Minggu, 14 September 2008

Seminar di FISIP UNAIR: PEMUDA, POLITIK, DAN PEMILU (Jumat/12 September 13.00 Lantai 3 Gedung C FISIP UNAIR)

Politisi Tua?...
Capek Dech!"
Oleh: Nurani Soyomukti


Kalau pemuda sudah berumur 21, 22 sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita, tak bergiat untuk tanah air dan bangsa… pemuda yang begini lebih baik digunduli kepalanya”.

(Pesan Bung Karno)


Industrialisasi kapitalis telah membuat kaum muda terilusi dan berbondong-bondong memasuki dunia dengan aktivitas-aktivitas (re)produktif yang mendukung kapitalisme: sejak industrialisasi yang dicangkokkan Belanda (kapitalisme-kolonial) hingga industrialisasi neoliberalisme yang berpilar pada kerja sector reproduktif (kapitalisme postmodern), kaum muda selalu bangga dengan status ‘administratur”, “manajer”, “eksekutif muda”, “event organizer”, “entertainer”, dan lain-lain sebagainya. Mereka, yang bekerja dan menikmati posisi/status sebagai onderdil-onderdil dari mesin kapitalisme itu memang rata-rata berasal dari kalangan menengah ke atas.

Tetapi juga tidak sedikit—meskipun tetap kalah banyak—kaum muda yang mau terjun di bidang politik, terutama politik kerakyatan. Semaun memimpin organisasi rakyat (Sarekat Islam/SI Semarang) di usia 18 tahun, para aktivis politik kerakyatan lainnya juga masih tergolong sangat muda belia—dan ketika mereka memimpin dan menjadi politisi atau negarawan usia mereka masihlah sangat muda. Hal itu berbeda dengan kepemimpinan sekarang yang dipenuhi dengan para kaum tua yang umurnya sudah uzur, wajahnya memuakkan, gairahnya sudah loyo, analisanya tak jelas atau istilahnya feudal-konservatif-reaksioner. Tak heran jika Pramoedya Ananta Toer begitu yakin menguraikan pandangannya melalui mulut seorang tokoh dalam novel ‘Anak Semua Bangsa”, bahwa: Telah bersumpah kami menjadi gerakan Angakatan muda... sebab semua percuma toh harus diperintah oleh angkatan tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan... sepandai-pandainya ahli yang berada dalam kekuasaan bodoh akan ikut jadi bodoh”.

Pikiran, obsesi, keinginan, orang-orang tua itu sangat remeh… tanggungjawabnya banyak: butuh waktu luang untuk mencari istri baru (simpanan) lagi, butuh uang untuk membiayai istri pertama dan dan anak-anaknya yang mulai banyak tuntutan karena kosumtif. Itulah yang menyebabkan politisi usia tua tak memiliki prinsip ideologis atau program perjuangan yang maju (alternatif)—mereka korup, menawarkan ilusi-ilusi, jual-beli suara/kursi, atau membangun budaya politik komersial yang memang sesuai dengan tuntutan ekonomi liberal.
Sejarah masa lalu adalah sejarah politik kaum muda untuk membantu kelahiran bayi bangsa. Bung Karno, misalnya, di usianya yang muda telah berani mengambil konsekuensi dan menyukai jalan anti-kompromi terhadap penjajah asing dan jijik pada elit-elit yang menjadi antek penjajah asing. Dalam artikelnya berjudul “Sekali Lagi Tentang Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi” dalam ‘Fikiran Ra’jat’, 1932, Bung Karno mengatakan: “’Non-kooperasi berarti “tidak mau bekerja bersama-sama”. Bagaimanakah jelasnya hal ini?

Non-kooperasi kita adalah salah satu azas-perjuangan (strijdbeginsel) kita untuk mencapai Indonesia merdeka. Di dalam perjuangan mengejar Indonesia-Merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara kaum penjajah dan kaum yang terjajah. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang memberikan keyakinan pada kita, bahwa Indonesia-Merdeka tidaklah bisa dicapai, jikalau kita tak menjalankan politik non-cooperation. Memang per
tentangan kebutuhan inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas perjuangan yang lain-lain—misalnya machtsvorming, massa-aksi, dan lain-lain.
... maka non-kooperasi bukanlah hanya suatu azas-perjuangan ‘tidak duduk di dalam raad-raad-pertuanan’ saja. Non-kooperasi adalah suatu prinsip yang hidup, tidak mau bekerja bersama-sama di atas segala lapangan politik dengan kaum pertuanan, melainkan mengadakan suatu perjuangan yang tak kenal damai, dengan kaum pertuanan itu. Non-kooperasi tidak berhenti di luar dinding-dinding raad-raad saja, tetapi non-kooperasi adalah meliputi semua bagian-bagian daripada kita punya perjuangan politik. Itulah sebabnya, maka non-kooperasi adalah berisi radikalisme—radikalisme hati, radikalisme pikiran, radikalisme sepak-terjang, Radikalisme dalam segala sikap lahir dan batin. Non-kooperasi meminta kegiatan”.1

Taktik radikal ini seakan me
warisi semangat perlawanan para pendahulunya, seperti Sarekat Islam yang pernah mencatat berbagai bentuk perjuangan radikal melalui berbagai pengorganisasian massa rakyat. Taktik yang paling penting dan membedakan taktik radikal non-kooperasi dengan taktik kerjasama (ko-operasi) adalah bahwa prinsip non-kooperasi melihat pentingnya kekuatan massa dalam menekan pihak penindas dalam hal ini penjajah Belanda. Taktik ini tidak percaya bahwa sikap penjajah akan berubah hanya dengan mengadakan permintaan melalui seruan tertulis, permohonan, atau dialog. Dipercaya bahwa hanya dengan membangun kekuatan massa sebagai kekuatan material sebagai kekuatan penekan, maka kaum non-koperasi harus tampil dan terjun ke massa untuk mengajak mereka aktif bergerak mengadakan kumpulan massa dengan menuntut. Massa harus diorganisir karena mereka percaya bahwa massa-lah yang sebenarnya memiliki kepentingan untuk perubahan.

Maka salah satu aktivitas yang sangat penting dari taktik non-kerjasama adalah aksi massa (
vergadering), Machtsvorming, hingga menumbuhkan cara pandang pada massa rakyat bahwa mereka harus merebut kekuasaan. Dalam artikelnya di ‘Pikiran Rakyat’ yang berjudul “Non-Cooperation Tidak Bisa Mendatangkan Massa Aksi dan Machtsvorming?” ia menegaskan bahwa jalan non-kooperasi dilakukan dengan cara menekankan pada gerakan yang dilakukan melalui aksi-aksi massa dan rapat-rapat akbar. Metode perjuangan ini tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi di India yang berprinsip pada ‘Ahimsa’ yang membuat sifat gerakannya kurang menyerang terhadap penjajahan, pasif, dan hanya menekankan pada ‘perdamaian’. Bung Karno menunjukkan bahwa jalan “passive-civil-disobedience” telah menjadi gerakan yang besar ketika Jawaharlal Nehru meminta Gandhi untuk mempelopori gerakan rakyat yang lebih bersifat “militant-civil-disobedience’. Kata Bung Karno: “Non-cooperation kita tidak bersandar pada kepercayaan ahimsa... tetapi non-cooperation kita adalah, sebagaimana saya terangkan dalam karangan saya yang lalu, kita sandarkan pada keyakinan dan kenyataan, bahwa antara sana dan sini adalah suatu pertentangan kebutuhan yang tak dapat ditutup atau di-“jembatani”. Non-cooperation kita... berisi aktivitas dan radikalisme... Radikalisme inilah yang menolak segala sikap yang pasif... yang tak mau tahu akan sikap “diam saja jangan menyerang”, radikalisme inilah yang menuntut sikap militan. Kita tidak boleh bersikap “diam saja jangan menyerang”, kita harus “keluar dari rumah-rumah kita”—keluar menjalankan penyerangan atas segala pusat-pusat musuh”.2

Apa yang dimaksud dengan
“massa aksi” oleh Bung Karno? Simaklah tulisannya berikut ini: “Massa aksi adalah aksinya massa... Dan oleh karena aksi berarti perbuatan, pergerakan, perjuangan, maka massa-aksi adalah dus berarti: perbuatannya, pergerakannya, perjuangannya rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu. Dan perbuatan itu, pergerakan itu, perjuangan itu bukanlah suatu hal yang hanya nanti akan terjadi; perbuatan, pergerakan, perjuangan itu adalah hal yang sudah berjalan sekarang. Apa yang kita kerjakan sekarang, apa yang kita sekarang perbuat, apa saja kita punya tindakan ini hari yang berupa menyusun-nyusun perhimpunan, menulis artikel-artikel dan surat-kabar, mengadakan kursus-kursus, mengadakan rapat-rapat umum, mengadakan demonstrasi-demonstrasi—itu semua sudahlah termasuk dalam perbuatan, pergerakan, perjuangan rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu, itu sudahlah termasuk dalam massa-aksi itu adanya”.3
...

Bukan tiap-tiap pergerakan dari orang yang ratusan, ribuan, jutaan, adalah suatu massa-aksi. Massa-aksi adalah pergerakan rakyat-murba yang berjuta-juta secara radikal dan revolusioner. Pergerakan rakyat-murba yang tidak secara radikal dan revolusioner, pergerakan rakyat-murba yang tidak bersemangat perlawanan, pergerakan rakyat-murba yang “tidak sengit” dan tidak bersemangat “banteng”—pergerakan rakyat-murba yang demikian itu, walaupun milyun-milyunan orang yang bergerak, bukanlah massa-aksi, tetapi hanyalah suatu “Massale actie”, aksi Massal, belaka”.
4

Bung Karno memberikan contoh bagaimana massa aksi memiliki arti yang sangat penting dalam sejarah menuju perubahan. Ia mencontohkan berbagai perubahan dan revolusi seperti revolusi Perancis, revolusi
Rusia, dan berbagai perubahan dimana dimulai dengan peran massa yang aktif dan radikal. Lalu apakah yang dimaksud Machtsvorming menurut Bung Karno?: “Machtsvorming adalah berarti: pembikinan kuasa. Machtsvorming adalah penyusunan tenaga, penyusunan macht. Machtsvorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana menuruti kehendak kita. Paksaan ini adalah perlu, paksaan ini adalah syarat yang pertama”.5

Taktik radikal yang dipilihnya membuat ia yakin bahwa taktik kerjasama dengan Belanda tak akan mencapai tujuan Indonesia yang merdeka. Kemerdekaan adalah ilusi jika kita hanya berkompromi dengan pihak yang membuat kita tak merdeka atau yang menjajah kita. Bung Karno di era ini rajin mengkritik kaum kompromis, kaum yang disebutnya hanya berteori dan berbicara, tetapi tak mau bekerja dan terjun langsung ke massa rakyat untuk meningkatkan (meradikalisasi) perlawanan. Di tahun 1933, di dalam ‘Pikiran Rakyat’ lagi-lagi ia menulis artikel yang judulnya adalah mirip seruan: “Bukan ‘Jangan Banyak Bicara, Bekerjalah!’, Tetapi ‘Banyak Bicara, Banyak Bekerja!”. Pengaruh pernyataan Lenin, “teori yang revolusioner mensyaratkan kerja revolusioner”.

Sekarang? … Wajah-wajah politisi tua yang “nggak keren” dan membosankan, bersamaan dengan mental kacangan mereka yang selalu tunduk pada tuan-tuan imperialisnya di Barat dan para konglomerat yang juga berpolitik (Yosef Colla, Abu Rizik Brekele, dll) yang menghasilkan output-output politik yang menindas dan menyengsarakan rakyat, membuat rakyat kian apatis terhadap proyek politik; rakyat semakin tak percaya bahwa politik adalah jalan merubah keadaan. Mereka semakin percaya pada mistik atau membiarkan diri larut dalam khayalan-khayalan. Bahkan khayalanpun pada akhirnya juga tuntutan dari tubuh yang butuh terpenuhi secara material: ketika pemenuhan kebutuhan semakin mendesak, dan tak dapat terpenuhi, mereka memilih bunuh diri atau menolak jalan-jalan yang dianggap bermoral: mencuri, melacur, dll. Atau—untuk menyangkal kebenaran bahwa mereka ditindas dan ditipu oleh politisi-politisi tua—mereka memilih lari pada sentiment rasial (agama, suku, dll). Pelarian ini dimanfaatkan oleh politisi-politisi dan partai politik penjual moral-agama untuk menyusun proyek-proyek ilusi selanjutnya.
Berharap pada kaum muda ad
alah harapan yang berlebihan? Dilihat dari mana dulu! Secara fisik (usia) dan obsesi psikologis, tak dapat terbantahkan bahwa kaum tua cenderung konservatif-reaksioner sedangkan kaum muda punya potensi yang besar untuk menjadi progresif-revolusioner. Ada yang beranggapan bahwa istilah ‘muda’ harus dipandang dari sisi semangat dan bukannya usia, dengan mengatakan bahwa “kaum muda yang konservatif adalah kaum tua, sedang kaum tua yang progresif juga layak dikatakan muda”. Ah, bisa-bisa aja, bukankah analisa itu tidak material? Berapa jumlah kaum tua di negeri ini yang progresif-radikal-revolusioner atau yang sok revolusioner seperti ikut-ikutan terjun menolak kenaikan BBM menjelang pemilu agar mendapatkan popularitas atau simpati dari kaum muda yang diajaknya—atau di-hire-nya! Kita harus hati-hati dengan gejala-gejala, gejala (fenomena) bukanlah hakekat! Begitulah hokum dialektis sejarah mengajarkan…Saya berani bertaruh, untuk konteks Indonesia, tidak ada kaum tua yang bisa diharapkan! Tetapi kaum muda sendiri juga masih belum siap untuk merebut kekuasaan, malah kebanyakan buru-buru untuk memenuhi hasrat politik demi kursi dan posisi (yang ujung-ujungnya demi uang dan kekuasaan pribadi).

Tentu ada syarat-syarat yang harus kita persiapkan agar politik kaum muda tetaplah menjadi politik gerakan progresif yang bervisi anti-imperialisme.

Hambatan-Hambatan psikologis masihlah terjadi dalam gerakan kaum muda sendiri, bahkan di kalangan yang mengaku sebagai gerakan radikal: INTRIK, EKSISTENSI DIRI, KEKIRI-KIRIAN, SOMBONG (CONGKAK), KASAR, KAKU, DEKIL, TIDAK DEWASA, DLL!!! Ideologi tak menjadi watak, tak disebarkan, tetapi untuk eksistensi diri yang tak membumi…. Maka, saat godaan-godaan kapitalisme dan kekuasaan semakin massif, ada di antara mereka yang mulai sibuk bicara tentang “kursi”. Wallahu’alam!!!!

_______________

CATATAN KAKI:

Penulis buku Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Politik Radikal. Yogyakarta: Resist Book, 2007; buku DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme. Yogyakarta: Garasi Book, 2008; kini mengelola TAMAN BELAJAR UNTUK RAKYAT (T.A.B.U.R) di sebuah lembah sekitar Pantai Prigi di Kab. Trenggalek, Jawa Timur. Nurani Soyomukti bisa dikunjungi di www.esaipolitiknurani.blogspot.com

Dikutip dalam Eko Prasetyo. MINGGIR: Saatnya Gerakan Kaum Muda Memimpin!”. Yogyakarta: Resist Book, 2008

M Fadjroel Rachman dalam opininya di Kompas, misalnya, menyebutkan tokoh-tokoh itu, seperti: Presiden Soekarno (44), Wapres Mohammad Hatta (43), dan 10 perdana menteri, yaitu Sutan Sjahrir (36), Amir Sjarifoeddin (40), Mohammad Hatta (46), Abdul Halim (39), Muhammad Natsir (42), Sukiman Wirjosandjojo (53), Wilopo (44), Ali Sastroamidjojo (50), Burhanuddin Harahap (38), dan Djuanda Kartawidjaja (46). Mereka lebih muda daripada Komite Bangkit Indonesia (KBI) seperti Rizal Ramli (54) dan Taufik Kiemas (65). Jadi KBI tidaklah lain the sunset generation juga.

Masih menurut catatan Fadjroel Rachman, di bidang politik nasional dan lokal, kita mengenal Susilo Bambang Yudhoyono (58), Jusuf Kalla (65), BJ Habibie (71), Megawati Soekarnoputri (60), Abdurrahman Wahid (67), Amien Rais (63), Akbar Tandjung (62), Wiranto (60), Sutiyoso (63), Sri Sultan Hamengku Buwono X (61), dan pemimpin segenerasinya. Artinya, pada Pemilu 2009 the sunset generation sudah berusia 60 tahun atau lebih, usia sosial dan politik yang pantas untuk mengundurkan diri, seperti Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Tony Blair menjabat pada usia 44 tahun (1997) dan mundur pada usia 54 tahun (2007). Presiden AS Bill Clinton menjabat pada usia 47 tahun (1993) dan berakhir pada usia 55 tahun (2001).

Pramoedya Ananta Toer. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006

1 Dalam Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. (Cetakan Ketiga). Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 189-190

2 Dalam Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. (Cetakan Ketiga). Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 194

3 Ibid., hal. 196

4 Ibid., 197

5 Ibid., 202

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Halo, saya Ibu Diana, pemberi pinjaman pinjaman swasta yang memberikan pinjaman kesempatan seumur hidup. Apakah Anda membutuhkan pinjaman mendesak untuk melunasi utang Anda atau Anda membutuhkan pinjaman untuk meningkatkan bisnis Anda? Anda telah ditolak oleh bank dan lembaga keuangan lainnya? Kami meminjamkan dana kepada individu yang membutuhkan bantuan keuangan, yang memiliki kredit buruk atau membutuhkan uang untuk membayar tagihan, untuk berinvestasi di bisnis di tingkat 1,5. Saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu Anda bahwa kami memberikan bantuan yang handal dan penerima dan akan bersedia untuk menawarkan pinjaman. Jadi hubungi kami hari ini melalui email di: Dianarobertloanfirm@gmail.com