Selasa, 11 September 2007

PUASA, WAHIB, DAN MARX


















Oleh:
Nurani Soyomukti
(Salah satu nominatorLomba Penulisan Esai Nasional AHMAD WAHIBAWARD Freedom Institute, LP3ES,HMI CabangCiputat Jakarta 2003)


Sehubungan dengan puasa Ramadhan, Menteri Agama Mukti Ali menyerang teori-teori Marx dan Freud. Menurut saya: 1. Objek ajaran puasa adalah pribadi-pribadi, sedang ajaran historis materialisme adalah masyarakat. Jadi kurang relevan untuk membandingkan keduanya; 2. Materi dalam historis materialisme bukanlah makanan atau kekayaan, tetapi cara-cara manusia berproduksi. Mukti Ali salah faham mengenai teori Marx; 3. Sex dalam teori Freud jauh lebih luas dari pengertian kelamin. Teori libido-seksual dipakainya bukan sebagai satu-satunya yang dominan, melainkan sebagai dasar umum dari tindakan manusia”, begitulah Wahib mengeluh dalam catatan hariannya yang ditulis pada tanggal 27 Oktober 1971.

Ungkapan itu adalah salah satu ekspresi Wahib sebagai pemikir muda atas kondisi pemikiran intelektual Islam terutama seniornya di komunitas yang dianggap menjunjung nilai-nilai pembaharuan. Dan itulah salah satu watak intelektual Islam yang membuat “manusia soliter” itu ‘sumpek’ dan pada akhirnya, bersama Djohan Effendi, ‘pamit’ meninggalkan komunitasnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Ahmad Wahib adalah seorang pemikir muda yang meninggal dunia di usianya yang sangat muda dengan meninggalkan catatan-catatan harian yang akhirnya diterbitkan dalam bentuk sebuah buku oleh LP3ES Jakarta dengan judul “Pergolakan Politik Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib”.

Dari catatan-catatan Ahmad Wahib, pemikiran Islam yang dilihatnya waktu itu cenderung jumud dan tidak menggunakan “kebebasan berpikir” –suatu frase yang disebut berkali-kali dalam catatan hariannya. Pemikiran Islam yang menjauhkan diri dari analisa ilmiah tidak akan mampu menjelaskan realitas konkrit yang eksis dalam kehidupan manusia. Kalau pemikir Islam ingin berperan dalam sejarah, maka seharusnya pijakannya bukan semata suatu hal yang berada di angan-angan, tetapi harus menggunakan teori sejarah (sosiologis) yang objektif.

Oleh karena itulah Wahib kecewa dengan Mukti Ali yang waktu itu menjabat sebagai menteri Agama, yang dulunya juga menjadi aktivis HMI tulen. Mukti Ali dianggap tidak mampu memahami teori-teori ilmiah seperti salah dalam memahami pemikiran Karl Marx dan Sigmund Freud. Hal itu yang menurut Wahib bertentangan dengan “sikap terbuka, kebenaran berpikir, idea of progress dan lain-lainnya” (hal. 95). Lebih jauh mengenai penegasannya terhadap kebebasan berpikir, Wahib menuliskan bahwa terhadap hukum-hukum alam atau takdir Tuhan dalam dunia benda, manusia tidak bisa tidak musti tunduk. Tak ada free-will di dalamnya. Akan tetapi dalam hubungannya dengan hukum alam itu bersifat reseptif-pasif, juga bersifat eksploratif dan kreatif. Dengan eksploratif dimaksudkan bahwa manusia berhak dan berkemampuan untuk mengetahui, menyelidiki, dan menerima dengan sadar hukum-hukum alam tersebut. Dari hukum eksploratif inilah maka lahirlah ilmu (science) atau lebih tepatnya pure science. Sedang dari hubungan kreatif dimaksudkan bahwa kegiatan-kegiatan eksploratif tersebut manusia dapat memanfaatkan dan merubahnya sesuai dengan kehendak-kehendaknya. Maka dari sinilah lahir teknologi. Dalam teknologi inilah terdapat kebebasan (free will) manusia, apakah akan melakukan teknologi dengan cara menguntungkan atau merugikan.

Wahib berkeyakinan bahwa hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan berpikir seperti itu akan mengakibatkan sikap keagamaan yang kehilangan rasa “hormat dan kasih”, serta intoleran. Wahib menyaksikan sendiri sempitnya pemahaman semacam itu bahkan di kalangan generasi muda muslim yang seharusnya berpikiran ilmiah dan kritis-akademis. Pada tanggal 18 November 1972 ia menulis: “…Umat Islam harus berlatih memandang manusia lain yang berbeda faham dengan penuh hormat dan kasih. Tingkat keagamaan seseorang adalah sebagian dari individualitasnya yang harus tumbuh dari dalam. Kebiasaan untuk memvonis bekas-bekas anggota PKI sebagai orang-orang yang sesat dan malahan dituntut untuk ditahan terus atau ditangkap kembali bukan sifat kenabian… Sikap semacam ini terdapat pula dalam hubungan dengan kehidupan generasi muda atau nilai-nilai moral sekarang ini, sikap sok suci, penafsiran moral yang sangat sepihak dan kebiasaan melakukan generalisasi dengan mudah. Semua ini tidak menyuburkan sikap toleran, apalagi bila kemudian dipertegas oleh pidato-pidato para pemimpin mubaligh.”

Dari pendekatan terhadap wahyu Allah, Wahib nampaknya meletakkan Sejarah Muhhamad dan perjuangannya sebagai sumber ajaran Islam, bukan semata-mata teks-teks. Itulah yang menurutnya akan melibatkan manusia muslim dalam tugas “historical direction” untuk mengisap dari sejarah Muhammad itu sumber terang dari masa kini. Dalam tugas itu, aktifitas spiritual dan intelektual manusia muslim ikut berbicara. Peran intelektual dari manusia akan mampu membebaskan umat dari selubung-selubung penindasan yang bersembunyi dalam politik, budaya, dan ideologi, bahkan agama sendiri ketika ia hanya berfungsi sebagai legitimasi oleh para pelaku penindasan.

Dalam bahasa Wahib, kemunafikan, topeng-topeng, dan selubung palsu sejarah akan mampu membuat manusia dapat “berkomunikasi tanpa hambatan”. Pada tanggal 11 April 1970 , cita-citanya itu—yang disebutnya sendiri sebagai “bukan meramal” dilengkapi dengan argumen seperti ini: “Bila hambatan-hambatan teknis, managerial dan mental sudah terkikis merata di seluruh muka bumi, maka komunikasi ide antara tiap-tiap sudut dunia ini akan berjalan lancar. Setiap perkembangan ide yang dicetuskan di suatu sudut dunia, akan diketahui waktu itu juga di sudut-sudut lain yang terjauh. Pada waktu itulah aliran-aliran akan terancam eksistensinya, karena serangan dan kritik yang tidak pernah berhenti akan menggoyahkan seluruh sendi-sendinya. Pada waktunya aliran-aliran dalam faham kemanusiaan akan hapus.”

Syarat-syarat bagi terciptanya masyarakat ideal seperti itu bagi Wahib adalah jika “kontradiksi-kontradiksi sosiologis… kapanpun dan dimanapun, harus kita atasi dan hilangkan secara cepat dan tepat, sadar dan terarah.” Itulah, yang baginya, merupakan hukum dialektika dari proses pembaruan tanpa ujung.

Mungkin karena itulah ia membenarkan kesalahan Mukti Ali tentang pemikiran Karl Marx tentang materialisme dialektika historis. Marx adalah seorang yang dengan teliti dan komprehensif menganalisa sejarah masyarakat termasuk melihat kontradiksi sosial yang menyebabkan manusia tidak mampu mengembangkan kekuatan produktifnya untuk menciptakan peradaban yang bermartabat. Marx menganalisa bahwa yang mendasari gerak sejarah adalah gerak ekonomi dan laju kekuatan produksi masyarakat, yang didasari oleh kerja manusia dalam rangka mengatasi alam dan manusia lain demi memenuhi dan meningkatkan kebutuhan hidupnya. Hubungan produksi adalah hubungan antara kekuatan produksi yang terus berkembang. Perkembangan kekuatan produksi ini dihadang oleh hubungan ekonomi yang cenderung konservatif karena kelas sosial yang berkuasa berusaha mempertahankannya. Kaum bangsawan, raja, tuan tanah (bahkan juga dibantu agamawan dan pendheta) berusaha melanggengkan hubungan penindasan, yaitu dengan menguasai tanah kaum ini mampu menghisap kerja rakyat jelata mayoritas yang harus membayar upeti. Maka dengan menyebarkan budaya, adat dan kepercayaan yang ada para penguasa bisa melanggengkan kekuasaannya. Misalnya dengan menciptakan kepercayaan bahwa raja adalah wakil tuhan atau Dewa, dianggap golongan yang pantas untuk mendapat perlakuan dan hak istimewa; rakyat jarus menuruti perintah raja, mengabdi kepadanya, menyetor upeti, dan intinya mengabdikan kerja kerasnya untuk kenikmatan hidup kelas penindas.

Menurut Marx, sejarah akan berubah secara mendasar jika di dalamnya ada kekuatan yang kontradiktif dan antagonis. Kaum pemodal untuk mengembanglan industrialisasi harus berhadapan dengan hubungan produksi lama (feudal) yang tidak mendukung perkembangan produktif modal. Maka terjadi antagonisme yang kuat antara kelas borjuis dengan kelas feudal yang ingin mempertahankan tatanan politiknya (kerajaan atau monarki absolut). Maka terjadilah suatu revolusi kaum pemodal yang didukung oleh pemikiran dan ide-ide baru, diikuti oleh gerakan politik massa yang menumbangkan tatanan kerajaan, seperti terjadi di negara-negara Eropa.

Modal dan tatanan barunya telah tercipta, yaitu sistem sosial kapitalisme. Buruh adalah tenaga produktif baru yang lahir dari rahim kapitalisme. Kapitalisme adalah bentuk kontradiksi baru dalam masyarakat karena hubungan produksinya masih menghisap, yang membuat buruh dan kerja manusia terasing, sehingga kekuatan produktif mayoritas manusia tidak dapat dimaksimalkan karena justru hanya dihabiskan untuk kerja yang dihisap. Makanya, Marx merekomendasikan proyek emansipasinya dengan masyarakat sosialisnya.

Akan tetapi Wahib tidak banyak berbicara tentang tatanan masyarakat apa yang cocok untuk mengatur peradaban. Ia hanya memahami bahwa kontradiksi sosiologis harus dijadikan landasan bagi para intelektual untuk melahirkan pembaharuan Islam. Yang jelas, Wahib adalah seorang pemikir muda (waktu itu) yang sangat mengagumi Karl Marx, terutama saat pada tanggal 29 Maret 1970 dia menulis secara berani: “…andaikata di tangan kiri Muhammad yang memegang kitab, yaitu Al Hadist, sedang dalam tangan kanannya tidak ada wahyu Allah (Al Qur’an), maka dengan tegas aku akan berkata bahwa Karl Marx dan Frederick Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa dan pengabdian yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni sorga tingkat pertama, berkumpul dengan para nabi dan syuhada.

Benar-benar radikal pemikirannya!

Senin, 03 September 2007

HOMO HOMINI LUPUS: HILANGNYA KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT!


Oleh: Nurani Soyomukti



“… di jalanan kami sandarkan cita-cita.

Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya..

Orangtua, pandanglah kami sebagai manusia

Kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta.”

(Iwan Fals, “Bongkar)


Membangun sebuah hubungan sosial selalu harus dilandasi oleh kepercayaan. Lirik lagu Iwan Fals di atas menggambarkan pelarian seorang anak yang lari dari rumah karena keluarga tidak lagi bisa dipercaya, hanya sibuk mengurusi urusannya sendiri. Anakpun tidak cukup hanya diberi materi, tetapi mereka butuh kata-kata, penjelasan, sentuhan, dekapan, attachment, dan “cinta”. Ketika anak sudah tak lagi percaya pada orangtua, maka ikatan dalam keluarga telah retak dan masa depan keluarga tidak akan mampu menjamin terjaminnya pertumbuhan anak yang seharusnya manusiawi.

Jika Indonesia adalah sebuah keluarga, saat ini keluarga bangsa ini juga sedang retak. Anak-anak bangsa tidak lagi percaya pada negara: mereka lebih suka di jalan-jalan meluapkan ketidakpuasannya pada apa yang terjadi dan dihasilkan oleh pembangunan. Demonstrasi di jalan semakin massif, konflik dan kekerasan merajalela, ketertekanan dan ketegangan jiwa tiap anggota masyarakat semakin menguat. Lama-lama yang muncul adalah keputusasaan karena situasi yang diharapkan tak kunjung datang.

Karena kepercayaanlah, pemuda dari berbagai suku bangsa bisa mendeklarasikan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Karena kepercayaanlah mereka menyatukan diri untuk membangun sebuah bangsa yang besar. Karena kepercayaanlah mereka bersatu untuk melawan penjajah dan mengolah sebuah bangsa untuk kemakmuran dan keadilan.

Dan kini, karena ketidakpercayaanlah, orang saling membunuh, daerah-daerah ingin lepas dari kesatuan republik Indonesia , serta masing-masing ingin menyelamatkan dan menjalankan agenda atau kepentingannya sendiri-sendiri. Orang yang sudah berkuasa hanya ingin menjalankan kebijakan ekonomi-politik yang menguntungkan dirinya, keluarga, dan kelompoknya. Bahkan atas dasar ketidakpercayaan pula, mereka masih berusaha mendekat kepada rakyat pada saat dibutuhkan.

Elit politik tidak lagi percaya pada massa rakyat, maka mereka hanya pura-pura mewakili rakyat. Menjelang pemilu mereka akan butuh rakyat untuk mendukung ‘proyek politik’-nya, atau lebih tepatnya untuk mencoblos. Rakyat yang juga telah dibohongi berkali-kali—32 tahun di masa OrdeBaru dan dua kali pemilu nasional di era pasca-Soeharto—juga telah menyimpan rasa ketidakpercayaan yang kian meningkat pada elit-elit politik. Merekapun malas untuk didekati oleh para elit politik. Tetapi rakyat sangat dibutuhkan untuk menjalankan ritualitas lima tahunan. Ke manapun rakyat bersembunyi—entah di lubang semut ataupun di bawah selokan—nampaknya akan dicari. Akan diyakinkan dengan rayuan-rayuan atau sogokan-sogokan seperti uang, kaos partai, sembako, supermi, atau pembangunan mesjid, jembatan, atau jalan di kampungnya. Tapi ketidakpercayaan rakyat terhadap elit sudah tidak bisa diubah lagi nampaknya. Maka bisa saja mereka menerima sogokan atau bantuan (kebaikan yang dibuat-buat oleh elit yang ujungnya juga untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri). Tetapi rakyat hanya pura-pura menuruti, dan—sebagaimana rakyat sudah banyak belajar ilmu kepura-puraan dari sinetron dan opera sabun—ia bisa jadi menerima bantuan-bantuan dan sogokan-sogokan itu.

Tentang kisah sinetron tak usah diragukan lagi tentang ceritanya yang penuh ketidakpercayaan antar tokoh dan pemiannya, kelicikan, kekerasan, kekejaman, intrik yang digambarkan sangat dramatis. Kelicikan didramatisir melampaui apa yang terjadi. Atau memang semacam itulah cermin kalangan borjuis yang hari-harinya diwarnai intrik. Rakyat miskinpun nampaknya berpikir atau bahkan adayang meyakinkan diri bahwa dunia memang dipenuhi kekejaman, intrik, dan kelicikan. Maka, mereka berpikir, jika elit politik licik dan hanya datang ketika membutuhkan massa rakyat, ya pura-pura saja mendengar dan menerima saja.

Tetapi itu bagi rakyat yang kritis dan taktis—meskipun juga merupakan kesadaran dan tindakan pragmatis sebagaimana watak elit-elit yang dilihatnya. Jika Hannah Arendt pernah melontarkan tesis bahwa kekerasan menularkan kekerasan pada masyarakat, pragmatisme juga menularkan pragmatisme. Sebelum Arendt, Marx jauh-jauh hari sudah yakin bahwa ideologi (kelas) yang dominan masyarakat didominasi oleh ideologi atau cara berpikir (kelas) dominannya (elit). Maka mental rakyat rusak, menjadi prgamatis dan hanya akan berbuat jika disogok, karena tertular oleh kerusakan moral para elit dan pimpinan bangsanya.

Selain yang kritis, taktis, dan pragmatis, tidak sedikit rakyat yang over-apatis. Mereka cenderung lari pada kenyataan karena kenyataan selalu membohongi. Merekapun lari pada suatu hal yang mistik. Mereka menyerahkan hubungan sosial kepada suatu hal yang bersifat fatalis. Mereka hanya percaya pada Tuhan untuk mengatasi masalahnya, dan realitas hubungan rasional yang nyata dalam aras ikatan material (sosial, ekonomi, politik) disangkalnya. Inilah yang membuat elit-elit politik yang membungkus kepentingannya dengan label moral dan agama lumayan laku.

Tetapi juga semakin banyak orang yang, karena ketidakpercayaan, akhirnya tidak percaya pada kemanusiaan atau potensi kebaikan. Mereka adalah kalangan yang menjalani profesi yang oleh hukum disebut sebagai “kriminal” atau oleh agama disebut “para pendosa”. Maling, pemerkosa, pembunuh, perampok, dan lain-lainpun semakin banyak. Juga pelacur, pengemis, dan penipu.

Sekali lagi watak elit (penguasa yang menindas) di manapun dan kapanpun selalu menular pada masyarakat. Elitnya penipu dengan menebar janji-janji, rakyatnyapun terpaksa menjadi penipu untuk bertahan hidup. Elitnya merampok harta negara, rakyatnyapun banyak yang mencuri dan merampok untuk bertahan hidup. Pemerintahnya melalui tentaranya membunuh rakyat dan (bahkan) mahasiswa, rakyatnyapun banyak yang harus membunuh untuk bertahan hidup.

Kekerasan dan kebohongan semacam itu sudah melembaga. Hanya sedikit intelektual, tokoh, dan gerakan yang peduli. Pada hal, tindakan main hakim sendiri berupa perusakan, intimidasi, sampai penutupan tempat usaha atau ibadah tidak bisa dibiarkan lagi. Bukankah Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya? Negara mesti mencegah terulangnya kekerasan lewat penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Melawan watak dan mental yang rusak dan telah meluas tidaklah mudah. Memulihkan kepercayaan bukanlah hal yang mudah. Harus diwujudkan dengan tindakan konkrit, gerakan yang berlandaskan pada ideologi yang berangkat dari kondisi material yang menjadi sebab-sebab rusaknya mental masyarakat. Kepercayaan memiliki basis material dalam hubungan ekonomi. Kontradiksi ekonomi yang melahirkan kesenjangan kelas adalah jurang bagi manusia untuk saling berinteraksi dan berbagi ide-ide kemanusiaan.

Bagi para aktivis yang mengaku berjuang untuk kemanusiaan, bukan saatnya lagi bicara dan berwacana di seminar-seminar dalam gedung mewah atau berdiskusi di ruang kelas yang jauh dari jangkauan rakyat jelata. Sudah saatnya turun ke bawah terjun di kalangan buruh yang masih disiplin kerja, atau kaum tani yang masih percaya pada nilai-nilai “guyub rukun” yang menjadi basis ikatan sosial mereka. Rakyat harus dibiasakan dengan mendiskusikan masalah-masalah mereka, elit-elit politik harus diasingkan dari massa rakyat. Jika rakyat sudah percaya pada kekuatan politiknya, denga kesadaran (ideologi), program, strategi-taktik, dan tindakan yang maju, di situlah demokrasi sejati akan lahir. Dengan sendirinya bukan hanya kebohongan yang tertolak, tetapi juga muncul kemampuan rakyat untuk secara demokratis mengontrol sumberdaya ekonomi dan politik mereka sendiri—dan bukannya seperti yang dilakukan elit-elit yang menjual kekayaan alam dan tenaga kerja pada pemodal. Kepercayaan dalam kebersamaan dalam mengolah ekonomi ini juga menjadi cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers) kita dulu, juga semangat para pemuda pada saat mereka berniat untuk bersatu.***