Rabu, 22 Oktober 2008

Dimuat di RADAR SURABAYA, Kamis 23 Oktober 2008:

Warisan Multikulturalisme untuk Kaum Muda

Oleh:
Nurani Soyomukti,
Juara Umum I Lomba Esai Pemuda Menteri Pemuda dan Olahraga 2007

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan tonggak sejarah yang penting bagi bangsa kita. Identitas kebangsaan telah didefinisikan dengan semangat untuk menyatukan masyarakat yang terdiri dari berbagai macam kultur ke dalam suatu identitas kebangsaan baru. Penyatuan ini membawa dampak politik bagi penguatan perjuangan melawan penjajahan.
Nasionalisme ditegakkan pada saat itu, menjadi suatu kekuatan yang menggerakkan seluruh rakyat untuk menggapai Indonesia baru yang berdaulat, adil, dan makmur.

Sejak 61 tahun merdeka, wajah kehidupan multikultural kita masih carut-marut. Selalu ada saja isu yang menyebabkan berbagai kelompok sosial merespon situasi dengan cara memaksakan pandangannya yang kadang tidak objektif. Pemaksaan cara pandang juga dilakukan dengan gerakan massa dan militeristik.

Sudah amat nyata bahwa ketika isu terorisme dan kenyataan merebaknya konflik kekerasan atas nama agama telah menjadi keresahan sejak lama di masyarakat, banyak catatan tambahan yang bias digunakan untuk mengatakan bahwa tahun ini kehidupan keberagamaan juga belum juga membaik. Berbagai gejolak sosial seperti aksi-aksi rasial sebagian kelompok masyarakat menunjukkan bahwa perjalanan kebudayaan Indonesia tidak sedang maju ke arah perbaikan. Terbukannya ruang demokrasi sejak tahun 1998 seharusnya dapat memajukan proses pembudayaan bangsa kita, tetapi pada kenyataannya ketimpangan ideologis senantiasa lahir, konflik pun seakan menjadi sahabat erat kita.

Khususnya bagi Negara kita Indonesia, multikulturalisme bukan hanya statemen tentang fakta, tetapi ia juga merupakan nilai. Fakta adalah realitas yang kita terima dengan cara mengobjektifkan apa yang ada. Nilai lahir dari interaksi antar individu dan antar komunitas, memiliki sejarah materialnya. Multikulturalisme mengakui keberadaan komunitas yang berbeda, tetapi yang paling penting adalah menggali nilai-nilai positif bagi identitas kolektif yang hidup berdampingan. Setiap komunitas budaya, etnik (suku), agama, dan bentuk komunitas apapun dapat menegaskan keberadaannya, tetapi dapat berpartisipasi secara adil dan memenuhi kebutuhan hidup secara bersama-sana.

Pada hal, keniscayaan perbedaan itu sebenarnya dimaksudkan agar manusia saling mengenal, mengetahui satu sama lain. Adalah suatu hal yang natural bahwa kegiatan mencari tahu pertama-tama disebabkan oleh adanya rasa penasaran (anxious) ketika seseorang menghadapi kontradiksi, permasalahan, atau perbedaan. Sehingga, dalam kondisi kestabilan, kesamaan, dan tiadanya keunikan manusia tidak mungkin ingin mengetahui. Dan karena perbedaan dan kontradiksi, yang dijawab dengan kegiatan mencari tahu tersebut sejarah peradaban menjadi maju, bahkan progresif dalam epos sejarah tertentu.
Perubahanpun adalah sunatullah. Artinya, perbedaan dan kemajuan adalah suatu hal yang tak pernah dapat dipisahkan. Dan karena perbedaan tersebutlah sejarah kemajuan dapat dijawab bersama-sama oleh perbedaan. Kemajuan yang dilandasi keadilan dan penghargaan adalah kata kunci bagi terciptanya masyarakat multikultural.

Ancaman Keragaman dan Kesejahteraan
Banyak orang yang apatis, dan mereka mulai berpikir relativistik. Pada hal ketika budaya dan makna keberagamaan adalah proses yang dinamis yang tidak independen dari perkembangan material sejarah, seharusnya relativisme tidak sanggup berbicara karena di antara keberagaman itu masing-masing dapat bertemu dalam penguniversalan yaitu dalam menjawab permasalahan-permasalahan pokok yang dihadapi secara bersama dalam kehidupan ini. Letaknya ternyata ada di ranah material, kenyataan sehari-hari, kesulitan-kesulitan hidup yang jawabannya juga berupa tindakan konkrit. Semua budaya dan agama, dewasa ini, berhadapan dengan suatu kontradiksi pokok yang sifatnya tidak lagi relatif, tetapi universal karena berkaitan dengan bagaimana globalisasi kapitalis (sebagai kontradiksi besar) telah membagi-bagi dan mendisintegrasi masyarakat dalam ketimpangan ekonomi.

Dan masalah kesejahteraan ini sangat penting karena kenyamanan utama dalam hidup disediakan oleh syarat-syarat material-ekonomis yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagaimana dijamin UUD 1945 kita. Inilah pekerjaan berat yang harus dijawab bersama-sama. Abdulaziz Sachedina dalam bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism (2001), juga menyatakan, bahwa pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan), suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik di antara mereka. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius.
Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Dalam ajaran Islam, misalnya, realitas pluralitas yang bisa mendorong ke arah kerja sama dan keterbukaan itu, secara jelas telah diserukan oleh Allah Swt dalam QS. Al-Hujurat ayat 14. Dalam ayat itu, tercermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama.

Dari penjelasan di atas nampak, bahwa pluralisme sangatlah jauh dari relativisme dan sinkretisme. Justru dengan spirit pluralisme itu, kerjasama kemanusiaan dan komitmen untuk menolong saudara kita yang papa lebih mudah untuk diwujudkan. Terlebih lagi, umat beragama sekarang hidup dalam sebuah universal citizenships yang melampaui batas-batas wilayah, suku, agama, dan warna kulit. Oleh karenanya, jika ada sebuah agama yang menjadi mayoritas di sebuah negara, bisa jadi ia menjadi minoritas di negara lainnya. Tetapi masalah kesejahteraan adalah yang harus dijawab. Penghormatan akan keberagamaan tidak akan memiliki landasan sejarahnya jika tidak dibangun berdasarkan keadilan dalam memenuhi penghidupan yang layak, apalagi pendidikan sebagai aktivitas pencerahan akan memperluas wawasan manusia sehingga batas-batas semu kelompok dapat dihilangkan.***