2005) untuk setiap penduduk Indonesia, pemerintah hanya mengalokasikan US$ 4 (sekitar Rp 34.000) per tahun untuk sektor kesehatan. Bandingkan hal ini dengan Malaysia yang pemerintahnya mengalokasikan US$ 77 (Rp. 654.000) per tahun per kapita. Hal tersebut bukanlah diakibatkan terlalu banyaknya penduduk Indonesia. Secara umum, walau jumlah penduduknya terbanyak di Asia Tenggara, alokasi anggarannya (dihitung berdasarkan persen PDB dan APBN) masih terhitung paling rendah di wilayah yang sama. Selain itu, pengeluaran rakyat secara swadaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masih sangat tinggi.

Betapa besar jasamu Ponari! Meskipun di sisi lain aku juga kasihan karena engkau tidak sekolah. Aku tahu, jika pemerinta bisa memberikan kesehatan gratis pada rakyat... tak terlalu banyak orang yang sakit.

Ya, inilah, Ponari! Inilah negara yang menerapkan sistem kapitalisme! Kapitalisme sebagai bentuk ekonomi yang menjajah dan menindas, di mana pemerintahan negara kita menikmatinya karena mendapatkan keuntungan besar di bawah penderitaan rakyat itu. Tahukah kamu, Ponari! Bahwa kapitalisme atau para pebisnis sebagai tuan kapitalis tidak menginginkan rakyat sehat, mereka menginginkan banyak orang menderita sakit. Taukah mengapa, Ponari?

Karena kapitalisme tak akan berjalan, tuan kapitalis tidak akan dapat hidup dan tak dapat mendapatkan keuntungan jika mereka tidak bisnis obat-obatan atau pelayanan kesehatan! Di sinilah jasamu untuk menarik biaya murah sekali dari air ajaibmu, merupakan anugerah bagi rakyat miskin yang berdesak-desakan itu. Sesungguhnya mereka memang selalu berdesak-desakan sepanjang sejarah, Ponari! Sejarah penindasan di mana mereka siap berkumpul dan menunggu dimasukkan dalam lubang pembantaian sejarah. Lalu orang-orang berkuasa dan tuan-tuan kapitalis akan tertawa kegirangan...

Taukah Kau, Ponari? Orang-orang elit juga sering sakit, terutama sakit perut karena terlalu banyak makan keuntungan dari orang lain yang dihisapnya. Dan ketika sakitnya kambuh mereka tak akan mau datang padamu. Mana mungkin mereka mau datang berdesak-desakan di tempat yang kotor dan dekil... Mereka lebih suka berobat ke Singapura.. bukan di tempatmu, apalagi sebuah tempat yang terpencil di sebelah utara Kabupaten Jombang yang berdekatan dengan Mojokerto tempatmu berada.

Tapi aku melihat wajahmu sudah mulai bosan mendatangi kerumunan orang-orang yang berdesakan itu. Jujurlah, Ponari! Engkau ingin bersekolah lagi, engkau ingin bermain lagi, dan engaku ingin mendapatkan ruang yang lapang untuk berekspresi...

Kembalilah ke Sekolah, Ponari! Bukankah engkau ingin jadi tentara? Karenanya engkau harus belajar... Karena negeri kita butuh tentara yang pintar dan cerdas, yang berpengetahuan luas... Bukan tentara yang kerjaannya menembaki mahasiswa dan menculiki pejuang demokrasi....

Ayolah, Ponari! Engkau jangan hanya mau dijadikan mesin pencari uang yang efektif bagi orang-orang sekelilingmu. . Meskipun menarik biaya yang murah, datangnya puluhan ribu orang yang datang jelas mendatangkan uang yang banyak sebagai imbalan dari pemberian air yang telah kau dicelupi ‘batu ajaib’! Bukankah, banyak uang yang terkumpul dan terus mengalir juga menimbulkan masalah tersendiri. Sebagaimana diberitakan berbagai media, Kau telah menjadi rebutan orang-orang dekat dan anggota keluargamu!

Kau bukan mesin pencari uang, Ponari! Kembalilah ke Sekolah!***

Bedah Buku "MEMAHAMI FILSAFAT CINTA" (Aula STKIP PGRI Trenggalek, Minggu 15 Februari 2009):


klik: http://www.radartulungagung.co.id/radartulungagung/features/174-nurani-soyomukti-pemuda-trenggalek-yang-terbitkan-dua-belas-buku.html

Bedah Buku "MEMAHAMI FILSAFAT CINTA" (Aula STKIP PGRI Trenggalek, Minggu 15 Februari 2009):


http://www.radartulungagung.co.id/radartulungagung/features/174-nurani-soyomukti-pemuda-trenggalek-yang-terbitkan-dua-belas-buku.html

Bedah Buku "MEMAHAMI FILSAFAT CINTA":


http://www.radartulungagung.co.id/radartulungagung/features/174-nurani-soyomukti-pemuda-trenggalek-yang-terbitkan-dua-belas-buku.html

Bedah Buku "MEMAHAMI FILSAFAT CINTA"

Minggu, 15 Februari 2009

Resensi Buku "METODE PENDIDIKAN MARXIS-SOSIALIS":

Bedah Buku Kedaulatan Rakyat,
Minggu Wage, 15 Februari 2009 (19 Sapar 1942)

Judul : Metode Pendidikan Marxis Sosialis, Antara Teori dan Praktik
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit: Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Terbit : Desember, 2008
Tebal : 316 halaman

Mesi telah disahkan Desember 2008, UU badan hukum pendidikan (BHP) tetap mengundang protes dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah gerakan mahasiswa. Mereka menyatakan bahwa, UU BHP hanya akan semakin menyuburkan praktik kapitalisme dalam dunia pendidikan. Anak-anak orang miskin akan tersingkirkan dari sistem pendidikan di negeri ini. Hanya anak-anak orang kaya saja yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

Otonomi perguruan tinggi yang pada ujungnya “menghalalkan” segala cara guna menutupi kekurangan biaya pendidikan hanya akan semakin mengerdilkan peran pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Otonomi perguruan tinggi yang dilegalkan melalui UU BHP pada dasarnya hanya akan menghasilkan robot-robot intelektual yang siap dipekerjakan di berbagai sektor dunia usaha.

Pendidikan yang bercorak kapitalisme ini selain menggusur kemandirian seseorang (orang miskin), pada dasarnya merupakan cerminan ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan untuk semua (education for everyone)—meminjam istilah John Comenius (1592-1670). Karena pendidikan merupakan hak setiap manusia. Lebih dari itu, mendapat pendidikan yang layak merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM), sebagaimana tertuang dalam Declaration of Human Right yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948.

Buku yang ditulis oleh Nurani Soyomukti ini, ingin menggugat pendidikan yang bercorak kapitalis. Menurut aktivis dari Trenggalek, Jawa Timur ini, pendidikan kapitalisme tak ubahnya sebuah lembaga untuk melancarkan hegemoni kelas penguasa terhadap kelas tertindas (hlm. 91). Pendiri komunitas ’Taman Katakata’ (TK) di Jember, melalui buku ini, mengancang sebuah metode pendidikan yang lebih memanusiakan manusia tanpa harus mengebiri hak-hak orang miskin. Penulis mencontohkan praktik pendidikan di Kuba. Dengan falsafah “study, work, rifle” atau “bekerja, berkarya, dan senjata”, dipakai dalam pendidikan untuk mempertahankan revolusi (hlm. 236).

Nurani ingin membuka alam bawah sadar masyarakat Indonesia, bahwa masih ada jalan lain atau sistem pendidikan lain yang dapat dipraktikan di Nusantara. Karena sistem atau metode pendidikan tidaklah tunggal. Oleh karena itu, untuk menciptakan keadilan dalam pendidikan dibutuhkan model pendidikan lain. Buku ini mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia yang masih peduli dengan masa depan pendidikan dan bangsanya untuk merenung, bahwa pendidikan di tanah air telah kehilangan arah atau ruhnya. Pendidikan di Indonesia, sudah saatnya tidak berkiblat ke Amerika Serikat, sebagai mbahnya kapitalis, namun perlu melirik sistem pendidikan yang telah di jalankan di Amerika Latin, sebagai counterpart terhadap kebuntuan sistem pendidikan yang tidak memanusiakan manusia.

*)Benni Setiawan, Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional (2008).

Rabu, 04 Februari 2009

Dari Naskah Bukuku:

Ketika Istri Ingin Cerai
(Belajar dari Sekelumit Kisah Nawal El Sadawi dan Alexandra Kollontai)

Oleh Nurani, pendidik dan penulis buku


Pernah mendengar istri ‘menceraikan’ suami kan? Tentu dari kacamata agama, perempuan tidak bisa menceraikan laki-laki dalam sebuah perkawinan. Maksudnya, ingin cerai tetapi si suami tidak mau atau tak mau menandatangani keputusan cerai, maka dalam kaca mata agama memang tidak bisa cerai.

Hak ‘Cerai’ untuk Perempuan
Tetapi di era modern, perempuan bukanlah pihak yang lemah dan tunduk-patuh dan menuruti apapun yang terjadi dan bagaimanapun pernikahan menyebabkan nasib mereka. Jaman dulu, jika istri tidak suka pada suami, maka ia tak bisa memilih. Bahkan jika suami tak suka pada istri, ia bisa saja mencari istri lain dan si istri tetap jadi istrinya meskipun secara de fakto tak lagi berhubungan sebagaimana layaknya orang yang menginginkan hubungan. Tak heran jika laki-laki yang memiliki kedudukan di masyarakat, seperti raja-raja, bisa memiliki ribuan istri atau selir—seperti raja-raja Cina.


Situasi keterbukaan seperti sekarang ini tentu lebih memberi peluang pada perempuan untuk menyatakan kesukaan atau ketidaksukaan, kecocokan dan ketidakcocokan, pada pasangannya. Istri punya ruang untuk memutuskan atau minimal mengungkapkan jika ia ingin memutuskan hubungannya karena ia merasa tak cocok lagi dengan laki-laki yang dianggap oleh orang lain sebagai suaminya.

Tidak jarang keputusan semacam itu diambil karena si istri merasa memiliki kecocokan dengan suaminya, dan kadang juga ada pemicu dari luar misalnya dia juga telah tertarik dengan orang lain pada saat ia sudah menikah. Ada juga yang memilih cerai atau berpisah karena ia dikekang di dalam rumah dan tidak boleh berperan di luar atau bahkan karena bentuk-bentuk penindasan lainnya. Perempuan yang mendapatkan perlakuakn kekerasan itu memilih lari dari rumah. Juga ingin lari karena ia tak mau dikekang dan ingin berperan luas di luar rumah karena ia merasa bahwa kondisis kehidupan di luar rumah mengundang perannya.

Seorang single parent, bagaimanapun, adalah suatu status yang tak diinginkan karena pada dasarnya segala sesuatu akan mudah dihadapi bersama orang lain. Tetapi yang harus dipahami adalah bahwa: kesendirian dan tanpa bantuan orang lain kadang kita juga bisa menghadapi hidup dengan penuh makna, lebih produktif-kreatif, bahkan lebih dibanding pada saat kita bersama-sama dengan pasangan Anda. Lebih baik sendiri daripada bersama tetapi ditindas karena penindasan itu membuat kita menjadi kerdil dan hanya patuh-tunduk tanpa punya otonomi dan kreatifitas.
Muncul berbagai macam pertanyaan dalam benak perempuan, misalnya:
Apakah hidup kalau bukan aktifitas? Kenapa aku justru terpasung seperti ini dalam rumahtangga. Iya kalau suamiku menyayangi aku sepenuhnya, kenyataannya dia hanya peduli pada dirinya sendiri. Dia sibuk di luar dan mungkin juga bertemu dengan banyak orang, termasuk perempuan-perempuan yang pasti membuatnya tergoda—pasti tergoda, aku tahu persis watak suamiku. Jadi kenapa aku dibohongi seperti ini. Aku kan juga punya kemampuan untuk berperan di luar rumah? Aku tidak suka pada suamiku yang keluar rumah untuk urusan dirinya sendiri. Aku ingin keluar rumah untuk berperan agar lebih berguna di masyarakat!

Istri Tak Taat?
Apakah istri harus taat pada laki-laki dan budaya jika apa yang dimaui oleh laki-laki dan budaya tidak sesuai dengan kemauannya yang sesuai dengan ukuran-ukuran kemanusiaan? Apakah ketika istri ingin cerai atau putus hubungan dengan suami karena tidak cocok, ia disebut perempuan menyimpang? Memangnya, apakah pernikahan adalah tempat istri harus taat pada suatu hal yang mungkin bertentangan dengan perasaannya akan keadilan hubungan dan nilai-nilai kemanusiaan?
Jangan-jangan di balik selubung budaya ketaatan tersimpan wajah buruk penindasan atau penipuan. Sebagaimana dikatakan oleh Nawal El Sadawi:

Seorang yang sedang dipimpin oleh orang lain dan terlihat taat sebenarnya orang yang munafik. Ketaatan adalah wajah lain dari rasa takut, sedang ketakutan itu akan membawa pada sebuah kemunafikan. Akan tetapi, kita tidak akan sampai pada akar segala sesuatu, karena rasa takut itu. Karena, kita takut untuk menentang sesuatu yang telah jelas atau hal yang masih semu pada nilai-nilai dan kebiasaan yang kita hadapi. Pada akhirnya, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kemunafikan dan ketaatan itu dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.”
[1]

Sekali lagi, bukan seks dan bukan kekayaan material yang mengikat dan menjadikan hubungan langgeng, tetapi nilai yang lahir dari pemaknaan terhadap materi itu dan ikatan/hubungan yang didukung oleh materi itulah yang penting. Nilai-nilai manusia kadang juga bersifat universal, seperti seorang perempuan yang justru lari dari suaminya karena begitu terpesona dengan nilai universal yang bernama keadilan dan kesetaraan antara manusia, prinsip yang membuatnya menyukai kegiatan yang dilarang dan tidak disukai oleh suaminya.


Dialah seorang perempuan yang bernama Alexandra Kollontai, lahir dari keluarga Finno-Rusia. Namanya akan terus dikenang dalam sejarah, terutama dalam sejarah gerakan perempuan. Alexandra berparas cantik, cerdas, tegas dan mandiri. Dia menikah saat usia muda—melawan kemauan keluarga—dengan sepupunya yang bernama Vladimir Kollontai. Titik balik dalam kehidupan Alexandra datang pada tahun 1896 ketika ia mendampingin Vladimir, seorang inspektur pabrik, dalam salah satu kunjungannya.

Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa pabrik-pabrik tempat suaminya bekerja itu sangat kotor, bising, dan berbahaya. “Dan buruh-buruh yang kelaparan ini diperbudak hingga di luar batas kemampuan manusia”, katanya.
[2] Vladimir tak mempedulikan keresahan manusiawi istrinya. Alexandra marah dan akhirnya bergabung dengan sekelompok Marxis dalam mendukung pemogokan buruh tekstil di St. Petersburg tahun 1896. Vladimir berusaha mencegahnya, Alexandra menangis kecewa dan memutuskan meninggalkan Vladimir, dan untuk sementara waktu meninggalkan anak laki-lakinya.

Sepertinya hal itu merupakan sebuah tindakan melanggar batas yang dilakukan laki-laki terhadap individualitas kaum perempuan. Artinya sebuah perjuangan berlangsung di seputar persoalan: kerja atau menikah atau cinta. Demi nilai-nilai kemanusiaan yang berbeda dengan pasangannya (suaminya), hubungan dihentikan karena memang tak ada harapan lagi menjalani hubungan yang tiada nilai. Kebutuhan seorang perempuan agung seperti Kollontai bukanlah semata-mata kemewahan dan seksualitas atau sanjungan dari masyarakat bahwa dia berstatus bangsawan.

Bahkan demi cita-cita kemanusiaan bukan saja ia menceraikan istri di luar prosedur resmi. Tetapi ia juga berani bertaruh pada hidupnya: Aktivitas-aktivitas Alexandra dalam kelompok perempuan sosialis menarik perhatian polisi Tsar dan dia harus keluar dari Rusia. Diasingkan di Eropa dan AS, dia berjuang penuh semangat melawan pecahnya PD I. Pada tahun 1914, dia bergabung dengan Partai Bolsyewik pimpinan Lenin, yang merupakan penentang Perang Dunia I yang paling kuat. Saat terjadi Revolusi Februari 1917, Alexandra kembali ke Rusia. Tujuh bulan kemudian, setelah kemenangan Revolusi Oktober-nya Bolsyewik, Lenin mengajaknya duduk dalam pemerintahan sebagai Komisaris Kesejahteraan Sosial.

Alexandra bekerja dengan perempuan-perempuan pemimpin Bolsyewik lainnya (Innesia Armand, Krupskaia, Ludmilla Stael, Zinaida Lilina untuk menerapkan suatu program sosialis bagi perempuan, meskipun berlangsung krisis kelaparan dan perang saudara. Program-program yang dilakukan antara lain:
· Hak pilih bagi perempuan;
· Kesetaraan Hukum laki-laki dan perempuan;
· Kebebasan untuk bercerai;
· Cuti melahirkan 2 bulan dengan tetap digaji;
· Tempat pengasuhan anak di tempat kerja dan di lingkungan perumahan;
· Memukul istri dianggap illegal;
· Kampanye pendidikan dan propaganda menentang pemingitan dan pemakaian jilbab untuk perempuan di daerah-daerah Muslim yang luas di Uni Soviet;
· Klinik-klinik, tempat penitipan anak dan rumah-rumah perawatan ibu-ibu melahirkan;
· ‘Cuti sakit’ tetap digaji untuk ibu-ibu yang masih menyusui bayi;
· Didirikan komune-komune perumahan.

Kolontai menjadi contoh perempuan sadar yang ingin memilih, yaitu memilih memperjuangkan nilai daripada mempertahankan hubungan yang tidak bemakna. Sebagai seorang yang tersadarkan, tentu ia tak melihat bahwa kekayaan material mampu menjelaskan eksistensi dirinya.

Dan saya selalu berharap tidak terjadi citra buruk bagi perempuan yang memilih keinginannya untuk putus hubungan dengan laki-laki. Bahkan argument mendasar dari ungkapan saya itu adalah: hubungan tidak bias dipaksakan, perempuan, sebagaimana laki-laki, juga harus diberi hak untuk memilih pasangan yang diinginkan—atau memilih untuk tidak berpasangan. Artinya, bahkan kalau toh perempuan melakukan perselingkuhan atau ‘pindah ke lain hati’ (ke laki-laki lain), kita juga jangan melihat sebelah mata. Karena saya yakin bahwa perempuan yang selingkuh biasanya disebabkan oleh suami yang menindas, mengasingkan, mengekang, dan egois—berbeda dengan laki-laki yang tetap saja selingkuh pada saat istrinya mengabdikan diri sepenuhnya.

Selingkuh?
Banyak riset mutakhir yang menunjukkan bahwa perempuan yang berselingkuh cenderung dimotivasi untuk mencari cinta dan kedekatan, sedangkan laki-laki seringkali hanya karena dorongan seks. Umumnya, perempuan percaya bahwa ketidaksetiaan mereka dibenarkan demi cinta; sedangkan laki-laki cenderung percaya bahwa perselingkuhan mereka dibenarkan jika tidak dilandasi rasa cinta. Perempuan mungkin juga merasakan kesedihan yang mendalam atas perselingkuhannya jika dibandingkan dengan laki-laki.
[3]

Memang ada perkembangan baru di jaman yang terus berubah ini di mana dalam penelitian ditemukan generasi perempuan yang mencari selingkuhan untuk kepuasan seksual dan melakukannya tanpa perasaan bersalah, yang disebut Carol Botwin sebagai para ‘groundbreaker’.
[4] Tetapi saya kira, hanya sedikit perempuan yang masuk dalam kalangan seperti itu, terutama kaum minoritas dari kalangan elit yang memang secara psikologis mengalami suatu tahap yang berbeda dengan pengalaman perempuan rata-rata.

Tetapi diskusi kita adalah tentang di bagian ini adalah adanya kemungkinan bahwa setelah perempuan minta cerai atau lari dari hubungan bukanlah karena ia mencari laki-laki lain. Tetapi karena ia tidak betah terkungkung di dalam rumah bersama suami. Maka ia dalam hal ini kita mengharapkan bahwa sang istri bisa menuntut cerai dan sang suami juga diharapkan mau memenuhi tuntutannya. Dan pada kenyataannya situasi atau peristiwa semacam itu tidak jarang terjadi.

Suami yang memenuhi tuntutan semacam itu biasanya juga mengajukan syarat-syarat, misalnya dengan ungkapan seperti ini: “OK, aku penuhi tuntutanmu! Aku mau cerai tetapi anak kita ikut kamu dan urusan perkembangan dan biaya hidupnya kamu yang menanggung. Aku lepas dari seluruh tanggung jawab!”
Maka si perempuan pun menjadi orangtua tunggal dari anak yang lahir dari pernikahannya dengan mantan suaminya, suami yang telah ditinggalkannya. Ia selamat dari pernikahan dengan laki-laki yang tidak diinginkan, tetapi ia memiliki tanggungjawab merawat anak yang lahir dari rahimnya.***
_______________
[1] Nawal El Sadawi. “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan (Esai-Esai Nawal El Sadaawi). Jakarta: Kalyanamitra, 2004
[2] Lihat Marisa Rueda, Marta Rodriguez, Susan Allice Watkins. Feminisme untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book, 2007, hal. 88-91

[3] Shirley P. Glass dan Thomas L. Wright. Clinical Implications of Research on Extra-Marital Involvement: In the Treatment of Sexual Problem in Indivudual and Couple Therapy. New York: PMA, 1988, hal. 318
[4] Lihat Carol Botwin. Tempted Women: The Passions, Perils, and Agonies of Female Infidelity. New York: William Morrow, 1994