Senin, 14 Januari 2008

Intelektual dan Elitisme:


Dibutuhkan Intelektual Yang Bertindak

Oleh: Nurani Soyomukti


Menjelang tahun 2009, dapat dipastikan pula jumlah intelektual di negeri ini akan berkurang. Bisa juga posisi dan peran mereka tak lagi begitu bermakna karena semua pernyataan lisan dan tulisan yang mereka buat hanya akan terserap dalam logika dukung-mendukung atau menentang, terserap dalam pertarungan yang bersifat politis dan taktis. Pertanyaan yang sering muncul dalam kondisi seperti itu biasanya adalah: lalu dimanakah para intelektual yang dapat diharapkan untuk merubah nasib rakyat?

Sebenarnya potensi kaum intelektual masihlah besar disbanding para politisi karena para politisi telah mendapatkan reaksi yang negatif, terbukti rakyat kian apatis terhadap mekanisme politik formal. Apalagi alat politik formal seperti partai politik (parpol) telah terbukti, berdasarkan penelitian, sebagai lembaga yang paling korup. Demikian juga dewan perwakilan. Rakyat merasa tak lagi terwakili oleh “wakil rakyat”, pun melihat partai politik bukan sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka tetapi sebagai suatu organisasi yang menjijikkan.

Di tengah apatisme rakyat terhadap nasib mereka, hubungan social akan terancam jika mereka tidak mendapatkan kepercaan diri atau semacam sandaran eksistensi. Sebagai kumpulan individu yang mengalami proses psikologis dalam kaitannya dengan posisi mereka sebagai manusia yang berada dalam lingkungan material kehidupan, rakyat membutuhkan sandaran eksistensial. Sandaran eksistensi ini tentunya secara sosial adalah munculnya kepemimpinan yang bukan hanya mampu menjelaskan pada mereka tentang apa yang terjadi, tetapi sekaligus memenuhi kebutuhan-kebutuhan material mereka.

Kepemimpinan nasional terbukti gagal, demikian juga kepemimpinan daerah. Sehingga banyak pengamat yang menegaskan dibutuhkannya kepemimpinan alternatif. Kepemimpinan alternatif secara ideal memang harus memiliki posisi dan peran sebagaimana kaum intelektual. Lalu siapakah kaum intelektual itu? Apakah mereka adalah orang yang dianggap netral yang bikin pernyataan-pernyataan hati-hati dan tidak menyerang atau membela pihak-pihak yang sedang bertarung dalam kekuasaan?

Intelektual dan Tindakan
Sayangnya, kekuasaan selalu diidentikan dengan suatu hal yang negatif. Pada hal mustahil kita akan merubah sesuatu tanpa memegang kekuasaan karena sumber-sumber utama untuk membuat kebijakan berhubungan dengan kekuasaan. Pandangan yang salah lainnya berkaitan dengan identifikasi bahwa intelektual adalah orang yang hanya dibutuhkan pikiran-pikirannya dan bukan tindakannya. Sehingga intelektual hanyalah mereka yang berada di belakang meja, yang focus kegiatannya sekedar berbicara, menulis, dan berpikir. Kalau toh ia menggerakkan tubuhnya, ia hanya melakukan penelitian (di lapangan).

Pemahaman tersebut sangatlah feudal. Dan kita tahu bahwa feudalisme adalah musuh demokrasi karena tatanan yang bertumpu pada filsafat feudal telah ditumbangkan melalui berbagai macam revolusi demokratik di Negara-negara Barat tempo sejak 200 tahun yang lalu. Pandangan itu juga menunjukkan adanya suatu indikasi bahwa cara pandang masyarakat kita belum demokratis, mendewakan elitisme dan konservatisme. Pandangan itu harus dihancurkan dan dibutuhkan cara berpikir baru bahwa intelektual bukanlah orang yang hanya berpikir, tetapi juga yang bertindak. Dalam hal ini kerja pengetahuan tak harus dipisahkan dengan kerja konkrit. Mengetahui juga harus bermakna bergerak dan bertindak untuk merubah keadaan yang tidak sesuai dengan ukuran-ukuran yang dibuat berdasarkan analisa objektif.

Sejarah terpisahnya antara kerja fisik dengan kerja intelektual memunculkan elitisme bagi mereka yang merasa memiliki ilmu pengetahuan lebih. Mereka merasa bahwa ilmu pengetahuan, informasi, dan intelektualitas yang dimilikinya terpisah dari relasi dialektis dalam hubungan kelas. Dan bahkan mereka memembenci kerja fisik, merasa eksklusif dan bahkan butuh dihormati karena monopoli intelektualitas itu. Bahkan mereka jijik pada orang lain yang menghabiskan waktunya untuk kerja fisik.

Allan Wood dalam bukunya yang berjudul Reason and Revolt (1996) menemukan kecenderungan yang menjijikkan di kalangan kaum “intelektual” masa lalu. Mereka adalah para pemonopoli pengetahuan dan kalangan kelas eksklusif yang begitu mengagung-agungkan kesempatannya dalah mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi serta kekayaan matertial. Aristokrasi intelektual itu bahkan secara terang-terangan mengungkapkan kejijikan mereka akan kerja-kerja fisik. Kutipan berikut berasal dari teks Mesir yang dikenal sebagai The Satire on the Traders, yang ditulis sekitar tahun 2000 SM dan diperkirakan berisi nasehat dari seorang ayah kepada anaknya, yang ia kirim ke Sekolah Menulis untuk berlatih menjadi seorang juru tulis:
"Saya telah melihat bagaimana seorang pekerja kasar disuruh untuk bekerja kasar—kamu harus mengeraskan hati kamu dalam mempelajari tulisan. Dan saya telah mengamati bagaimana seseorang dapat menghindari pekerjaannya. Lihatlah, tidak sesuatupun yang dapat melebihi tulisan…. Saya telah melihat bagaimana seorang pandai besi bekerja di depan mulut tungku apinya. Jari-jarinya menjadi mirip jari-jari buaya; batu tubuhnya melebihi bau seekor ikan busuk….Seorang kuli pembangun rumah mengusung lumpur…. Ia lebih kotor dari seorang gelandangan atau babi karena ia mengarungi lumpur. Bajunya kaku karena dilumuri tanah liat….”

Yang mengkawatirkan, jangan-jangan kebencian pada kerja fisik ini terjadi dalam alam bawah sadar kaum intelektual dan pemegang informasi yang tidak menyadari bahwa posisinya disangga oleh kerja-kerja fisik rakyat yang menyediakan banyak hal, memenuhi kebutuhan-kebutuhan materialnya dalam relasi eksploitatif pada struktur kelas. Kalau itu terjadi, intelektual tentu akan selalu menjadi kekuatan anti-demokrasi. Sayangnya, kebanyakan kaum intelektual di era ini berasal dari kelas menengah dan bukan kelas penguasa dari keluarga raja-raja seperti jaman feudal.

Mereka kini berasal dari kelas menengah yang menjadi penyangga struktur social yang ada. Posisi kelas ini di satu sisi dapat terseret pada kepentingan kekuasaan, di sisi lain dapat terseret pada kepentinga rakyat miskin yang sedang ditindas. Dalam kaitannya dengan kondisi ini, Antonio Gramsci, sebagaimana diulas Tom Bottomore (dalam A Dictionary of Marxist Thought, 1988: 194 dan 231), membedakan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual organis yang berarti kaum intelektual yang merespons dan mengalami keterlibatan dalam kebutuhan-kebutuhan kelas progresif yang baru. Mereka berupaya mengorganisasikan tatanan sosial yang baru.

Kedua, intelektual tradisional yang memiliki arti sebagai kelompok intelektual yang memiliki kebiasaan untuk kembali pada periode historis sebelumnya. Mereka menganggap diri sebagai kelas atau komunitas yang terpisah dari masyarakat. Mereka hanya menuliskan kondisi rakyat dan mendiskusikannya untuk kepuasan individual, sekedar menjalani aktivitas akademik atau untuk menghasilkan uang. Mereka tidak mau menggugah kesadaran dan membangkitkan gerakan untuk mengontrol dan melawan penyimpangan. Mereka tidak berperan sama sekali untuk perubahan realitas material. Mereka hanya berpuas diri dengan meneliti, menulis, berbicara di ruang mewah. Mereka hal itu lebih berguna dari pada terjun langsung ke basis masyarakat, membuat gerakan, dan berjejaring dengan kelompok lainnya untuk mengkonkretkan gagasan-gagasan perubahan. Kemustahilan peran peran intelektual tradisional terhadap demokrasi yang didasarkan pada partisipasi aktif dan kesadaran maju tersebut disinggung oleh Wiji Thukul dalam puisinya: “…dunia bergerak bukan karena omongan/para pembicara dalam ruang seminar/yang ucapannya dimuat/di halaman surat kabar//Mungkin pembaca terkagum-kagum/tapi dunia tak bergerak/setelah surat kabar itu dilipat”. Wallahu’alam!

Tidak ada komentar: