Senin, 03 September 2007

HOMO HOMINI LUPUS: HILANGNYA KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT!


Oleh: Nurani Soyomukti



“… di jalanan kami sandarkan cita-cita.

Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya..

Orangtua, pandanglah kami sebagai manusia

Kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta.”

(Iwan Fals, “Bongkar)


Membangun sebuah hubungan sosial selalu harus dilandasi oleh kepercayaan. Lirik lagu Iwan Fals di atas menggambarkan pelarian seorang anak yang lari dari rumah karena keluarga tidak lagi bisa dipercaya, hanya sibuk mengurusi urusannya sendiri. Anakpun tidak cukup hanya diberi materi, tetapi mereka butuh kata-kata, penjelasan, sentuhan, dekapan, attachment, dan “cinta”. Ketika anak sudah tak lagi percaya pada orangtua, maka ikatan dalam keluarga telah retak dan masa depan keluarga tidak akan mampu menjamin terjaminnya pertumbuhan anak yang seharusnya manusiawi.

Jika Indonesia adalah sebuah keluarga, saat ini keluarga bangsa ini juga sedang retak. Anak-anak bangsa tidak lagi percaya pada negara: mereka lebih suka di jalan-jalan meluapkan ketidakpuasannya pada apa yang terjadi dan dihasilkan oleh pembangunan. Demonstrasi di jalan semakin massif, konflik dan kekerasan merajalela, ketertekanan dan ketegangan jiwa tiap anggota masyarakat semakin menguat. Lama-lama yang muncul adalah keputusasaan karena situasi yang diharapkan tak kunjung datang.

Karena kepercayaanlah, pemuda dari berbagai suku bangsa bisa mendeklarasikan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Karena kepercayaanlah mereka menyatukan diri untuk membangun sebuah bangsa yang besar. Karena kepercayaanlah mereka bersatu untuk melawan penjajah dan mengolah sebuah bangsa untuk kemakmuran dan keadilan.

Dan kini, karena ketidakpercayaanlah, orang saling membunuh, daerah-daerah ingin lepas dari kesatuan republik Indonesia , serta masing-masing ingin menyelamatkan dan menjalankan agenda atau kepentingannya sendiri-sendiri. Orang yang sudah berkuasa hanya ingin menjalankan kebijakan ekonomi-politik yang menguntungkan dirinya, keluarga, dan kelompoknya. Bahkan atas dasar ketidakpercayaan pula, mereka masih berusaha mendekat kepada rakyat pada saat dibutuhkan.

Elit politik tidak lagi percaya pada massa rakyat, maka mereka hanya pura-pura mewakili rakyat. Menjelang pemilu mereka akan butuh rakyat untuk mendukung ‘proyek politik’-nya, atau lebih tepatnya untuk mencoblos. Rakyat yang juga telah dibohongi berkali-kali—32 tahun di masa OrdeBaru dan dua kali pemilu nasional di era pasca-Soeharto—juga telah menyimpan rasa ketidakpercayaan yang kian meningkat pada elit-elit politik. Merekapun malas untuk didekati oleh para elit politik. Tetapi rakyat sangat dibutuhkan untuk menjalankan ritualitas lima tahunan. Ke manapun rakyat bersembunyi—entah di lubang semut ataupun di bawah selokan—nampaknya akan dicari. Akan diyakinkan dengan rayuan-rayuan atau sogokan-sogokan seperti uang, kaos partai, sembako, supermi, atau pembangunan mesjid, jembatan, atau jalan di kampungnya. Tapi ketidakpercayaan rakyat terhadap elit sudah tidak bisa diubah lagi nampaknya. Maka bisa saja mereka menerima sogokan atau bantuan (kebaikan yang dibuat-buat oleh elit yang ujungnya juga untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri). Tetapi rakyat hanya pura-pura menuruti, dan—sebagaimana rakyat sudah banyak belajar ilmu kepura-puraan dari sinetron dan opera sabun—ia bisa jadi menerima bantuan-bantuan dan sogokan-sogokan itu.

Tentang kisah sinetron tak usah diragukan lagi tentang ceritanya yang penuh ketidakpercayaan antar tokoh dan pemiannya, kelicikan, kekerasan, kekejaman, intrik yang digambarkan sangat dramatis. Kelicikan didramatisir melampaui apa yang terjadi. Atau memang semacam itulah cermin kalangan borjuis yang hari-harinya diwarnai intrik. Rakyat miskinpun nampaknya berpikir atau bahkan adayang meyakinkan diri bahwa dunia memang dipenuhi kekejaman, intrik, dan kelicikan. Maka, mereka berpikir, jika elit politik licik dan hanya datang ketika membutuhkan massa rakyat, ya pura-pura saja mendengar dan menerima saja.

Tetapi itu bagi rakyat yang kritis dan taktis—meskipun juga merupakan kesadaran dan tindakan pragmatis sebagaimana watak elit-elit yang dilihatnya. Jika Hannah Arendt pernah melontarkan tesis bahwa kekerasan menularkan kekerasan pada masyarakat, pragmatisme juga menularkan pragmatisme. Sebelum Arendt, Marx jauh-jauh hari sudah yakin bahwa ideologi (kelas) yang dominan masyarakat didominasi oleh ideologi atau cara berpikir (kelas) dominannya (elit). Maka mental rakyat rusak, menjadi prgamatis dan hanya akan berbuat jika disogok, karena tertular oleh kerusakan moral para elit dan pimpinan bangsanya.

Selain yang kritis, taktis, dan pragmatis, tidak sedikit rakyat yang over-apatis. Mereka cenderung lari pada kenyataan karena kenyataan selalu membohongi. Merekapun lari pada suatu hal yang mistik. Mereka menyerahkan hubungan sosial kepada suatu hal yang bersifat fatalis. Mereka hanya percaya pada Tuhan untuk mengatasi masalahnya, dan realitas hubungan rasional yang nyata dalam aras ikatan material (sosial, ekonomi, politik) disangkalnya. Inilah yang membuat elit-elit politik yang membungkus kepentingannya dengan label moral dan agama lumayan laku.

Tetapi juga semakin banyak orang yang, karena ketidakpercayaan, akhirnya tidak percaya pada kemanusiaan atau potensi kebaikan. Mereka adalah kalangan yang menjalani profesi yang oleh hukum disebut sebagai “kriminal” atau oleh agama disebut “para pendosa”. Maling, pemerkosa, pembunuh, perampok, dan lain-lainpun semakin banyak. Juga pelacur, pengemis, dan penipu.

Sekali lagi watak elit (penguasa yang menindas) di manapun dan kapanpun selalu menular pada masyarakat. Elitnya penipu dengan menebar janji-janji, rakyatnyapun terpaksa menjadi penipu untuk bertahan hidup. Elitnya merampok harta negara, rakyatnyapun banyak yang mencuri dan merampok untuk bertahan hidup. Pemerintahnya melalui tentaranya membunuh rakyat dan (bahkan) mahasiswa, rakyatnyapun banyak yang harus membunuh untuk bertahan hidup.

Kekerasan dan kebohongan semacam itu sudah melembaga. Hanya sedikit intelektual, tokoh, dan gerakan yang peduli. Pada hal, tindakan main hakim sendiri berupa perusakan, intimidasi, sampai penutupan tempat usaha atau ibadah tidak bisa dibiarkan lagi. Bukankah Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya? Negara mesti mencegah terulangnya kekerasan lewat penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Melawan watak dan mental yang rusak dan telah meluas tidaklah mudah. Memulihkan kepercayaan bukanlah hal yang mudah. Harus diwujudkan dengan tindakan konkrit, gerakan yang berlandaskan pada ideologi yang berangkat dari kondisi material yang menjadi sebab-sebab rusaknya mental masyarakat. Kepercayaan memiliki basis material dalam hubungan ekonomi. Kontradiksi ekonomi yang melahirkan kesenjangan kelas adalah jurang bagi manusia untuk saling berinteraksi dan berbagi ide-ide kemanusiaan.

Bagi para aktivis yang mengaku berjuang untuk kemanusiaan, bukan saatnya lagi bicara dan berwacana di seminar-seminar dalam gedung mewah atau berdiskusi di ruang kelas yang jauh dari jangkauan rakyat jelata. Sudah saatnya turun ke bawah terjun di kalangan buruh yang masih disiplin kerja, atau kaum tani yang masih percaya pada nilai-nilai “guyub rukun” yang menjadi basis ikatan sosial mereka. Rakyat harus dibiasakan dengan mendiskusikan masalah-masalah mereka, elit-elit politik harus diasingkan dari massa rakyat. Jika rakyat sudah percaya pada kekuatan politiknya, denga kesadaran (ideologi), program, strategi-taktik, dan tindakan yang maju, di situlah demokrasi sejati akan lahir. Dengan sendirinya bukan hanya kebohongan yang tertolak, tetapi juga muncul kemampuan rakyat untuk secara demokratis mengontrol sumberdaya ekonomi dan politik mereka sendiri—dan bukannya seperti yang dilakukan elit-elit yang menjual kekayaan alam dan tenaga kerja pada pemodal. Kepercayaan dalam kebersamaan dalam mengolah ekonomi ini juga menjadi cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers) kita dulu, juga semangat para pemuda pada saat mereka berniat untuk bersatu.***

Tidak ada komentar: