Oleh: Nurani Soyomukti
Di tengah-tengah berbagai macam kejadian sosial dan kemiskinan, banyak manusia yang telah terjerumus ke dalam kubang kekotoran Jiwa. Bulan puasa dimaksudkan untuk menempa semangat kemanusiaan agar manusia (muslim) dapat mengembalikan watak kebinatangannnya, makhluk yang tak hanya mengejar suatu untuk memuaskan tubuhnya. Dengan puasa kita diharapkan menjadi insan yang peduli dan yang berbuat untuk menciptakan tatanan yang adil dan makmur, menghilangkan kemiskinan dan ketimpangan yang ada. Karena, kemiskinan dan ketimpangan adalah sumber dari terciptanya jiwa-jiwa dan mental yang rusak. Orang mencuri, menjadi pelacur, membunuh karena tertekan secara ekonomi dan bukan karena mereka ingin (atau bercita-cita) menjadi orang-orang yang seringkali disebut “sampah masyarakat” itu.
Maka, setelah dalam bulan puasa kita ditempa, kini kita akan memasuki bulan yang suci dan fitri di mana kita akan menemukan kembali jiwa kita yang bersih. Bersih dalam arti bebas dari semangat dan bawaan watak jahat, korup, dan menjadi peduli dengan dunia kita, bersikap solider terhadap sesama, dan yang lebih penting menjadi insan yang siap berbuat untuk kebaikan. Di hari Idul Fitri kita diharapkan menjadi ‘manusia dalam sebaik-baiknya bentuk” (fiaahsani taqwim). Dalam Al Qur’an ditegaskan: “Manusia itu telah Kami jadikan dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. 95: 4).
Tentu saja, kondisi “sebaik-baiknya bentuk” itu bukanlah suatu hasil yang telah ditetapkan atau dibawa sejak lahir, tetapi merupakan suatu proses dan kualitas untuk melihat bagaimanakah sikap dan tindakan kita di tengah-tengah hubungan antar manusia. Kondisi kualitatif tersebut dihasilkan dari dialektika iman, alam, praksis—nilai-nilai kemanusiaan universal. Artinya, ‘fi ahsani taqwin’ lebih sebagai cita-cita dari pada realitas manusia yang pada kenyataannya (terutama karena bentukan sistem sosioal) lebih mengikuti dorongan instink dari pada kesadaran sebagai mahkluk Tuhan yang sempurna. Tanpa semangat perlindung-an dan penghargaan terhadap nilai-nilai iman dan praksis (perbuatan kebaikan secara sosial) itu manusia akan terlempar dari posisi tinggi dan mulia tadi, justru akan dikembalikan derajadnya serendah-rendahnya, menjadi “binatang” dan “benda”: “Kemudian kami jatuhkan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Terkecuali orang-orang yang beriman dan orang-orang yang banyak berbuat kebajikan” (Q.S. 95: 5-5).
Kenapa agama Islam dipercaya sebagai jawaban bagi persoalan-persoalan sosial di masyarakat? Kenapa agama Islam mencita-citakan manusia sebagai mahkluk yang sempurna (manusia= ‘fi ahsani taqwim’)?
Kalau manusia percaya pada Islam, kalau manusia benar-benar takut dosa dan memuja kebajikan spiritual, maka mereka harus percaya bahwa Islam adalah agama yang benar dalam artian bahwa ia mengidealkan sistem dan hubungan sosial yang kondusif dan memungkinkan spesies seperti kita ini benar-benar jadi mahkluk yang sempurna. Sehingga, jangan mengaku kita orang yang beriman kalau kita tidak mau menggagas perubahan demi sistem sosial yang menje-laskan eksistensi kita sebagai manusia.
Kalau kita mempelajari kandungan Al-Qur’an, maka akan jelas bahwa Islam diturunkan melalui nabi Muhammad untuk merombak sistem sosial yang pro-penindasan. Akan tetapi, sampai saat ini, terutama di masyarakat kita, agama justru menjadi bahan tertawaan dan permainan yang menjauhkan manusia dari penyucian diri dari keseimbang-an alamiah dan ilahiahnya. Kalau ngomong Islam, agama yang dikenal sekarang justru hadir menjadi wajah ritual rutin, yang jangkauannya pada wilayah spiritual-mitologik semata, bukan wajah agama Islam sebagai penyelamat, pembela dan penyelenggara keadilan. Selama berabad-abad, umat Islam dan peradaban seperti kehilangan spirit religius-nya yang asli, yakni spirit keadilan. Keadilan dan kebajikan (“al-‘adl wa al’ahsan”): “Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan” (Q.S. 16:91).
Kelahiran, Kefitrian, dan Keadilan
Setiap kelahiran sebenarnya adalah potensi bagi kebajikan. Ketika seorang bayi lahir, ia bersih suci, murni, karena belum dibentuk oleh struktur sosial yang ada. Keburukan situasi sosial akan mencemari perkembangan bayi tersebut. Jadi, perjuangan untuk menciptakan situasi sosial yang kondusif bagi kemanusiaan adalah tugas sejarah yang diakui dan dianjurkan sebagai kewajiban ajaran semua agama, termasuk Islam.
Sesungguhnya yang dimaksud dengan “manusia” adalah suatu konsep yang belum final kalau hanya ditinjau dari kondisi materinya. Kalau dipahami dari kenyataan bahwa ia memiliki logika biologis, memiliki kebutuhan-kebutuhan, pada dasarnya karakteristik itu juga dimiliki oleh binatang, bahkan tumbuhan. Sepanjang diamati berdasarkan bagaimana ia makan-minum, kegiatan seksual, adanya kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan-kesenangan, maka watak ini juga dimiliki oleh binatang. Hakekat manusia adalah makhluk yang sadar akan lingkungannya. Ini bisa ditempuh dengan menggunakan kapasitas hati dan pikiran untuk berpengetahuan. Dunia adalah taman firdaus dengan hati dan pikiran sebagai pintu gerbangnya.
Ketika masyarakat baru lahir, masyarakat lama ditinggalkan. Bayi baru telah lahir, mungkin mengorbankan banyak hal. Ibu bisa berdarah-darah (dan bahkan dijemput kematian), tetapi Ibu bisa sehat dan selamat atas kelahiran anaknya. Kelahiran adalah hasil dari pemberontakan. Darah lahir karena bertabrakan antara cita-cita baru dengan keinginan lama. Pengetahuan lama yang konservatif menginginkan kebodohan, pengetahuan baru menginginkan cita-cita mulia yang menaungi masa depan umat manusia. Pengetahuan baru yang objektif membawa pencerahan.
Ketika lahir di dunia manusia berada dalam keadaan bersih, tak ternoda, tak berdosa, putih kosong tanpa tulisan serta tiada coretan: Fitri. Ketika muncul suara yang keras dan merengek-menangis, telah ditandai munculnya sebuah kehidupan baru. Berlumur darah dan ketuban dari Ibu, telanjang tanpa selembar kainpun. Tanpa celana, baju dan kebudayaan… tanpa koteka tanpa jas almamater tanpa mahkota dan tanpa pakaian resmi seperti para legeslatif dan majikan yang telah terlanjur jadi orang kotor.
Sejak kelahirannya manusia telah ditakdirkan miskin, tapi murni, tulus, tanpa tuntutan dan tak ternoda apalagi oportunis. Siapa dan apa yang disalahkan kemudian?: Setelah besar mereka berlagak secara vulgar di hadapan dirinya, menyangkal keabsahan dan keotentikannya, menempatkan diri sebagai makhluk hipokrit dan penipu—dan terparah lagi menciptakan jaring-jaring penindasan dan kemunafikan yang dilembagakan: Perbudakan, Feodalisme, Kapitalisme yang membuat manusia dalam perkembangannya menjadi sakit, penakut, angkuh, hipokrit, peragu, dan pengecut.
Sekarang ini, dari watak manusia sebagai makhluk berpikir, rasio manusia dalam corak produksi yang tidak setara dan menindas pada kenyataannya hanya lebih banyak digunakan untuk “memintari” orang lain. Hubungan ekonomi penindasan akan melahirkan pola pikir, kesadaran, dan ideologi yang melanggengkan penindasan itu.
Pada hal datangnya Islam adalah untuk mengganti struktur feodal di mana kaum rakyat jelata harus menghamba—bayar upeti, membudak, dan lain-lain—pada kekuasaan yang muthlak dengan hak yang istimewa. Sementara saat ini masyarakat berkelas tersebut tergantikan oleh sistem kapitalisme yang dewasa ini mengalami tingkatnya yang lanjut. Dengan demikian pandangan Islam untuk menghapus kelas bertujuan untuk menghalangi penumpukan harta “agar kekayaan itu tidak beredar di tangan orang-orang kaya” (Q.S. al-Hasyr : 7), meskipun hak kepemilikan juga diakui berdasarkan kebaikan.
Sebagai manusia yang juga berada dalam hukum dialektika dengan alam, maka pencarian-pencarian bagi proses evolusi batin menuju makhluk yang berkualitas akan diikuti dengan tantangan-tantangan baru. Dan tentunya sebagai mahkluk yang dinamis terhadap alam, manusia akan selalau bergerak menghadapi perlakuan-perlakuan yang berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Wallahu’alam.
..........................................................................