Oleh:
Nurani SoyomuktiAktif di JAMAN (Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional) Jawa Timur
Meninggalkan tahun 2007, kita masih dihadapkan pada kondisi nasional yang belum menuju pada idealitas kebangsaan. Tak heran jika beranjak pada tahun baru 2008 ini, kita masih menyisakan satu pekerjaan rumah (PR) untuk memperbaiki bangsa ini. Isu yang masih aktual dan nampaknya akan semakin kuat? Adalah mengenai kepemimpinan nasional. Meskipun isu ini bukan satu-satunya kata kunci dalam upaya untuk mengubah kondisi menuju tatanan yang adil, aspek kepemimpinan nasional tidak bisa dikatakan strategis untuk membawa kondisi social. Apalagi untuk ukuran bangsa Indonesia di mana masyarakatnya masih tergantung pada pemimpin dan tokoh, memilih pemimpin yang baik tentunya akan berhubungan dengan perbaikan nasib rakyat secara umum.
Meskipun demikian, bukan berarti kepemimpinan yang kita harapkan akan muncul terpisah dari massa atau menyisakan kesadaran massa yang tertinggal. Kalau itu terjadi berarti sama dengan kebohongan karena kedewasaan berpikir dan bertindak massa dengan munculnya pemimpin yang maju tak bisa dipisahkan. Keselarasan antara keduanya adalah prasyarat bagi demokrasi sejati, bukan demokrasi yang manipulatif dan semu. Jika pemimpin muncul tanpa kedewasaan kesadaran massa, potensi untuk menempatkan massa sebagai objek akan terjadi. Jika massa terlibat aktif dalam politik dan memiliki kesadaran yang objektif pula, maka tidak ada celah sedikitpun bagi pemimpin untuk elitis, untuk memanipulasi, membohongi, dan menindasnya. Singkatnya, dialektika kepemimpinan harus dicerminkan dari dialektika massa.
Membangun Kepercayaan
Jika Indonesia adalah sebuah keluarga, saat ini keluarga bangsa ini juga sedang retak. Anak-anak bangsa tidak lagi percaya pada negara: mereka lebih suka di jalan-jalan meluapkan ketidakpuasannya pada apa yang terjadi dan dihasilkan oleh pembangunan. Demonstrasi di jalan semakin massif, konflik dan kekerasan merajalela, ketertekanan dan ketegangan jiwa tiap anggota masyarakat semakin menguat. Lama-lama yang muncul adalah keputusasaan karena situasi yang diharapkan tak kunjung datang.Karena kepercayaanlah, pemuda dari berbagai suku bangsa bisa mendeklarasikan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Karena kepercayaanlah mereka menyatukan diri untuk membangun sebuah bangsa yang besar. Karena kepercayaanlah mereka bersatu untuk melawan penjajah dan mengolah sebuah bangsa untuk kemakmuran dan keadilan.
Dan kini, karena ketidakpercayaanlah, orang saling membunuh, daerah-daerah ingin lepas dari kesatuan republik Indonesia, serta masing-masing ingin menyelamatkan dan menjalankan agenda atau kepentingannya sendiri-sendiri. Orang yang sudah berkuasa hanya ingin menjalankan kebijakan ekonomi-politik yang menguntungkan dirinya, keluarga, dan kelompoknya. Bahkan atas dasar ketidakpercayaan pula, mereka masih berusaha mendekat kepada rakyat pada saat dibutuhkan.
Elit politik tidak lagi percaya pada massa rakyat, maka mereka hanya pura-pura mewakili rakyat. Menjelang pemilu mereka akan butuh rakyat untuk mendukung. Rakyat juga dibohongi berkali-kali.
Selama 32 tahun di masa Orde Baru dan dua kali pemilu nasional di era pasca-Soeharto, juga telah menyimpan rasa ketidakpercayaan yang kian meningkat pada elit-elit politik. Merekapun malas untuk didekati oleh para elit politik. Tetapi rakyat sangat dibutuhkan untuk menjalankan ritualitas lima tahunan. Ke manapun rakyat bersembunyi? Di lubang semut ataupun di bawah selokan? Nampaknya akan dicari. Akan diyakinkan dengan rayuan-rayuan atau sogokan-sogokan seperti uang, kaos partai, sembako, mi instan, atau pembangunan masjid, jembatan, atau jalan di kampungnya. Tapi ketidakpercayaan rakyat terhadap elit sudah tidak bisa diubah lagi nampaknya. Maka bisa saja mereka menerima sogokan atau bantuan (kebaikan yang dibuat-buat oleh elit yang ujungnya juga untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri). Menuruti bukan karena percaya, tetapi kemungkinan besar karena keterpaksaan atau ikut-ikutan.
Sekarang ini banyak sekali kekuatan sosial-politik, dan semakin menguat, yang mengalihkan kepercayaan sebagai basis hubungan antara sesama manusia menjadi kepercayaan pada hal-hal gaib. Ketika orang tak percaya lagi pada sesuatu yang material, maka kepada mistiklah mereka berpaling. Mereka menyerahkan hubungan sosial kepada suatu hal yang bersifat fatalis. Mereka hanya percaya pada Tuhan untuk mengatasi masalahnya, dan realitas hubungan rasional yang nyata dalam aras ikatan material (sosial, ekonomi, politik) disangkalnya. Inilah yang membuat elit-elit politik yang membungkus kepentingannya dengan label moral dan agama lumayan laku.
Tetapi juga semakin banyak orang yang, karena ketidakpercayaan, akhirnya tidak percaya pada kemanusiaan atau potensi kebaikan. Mereka adalah kalangan yang menjalani profesi yang oleh hukum disebut sebagai ?kriminal? atau oleh agama disebut ?para pendosa?. Maling, pemerkosa, pembunuh, perampok, dan lain-lainpun semakin banyak. Juga pelacur, pengemis, dan penipu.
Kita dapat belajar dari negara-negara lain yang memiliki pemimpin-pemimpin pemberani, yang berani lepas dari penjajahan neoliberalisme dan ekspansi Amerika Serikat (AS). Era ini muncul kepemimpinan alternatif dan para pemberani seperti Hugo Chavez di Venezuela, Evo Moralez di Bolivia, Mahmood Ahmajinedad di Iran, belum negara-negara lainnya yang mulai bermunculan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar