Rabu, 10 Desember 2008
MANUSIA TANPA BATAS
Heaven knows, no frontiers… and I’ve seen heaven in your eyes…
(The Corrs, lirik ‘No Frontiers’)
OLEH Nurani soyomukti
Puji syukur kepada Tuhan, akhirnya gawe penulisan karya ini terselesaikan. Puji syukur pada kebesaran alam yang telah menyediakan ruang dan waktunya, memberikan udara yang membuat saya masih bisa bernafas, yang menyuguhkan tanaman, hewan, dan berbagai kemajuan teknik bagi saya agar dapat mempertahankan hidup dan mendapatkan kemudahan-kemudahan. Bagian alam yang modern, komputer, labtop (notebook), mesin cetak, alat transportasi, dll memungkinkan karya (buku) ini dapat diproses dan disajikan di hadapan pembaca.
Jasa yang paling utama tentu saja pada para buruh-tani dan rakyat pekerja yang tanpa kerja mereka buku ini tak dapat tersaji. Dari hutan, ada kayu yang dipotong, diproses dalam industri menjadi kertas; ada mesin yang berjalan, dan ada produk-produk yang memungkinkan karya ini tersaji jadi buku—semua perubahan dari bahan mentah menjadi produk jadi itu tak mungkin terjadi tanpa tangan-tangan, kaki-kaki, dan tenaga para butuh dan tani. Bahkan ide-ide/gagasan, dan dinamika ideologis dan pemikiran yang terdapat dalam otak dan hati saya, tak mungkin tercipta tanpa kerja mereka. Kehidupan saya, segala perkembangan material di dunia ini, terjadi karena kerja-kerja buruh. Ada bahan tak akan tercipta produk dan produksi; ada mesin tanpa perlakukan kerja buruh, tak akan berjalan mesin itu.
Dan karya yang berbicara tentang ‘kebebasan’ ini memang saya maksudkan untuk memunculkan filsafat tentang kebebasan yang ada dalam kehidupan. Betapa banyak “kebebasan” diucapkan dan dicita-citakan, tetapi manusia modern justru—entah sadar atau tidak—telah “lari dari kebebasan” (escape from freedom), begitulah Erich Fromm mengatakan yang sekaligus menjadi judul dari karya psikologi-sosialnya.
Pergumulan saya dengan teori spikologi-kritis seperti (psikoanalisa) Sigmund Freud, Erich Fromm bersama analisa sosial Karl Marx telah menjadi landasan teoritis-filosofis dari seluruh karya-karya saya—tak heran pula dalam semua buku-buku saya nama-nama mereka selalu hadir dan kata-katanya selalu saya kutip. Mereka berbicara tentang manusia, membongkar alam bawah sadar dan mendekonstruksi tatanan material di luar diri manusia yang menjadi belenggu kebebasan sebagai patokan hidup manusia. Sungguh “kebebasan” adalah cita-cita manusia-manusia modern. Dan sayangnya kebebasan sejati, kebebasan yang bermakna, atau minimal hilangnya belenggu penindasan, belumlah hadir dalam kehidupan kita.
Kali ini, dalam karya ini, saya memang tak lagi berbicara para level makro yang mengharuskan saya berbicara masalah ekonomi-politik pada tingkat negara atau global. Belakangan saya tertarik untuk menyelediki berbagai (sumber) kontradiksi yang terjadi dalam hubungan yang lebih sempit seperti keluarga atau hubungan dalam pernikahan atau pacaran. Tentu saja saya menariknya dari kontradiksi pokok makro-sosial (dan ekonomi-politiknya).
Pada kenyataannya belenggu-belenggu penindasan itu juga terjadi di level yang paling kecil sekalipun, antara dua orang yang pacaran atau membangun hubungan pernikahan, juga dalam keluarga sebagai institusi (lembaga) yang masih mencirikan masyarakat kini. Di dalam keluarga, dalam pacaran, pernikahan, dalam lembaga pendidikan kebebasan dan kesetaraan telah hilang. Sumber-sumber hilangnya kebebasan dalam lembaga-lembaga dan hubungan-hubungan itulah yang saya uraikan dalam buku berjudul “Manusia Tanpa Batas” ini. Saya juga membuat konsep-konsep dan rekomendasi-rekomendasi bagi mereka yang mendambakan pembangunan hubungan dan lembaga yang tidak menghilangkan makna kebebasan di dalamnya. Termasuk kiat-kiat ‘kebebasan’ untuk menumbuhkan jiwa-jiwa yang produktif dan kreatif dari keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat.
Anak-anak yang lahir dari kekangan-kekangan akan tumbuh menjadi anak-anak yang fasis dan cacat secara psikologis, anak-anak yang tidak ekspresif dan pertumbuhannya juga tak sehat. Artinya, prinsip kebebasan dapat digunakan untuk menumbuhkan mental-spiritual. Ruang kebebasan yang sehat juga akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang sehat dan cerdas. Tetapi kebebasan yang tidak sehat dan tidak bermakna hanya akan melahirkan centang-perenang di masyarakat.
Secara khusus, buku ini saya persembahkan untuk mereka yang ingin menjadi manusia bebas, orang-orang yang ingin berperan secara luas dalam masyarakat untuk membangun demokrasi dan kesetaraan di masyarakat; untuk mereka yang ingin terbang mengelilingi bumi hingga perannya lebih luas. Mereka bukanlah orang-orang yang ingin bebas melakukan apa saja terutama kebebasan yang justru merugikan kebebasan orang lain. Kebebasan yang menghasilkan tindakan yang membuat orang lain sengsara bukanlah kebebasan, tapi destruksi. Mereka yang telah banyak kehilangan waktunya untuk mengejar kepentingan sempit pribadi dan menghabiskan banyak waktu untuk kerja-kerja produktif untuk anak-anak, untuk kekasih, dan yang masih mau mendampingi rakyat untuk melepaskan diri dari penindasan ekonomi, sosial, politik, dan budaya… para aktifis yang berjuang untuk penyadaran, kesetaraan, keadilan, dan demokrasi—kepada merekalah buku ini saya haturkan.
Kepada para suami yang tidak menghormati istrinya dan memberinya peran yang layak sebagai manusia seperti dirinya (sang suami); kepada seorang istri yang memahami bahwa posisinya adalah untuk anak-anak dan masyarakatnya, yang merelakan dirinya dalam keadaan sakit melahirkan anak-anak yang diharapkan akan menjadi manusia yang berperan luas di dunia, dan bukan sekedar mencekokinya dengan gelimangan materi dan uang atau kekayaan; kepada para ibu dan bapak yang telah berniat merawat anak-anak dengan kebebasan yang bermakna; kepada para pecinta (para pasangan) yang menjalin hubungan (‘pacaran’) bukan hanya untuk ‘gaul-gaulan’ atau untuk memenuhi tujuan-tujuan sempit (seks bebas); kepada dua orang terkasih yang memahami apa makna hidup dan bagaimana harus berperan untuk perubahan—kepada merekalah buku ini saya persembahkan.***
-----------------------------------------------------
(The Corrs, lirik ‘No Frontiers’)
OLEH Nurani soyomukti
Puji syukur kepada Tuhan, akhirnya gawe penulisan karya ini terselesaikan. Puji syukur pada kebesaran alam yang telah menyediakan ruang dan waktunya, memberikan udara yang membuat saya masih bisa bernafas, yang menyuguhkan tanaman, hewan, dan berbagai kemajuan teknik bagi saya agar dapat mempertahankan hidup dan mendapatkan kemudahan-kemudahan. Bagian alam yang modern, komputer, labtop (notebook), mesin cetak, alat transportasi, dll memungkinkan karya (buku) ini dapat diproses dan disajikan di hadapan pembaca.
Jasa yang paling utama tentu saja pada para buruh-tani dan rakyat pekerja yang tanpa kerja mereka buku ini tak dapat tersaji. Dari hutan, ada kayu yang dipotong, diproses dalam industri menjadi kertas; ada mesin yang berjalan, dan ada produk-produk yang memungkinkan karya ini tersaji jadi buku—semua perubahan dari bahan mentah menjadi produk jadi itu tak mungkin terjadi tanpa tangan-tangan, kaki-kaki, dan tenaga para butuh dan tani. Bahkan ide-ide/gagasan, dan dinamika ideologis dan pemikiran yang terdapat dalam otak dan hati saya, tak mungkin tercipta tanpa kerja mereka. Kehidupan saya, segala perkembangan material di dunia ini, terjadi karena kerja-kerja buruh. Ada bahan tak akan tercipta produk dan produksi; ada mesin tanpa perlakukan kerja buruh, tak akan berjalan mesin itu.
Dan karya yang berbicara tentang ‘kebebasan’ ini memang saya maksudkan untuk memunculkan filsafat tentang kebebasan yang ada dalam kehidupan. Betapa banyak “kebebasan” diucapkan dan dicita-citakan, tetapi manusia modern justru—entah sadar atau tidak—telah “lari dari kebebasan” (escape from freedom), begitulah Erich Fromm mengatakan yang sekaligus menjadi judul dari karya psikologi-sosialnya.
Pergumulan saya dengan teori spikologi-kritis seperti (psikoanalisa) Sigmund Freud, Erich Fromm bersama analisa sosial Karl Marx telah menjadi landasan teoritis-filosofis dari seluruh karya-karya saya—tak heran pula dalam semua buku-buku saya nama-nama mereka selalu hadir dan kata-katanya selalu saya kutip. Mereka berbicara tentang manusia, membongkar alam bawah sadar dan mendekonstruksi tatanan material di luar diri manusia yang menjadi belenggu kebebasan sebagai patokan hidup manusia. Sungguh “kebebasan” adalah cita-cita manusia-manusia modern. Dan sayangnya kebebasan sejati, kebebasan yang bermakna, atau minimal hilangnya belenggu penindasan, belumlah hadir dalam kehidupan kita.
Kali ini, dalam karya ini, saya memang tak lagi berbicara para level makro yang mengharuskan saya berbicara masalah ekonomi-politik pada tingkat negara atau global. Belakangan saya tertarik untuk menyelediki berbagai (sumber) kontradiksi yang terjadi dalam hubungan yang lebih sempit seperti keluarga atau hubungan dalam pernikahan atau pacaran. Tentu saja saya menariknya dari kontradiksi pokok makro-sosial (dan ekonomi-politiknya).
Pada kenyataannya belenggu-belenggu penindasan itu juga terjadi di level yang paling kecil sekalipun, antara dua orang yang pacaran atau membangun hubungan pernikahan, juga dalam keluarga sebagai institusi (lembaga) yang masih mencirikan masyarakat kini. Di dalam keluarga, dalam pacaran, pernikahan, dalam lembaga pendidikan kebebasan dan kesetaraan telah hilang. Sumber-sumber hilangnya kebebasan dalam lembaga-lembaga dan hubungan-hubungan itulah yang saya uraikan dalam buku berjudul “Manusia Tanpa Batas” ini. Saya juga membuat konsep-konsep dan rekomendasi-rekomendasi bagi mereka yang mendambakan pembangunan hubungan dan lembaga yang tidak menghilangkan makna kebebasan di dalamnya. Termasuk kiat-kiat ‘kebebasan’ untuk menumbuhkan jiwa-jiwa yang produktif dan kreatif dari keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat.
Anak-anak yang lahir dari kekangan-kekangan akan tumbuh menjadi anak-anak yang fasis dan cacat secara psikologis, anak-anak yang tidak ekspresif dan pertumbuhannya juga tak sehat. Artinya, prinsip kebebasan dapat digunakan untuk menumbuhkan mental-spiritual. Ruang kebebasan yang sehat juga akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang sehat dan cerdas. Tetapi kebebasan yang tidak sehat dan tidak bermakna hanya akan melahirkan centang-perenang di masyarakat.
Secara khusus, buku ini saya persembahkan untuk mereka yang ingin menjadi manusia bebas, orang-orang yang ingin berperan secara luas dalam masyarakat untuk membangun demokrasi dan kesetaraan di masyarakat; untuk mereka yang ingin terbang mengelilingi bumi hingga perannya lebih luas. Mereka bukanlah orang-orang yang ingin bebas melakukan apa saja terutama kebebasan yang justru merugikan kebebasan orang lain. Kebebasan yang menghasilkan tindakan yang membuat orang lain sengsara bukanlah kebebasan, tapi destruksi. Mereka yang telah banyak kehilangan waktunya untuk mengejar kepentingan sempit pribadi dan menghabiskan banyak waktu untuk kerja-kerja produktif untuk anak-anak, untuk kekasih, dan yang masih mau mendampingi rakyat untuk melepaskan diri dari penindasan ekonomi, sosial, politik, dan budaya… para aktifis yang berjuang untuk penyadaran, kesetaraan, keadilan, dan demokrasi—kepada merekalah buku ini saya haturkan.
Kepada para suami yang tidak menghormati istrinya dan memberinya peran yang layak sebagai manusia seperti dirinya (sang suami); kepada seorang istri yang memahami bahwa posisinya adalah untuk anak-anak dan masyarakatnya, yang merelakan dirinya dalam keadaan sakit melahirkan anak-anak yang diharapkan akan menjadi manusia yang berperan luas di dunia, dan bukan sekedar mencekokinya dengan gelimangan materi dan uang atau kekayaan; kepada para ibu dan bapak yang telah berniat merawat anak-anak dengan kebebasan yang bermakna; kepada para pecinta (para pasangan) yang menjalin hubungan (‘pacaran’) bukan hanya untuk ‘gaul-gaulan’ atau untuk memenuhi tujuan-tujuan sempit (seks bebas); kepada dua orang terkasih yang memahami apa makna hidup dan bagaimana harus berperan untuk perubahan—kepada merekalah buku ini saya persembahkan.***
-----------------------------------------------------
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
KEPULAUAN SUA BUTUH PERUBAHAN
HAI SUA BUTUH PERUBAHAN
Posting Komentar