Sabtu, 27 Desember 2008

METODE PENDIDIKAN MARXIS-SOSIALIS:

Menggugat Bangunan
Pendidikan Kapitalis


"Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya.”

—Pramoedya Anantra Toer, Novel ”JEJAK LANGKAH”, hal. 291—


Setelah buku berjudul ”Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Arruzzmedia Yogyakarta—Januari 2008), buku ini merupakan tindak lanjut dari risalah yang saya tulis tentang pendidikan. Ada asumsi ideologis yang berkembang dalam dunia pendidikan kita, ide-ide dan paham lama yang mengendalikan dibuatnya kebijakan dan proses pendidikan. Intervensi ideologi kapitalis dalam dunia pendidikan, misalnya, dapat kita lihat lewat kurikulum.

Kurikulum, misalnya, adalah salah satu media yang sangat penting untuk mereproduksi cara pandang yang sesuai dengan kapitalisme. Semua sekolah kapitalis memiliki “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum) untuk tujuan memaksakan ideologi kapitalis masuk kelas—sebagaimana dikatakan Henry Giroux:

Kurikulum tersembunyi di sekolah merujuk pada norma-norma, nilai-nilai, dan sikap di bawah sadar yang seringkali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi social di sekolah dan kelas. Dengan menekankan pada aturan konformitas, pasifitas,dan ketertundukan, hidden curriculum mnjadi salah satu media sosialisasi yang kuat yang dapat berguna untuk memproduksi model-model pribadi yang siap menerima hubungan social dan sruktur kekuasaan yang sedang bekerja”.[1]

Sungguh tak dapat kita sangkal betapa pentingnya kurukulum. Kurikulum adalah yang menentukan pelajaran apa yang harus diberikan pada murid dan apa yang harus diajarkan guru. Hal itu juga akan menentukan apa yang dimasukkan pada pikiran anak didik dan guru, akhirnya juga pengetahuan apa dan macam apa (dimana keberpihakannya) yang harus diajarkan di sekolah. Menurut Paulo Freire dalam bukunya “Education for Critical Consciousness”,
[2] kurikulum dalam pengertian modern dipahami sebagai himpunan pengalaman peserta didik yang menjadi objek pembahasan dan praktek belajar mengajar. Subjek materi dan proses belajar mengajar dalam kurikulum seharusnya bersumber dari dari realitas konkrit keseharian peserta didik sendiri.

Kurikulum yang baik adalah yang berpusat pada “problematisasi” situasi konkrit. Peserta didik bersama para pendidiknya memaknai berbagai macam persoalan seputar pengalaman hidupnya dan berusaha memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sebagai mediator pendidik seharusnya berfungsi meyakinkan akan realitas yang diketahui oleh peserta didiknya, lantas secara bersama menganalisisnya sehingga peserta didik mampu membangun pengetahuannya seiri secara kritis dan berakar dari pengalaman konkrit.

Sayangnya hal itu tak terjadi, dan kurikulum semacam iti benar-benar dijauhi oleh penidikan kapitalis. Pada hal kita tahu dari Freire kita mengetahui bahwa yang terjadi dalam masyarakat kapitalis sekarang adalah bahwa kurikulum yang ada “terputus dari kehidupan, berpusat pada kata-kata yang mewakili realitas yang ingin disampaikan, miskin aktivitas konkrit, tidak pernah mengembangkan kesadaran kritis”.
[3]

Bahkan kalau mau kita analisa secara jauh memakai pendekatan kelas Marxian, kurikulum kapitalis secara jelas berspektif kelas. Lebih dari tidak berdasarkan pengalaman konkrit peserta didik, kurikulum dalam sekolah kapitalis telah membaca cara pandang dan cara berpikir berdasarkan kelas penguasa. Para peserta didik, yang berlatarbelakang macam, dipaksa untuk berpikiran satu dimensi atau bahkan dipaksa menjadi kelas kapitalis.

Tak terbantahkan lagi bahwa remaja-remaja kita yang belajar ilmu ekonomi, dipaksa seolah ia seorang kapitalis (pemilik modal). Saya selalu bercerita tentang pengalaman saya waktu menempuh pelajaran “Ekonomi Kperasi” yang saya dapatkan sejak sekolah di SMP (Sekolah Menengah Pertama). Waktu itu, sebagaimana metode pelajaran mengkondisikan kita untuk menghafal dan bukan untuk mengerti da memahami, maka sebelum ujian harian (“ulangan”—begitu kami dulu menyebutnya) saya harus menghafal doktrin-doktrin ekonomi kapitalis. Saya mendapatkan nilai muthlak (100) dalam suatu “ulangan” yang yang salah satu soalnya adalah “Bagaimanakah prinsip ekonomi?”. Saya harus menjawab, yang sebelumnya harus saya hafalkan berulang-ulangkali mirip merapal mantra: “Dengan modal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya”.

Saya tak tahu apakah soal ujian seperti itu masih diajarkan di sekolah-sekolah kita. Tapi kalau menengok semakin nyatanya doktrin kapitalisme dalam praktek-praktek yang dijalankan oleh pemimpin kita, saya merasa apa yang saya hafal sekitar 15 tahun yang lalu lebih menyebar di otak anak-anak kita.

Pandangan seperti itu tentunya adalah doktrin yang kuat. Bayangkan, seperti saya, tiap anak-harus hafal rumus ekonomi capitalis. Suatu prinsip yang digunakan untuk berhubungan dengan orang lain, ketika anak-anak besar dan dewasa, bahkan ketika banyak anak-anak itu yang kini memegang kebijakan penting Negara/pemerintahan. Buktinya memang para pengambil kebijakan itu benar-benar mempraktekkan prinsip ekonomi yang diajarkan ketika mereka mulai sekolah—belum lagi kotbah-kotbah di luar sekolah. Para pngambil kebijakan etu benar-benar mengutamakan prinsip untuk “mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya”.

Apalagi kalau modal yang mereka keluarkan untuk menjadi pejabat sangat besar, tentu akan semakin besar pula keuntungan yang ingin didapatkan. Sekarang, untuk menjadi pejabat tingkat rendah (PNS), lulusan perguruan tinggi harus mengeluarkan uang rata-rata 150 juta. Itu dianggap mereka sebagai modal. Yang tentunya diharapkan akan kembali saat menjabat. Dengan berbagai tindakan koruptif dan kolutif, mereka akan mengembalikan modalnya—tu target minimal. Tetapi tentu saja, rata-rata orang akan beharap akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Itu sudah cukup menjelaskan kenapa pendidikan kapitalistik akan menghasilkan produk-produk sekolah yang korup. Bukankah watak korup memang tak mungkin terjadi dengan sendirinya?

Korupsi tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan warisan sejarah masyarakat Indonesia. Kolonialisme yang berkelindan dengan penguasa feudal pribumi mewariskan banyak kerusakan, salah satunya mentalitas korup di birokrasi. Feudalisme dan sistem upeti diperkuat oleh masuknya admisnistrasi Belanda yang menyeruak dalam seluruh kehidupan sosial dan politik. Korupsi bisa dianggap nama lain dari upeti, di jaman Orde Baru hingga sekarang namanya diperhalus menjadi hibah. Tentang budaya yang merusak ini tak pernah ada penilaian dan jalan keluar yang serius dari para elit hingga sekarang ini.

Korupsi adalah kelanjutan sejarah kaum priyayi yang harus terus menyogok atasannya dan menginjak lapisan bawahnya, menjilat, demi mengamankan posisi dan kemakmurannya, seperti Sastrokassier menyogok Asisten Residen dengan menjual Sanikem (yang kemudian dikenal dengan Nyai Ontosoroh), anaknya sendiri—dalam Novel “Bumi Manusia” karya Pramodya Ananta Toer. Lebih dari soal mentalitas, korupsi berkaitan dengan rendahnya produktivitas bangsa. Korupsi adalah tentang pemimpin, birokrasi, dan rakyat yang (tidak difasilitasi) kapasitasnya untuk semakin produktif, yang nihil semangat untuk menghargai kerja, yang minim etos kerja.

Itu soal bagaimana mntal pejabat yang dibentu oleh pendidkan. Belum lagi soal cara pandang kelas (kapitalis) yang secara riil dipaksakan dalam detail-detail praktek pendidikan kita. Tesis cara pandang kelas itu akan lebih nyata lagi saat menjadi mahasiswa ilmu ekonomi (administrasi, manajemen, dan akuntansi, dll). Materi-materi yang diajarkan dari buku-buku dan dari kotbah dosen adalah cara berpikir kapitalis. Teorinya adalah teori memacu produktifitas (membuat produk) agar laku dijual dan banyak mendatangkan keuntungan. Manajemen pemasarannya adalah manajemen supaya produk laku dan mncari pasar secara kreatif. Bukankah itu semua adalah tindakan-tindakan yang bertujuan membantu kapitalis untung?

Bahkan saat menuliskan skripsi sebagai tugas akhirpun, juga kembali pada bagaimana supaya mendapatkan keuntungan, misalnya bagaiman agar etos kerja bawahan (buruh atau manajer di bawah kapitalis/pemilik modal) punya etos kerja yang produktif, karena keuntungan akan semakin besar jika banyak produk yang dihasilkan buruh si kapitalis. Dengan meminjam ilmu-ilmu psikologi, mahasiswa manajemen juga dipaksa menuliskan skripsi bagaimana mempengaruhi remaja agar membeli dan membeli.

Yang aneh di sini adalah, mahasiswa itu belum tentu anak kapitalis. Kebanyakan dari mereka adalah anak pegawai atau pejabat rendahan. Bahkan tidak jarang yang anak petani. Lalu mengapa mereka dipaksa
berlaku seakan mereka adalah kapitalis yang tujuan hidupnya, atau yang kuliah-kuliahnya memaksa mereka jadi kapitalis? Tentulah tak terbantahkan bahwa kapitalisme kejam. Yang tidak seharusnya terjadi tetap dipaksakan!

Maka itulah yang dimaksud Karl Marx dengan dominasi ideologi kelas. Kelas penguasa akan berusaha memaksakan cara pandangnya pada semua anggota masyarakat, terutama agar cara pandangnya diterima kelas yang berbeda. Tentu tujuannya sudah jelas: agar sistem yang dijalankannya bertahan kokoh. Agar ia tetap menjadi penguasa yang hidupnya enak sendiri, dengan mengorbakan mayoritas massa rakyat yang sengsara dan menderita.

Ilmu ekonomi kapitalis dan seluruh kurikulum pendidikan telah menjadi bagian dari operasi kapitalisme itu. Operasi ekonomis konkritnya adalah doktrin bahwa membuat produk (produksi) dilakukan untuk mencari keuntungan; bukan produksi untuk dipakai secara bersama (seperti dalam sistem sosialisme). Ajaran mencari keuntungan diajarkan pada tiap-tiap individu, agar menjadi tujuan hidup individu, untuk merongrong kepercayaan bahwa antara manusia satu dan manusia lainnya mampu bekerjasama.***

Catatan Kaki:
[1] Henry Giroux. Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Schooling. Boulder, Colo: Westview Press, 1997, hal. 198
[2] Paulo Freire. Education for Critical Consciousness. London: Sheed and Ward, 1979, hal. 28
[3] Ibid., hal. 37
------------------------------------------------------------

Rabu, 10 Desember 2008

MANUSIA TANPA BATAS

Heaven knows, no frontiers… and I’ve seen heaven in your eyes…
(The Corrs, lirik ‘No Frontiers’)

OLEH Nurani soyomukti


Puji syukur kepada Tuhan, akhirnya gawe penulisan karya ini terselesaikan. Puji syukur pada kebesaran alam yang telah menyediakan ruang dan waktunya, memberikan udara yang membuat saya masih bisa bernafas, yang menyuguhkan tanaman, hewan, dan berbagai kemajuan teknik bagi saya agar dapat mempertahankan hidup dan mendapatkan kemudahan-kemudahan. Bagian alam yang modern, komputer, labtop (notebook), mesin cetak, alat transportasi, dll memungkinkan karya (buku) ini dapat diproses dan disajikan di hadapan pembaca.

Jasa yang paling utama tentu saja pada para buruh-tani dan rakyat pekerja yang tanpa kerja mereka buku ini tak dapat tersaji. Dari hutan, ada kayu yang dipotong, diproses dalam industri menjadi kertas; ada mesin yang berjalan, dan ada produk-produk yang memungkinkan karya ini tersaji jadi buku—semua perubahan dari bahan mentah menjadi produk jadi itu tak mungkin terjadi tanpa tangan-tangan, kaki-kaki, dan tenaga para butuh dan tani. Bahkan ide-ide/gagasan, dan dinamika ideologis dan pemikiran yang terdapat dalam otak dan hati saya, tak mungkin tercipta tanpa kerja mereka. Kehidupan saya, segala perkembangan material di dunia ini, terjadi karena kerja-kerja buruh. Ada bahan tak akan tercipta produk dan produksi; ada mesin tanpa perlakukan kerja buruh, tak akan berjalan mesin itu.

Dan karya yang berbicara tentang ‘kebebasan’ ini memang saya maksudkan untuk memunculkan filsafat tentang kebebasan yang ada dalam kehidupan. Betapa banyak “kebebasan” diucapkan dan dicita-citakan, tetapi manusia modern justru—entah sadar atau tidak—telah “lari dari kebebasan” (escape from freedom), begitulah Erich Fromm mengatakan yang sekaligus menjadi judul dari karya psikologi-sosialnya.

Pergumulan saya dengan teori spikologi-kritis seperti (psikoanalisa) Sigmund Freud, Erich Fromm bersama analisa sosial Karl Marx telah menjadi landasan teoritis-filosofis dari seluruh karya-karya saya—tak heran pula dalam semua buku-buku saya nama-nama mereka selalu hadir dan kata-katanya selalu saya kutip. Mereka berbicara tentang manusia, membongkar alam bawah sadar dan mendekonstruksi tatanan material di luar diri manusia yang menjadi belenggu kebebasan sebagai patokan hidup manusia. Sungguh “kebebasan” adalah cita-cita manusia-manusia modern. Dan sayangnya kebebasan sejati, kebebasan yang bermakna, atau minimal hilangnya belenggu penindasan, belumlah hadir dalam kehidupan kita.

Kali ini, dalam karya ini, saya memang tak lagi berbicara para level makro yang mengharuskan saya berbicara masalah ekonomi-politik pada tingkat negara atau global. Belakangan saya tertarik untuk menyelediki berbagai (sumber) kontradiksi yang terjadi dalam hubungan yang lebih sempit seperti keluarga atau hubungan dalam pernikahan atau pacaran. Tentu saja saya menariknya dari kontradiksi pokok makro-sosial (dan ekonomi-politiknya).

Pada kenyataannya belenggu-belenggu penindasan itu juga terjadi di level yang paling kecil sekalipun, antara dua orang yang pacaran atau membangun hubungan pernikahan, juga dalam keluarga sebagai institusi (lembaga) yang masih mencirikan masyarakat kini. Di dalam keluarga, dalam pacaran, pernikahan, dalam lembaga pendidikan kebebasan dan kesetaraan telah hilang. Sumber-sumber hilangnya kebebasan dalam lembaga-lembaga dan hubungan-hubungan itulah yang saya uraikan dalam buku berjudul “Manusia Tanpa Batas” ini. Saya juga membuat konsep-konsep dan rekomendasi-rekomendasi bagi mereka yang mendambakan pembangunan hubungan dan lembaga yang tidak menghilangkan makna kebebasan di dalamnya. Termasuk kiat-kiat ‘kebebasan’ untuk menumbuhkan jiwa-jiwa yang produktif dan kreatif dari keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat.

Anak-anak yang lahir dari kekangan-kekangan akan tumbuh menjadi anak-anak yang fasis dan cacat secara psikologis, anak-anak yang tidak ekspresif dan pertumbuhannya juga tak sehat. Artinya, prinsip kebebasan dapat digunakan untuk menumbuhkan mental-spiritual. Ruang kebebasan yang sehat juga akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang sehat dan cerdas. Tetapi kebebasan yang tidak sehat dan tidak bermakna hanya akan melahirkan centang-perenang di masyarakat.

Secara khusus, buku ini saya persembahkan untuk mereka yang ingin menjadi manusia bebas, orang-orang yang ingin berperan secara luas dalam masyarakat untuk membangun demokrasi dan kesetaraan di masyarakat; untuk mereka yang ingin terbang mengelilingi bumi hingga perannya lebih luas. Mereka bukanlah orang-orang yang ingin bebas melakukan apa saja terutama kebebasan yang justru merugikan kebebasan orang lain. Kebebasan yang menghasilkan tindakan yang membuat orang lain sengsara bukanlah kebebasan, tapi destruksi. Mereka yang telah banyak kehilangan waktunya untuk mengejar kepentingan sempit pribadi dan menghabiskan banyak waktu untuk kerja-kerja produktif untuk anak-anak, untuk kekasih, dan yang masih mau mendampingi rakyat untuk melepaskan diri dari penindasan ekonomi, sosial, politik, dan budaya… para aktifis yang berjuang untuk penyadaran, kesetaraan, keadilan, dan demokrasi—kepada merekalah buku ini saya haturkan.

Kepada para suami yang tidak menghormati istrinya dan memberinya peran yang layak sebagai manusia seperti dirinya (sang suami); kepada seorang istri yang memahami bahwa posisinya adalah untuk anak-anak dan masyarakatnya, yang merelakan dirinya dalam keadaan sakit melahirkan anak-anak yang diharapkan akan menjadi manusia yang berperan luas di dunia, dan bukan sekedar mencekokinya dengan gelimangan materi dan uang atau kekayaan; kepada para ibu dan bapak yang telah berniat merawat anak-anak dengan kebebasan yang bermakna; kepada para pecinta (para pasangan) yang menjalin hubungan (‘pacaran’) bukan hanya untuk ‘gaul-gaulan’ atau untuk memenuhi tujuan-tujuan sempit (seks bebas); kepada dua orang terkasih yang memahami apa makna hidup dan bagaimana harus berperan untuk perubahan—kepada merekalah buku ini saya persembahkan.***

-----------------------------------------------------

Minggu, 23 November 2008

Parenting:

Sesat Pikir Merawat Anak ala Kapitalisme

Nurani Soyomuti, penulis buku “INTIMACY—Menjadikan Kebersamaan dalam Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak sebagai Surga Keintiman”

Orangtua yang gagal mendidik anak biasanya tak memiliki pemahaman terhadap perkembangan masyarakat. Pada hal pemahaman tentang situasi lingkungan dan kehidupan yang sedang kita hidupi sangatlah penting, karena dari sanalah semua ide(ologi) d
ominan menyebar ke masyarakat, terutama anak-anak dan generasi muda yang baru tumbuh. Orangtua yang tak memiliki pemahaman terhadap situasi sosial dan lingkungan biasanya akan mendidik anak berdasarkan petunjuk dan pengetahuan dari kekuatan yang dominan dan yang ingin berkuasa.

Mereka tidak tahu bahwa mereka adalah perantara antara materi baru (anak) yang lahir dalam kehidupan yang akan menjadikan anak untuk menghadapi kehidupan dan mentransformasikannya dalam mentalitas dan melalui gerakan. Anak- anak adalah barisan dari mereka yang bergerak mengatasi kehidupan yang timpang, dan bukannya semata harus tumbuh sebagaimana kehidupan itu membentuknya. Kehidupan tidak netral, tetapi penuh kekuatan-kekuatan material produktif yang bertarung, dan kekuatan yang mendominasi akan membentuk generasi yang baru tumbuh agar nantinya akan sesuai dengan kekuatan yang dominan itu. Intinya, kekuatan dominan telah berusaha membentuk anak-anak kita secara mental, kognitif, afektif, dan psikomotorik (psikologis) terhadap anak-anak kita.

Kalau kita ingin
menanamkan perasaan peduli pada anak, ternyata landasan mental bagi tumbuhnya kepedulian berusaha dihancurkan oleh kekuatan luar itu (kapitalisme, yang dikendalikan pemilik modal). Karenanya jalan menuju pembangunan karakter anak yang penuh kepedulian juga harus keluar dari rel di mana kapitalisme berusaha mengarahkan orangtua membentuk anak sesuai cara mereka.

Berikut ini adalah jalan yang ditonjolkan ideologi kapitalis bagi orangtua dalam mendidik anak:


Ø Kebahagiaan yang dipeoleh dengan pemenuhan material (konsumerisme)
Orangtua seringkali beranggapan bahwa pemenuhan materi bagi anak-anak hanyalah salah satu yang paling menjelaskan kebutuhannya. Anak-anak diajari untuk memakai barang-barang mewah, dibelikan semua mainan yang diinginkan, yang kadang juga tak lepas dari gengsi yang muncul: pada saat anak tetangga atau orang lain memiliki, maka anaknya juga harus memiliki, kalau bisa yang lebih bagus. Merasa tak memenuhi kebutuhan dan atribut bagi anak akan merasa malu.


Orangtua semacam itu tak sedikit yang saya jumpai. Anak seakan diperalat untuk meningkatkan narsisme dan kebanggaan diri. Ketika anak-anaknya memiliki berbagai macam mainan mewah, pakaian bagus, dan lain-lain orangtua merasa puas. Kadang setiap rengekan dan keinginan anak juga akan dipenuhi. Orangtua yang suka pamer semacam ini sebeanrnya adalah korban narsisme diri yang telah dibentuk oleh sistem kapitalis.

Ø Kesuksesan pribadi
Kesuksesan pribadi adalah ajaran individualisme ala kapitalis yang membuat orang harus mati-matian mengejar kesuksesannya (dengan berbagai ukurannya sendiri) yang akhirnya membentuk watak egois dan filsafati yang buta pada realitas kebersamaan dan hubungan sesama manusia. Bahwa ukuran segala sesuatu adalah pribadi, tujuan hidup manusia dianggap hanya bisa diperoleh dengan memaksimalkan potensi pribadi untuk kepentingan pribadi.
Cara pandang individualis-kapitalis itu sangat menyesatkan. Menyesatkan karena ia memang cara pandang yang bias kepentingan kelas, yaitu segelintir kelas kapitalis (pemilik modal) yang tujuannya mencari keuntungan pribadi dan perusahannya. Cara pandang semacam itu hendak dipaksakan pada orangtua yang diharapkan akan mendidik anak-anaknya dengan prinsip itu. Pada hal kapitalis menggapai keuntungan pribadi itu dengan mengingkari hak-hak orang lain: kita melihat bagaimana untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka menindas buruh (memberikan upah yang tak layak, memenjarakannya dalam kondisi kerja yang buruk, dan tak jarang juga memperlakukan buruh anak-anak pada saat anak-anak harus belajar dan bermain demi mem
bentuk karakter kemanusiaannya). Lihat pula ulah kapitalis besar yang tak malu membunuh dan membombardir bom ibu-ibu dan anak-anak hanya demi keuntungan dan modal. Modal, kesuksesan pribadi, adalah nabi-nabinya.

Kita butuh pemikiran kritis dan tak hanya menekankan ukuran kesuksesan individu anak hanya sebagai keberhasilan mereka agar mendapatkan kerja yang bagus dan menang dalam bersaing dengan orang lain. Paham kompetisi yang duagung-agungkan oleh kapitalisme menganggap bahwa satu-satunya merubah nasib dan kemajuan masyarakat akan terjadi dengan persaingan antar individu, tanpa memedulikan bagaimana kondisi tiap-tiap individu itu. Inilah yang menyebabkan terjadinya kondisi “manusia memakan manusia” (homo homini lupus). Karena Anda memikirkan bagaimana Anda sukses demi dan dengan cara menggunakan apapun yang anda bisa, karena orang lain juga demikian, maka Anda akan menggunakan cara-cara apapun (tanpa menggunakan ukuran atau nilai kolektif) agar tak kalah bersaing—agar kalau perlu menang.
Jadi ajaran individualisme dan kompetisi membuat pribadi-pribadi yang kalah bersaing dengan cara normal atau bermoral akan meninggalkan cara-cara itu.

Anda punya anak perempuan yang mulai menginjak dewasa, ia harus bersaing agar sukses dalam hidupnya. Sayangnya Anda tak mampu membekali dengan pengetahuan dan ketrampilan kerja, bahkan negara juga tak mau memberikan pendidikan dan pelatihan (subsidi pendidikan dicabut dan sekolah semakin mahal). Apa yang terjadi pada anak perempuan Anda? Dia kalah bersaing dengan modal dan potensi individu yang tumpul. Maka apa yang bisa ia lakukan dan apa yang dapat Anda lakukan sebagai orangtua agar ia mampu bertahan hidup atau tentunya diharapkan bisa hidup layak?

Anda akan menikahkannya dengan laki-laki kaya agar anak Anda bisa berlindung dengan kekayaan dan mendapatkan kenyamanan finansial karena menjadi bagian dari laki-laki kaya? Iya kalau laki-laki itu baik hati dan mencintainya dengan tulus. Bagaimana kalau laki-laki itu hanya menginginkan kecantikan fisik anak Anda atau hanya ingin agar anak perempuan Anda menjadi pelayannya yang memenuhi kebutuhan seks laki-laki itu, memasakkan, mencucikan pakaiannya, hingga merawat anak-anaknya?

Ideologi kesuksesan pribadi dalam masyarakat di mana semua modal dan sumber ekonomi dikuasai oleh segelintir orang (kapitalis) tampaknya adalah ajaran palsu yang membodohi. Ajaran itulah yang membuat anak-anak kita tak mampu melihat hubungan universal dalam kehidupan dan hubungan antar manusia.

Ajaran kesuksesan pribadi dan individualisme yang membabi-buta semacam itu biasanya akan membuat orangtua mendidik dan mengatur anak secara ketat dan mengontrol cara-cara agar tujuan itu terpenuhi. Anak harus begini-begitu karena ia harus jadi seperti ini atau itu. Potensi anak termatikan karena orangtua begitu mengatur anak agar anak menjadi A atau B, sesuai keinginannya. Pada hal mau jadi apa anak tidak harus ditetapkan oleh orangtua, tetapi lahir dari bakat yang ditentukan oleh perkembangan potensi-potensi yang lahir dari pengetahuan dan keinginan di masa pencarian anak-anak kita.

Apalagi ukuran kesuksesan bukan hanya materi dan kekayaan. Kekayaan material bahkan dalam banyak hal membuat potensi mental dan pengetahuan menjadi rusak, sebagaimana kemiskinan juga merusak potensi yang sama. Mengejar kekayaan material dengan cara yang obsesif, atau k
ondisi kekayaan yang berlebihan, sebagai mana kondisi kemiskinan yang berlebihan, menyebabkan jiwa manusia rusak.

Ketika orang berada dalam kondisi kekayaan yang berlebihan dan segala kebutuhannya terpenuhi, hidupnya tak akan diliputi dengan pencarian-pencarian akan hakekat kehidupan. Orang yang berada dalam keadaan senang secara terus-terusan, tanpa mendapati kondisi kontradiksi dalam diri, pikirannya tak akan terlatih untuk memikirkan realitas—karena ia terbiasa untuk tidak berpikir, tak terbiasa menggunakan otaknya, terbiasa bodoh.

Karenanya anak-anak yang hanya dicekoki dengan materi, yang terbiasa kita penuhi segala kebutuhannya, akan menjadi anak-anak yang otaknya tumpul. Kecerdasan universal dan sosialnya tak terbangun. Anak-anak itu tak dididik bahwa untuk memperoleh segala sesuatu butuh proses atau kerja, karenanya ia akan tumbuh sebagai orang yang pragmatis, oportunis, dan korup—itulah anak-anak Indonesia selama ini. Korupsi adalah budaya yang awalnya lahir dari ketidakmauan/ketidakmampuan individu-individu (anak-anak keturunan priyayi) untuk berproduksi dan berpikir, mereka tak menghasilkan kecuali menghisap rakyat dari upeti dan pajak, pada saat godaan dunia dan kekuasaan semakin besar. Korupsi dalam Indonesia modern lahir dari birokrasi yang juga tak produktif, tetapi godaan konsumtif akibat globalisasi kapitalis membuat para pejabat untuk membeli lebih dan lebih (bermewah-mewahan), sehingga mereka mencuri uang negara untuk tujuan itu.

Ø Mengejar popularitas dan mengidolakan penghibur (artis-selebritis)
Orangtua yang tak punya prinsip tentang bagaimana membentuk anak—bahkan mungkin tak paham memb
entuk dirinya sendiri di masa mudanya—tampaknya juga akan mudah tergoda untuk membentuk anak-anaknya sesuai dengan kesemarakan kebudayaan pasar. Mereka menempuh jalur pragmatis agar anaknya sukses sesuai dengan cara berpikirnya yang hendak dipaksakan pada anaknya.

Ambisi orang tua (terutama ibu-ibu) untuk menjadikan anaknya sebagai ikon TV kini semakin meluas sejak dunia enterteinmen juga membuka partisipasi yang lebih longgar dengan munculnya acara-acara seperti AFI versi anak, pemilihan mubaligh anak, pemilihan presenter anak, dll. Di tengah-tengah godaan globalisasi pasar yang membutuhkan biaya besar untuk melakukan ritualitas konsumsi material dan komsumsi budaya, menjejalkan anak ke dalam dunia TV menjadi cara mudah untuk menegaskan status, kekayaan, popularitas, kekuasaan dalam masyarakat pasar. Sebagian orangtua bahkan juga memanajeri anaknya sendiri untuk mempertahankan dan meningkatkan popularitasnya. Seperti terjadi pada artis remaja Marshanda yang dimanajeri sendiri oleh ibunya.

Dunia selebritis memang menjadi corong corong dari kebudayaan dan gaya hidup. Kiblat bertata bahasa, mendefinisikan diri (tubuh, perasaan, pikiran), dan cara memaknai relasi sosial memang selalu bersumber dari bagaimana artis-selebritis melakukannya. TV adalah media paling dekat dalam komunitas keluarga di mana anak-anak tumbuh. Sedangkan ucapan dan ide-ide artis-selebritis muncul paling banyak.

Konon setelah kesuksesan Joshua, banyak ibu-ibu yang memasukkan anaknya ke lembaga-lembaga pelatihan model dan akting. Mereka juga begitu getolnya berusaha agar anaknya dapat menjadi bintang terkenal. Karena memulai karier sebagai artis mulai anak-anak berarti merebut popularitas sejak dini.

Dalam pengertian tersebut, Agnes Monica juga tidak bisa dilupakan sebagai icon sejarah artis-selebritis yang secara tak terhindarkan selalu dijadikan contoh bagi ibu-ibu yang menginginkan anaknya sering muncul di TV ini. Bagaimana tidak, Agnes Monica, yang sekarang menjadi artis yang berpenghasilan paling mahal dan sekaligus terkenal sangat produktif dan kreatif (serba bisa) memainkan perannya sebagai artis (penyanyi, pemain sinetron, presenter, bintang iklan, koregrafer, dll), telah memulai kariernya sejak dia menjadi “bintang cilik” ketika bergabung di “Trio Kwek-Kwek”. Selain berbakat, konon profesionalitasnya memang didukung oleh kedesiplinan dalam mengikuti kursus-kursus kepribadian dan pelatihan-pelatihan serta dilakukan dengan manajemen yang baik.

Pada hal artis-selebritis sendiri bukanlah manusia yang dianggap sebagai acuan. Bahkan tak jarang para pengamat budaya mengatakan bahwa kalangan tersebut memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan generasi.
[1] Salah satu pengamat budaya itu, Michael ReGault, bahkan mengatakan bahwa para artis selebritis tak lebih dari ”orang barbar”: ”Orang-orang barbar tak lagi mengempur gerbang kota kita, mereka sedang makan malam bersama kita. Nama mereka adalah J. Lo, Ja Rule, dan Paris Hilton”.[2]

Pendapat ReGault patut kita pertimbangkan pada saat serangan budaya selebritis Barat memang t
elah berhasil membuat anak-anak kita ingin menirunya. Lihatlah penampilan Agnes Monica atau (belakangan) Cinta Laura yang lagu, video klip, dan tampilan panggungnya menjiplak hampir seratus persen gaya Britney Spears, yang sensua dan menggoda—dengan suara atau kemampuan vokal yang tidak istimewa sama sekali. Jadinya, anak-anak kita kita masukkan pada ruangan budaya di mana mereka hanya bisa meniru para artis. Mental meniru ini telah menghancurkan mental kreatifitas dan mental yang menuntut anak-anak menciptakan sesuatu untuk diri mereka sendiri.

Anak-anak perempuan harus dibiasakan untuk mengumbar tubuh demi popularitas, harus menghafal lagu-lagu agar dianggap tidak gaul sehingga mereka lupa belajar untuk mencari ilmu pengetahuan. Mereka harus hidup untuk merayakan narsisme diri, dan bukan untuk peduli sesama.

Catatan Kaki:
[1] Lihat Nurani Soyomukti. Selebritis Gitu Lho(h): Menguak Realitas di Balik Dunia Gemerlap Selebritis. Surabaya: Prestasi Pustakaraya, 2008
[2] Michael R. LeGault, Sekarang Bukan Saatnya untuk “Blink” Tetapi Saatnya untuk THINK: Keputusan Penting Tidak Bisa Dibuat Hanya dengan Sekejap Mata. Jakarta: PT. Transmedia, 2006
-----------------------------------------------------------

Senin, 17 November 2008

ANAK-ANAK KORBAN KAPITALISME

Anak-anak yang peduli seakan adalah milik sejarah dan mereka seakan hendak belajar untuk merubah sejarah hubungan kemanusiaan yang timpang. Hingga sekarang dunia masihlah diwarnai berbagai kontradiksi baik lingkungan alam maupun pada hubungan antara manusia (secara ekonomi, politik, hingga kebudayaan). Sebagai orangtua yang ingin bertanggungjawab, kita tentu ingin menumbuhkan anak yang bisa menjadi makhluk yang peduli. Mereka harus kita ajari berbagi dengan sesama, dan mereka kita cegah untuk tidak menjadi makhluk yang egois.

Menumbuhkembangkan rasa kepedulian, solidaritas, dan kebersamaan sejak kecil merupakan suatu keputusan yang tepat. Naluri kepedulian itu sendiri adalah basis dari mental positif yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik anak-anak yang sangat berbanding lurus dengan potensi pertumbuhan yang sehat dan cerdas. Kenapa rasa kepedulian dan kebersamaan adalah dasar psikologis yang penting? Tentu saja karena eksistensi psikologis manusia berakar pada dunianya yang diikat dengan hubungan-hubungan antara manusia dengan orang lain dan alam. (Pertumbuhan) manusia yang tercerabut dari alam dan sesamanya adalah (sumber dari) manusia yang sakit (egois, terbelakang secara sosial dan cacat secara pengetahuan).

ANAK KORBAN IMPERIALISME
Jika kita percaya—dan harus percaya—bahwa sejarah bergerak maju menuju muara harmonisasi alam dan kemanusiaan, maka kita yakin bahwa anak-anak kita adalah benih-benih bagi peradaban masa depan. Jika sekarang ini kita masih menghadapi berbagai macam kesulitan dan gejolak dalam kehidupan, yang mencerminkan bahwa peradaban (kehidupan) kita semakin mundur, maka tidak ada orang tua—kecuali orangtua egois—yang menginginkan kondisi buruk ini akan menimpa anak-cucu kita nantinya. Semua orangtua tak ada yang berharap agar kehidupan anak-anaknya lebih terbelakang darinya. Pasti semua orangtua menginginkan anaknya lebih beradab, dengan hidup di dunia yang lebih indah dan bermakna, dibanding hidup para orangtua itu.

Karenanya ha
rus dipahami bahwa anak bukan hanya akan membentuk dirinya dan membentuk dunianya, tetapi juga dibentuk oleh dunia kehidupannya. Karenanya sebagai orangtua kita harus mengenali dunia tempat kita tinggal. Memiliki anak maju adalah dambaan setiap orang. Tetapi tentu saja masih banyak hambatan dan tantangan yang akan kita hadapi. Hambatannya adalah dunia saat ini yang penuh kontradiksi. Karenanya ada baiknya saya di bagian ini akan membawa Anda pada dunia yang tengah mengancam anak-anak kita, yang juga mengancam kemanusiaan. Dengan memahami kontradiski dan perkembangan jaman sekarang ini kita akan memahami bagaimana dunia di mana anak-anak kita tinggal.

Jika kita ingin menyelamatkan anak-anak kita, kita harus mengenali segala lingkungan dimana anak kita berada. Keresahan akan perkembangan ekonomi dan kebudayaan saat ini terhadap nasib anak-anak kita dirasakan oleh mereka yang telah mengamati perkembangan dunia. Tak sedikit pengamat (budayawan, spikolog, pemerhati anak-anak, politisi, aktivis) yang melihat bahwa ancaman perkembangan kehidupan sekarang ini sungguh-sungguh nyata bagi anak-anak. Mereka melihat adanya kemunduruan perkembangan anak bukan hanya dari para orangtua yang konservatif di dalam rumah, tetapi yang lebih parah adalah ancaman kapitalisme global.

Indonesia, sebagai negara yang berada dalam mata rantai kapitalisme global yang lemah dan terbelakang, seringkali hanya menjadi sasaran modal asing (kapitalis) yang ingin mencari keuntungan di negeri kita yang kaya raya. Kapitalisme pasar bebas (neoliberalisme) global adalah penjajahan bentuk baru (neokolonialisme-neoimperialisme—Nekolim) yang telah terbukti melakukan eksploitasi hingga kita tetap miskin dan terbelakang. Pertama, perusahaan-perusahaan asing (kapitalis) mengeruk kekayaan alam kita dengan membabi-buta, mulai dari pertambangan dan mineral (emas, batu bara, tembaga, minyak, dll) hingga hutan-hutan kita. Hal itu terjadi sejak diberlakukannya UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) di awal pemerintahan Orde Baru dan diperkuat lagi dengan UUMA (Undang-undang Modal Asing) pada tahun 2007 oleh elit-elit anti-rakyat.

Dipastikan anak-cucu kita tak dapat lagi menikmati kekayaan alam karena para politisi anti-rakyat hingga sekarang menyerahkan modal asing mengeruk kekayaan dan merusak alam kita. Mereka tak memikirkan nasib anak-anak dan generasi masa depan. Mereka adalah politisi yang ingin bermewah-mewahan, yang hanya menginginkan memberikan kemewahan pada anak-anaknya dengan uang yang didapat dari korupsi, anak-anak yang dibentuk dengan kekayaan dan membuat mereka terlena dengan gelimangan harta-benda, pada saat anak-anak dari kalangan rakyat miskin bahkan tak mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang sangat mendasar dan sederhana.

Kedua, penjajahan asing (kapitalisme-neoliberalisme) dikendalikan oleh pemilik modal yang menginginkan negara-negara Ketiga seperti Indonesia sebagai pasar. Dalam hal ini, kita diharapkan menjadi sasaran produk dan diciptakan untuk menjadi para pembeli—diciptakanlah budaya konsumtif di kalangan remaja dan anak-anak kita. Tujuannya aga keuntungan dari penjualan produk didapatkan dengan jumlah besar oleh penumpuk modal yang tujuannya memang mencari keuntungan. Untuk menciptakan budaya konsumtif, mereka mencetak kebiasaan yang melemahkan karakter produktif dan independensinya. Iklan dan promosi produk perusahaan-perusahaan melalui media menjadi kekuatan brutal yang melihat anak hanya sebagai sasaran produk atau pembeli.

Kalau mau jujur, b
ukan hanya di dunia Ketiga saja para pengamat meresahkan efek budaya massa kapitalis dan media terhadap perkembangan mental anak. Anak-anak dimanapun akan dimanfaatkan untuk menumpuk keuntungan. Merekalah pasar yang paling potensial. Kalau sejak kecil anak-anak sudah dididik menjadi kapitalistik, maka hingga tua kebiasaan itu akan terjaga—dan kapitalisme bisa langgeng. Sehingga anak-anak dan para remaja tak lagi memikirkan bagaimana membangun karakter pribadi yang produktif seperti berkarya, mencipta, dan berperan untuk melawan kontradiksi yang ada di masyarat. Mereka malah sibuk untuk menguras uang orangtuanya agar dapat membeli. Dan sayangnya, budaya konsumtif juga telah menjangkiti para orangtua.
(Nurani Soyomukti)
--------------------------------------------------------

ANAK KORBAN IKLAN

Allisa Quart melaporkan bahwa “selama tahun 2000, “pengeluaran sekunder” 21% remaja Amerika sebesar 155 milyar dolar AS untuk membeli baju, CD, dan kosmetik. Pada tahun 2002, korporasi bisnis tidak saja berusaha merayu remaja dan ABG untuk membelanjakan uangnya. Mereka juga berusaha menjerat remaja dengan lingkaran setan kerja dan belanja selama masih muda”. Tak heran jika kemudian banyak remaja yang “berusaha melekatkan diri dengan merk dan pecaya bahwa ituaalah satu-satunya cara agar apa menjadi bagian dari dunia ini. Para remaja yang seharusnya belajar untuk menjadi manusia yang produktif dan kreatif, serta penuh wawasan, pada akhirnya dididik untuk menjadi mata-mata korporasi bisnis untuk mempromosikan produk kepada anak-anak lainnya’”.[1]

Jadi benar bahwa karakter anak-anak dibentuk, sebuah proses pendidikan konsumeristik yang massif dan efektif melalui media-media kapitalisme. Pada akhirnya, anak-anak dan remaja justru menjadi para calon pembela setia sistem penindasan kapitalisme. Mereka dilahirkan dengan pikiran indivdualis, hidup hanya untuk mengurusi keuntungan da kesenangan diri sendiri. Naluri solidaritas dan kritisisme mereka ditumpulkan. Pendidikan kapitalisme di luat sekolah inilah yang mempersulit para guru yang masih punya hati nurani kesulitan membangun karakter anak-anak didiknya menjadi generasi yang bermartabat. Jadi, dapat dikatakan bahwa kapitalisme menghalangi para guru-guru untuk menjalankan perannya dengan baik di kelas.

Guru-guru memang tak mungkin memberikan pertanyaan yang remeh pada anak-anak, seperti: “apa judul
album terbaru Britney Spears dan Agnes Monica?”—yang akan segera dijawab dengan mudah oleh anak-anak. Tapi pikiran anak-anak bukan lagi terfokus pada bagaimana mereka bisa tahu gejala-gejala alam, gejala-gejala sosial. Para anak didik lebih menyukai membaca buku-buku lirik lagu daripada buku-buku pelajaran atau wawasan. Perpustakaan sepi, sementara play station, mall, dan tempat-tempat belanja serta hiburan lain kian ramai.

Globalisasi pasar-bebas saat ini menyemburkan kebiasaan/budaya oral melalui semaraknya budaya menonton setelah TV mendominasi ruang-waktu masyarakat. Di negeri ini, budaya oral juga dimassifkan lagi dengan dominannya tayangan infoteinmen yang berpilar pada budaya gosip. Gosip berpilar pada tular menular wacana/informasi antar individu tentang suatu peristiwa. Sayangnya, gosip tentang artis-selebritis tidak akan pernah berisi tentang wacana pencerahan, kecuali hanya merangsang gaya hidup dan mengumbar kemewahan orang-orang kaya yang bekerja di dunia hiburan (entertainment) tersebut. Wicara dan argumen—yang dangkal, tidak ilmiah, sekenanya, kacau, kadang emosional—berusaha menjejali pikiran dan perasaan penonton. Tentunya ini bukan pendidikan atau penyadaran, tetapi doktrin dan pembodohan. Budaya curhat dan bergosip ini menjauhkan masyarakat dari kebiasaan baca dan tulis.

Perkembangan mental anak banyak dirusak oleh TV, terutama potensi kreatif dan imajinatifnya. Memang kebanyakan orangtua bangga jika anaknya bisa menirukan para artis. Kadang ketika anak-anak kecil kita pandai menyanyikan lagu yang sering dilihat dan didengarnya melalui TV atau media lainnya, perasaan bangga muncul. Anak-anak dianggap pintar pada saat hafal nama-nama bintang sinetron, groups band dan artis-selebritis laiinya. Pada hal dibalik ketrampilan menghafal dan meniru itu ada suatu bahaya besar, yaitu bahwa kita telah menyerahkan potensi anak-anak kita dibentuk oleh iklan dan para perayu ulung agar anak-anak kita hanya bisa membeli dan meniru—dan bukannya berkreasi dan berimajinasi dengan bantuan pengetahuan dan nalar kritis.

Di negara kapitalis induk seperti Amerika Serikat (AS), hubungan antara TV, prestasi belajar, kecerdasan, dan kemampuan baca tulis telah dipelajari sejak tahun 1960-an. Menurut Kolumnis Washington Post ternama, Michael R. LeGault: “Televisi telah menjadi biang kerok resmi dan tumpuan kesal
ahan dari beberapa generasi pendidik dan orangtua yang mengkhawatirkan pengaruh buruk dari si “kotak bodoh” pada anak-anak muda yang mudah terpengaruh. Reputasi TV tenggelam, sepantasnya begitu, semakin rendah dalam tahun-tahun terakhir, sampai-sampai TV dianggap buruk untuk otak… sebuah studi yang dilakukan oleh The National Opinion Research Center dari tahun 1974 sampai 1990 menemukan bahwa “menonton televisi memperburuk kosakata” sedangkan membaca koran memperbaikinya.[2]

Tumpulnya nalar produktif semacam itu di kalangan anak-anak negeri ini sungguh menjelaskan kenapa bangsa ini semakin terbelakang dan tertinffal jauh. Bayangkan, dibanding negara-negara tetangga, kita semakin juah di belakang. Negara lain di kawasan yang sama dengan negeri kita (Asia) bahkan telah meluncur dengan tingkat kemajuannya yang cepat. India dan Cina, misalnya, telah mengalami suatu pertumbuhan yang mencengangkan dan akan menjadi penantang bangsa-bangsa di luar Asia.

Pertumbuhan suatu masyarakat itu juga berkaitan dengan anak-anak dan remajanya. Konon, ketika seorang anak di Cina ditanya “ingin jadi apa kamu, nak?”, mereka menjawab: “Aku ingin menguasai so
ftware [baca ’sofwee’]”. Ketika anak-anak di India ditanya dengan pertanyaan yang sama, mereka menjawab: “Aku ingin menguasai hardware [baca: ‘hadwee’]”. Akan tetapi, ketika kita bertanya pada anak di Indonesia tentang ingin jadi apa mereka kelak. Kebanyakan anak-anak akan menjawab: “Nowhere” [baca: ‘nowee’]—Mereka tak akan tahu kemana. Sebagian besar juga membayangkan bahwa dirinya akan jadi artis yang bisa tampil di TV, bergaya dan berpenampilan menarik. Tak heran jika ketika dibuka acara audisi “Idola Cilik”, ribuan anak-anak berdesak-desakan untuk mengikutinya. (Hal yang sama juga bisa kita gunakan untuk melihat audiusi-audisi remaja dan pemuda yang akan direkrut jadi penyanyi, model, artis, hingga pelawak—hal ini mencerminkan hilangnya gairah anak-anak dan remaja kita pada ilmu pengetahuan dan wawasan kritis untuk mengatasi dunianya).

End-note:
[1] Allisa Quart. Belanja Sampai Mati. Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. xxii
[2] Michael R. LeGault. Sekarang Bukan Saatnya untuk ‘Blink’ Tetapi Saatnya untuk THINK: Keputusan Penting Tidak Bisa Dibuat Hanya dengan Sekejap Mata. Jakarta: TransMedia, 2006, hal. 42-43

(Nurani Soyomukti)
--------------------------------------------------


ANAK KORBAN PETERPEN, KANGEN BAND, UNGU, DAN ST12

Dalam masyarakat yang serba terbelakang dan kekurangan, ilusi-ilusi untuk “naik kelas sosial” secara pragmatis merupakan gejala psikologis yang akut. Godaan akan gaya hidup mewah begitu mudah menjangkiti masyarakat yang serba terbelakang secara mental dan pengetahuan. Kebanyakan orangtua begitu tergoda untuk menjadikan anak menjadi melejit dan terkenal seperti menjadi artis, yang diharapkan akan menjadi mesin pencari uang. Anak-anak akan bekerja sebagai penghibur dan dari situ akan mendapatkan banyak uang, orangtua pasti ikut kecipratan dan mendapatkan kebangaan serta popularitas. Tetapi tidak sadarkan mereka bahwa membuat anak bekerja sebagai mesin pencari uang akan membuat mereka akan kehilangan banyak waktu untuk mencari pengetahuan dan meningkatkan rasa kepeduliannya dalam kehidupan.

Kita tahu dunia selebritis adalah dunia dimana gemerlap hidup membuat kalangan ini lupa diri, terlena, dan tersingkirkan dari kedalaman makna hidup. Dunia pesta, dunia pamer, dunia narkoba, seks bebas, liberalisme-individualisme melekat pada mereka. Sebagian kecil orang telah menjadi terkenal dengan menjadi artis-selebritis dan mereka disokong secara besar-besaran oleh pemilik modal secara finansial karena mereka bekerja untuk membuat para anak-anak dan remaja di masyarakat menjadi konsumtif—karenanya merekalah bintang iklan yang sama halnya sebagai pekerja pemilik modal agar produk-produknya laku.

Merekalah yang membuat anak-anak rusak moralnya. Gara-gara terlena dengan lagu-lagu kacangan dengan lirik-lirik cinta-cinta palsu yang
melemahkan, anak-anak kita telah malas untuk membaca buku dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk memupuk perkembangan kognitif dan nalar kritisnya. Anak-anak yang mulai menginjak sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) sekarang ini lebih suka menghafal lagu-lagu Ungu, Kangen Band, ST12, atau Cinta Laura daripada belajar berhitung. Saat mereka sedang kita dampingin belajar, di ruang tamu, kemudian di TV ditayangkan lagu-lagu semacam itu, mereka segera lari melonjak dan menghambur di depan TV sambil menyanyikan lagu-lagu yang sedang menampilkan klips-nya yang kadang vulgar (sensual). Lirik-lirik lagu-lagu pop itu sendiri, kalau mau jujur, bukanlah lirik yang sesuai dengan dunia anak-anak.

(NURANI SOYMUKTI)
---------------------------------------------------------------

Rabu, 12 November 2008

Kesejahteraan Guru:

Guru Swasta Juga Manusia

Oleh: Beny Setyawan*)
KABAR duka datang dari nasib guru swasta Indonesia. Kenaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bidang pendidikan hingga 20 persen (Rp 248 miliar) ternyata tidak membuat guru swasta sejahtera. Mereka harus menunggu sampai menjadi guru negeri atau berstatus pegawai negeri sipil (PNS).Hal ini dikarenakan, guru dengan status PNS akan mendapatkan gaji minimal Rp 2 juta per bulan mulai tahun 2009. Sedangkan guru swasta, sebagaimana biasanya, hanya mendapatkan gaji sesuai dengan jumlah murid yang diajar dan seberapa banyak jam mengampu mata pelajaran.Kenaikan gaji guru berstatus PNS ini sungguh timpang. Guru PNS sepertinya dimanjakan oleh pemerintah.
Sedangkan guru swasta dianggap bukan guru, sehingga tidak perlu disejahterakan. Hal ini tampak pada sistem pengajian. Belum lagi masalah kuota sertifikasi guru yang diskriminatif (75 persen untuk guru PNS dan 25 persen untuk guru swasta). Padahal, di negeri ini masih banyak guru berstatus honorer, bahkan tanpa digaji, yang mendidik anak bangsa agar dapat mandiri.Guru swasta juga merupakan cikal bakal adanya guru negeri. Di masa awal kebangkitan nasional (1908), KH Ahmad Dahlan adalah seorang guru swasta yang mendidik masyarakatnya, tanpa digaji pemerintah. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah dengan sistem modern yang meniru kaum kolonial, ini merupakan bukti ketangguhan guru swasta.
Guru swasta adalah pahlawan sejak ada sekolah di republik ini.Namun, apakah nasib guru swasta hanya sebagai pahlawan saja, padahal mereka juga butuh hidup, menghidupi keluarganya, dan membayar pajak kepada pemerintah, di tengah gaji yang minim? Tidak adilnya sistem penggajian yang dilakukan pemerintah hanya akan makin mengerdilkan fungsi dan peran guru swasta dalam mendidik bangsa Indonesia. Guru swasta dianggap sebagai orang biasa yang tidak membutuhkan gaji, dan cukup dihibur dengan gelar pahlawan.Gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi guru swasta hanyalah hiburan di tengah ketidakberdayaan. Sebutan ini juga sepertinya digunakan (alat) oleh pemerintah agar guru tidak banyak bersuara dan melakukan protes.
Sebutan ini sepertinya dikonstruksi sedemikian rupa agar tugas guru adalah mendidik tanpa mendapatkan gaji yang layak. Dan yang patut mendapatkan kenaikan gaji hanyalah guru yang mengabdikan diri sebagai ‘’hamba negara’’ (PNS).Kampanye GratisGuru PNS dianggap sebagai orang yang patut dikasihi dan digaji secara layak. Hal ini dikarenakan dengan penggajian yang layak suara mereka akan dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan Pemilu 2009. Lebih dari itu, dengan sistem komando sebagaimana Orde Baru ketika gaji guru dinaikkan, maka akan makin banyak guru yang simpati dengan pemerintahan. Pada akhirnya mereka akan dipilih kembali karena telah membawa aspirasi guru (PNS).
‘’Kampanye gratis’’ menggunakan uang negara, dengan kedok kenaikan gaji guru, untuk Pemilu 2009 sangatlah kentara. Salah satu indikatornya adalah pemerintah berusaha menaikkan anggaran pendidikan 20 persen menjelang akhir massa jabatan.Sebelumnya pemerintah selalu berkelit ketika dimintai keterangan mengenai anggaran pendidikan minimal 20 persen. Anggaran 20 persen akhirnya dipenuhi pemerintahan SBY-JK menjelang Pemilu 2009, walaupun pemerintah harus kembali berutang kepada lembaga donor atau memangkas anggaran bidang lain.Hal lain yang menjadi indikatornya adalah kenaikan anggaran pendidikan 20 persen tidak serta merta menjadikan sekolah gratis. Pemerintah berkelit tidak akan menggratiskan sekolah.
Pemerintah hanya akan ingin meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan tetap saja harus bayar. Tidak ada yang gratis di negeri ini (no free lunch).Maka tidak aneh jika sekarang marak demonstrasi yang dilakukan oleh guru swasta agar hak-hak mereka disamakan. Mereka menuntut kenaikan gaji. Mereka juga menuntut segera di-PNS-kan, jika pemerintah tetap tidak mau menyejahterakan guru swasta. Guru swasta memang harus tetap bersabar dan terus menunggu kehadirian ’’Semar’’: pemimpin bijaksana yang mau melihat realitas dengan nyata.Guru swasta juga harus terus berpuasa dan menahan keinginan (kebutuhan) hidup yang mendesak.
Kemiskinan akan terus menghantui setiap tidur mereka. Anak-anak mereka akan tetap menangis karena kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Guru swasta juga manusia. Mereka butuh kesejahteraan dengan gaji yang layak. Hal ini dikarenakan mereka juga pendidik bangsa. Bahkan keberadaan mereka lebih tua daripada usia negeri ini.Pemerintah harus berperilaku adil terhadap guru. Tidak membedakan guru swasta dan guru negeri.
Jika pemerintah masih saja berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa guru PNS harus sejahtera dan guru swasta dimiskinkan, maka kehancuan negeri ini akan semakin dekat. Hal ini dikarenakan pemimpin negeri ini lalim dan menyia-nyiakan guru swasta yang notabene adalah pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Wallahu aílam. (32)—
*)Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ’’Manifesto Pendidikan Indonesia’’ dan ’’Agenda Pendidikan Nasional’’.

Kenaikan Gaji Guru:

Tanggapan Para Guru









Beberapa waktu lalu saya sempat menanyakan tanggapan para guru terhadap kenaikan gaji guru PNS minimal 2 juta yang akan dijanjikan tahun 2009 oleh presiden SBY... Pertanyaan saya lakukan secara langsung maupun tidak langsung seperti via sms maupun telfon. Saya sengaja mengacak antara guru negeri maupun guru swasta yang sebagian besar adalah guru-guru muda yang bersemangat.

Pertanyaan yang saya ajukan adalah seperti ini: "Apakah penambahan gaji guru PNS minimal 2 juta yang akan diberlakukan mulai tahun 2009 akan meningkatkan kualitas guru, anak, dan pendidikan?"

Inilah jawaban dan komentar dari para guru tersebut:

Pak Sunardi (Kepala Sekolah Negeri):
“Insyaallah demikian”.

Umi (Bu Guru SD Negeri):
“Itu masih tahap penggodokan, belum pasti kalau belum tahun 2009. Tapi jika itu bener tentu saja hal terse
but akan semakin menambah motivasi guru untuk masuk sekolah, soalnya dia tak repot cari kerjaan sambilan. Dan hal itu dapat berpengaruh positif terhadap pembelajaran kepada murid, soalnya guru akan fokus pada proses pendidikan”.

Yessi Erlina Wati (Bu Guru Sejolah Swasta):
“Kalau menurut pendapatku, iya. Dengan dinaikkannya gaji, guru akan tambah semangat menjalankan kewajibannya, apalagi di dukung prasarananya lengkap”.

Eko Prasetyo (Pengamat Pendidikan, Pengelola Rumah Pengetahuan Amartya, penulis buku “GURU—MENDIDIK ITU MELAWAN!”):
“Nggak ada, yang salah bukan gajinya, tetapi cara pemerintah memperlakukan pendidikan”.

Shobibatur (Guru Sekolah Swasta, Mahasiswa):
“Tak ada jaminan. Semua tergantung pada sistem pendidikan (kurikulum, KBM, intruksi antara guru dan murid). Last but not least, bagaimana individu itu sendiri”.

Yuyun Ernawati (Bu Guru Sekolah Swasta):
“Saya berpendapat ia karena dengan bertambahnya kesejahteraan guru, motivasi mengajar dan tanggungjawab terhadap pekerjaannya semakin meningkat. Tidak malas, terutama penambahan kesejahteraan pada guru swasta”.

Nuriani (Pak Guru Sekolah Swasta):
“Sangat tidak ada peningkatan dalam pengajaran, mestinya pemerintah memperhatikan kesejahteraan guru yang tidak tetap”.

Yuyun (Guru Sekolah Swasta):
“Masalah gaj
i kalau ditambah ok-ok saja. Tapi yang ngenes bagaimana dengan guru GTT [guru tak tetap]. Pada hal sekarang jadi PNS kalau gak masuk negeri gak boleh, sedangkan mau masuk aja harus punya uang dan harus punya joki. Malahan kalau ntar PNS gajinya naik, jangan-jangan atasan juga minta dinaikkan? Kalau menurutku mendingan memikirkan penyaringan GTT yang kompeten terus dinegerikan...”
----------------------------------

Kenaikan Gaji Guru:

Setelah Guru Sejahtera,
Anak Bodoh, dan Rakyat Miskin

Oleh: Nurani Soyomukti,
penulis buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Arruzzmedia, Yogyakarta—2008); pengelola Yayasan TABUR (Taman Belajar untuk Rakyat) Jawa Timur.

ADA asumsi yang hingga saat ini masih dipercaya oleh kebanyakan orang bahwa jika pendidikan maju maka rakyat suatu negara juga akan maju. Kata ‘maju’ di sini barangkali dapat diuraikan menjadi lebih jelas, misalnya mengacu
pada kondisi rakyat yang sejahtera (serba berkecukupan), pengetahuan dan teknologi berkembang cepat, budaya dan kepribadiannya bermartabat.

Dilihat dari kondisi ‘kemajuan’ itu tentu saja negara kita menunjukkan yang sebaliknya. Dilihat dari kesejahteraan, angka kemiskinan kian naik dan tingkat ketertekanan akibat kemiskinan juga menunjukkan bahwa angka kriminalitas, kekerasan, dan amoralitas semakin merajala. Kemiskinan adalah sebab dari kerusakan moral dan mental. Bukan moral yang menyebabkan mereka miskin, tapi kemiskinanlah yang menyebabkan mereka tertekan dan tak lagi bersikap manusiawi. Bukan karena kurangnya moral atau agama yang menyebabkan kejahatan, tetapi karena mereka miskin dan tidak diberi pendidikan.

Ditinjau dari pengetahuan, rakyat kita juga tak lagi mempercayai kebenaran yang didapat dari pengetahuan atau aktifitas berpikir ilmiah. Sekarang ini, dalam konteks itu, kebanyakan sekolah bahkan telah gagal membentuk cara berpikir ilmiah. Anak-anak (mulai dari SD hingga perguruan tinggi), misalnya, ketika di kelas diajarkan tentang peristiwa alam yang dialektis dengan hokum sebab-akibatnya, misalnya kenapa terjadi gempa bumi, tsunami, gerhana, dan lain-lain. Di kelas mereka sangat menerima logika ilmu pengetahuan alam tentang kejadian-kejadian semacam itu.

Tetapi ketika mereka keluar dari kelas atau sekolah, pola pikir semacam itu kembali menghilang. Buktinya, ketika terjadi peristiwa alam seperti tsunami, gempa, dan gerhana, mereka masih banyak yang kembali pada penjelasan-penjelasan tak ilmiah (mistis, gaib, dll). Celakanya, sekolah justru semakin kalah dengan propaganda mistik yang datang dari berbagai penjuru, mulai dari pola pikir guru di kelas yang feodal, juga dari media (terutama televisi).

Penjelasan anti-ilmiah dan irasional kembali menggerogoti ilmu pengetahuan yang telah tertanam di
benak pelajar pada saat mereka menghadapi ketegangan dan kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam kasus Unas yang dianggap berat karena kurangnya kesiapan dalam menjawab soal-soal yang harus dijawab dan nilai rata-rata yang ditetapkan pemerintah untuk dicapai para peserta Unas meningkat, maka tidak sedikit yang menempuh jalan pintas.

Berita menggembirakan tentang kesejahteraan guru sudah diumumkan pemerintah. Para guru dijanjikan gaji minimal Rp 2 juta mulai tahun 2009 nanti. Sebuah janji kesejahteraan bagi guru yang pertama kali diutarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pidato kenegaraan sebelum peringatan 63 tahun usia kemerdekaan Indonesia itu tentunya membuat wajah para guru sumringah. Mendiknas Bambang Sudibyo menyampaikan bahwa gaji Rp 2 juta itu merupakan uang pangkal bagi guru dengan pangkat terendah meski yang bersangkutan belum mempunyai sertifikat ataupun belum memiliki ijazah S-1.


Para guru tak sabar menunggu datangnya tahun baru 2009 karena mulai waktu itulah gaji minimal guru khusus PNS dengan jumlah gaji minimal Rp 2 juta mulai berlaku. Pertanyaan yang kemudian muncul cukuplah klasik: benarkah kesejahteraan guru akan meningkatkan kualitas para pendidik sekaligus kualitas pendidikan kita?

Hak Universal Guru
Yang perlu diingat bahwa kesejahteraan gaji guru—sebagai mana gaji-gaji pekerja lainnya—adalah hak-hak universal yang memang harus dilakukan. Jadi, jangan di
lihat bahwa kenaikan guru adalah hasil dari ‘kebaikhatian’ dari pemerintah Yudoyono. Memang sudah sepatutnya hak-hak guru untuk hidup layak dan sejahtera harus diberikan. Seharusnya hak itu tidak diberikan sekarang atau nanti, apalagi diberikan menjelang pemilihan umum 2009 di mana terkesan bahwa presiden Yudoyono ingin menarik simpati dari para guru dan PNS agar ia terpilih lagi.

Penjaminan hak-hak guru akan kesejahteraan telah jauh-jauh hari menjadi tuntutan universal masyarakat di seluruh dunia. Bahkan untuk menghormati hak-hak guru, PBB telah merekomendan pemberian kesejahteraan itu dalam Recommendation concerning the Status of Teachers oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco), dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam sebuah konferensi khusus antarpemerintah, tepatnya pada tahun 1966.

Di dalamnya, pasal 60 memaksimalkan jaminan kesejahteraan bagi guru. Guru tetap/penuh waktu dengan guru tidak tetap/paruh waktu/honorer mempunyai hak memperoleh pengupahan yang sama secara proporsional, hak yang sama untuk menikmati kondisi-kondisi dasar kerja, hak liburan, libur sakit, libur melahirkan, termasuk jaminan sosial dan pensiun.

Kesehatan guru juga mendapat perhatian. Pasal 53 rekomendasinya menyebutkan, guru-guru hendaklah disyaratkan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala yang harus disediakan secara cuma- cuma. Bahkan, ketika sakit guru berhak mendapatkan izin dengan tetap memperole
h bayaran penuh (Pasal 101 ayat 1). Tidak hanya izin sakit, guru pun berhak izin untuk alasan-alasan pribadi yang memadai dengan tetap memperoleh bayaran penuh (Pasal 100).

Pasal 126 Ayat 1 menyebutkan, Para guru hendaklah dilindungi oleh aturan-aturan jaminan sosial mengenai semua kemungkinan yang termasuk di dalam Konvensi Jaminan Sosial (standar-standar minimum) ILO tahun 1952, yaitu perawatan medis, tunjangan kesehatan, tunjangan manula (manusia usia lanjut), jaminan kecelakaan pekerjaan, tunjangan keluarga, tunjangan kehamilan, tunjangan kecelakaan, tunjangan kecacatan, dan tunjangan bagi mereka yang tidak terkena bencana.

Lalu apakah janji Yudoyono untuk memberi gaji guru PNS minimal 2 juta mulai tahun depan akan menjamin kualitas guru kita?

Adalah terlalu naif jika satu-satunya cara yang dianggap meningkatkan kualitas guru tak lain hanyalah dengan meningkatkan bayaran atau gaji guru. Anggapan seperti itu tidak melihat guru tidak bisa kreatif dan berkembang karena diawasi oleh petugas yang menyebut dirinya pengawas guru dan penddikan. Yang dirisaukan bukan guru itu mengajarkan pengetahuan yang tidak diperkenankan tetapi lembaga pengawasan telah mematikan fungsi pendidikan yakni mendidik siswa tentang makna kemerdekaan dan bagaimana mewujudkannya.

Anggapan bahwa cara meningkatkan kualitas guru dengan cara ditingkatkannya jenjang pendidikan calon guru dan intensifikasi program pelatihan. Kemudian solusi yang didasarkan pada keyakinan bahwa proses pendidikan adalah aktivitas yang sifatnya teknis, bukan penanaman ideologi juga ditolak dalam buku ini. Dari pemahaman ini, guru bukan hanya ujung dalam soal pendidikan, melainkan juga akar dari masalah-masalah pendidikan dasar.

Las but not least, sudah terlalu lama guru berdiam diri terhadap apa yang dialaminya. Walau UU Guru telah hadir sejak tahun 2005 lalu, itu bukan jaminan kebebasan dan kesejahteraan bagi pahlawan tanpa tanda jasa ini. Profesi guru bukan hanya kurang dihargai tetapi juga kerapkali dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi-politik kekuatan tertentu. Buktinya kini semakin banyak perkumpulan guru di luar PGRI warisan Orde Baru. Selain itu, metode aksi massa yang dipilih untuk memper
juangkan hak-haknya bukan lagi cara yang asing. Ada potensi bagi para pendidik ini untuk mengajarkan semangat juang bagi anak didiknya ketika mereka kembali ke kelas dan mengajak serta mmandu murid-murid untuk melihat apa yang sebenarnya di lingkungan alam dan lingkungan sosial. Sehingga, ada tujuan dalam dunia pendidikan untuk membebaskan diri dari kungkungan penindasan.

Diharapkan nantinya mengajar tidak sekedar menyuruh murid menghafal, juga bukan hanya memindahkan ‘pengetahuan’, tetapi juga mengenalkan realitas sejati, bukan sekedar melatih menipu.***
------------------------------------------------------------

Selasa, 11 November 2008

Dimuat di "SUARA KARYA" Edisi Selasa (11 Nopember 2008):



Konstruksi Baru Karakter Pahlawan
Oleh Nurani Soyomukti *)

Betapa sulitnya mencari pahlawan di tengah-tengah kebuntuan ekonomi-politik yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kita butuh pahlawan-pahlawan yang berani memperjuangkan nasib rakyat, berani mengambil risiko, dan berani mengatakan realita secara benar dan memperjuangkan kebenaran itu sendiri.

Ada hambatan sejarah yang menyebabkan masyarakat kita (terutama para elitenya) tidak berani mengatakan kebenaran secara tegas, peragu, plintat-plintut, dan pengecut. Hal ini lahir dari sisa-sisa feodalisme yang belum tuntas. Karena, ketika industrialisasi dan kapitalisme masuk melalui kolonialisme, sesungguhnya tatanan feodal kerajaan tidak pernah dihancurkan oleh penjajah, tetapi justru diperalat untuk memaksimalkan keuntungan. Industrialisasi dan modernisme diterima, tapi unsur enlightment-nya tidak dilakukan.

Memang ada pahlawan yang berani melawan penjajah sejak kedatangannya di Indonesia, tetapi sedikit. Hal ini juga merupakan kesalahan sejarah peradaban kita. Kapitalisme dan industrialisasi seharusnya dapat dilalui oleh masyarakat kita sendiri, bukan dicangkokkan oleh penjajah asing.

Politik-ekonomi Kerajaan Majapahit, misalnya, sebenarnya telah mengarah pada corak produksi merkantilistik yang merupakan awal-awal masyarakat industrialisasi. Hal itu ditandai dengan membesar dan meluasnya bandar-bandar yang merupakan tempat perdagangan dari berbagai belahan dunia.

Sayangnya, kehancuran Majapahit dan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak mendorong pusat-pusat ekonomi bergeser ke daerah pedalaman, kembali ke corak produksi tanah. Hal inilah yang menyebabkan feodalisme justru makin kental hingga akhirnya ketika penjajah asing masuk, ia tidak dihancurkan tapi dimanfaatkan.

Pada zaman penjajahan Belanda, para bangsawan dan priayi dididik pendidikan Barat, khususnya tentang industrialisasi dan modernisme dalam rangka mempercepat infrastruktur ekonomi-politik di Indonesia. Tetapi, kebangsawanan ini tetap dijaga untuk mempertahankan ketertundukan rakyat jelata. Para turunan priayi yang menjadi pegawai-pegawai Hindia Belanda adalah kelas sosial istimewa meski pada dasarnya mereka adalah kelas yang berfungsi sebagai alat.

Fenomena elite sebagai alat kaum modal ini pada dasarnya masih berlanjut hingga sekarang, ketika rezim yang berdiri di Indonesia (mulai Orde Baru hingga menjelang pilpres putaran kedua ini) akan menjadi tatanan politik-ekonomi yang tidak lepas dari cengkeraman ekonomi kapitalis yang sudah sampai tahap neoliberal. Jelas bahwa kapitalisme dan modernisasi (industrialisasi) Indonesia tidak menghancurkan tatanan feodal. Dengan demikian, kekuatan produktifnya tak berkembang, borjuisnya bangkrut, parasit, korup, para elitenya hanya jadi antek dan penjilat pada borjuasi (pemodal) Barat yang lebih serius iman borjuisnya.

Inilah penjelasan material-historis watak bangsa kita berkaitan dengan kegagalan national and character building-nya. Dan, pemimpinnya selalu tidak memiliki prinsip politik yang tegas. Tindakan politiknya tidak bisa dipegang.

Feodalisme adalah corak produksi dan tatanan masyarakat yang bertumpu pada tanah sebagai alat produksi utama, sehingga merupakan fase masyarakat di mana perdagangan dan pasar bukanlah aktivitas utama. Struktur sosial feodal membagi dua kelas utama yang berhadap-hadapan secara ekonomi. Yaitu, kelas tuan tanah (raja-raja, bangwasan) yang menguasai alat produksi (tanah) dengan petani hamba, dan rakyat jelata yang tidak bertanah dan harus membayar pajak (upeti) kepada raja atas apa yang telah dihasilkannya.

Dengan demikian, akumulasi hasil kerja (produksi) dimiliki oleh tuan-tuan tanah yang akhirnya bisa hidup mewah dengan membangun istana. Istananya dipagari dengan benteng dan di dalamnya ada taman bermain sendiri, tempat selir-selir sendiri, dan berbagai kesenangan yang lain. Sementara itu, tenaga produktif rakyat tidak bisa dinikmatinya sehingga mereka hidup menderita.

Feodalisme Indonesia berbeda dengan di Barat. Di Barat dan bahkan kawasan Amerika Latin, feodalisme melahirkan hubungan kepemilikan yang tegas, di mana tanah-tanah benar-benar dimiliki oleh tuan-tuan (baron-baron di Eropa, hacienda di Amerika Latin). Sedangkan rakyat jelata berfungsi sebagai petani hamba yang tidak memiliki tanah sama sekali.

Inilah yang menyebabkan pertentangan kelasnya sangat besar. Dan, ketika pada masa selanjutnya terjadi perubahan, tatanan feodal benar-benar dihancurkan, mulai dari corak produksinya hingga hasil-hasil budaya dan pemikirannya. Ketika liberalisme hadir, ia lahir secara tegas, tidak setengah-setengah dan tidak berpijak di dua kaki, konsisten dan tidak peragu, karena kondisi material ekonominya memang mendukung watak itu.

Kita bisa melihat karakter masyarakat kita saat ini. Corak produksi kapitalisme pasar bebas telah menyeruak dengan budaya dan gaya hidup yang ditawarkannya. Tetapi, karena elite borjuis Indonesia tidak kuat dan tidak kreatif, maka secara nyata selalu kalah dengan borjuis-kapitalis asing yang kuat dan konsisten ide-ide liberalnya.
Sementara itu, masyarakat semirenaisans Indonesia mendorong untuk berpikir setengah feodal dan setengah liberal. Atau, pada kenyataannya, Indonesia telah terjerat pada sistem ekonomi liberal, tetapi karakter, semangat, dan budayanya masih feodal.

Karakter tersebut tampaknya juga masih terwariskan di pemerintahan sekarang ini. Kita mungkin masih bisa berharap atas sikap moral pemimpin yang, misalnya, antikorupsi. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada langkah politik yang direncanakan dan dibuat untuk menghukum para koruptor dan pelanggar HAM. Kemungkinan besar juga masih memakai cara-cara kompromi dan mempertimbangkan watak-watak feodal yang berupa rasa kasihan, persekongkolan berdasarkan perasaan masa lalu, atau bahkan kompromi dalam makna pertukaran bargaining politik.

Menjelang Pemilu 2009 dapat kita bayangkan kadar pragmatisme elite kita yang makin parah. Demi mencapai kemenangan, mereka tak lagi akan berpikir tentang pengorbanan, tetapi hanya berpikir bagaimana caranya menang dengan jalan apa saja. Wallahu'alam!***
-----------------------------------------
*)Penulis adalah perawat pustaka di Yayasan Tabur(Taman Belajar untuk Rakyat) Jawa Timur