Rabu, 20 Januari 2010

PEMILIHAN BUPATI BUKAN UNTUK RAKYAT!


[Oleh: Nurani Soyomukti]


Ini adalah obrolan antara saya dengan dua orang kawan saat kami sedang ‘nyangkruk’ sambil ‘ngobrol’ sambil ‘nyruput’ susu jahe dan kopi di alun-alun Trenggalek.

“Insya Allah ...kita bisa memilih Bupati yang terbaik dari semua calon yang bai baik...Amin”, kata teman saya waktu itu.

Saya menjawab: :Siapa saja berhak jadi bupati Trenggalek, dan sapa saja berhak MEMILIH atau TIDAK MEMILIH... Kalau memilih mudah-mudahan tak keliru agar tidak menyesal di kemudian hari, tetapi kalau bisa jangan hanya memilih, sebab suara sejati bukan dengan kertas, tetapi gerakan dan organisasi yang punya kekuatan utk mengontrol pemerintahan daerah...”

“Ya kalau bisa, diusahakan haknya di pakai untuk memilih, memilih yang benar-benar ‘Pas’.. sesuai harapan kita. Masalah Organisasi dan Gerakan..perlu..tetapi nggak usah banyak-banyak...masalahnya
kalau DPRD sudah bekerja Maksimal sesuai fungsinya pengawasan cukup di DPRD...Insya Alloh kalau semua sudah bekerja Profesional sesuai fungsinya Trenggalek akan bisa bersaing dengan Kabupaten Lain. Amin”, katanya dengan nada yang relijius.

Lalu saya menimpalinya: “Waduh,.kalau pilihan, tidak memilih ya tidak apa-apa. Kan memilih maupun tidak itu Hak universal tuh... kita jangan hanya berharap, tetapi ayo berbuat... kebanyakan orang hanya berharap dan mengeluh, menurut saya, ya kita harus mengajari rakyat untuk aktif... biar demokrasi tumbuh... kalau ada kontrak politik kerakyatan dan itu terjadi antara kemauan rakyat yang butuh kesejahteraan dengan calon bupati kan ‘asyik’... jadi tidak ada CEK KOSONG. Dan itu terjadi secara benar dan terjaga jika rakyat tidak hanya bersandar pada NYOBLOS. Yang harus terjadi adalah adanya dinamika politik dengan kesadaran akan haknya dengan diiringi gerakan... jadi ini adalah demokrasi substansial, yaitu KETERLIBATAN (PARTISIPASI) dan KESADARAN... “

Seorang teman lainnya menimpali: “Duh duh duh... Semua pakar politik ini.. wis aku seng penting memperjuangkan pilihanku wae, yg lain-lain aku kurang paham”.

“Hanya orang picik yang tidak mau belajar dan pasrah pada KETIDAKPAHAMAN-nya.... Aneh! Kamu benar-benar aneh, kawan”, tukasku pada dia.

***
Ya, demokrasi selama ini memang dimaknai sebagai keterlibatan. Tetapi partisipasi selama ini hanya dilihat dari coblos-menyoblos... dan itu hanya sebenarnya tak lebih dari politik "MANUT GRUBYUK".. dengan konsesi praktis, yaitu akan nyoblos hanya karena diberi kaos, supermi, beras, uang receh, dan janji palsu... keterlibatan itu hanya hanyalah semu, karena tak didukung kesadaran... tetapi sadar dan tahu tanpa bergerak dan terlibat juga hanya akan jadi intelektualitas, ONANI (MASTURBASI)... Teori tanpa aksi=masturbasi! Aksi tanpa teori= .....?... Apa ya?

Ya tak usah bilang kalau kita pakar politik... kita semua belajar dan mengatakan sesuatu dengan alasan, bukti, dan gak hanya mengumbar kebohongan, keputusasaan, keraguan, ketakutan, dan watak-watak menjijikkan itu

Kita semua harus belajar dan harus mengatakan sesuatu dengan alasan, bukti, dan tidak hanya mengumbar kebohongan, keputusasaan, keraguan, ketakutan, dan watak-watak menjijikkan itu! Kita semua harus suka LEARNING SOCIETY, MASYARAKAT PEMBELAJAR! Jadi agak aneh kalau orang bangga dengan ketidakpahamannya dan memilih sesuatu tanpa alasan... masih banyak orang seperti itu di dunia ini!

Kita harus percaya: DUA HAL YANG SECARA MATERIAL BERBEDA, JELAS SECARA KUALITATIF BERBEDA... DUA HAL YANG SECARA MATERIAL DIBANDINGKAN, pasti ada yang berbeda kalau fakta materialnya berbeda...... DI ANTARA DUA HAL PASTI ADA YANG BENAR DAN YANG SALAH,,, jadi agak lucu kalau orang memilih tapi tidak ada alasannya... ada alasan tapi gak mau mengatakan ada dua pilihan: (1) takut kalau pilihannya salah dan malu kalau orang lain tahu; (2) tahu pilihannya salah dan malu kalau orang lain tahu serta ada agenda pribadi yang malu jika diungkapkan; (3) tahu pilihannya benar, tetapi ia tak mau mengabarkan kebenaran—jadi, ia egois dan akan memainkan kebenaran itu mungkin utk dirinya sendiri....

jadi, silahkan, kalau mau belajar dewasa dalam politik dan berdemokrasi, kita harus punya nyali dan tidak sekedar ikut-ikutan ('manut grubyuk')... banyak orang ngomong sesukanya, kadang malah bikin bingung, atau asal ngomong asal bisa tampil... dan tak pernah menuntaskan sesuatu atau tak serius.. Hingga, hidupnya cuma main-main.. Dalam praktik politik: jadinya ya hanya permainan politik, yang tentu menyimpan agenda picik anti-kerakyatan.. di atas ketololan inilah politik kita berjalan.. lalu, apakah kita mau terus-terusan berada dalam budaya kemunafikan seperti ini?
Prototipe orang Jawa: mengalah, tunduk, lugu, dan terkesan diam atau takut pada kenyataan... ya kalau memang diapusi ya bilang “diapusi”, kalau salah ya harus kita katakan salah! Dalam hidup ini kita kan melihat kenyataan-kenyataan, pengalaman-pengalaman seharusnya membuat kita belajar dan sampai pada kesimpulan bahwa cara berpolitik kita sangat salah secara mendasar, termasuk cara berfikir pasrah-ngalah, yang merupakan mental INLANDER, warisan kompeni.. Kita memang dijajah 350 tahun dan perlawanan-perlawanan selalu kalah, mulai dari perang Diponegoro, dll... dan bahkan kita seakan dalam alam bawah sadar tertanam bahwa kita ini selalu jadi pengikut dan terjajah.... mental terjajah ini harus kita hancurkan, karena inilah yang membuat bangsa kita tak maju-maju... termasuk takut kebenaran, acuh pada kenyataan, hanya berharap dan tergantung (pada elit politik atau pemerintah)...

Ada yang bilang: “Serahkan semuanya pada yang punya kepentingan, kita berharap saja... Jadi tak bakalan ada yang kecewa karena di apusi”....

Ah, kok “nemen”. Pada hal setahu saya: Penindasan/kebohongan/kemi
skinan yang membuat rakyat kecewa... Bagi yang mengatakan “siapa bilang rakyat kecewa?”, saya harap Mbok sekali-sekali jangan terus-terusan naik mobil, tetapi mbok ya sekali-sekalin naik angkot biar ngerti bagaimana kekecewaan rakyat akan harga-harga yang kian mahal dan hidup yang sulit...

lihatlah apa yang sedang terjadi, saat ini, KECEWA dengan penguasa tak hanya dilampiaskan dalam aksi dan gerakan massa, tetapi SALAHNYA (unfortunetely) dilampiaskan pada istrinya, hingga suami yang di-PHK melakukan kekerasan.. itu fakta psikologis akibat ketimpangan material pakde......

Mbok ya kita berangkat dari hal yang nyata, lalu bergerak....tak hanya berharap berharap dan berharap... yang cara ini terbukti memperlama masa ketertindasan.. budaya inlander harus dihancurkan, Indonesia (trenggalek) harus bangkit, rakyat harus berkesadaran...[]

*) Kedungsigit, 8 Januari 2009

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Mas. pake read moore ajja lho..biar nggak panjang-panjang. Jadi aku yakin pasTi lebih padet dan menarik ^^

Anonim mengatakan...

saya telah membaca buku karangan nurani soyomukti berjudul 'teori-teori pendidikan' buku tersebut sangat membantu saya sebagai bahan literatur pembuatan skripsi saya yag berjudul 'epistemologi pendidikan islam. salam kenal dari saya 'imam badrudin'.