Senin, 29 September 2008

Renungan Hari Lebaran:

Menjadi Manusia Fitri

Oleh: Nurani Soyomukti

Di tengah-tengah berbagai macam kejadian sosial dan kemiskinan, banyak manusia yang telah terjerumus ke dalam kubang kekotoran Jiwa. Bulan puasa dimaksudkan untuk menempa semangat kemanusiaan agar manusia (muslim) dapat mengembalikan watak kebinatangannnya, makhluk yang tak hanya mengejar suatu untuk memuaskan tubuhnya. Dengan puasa kita diharapkan menjadi insan yang peduli dan yang berbuat untuk menciptakan tatanan yang adil dan makmur, menghilangkan kemiskinan dan ketimpangan yang ada. Karena, kemiskinan dan ketimpangan adalah sumber dari terciptanya jiwa-jiwa dan mental yang rusak. Orang mencuri, menjadi pelacur, membunuh karena tertekan secara ekonomi dan bukan karena mereka ingin (atau bercita-cita) menjadi orang-orang yang seringkali disebut “sampah masyarakat” itu.

Maka, setelah dalam bulan puasa kita ditempa, kini kita akan memasuki bulan yang suci dan fitri di mana kita akan menemukan kembali jiwa kita yang bersih. Bersih dalam arti bebas dari semangat dan bawaan watak jahat, korup, dan menjadi peduli dengan dunia kita, bersikap solider terhadap sesama, dan yang lebih penting menjadi insan yang siap berbuat untuk kebaikan. Di hari Idul Fitri kita diharapkan menjadi ‘manusia dalam sebaik-baiknya bentuk” (fiaahsani taqwim). Dalam Al Qur’an ditegaskan: Manusia itu telah Kami jadikan dalam bentuk yang sebaik-baiknya(Q.S. 95: 4).

Tentu saja, kondisi “sebaik-baiknya bentuk” itu bukanlah suatu hasil yang telah ditetapkan atau dibawa sejak lahir, tetapi merupakan suatu proses dan kualitas untuk melihat bagaimanakah sikap dan tindakan kita di tengah-tengah hubungan antar manusia. Kondisi kualitatif tersebut dihasilkan dari dialektika iman, alam, praksis—nilai-nilai kemanusiaan universal. Artinya, ‘fi ahsani taqwin’ lebih sebagai cita-cita dari pada realitas manusia yang pada kenyataannya (terutama karena bentukan sistem sosioal) lebih mengikuti dorongan instink dari pada kesadaran sebagai mahkluk Tuhan yang sempurna. Tanpa semangat perlindung-an dan penghargaan terhadap nilai-nilai iman dan praksis (perbuatan kebaikan secara sosial) itu manusia akan terlempar dari posisi tinggi dan mulia tadi, justru akan dikembalikan derajadnya serendah-rendahnya, menjadi “binatang” dan “benda”: “Kemudian kami jatuhkan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Terkecuali orang-orang yang beriman dan orang-orang yang banyak berbuat kebajikan” (Q.S. 95: 5-5).

Kenapa agama Islam dipercaya sebagai jawaban bagi persoalan-persoalan sosial di masyarakat? Kenapa agama Islam mencita-citakan manusia sebagai mahkluk yang sempurna (manusia= ‘fi ahsani taqwim’)?

Kalau manusia percaya pada Islam, kalau manusia benar-benar takut dosa dan memuja kebajikan spiritual, maka mereka harus percaya bahwa Islam adalah agama yang benar dalam artian bahwa ia mengidealkan sistem dan hubungan sosial yang kondusif dan memungkinkan spesies seperti kita ini benar-benar jadi mahkluk yang sempurna. Sehingga, jangan mengaku kita orang yang beriman kalau kita tidak mau menggagas perubahan demi sistem sosial yang menje-laskan eksistensi kita sebagai manusia.

Kalau kita mempelajari kandungan Al-Qur’an, maka akan jelas bahwa Islam diturunkan melalui nabi Muhammad untuk merombak sistem sosial yang pro-penindasan. Akan tetapi, sampai saat ini, terutama di masyarakat kita, agama justru menjadi bahan tertawaan dan permainan yang menjauhkan manusia dari penyucian diri dari keseimbang-an alamiah dan ilahiahnya. Kalau ngomong Islam, agama yang dikenal sekarang justru hadir menjadi wajah ritual rutin, yang jangkauannya pada wilayah spiritual-mitologik semata, bukan wajah agama Islam sebagai penyelamat, pembela dan penyelenggara keadilan. Selama berabad-abad, umat Islam dan peradaban seperti kehilangan spirit religius-nya yang asli, yakni spirit keadilan. Keadilan dan kebajikan (“al-‘adl wa al’ahsan”): “Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan” (Q.S. 16:91).

Kelahiran, Kefitrian, dan Keadilan

Setiap kelahiran sebenarnya adalah potensi bagi kebajikan. Ketika seorang bayi lahir, ia bersih suci, murni, karena belum dibentuk oleh struktur sosial yang ada. Keburukan situasi sosial akan mencemari perkembangan bayi tersebut. Jadi, perjuangan untuk menciptakan situasi sosial yang kondusif bagi kemanusiaan adalah tugas sejarah yang diakui dan dianjurkan sebagai kewajiban ajaran semua agama, termasuk Islam.

Sesungguhnya yang dimaksud dengan “manusia” adalah suatu konsep yang belum final kalau hanya ditinjau dari kondisi materinya. Kalau dipahami dari kenyataan bahwa ia memiliki logika biologis, memiliki kebutuhan-kebutuhan, pada dasarnya karakteristik itu juga dimiliki oleh binatang, bahkan tumbuhan. Sepanjang diamati berdasarkan bagaimana ia makan-minum, kegiatan seksual, adanya kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan-kesenangan, maka watak ini juga dimiliki oleh binatang. Hakekat manusia adalah makhluk yang sadar akan lingkungannya. Ini bisa ditempuh dengan menggunakan kapasitas hati dan pikiran untuk berpengetahuan. Dunia adalah taman firdaus dengan hati dan pikiran sebagai pintu gerbangnya.

Ketika masyarakat baru lahir, masyarakat lama ditinggalkan. Bayi baru telah lahir, mungkin mengorbankan banyak hal. Ibu bisa berdarah-darah (dan bahkan dijemput kematian), tetapi Ibu bisa sehat dan selamat atas kelahiran anaknya. Kelahiran adalah hasil dari pemberontakan. Darah lahir karena bertabrakan antara cita-cita baru dengan keinginan lama. Pengetahuan lama yang konservatif menginginkan kebodohan, pengetahuan baru menginginkan cita-cita mulia yang menaungi masa depan umat manusia. Pengetahuan baru yang objektif membawa pencerahan.

Ketika lahir di dunia manusia berada dalam keadaan bersih, tak ternoda, tak berdosa, putih kosong tanpa tulisan serta tiada coretan: Fitri. Ketika muncul suara yang keras dan merengek-menangis, telah ditandai munculnya sebuah kehidupan baru. Berlumur darah dan ketuban dari Ibu, telanjang tanpa selembar kainpun. Tanpa celana, baju dan kebudayaan… tanpa koteka tanpa jas almamater tanpa mahkota dan tanpa pakaian resmi seperti para legeslatif dan majikan yang telah terlanjur jadi orang kotor.

Sejak kelahirannya manusia telah ditakdirkan miskin, tapi murni, tulus, tanpa tuntutan dan tak ternoda apalagi oportunis. Siapa dan apa yang disalahkan kemudian?: Setelah besar mereka berlagak secara vulgar di hadapan dirinya, menyangkal keabsahan dan keotentikannya, menempatkan diri sebagai makhluk hipokrit dan penipu—dan terparah lagi menciptakan jaring-jaring penindasan dan kemunafikan yang dilembagakan: Perbudakan, Feodalisme, Kapitalisme yang membuat manusia dalam perkembangannya menjadi sakit, penakut, angkuh, hipokrit, peragu, dan pengecut.

Sekarang ini, dari watak manusia sebagai makhluk berpikir, rasio manusia dalam corak produksi yang tidak setara dan menindas pada kenyataannya hanya lebih banyak digunakan untuk “memintari” orang lain. Hubungan ekonomi penindasan akan melahirkan pola pikir, kesadaran, dan ideologi yang melanggengkan penindasan itu.

Pada hal datangnya Islam adalah untuk mengganti struktur feodal di mana kaum rakyat jelata harus menghamba—bayar upeti, membudak, dan lain-lain—pada kekuasaan yang muthlak dengan hak yang istimewa. Sementara saat ini masyarakat berkelas tersebut tergantikan oleh sistem kapitalisme yang dewasa ini mengalami tingkatnya yang lanjut. Dengan demikian pandangan Islam untuk menghapus kelas bertujuan untuk menghalangi penumpukan harta “agar kekayaan itu tidak beredar di tangan orang-orang kaya (Q.S. al-Hasyr : 7), meskipun hak kepemilikan juga diakui berdasarkan kebaikan.

Sebagai manusia yang juga berada dalam hukum dialektika dengan alam, maka pencarian-pencarian bagi proses evolusi batin menuju makhluk yang berkualitas akan diikuti dengan tantangan-tantangan baru. Dan tentunya sebagai mahkluk yang dinamis terhadap alam, manusia akan selalau bergerak menghadapi perlakuan-perlakuan yang berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Wallahu’alam.

..........................................................................

Resensi Buku "DDHSB":

Refleksi Peran Mahasiswa

Oleh: Jauhar Mubarok

http://djoharmanik.wordpress.com/2008/08/14/refleksi-peran-mahasiswa/



Judul : Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme

Penulis : Nurani Soyomukti

Kata Pengantar : Airlangga Pribadi

Penerbit : Garasi, Yogyakarta, 2008

Tebal : 182 hal

Sejarah telah mencatat keterlibatan mahasiswa dalam berbagai peristiwa sosial-politik yang pernah terjadi di negeri ini. Gerakan reformasi 1998, gerakan mahasiswa 1974 yang dikemudian waktu lebih dikenal Malapetaka Januari (Malari) 1974 adalah sedikit contoh kecilnya. Mahasiswa bersama masyarakat membangun gerakan guna melakukan kritik sosial-politik kepada pemerintah. Gerakan moral sosial-politik tersebut dibangun sebagai respon atas kebijakan pemerintah yang dinilai telah jauh menyimpang dari cita-cita luhur dibentuknya negara ini; menciptakan masyarakat adil dan sejahtera. Pun ketika melihat para pejabat pemerintah telah terjebak dalam moralitas bejat; korupsi, kolusi, nepotisme, dan tidak bertindak tegas pada konglomerat jahat. Dengan berbagai aktivitas sosial, budaya, serta politik mahasiswa mencoba membenahi realitas tersebut, setidaknya memberitahukan bahwa ada yang menyeleweng dari asa negara.

Keterlibatan mahasiswa dalam ranah sosial-politik tidak hanya tejadi di Indonesia. Di Perancis, China, Amerika, dan negara-negara lainnya. Keterlibatan tersebut sebagai wujud, meminjam istilah Kuntowijoyo, altruisme sosial. Bukan hanya berdiri dan melihat di pinggir jalan tanpa acuh. Terlebih dalam struktur sosial mahasiswa menempati posisi cukup strategis; kelas sosial menengah. Memang tidak semua mahasiswa berangkat dari keluarga mapan, setidaknya dengan menjadi mahasiswa seseorang telah merengkuh status sosial yang tidak semua orang dapat mencapainya. Dan menjadi mahasiswa seseorang menjadi bagian dari “kaum terpelajar” yang punya peran dan tanggungjawab mengarahkan realitas, tidak hanya mengikuti arus realitas. Di sini muncul peran mahasiswa sebagai agen perubahan, agent of change.

Potret Mahasiswa Hari Ini

Namun seiring waktu peran sosial-politik tersebut “tidak lagi diminati”. Gambaran mahasiswa hari ini adalah agen-agen budaya populer-massa di mana kapitalisme global bersenyawa dalam membentuk budayanya. Mahasiswa hanya sibuk mengurusi pernak-pernik gaya hidup yang ditimba dari televisi dan majalah-majalah gaya hidup. Hari-hari mereka disibukkan dengan aktivitas berburu pakaian, handphone, sepatu, tas, serta aksesoris-aksesoris gaya hidup seri terbaru. Mereka lebih betah berada di mall-mall dan tempat-tempat belanja lainnya. Mereka lebih kerap membicarakan gosip seputar selebritis, pacar baru, produk-produk gaya hidup paling trend yang mengarah pada sikap hedonisme tinimbang bercakap mata kuliah atau fenomena sosial-politik yang perlu dikritik.

Mahasiswa sebagai agent of change menjadi buah mitos masa lalu. Mahasiswa hari ini disibukkan dengan aktivitas konsumtivisme. Mall telah jadi kampus. Majalah gaya hidup menjadi diktat dan anjuran ideologi. Ada apa dengan mahasiswa hari ini?

Setidaknya demikian inti wacana yang dipaparkan penulis buku ini, Nurani Soyomukti. Meskipun menyayangkan perilaku mahasiswa yang telah kehilangan nurani altruisme sosial akibat terdistorsi oleh banalitas realitas, Soyomukti tidak berminat pada penilaian hitam-putih dengan hanya menyalahkan mahasiswa. Mahasiswa hari ini telah jadi korban dari laju kapitalisme global. Dalam buku ini Soyomukti coba menggunakan perspektif pertentangan kelasnya Marx dengan mengagungkan Psikoanalisisnya Freud dan juga mengumandangkan Cinta Universalnya Kahlil Gibran.

Soyomukti melihat bahwa realitas hari ini akibat kuatnya pengaruh ruh kapitalisme global dalam melingkupi tabir kehidupan. Kapitalisme telah menjauhkan mahasiswa dari kesadaran atas realitas yang perlu dibenahi. Lewat iklan-iklan yang ditebarkan di mana-mana dan kapan saja, kapitalisme secara runut dan sistematis meneror siapa saja. Iklan-iklan tersebut mengajak manusia menjadi makhluk konsumtif yang hanya sibuk berburu gaya hidup. Kapitalisme mengiming-imingi, dengan konsumtivisme mahasiswa seolah dapat meraih eksistensi diri.

Sehingga tidak mengherankan bila mahasiswa asyik-masyuk dengan dunianya sendiri. Cinta universal yang seharusnya dikumandangkan dan menggerakkan harus terkalahkan oleh perasaan cinta eksklusif libidinal yang sifatnya insting bawah sadar. Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya sikap tidak acuh dengan realitas yang semakin cadas dan beringas.

Kapitalisme telah menciptakan ketimpangan sosial yang tidak sehat dan penuh kecurangan. Ketika kondisi sudah demikian, di sini mahasiswa diharapkan berjalan sesuai kerangka obyektif. Obyektif dalam artian berpikir kritis dan berpihak! Dengan berpihak pada yang tertindas dan kalah, mahasiswa bukannya berat sebelah justru mengembalikan tiang penyangga keseimbangan yang telah diambil-paksa kaum kapitalis lewat modal dan kuasa yang dimilikinya. Dengan modal dan kuasanya tersebut kapitalisme juga telah mampu menguasai pola berpikir pejabat pemerintah sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah cenderung menguntungkan kaum pemodal. Akhirnya yang terjadi masyarakat tersisihkan dan tertindas oleh sistem yang dibuat oleh “perkawinan penguasa dan pengusaha”.

Selain berbicara tentang perilaku mahasiswa hari ini yang sibuk dengan dirinya sendiri, Soyomukti juga menyayangkan perilaku mantan aktivis mahasiswa yang telah menanggalkan idealismenya karena godaan kemewahan. Hal tersebut terlihat ketika kran liberalisasi politik terjadi, para mantan aktivis itu berlomba meraih kursi kekuasaan dengan masuk partai politik. Mantan aktivis 98 ini melihat, bahwa partai-partai politik menjadi sarang orang-orang pragmatis dan sama sekali tidak dapat diharapkan untuk memperjuangkan rakyat. Mereka terlalu kerap jualan kecap: membohongi masyarakat.

Pembaca berhak menganggap tulisan Soyomukti aneh, nyleneh, tidak realistis-terlalu mengawang, dan propagandis. Namun tidak ada salahnya bila pembaca curiga terhadap dirinya: jangan-jangan pola pikirnya sudah terhegemoni oleh narasi kapitalisme itu sendiri.[]

......................................................................................


Minggu, 14 September 2008

Suatu Petang di Taman Bungkul Surabaya, Jumat 12 Sepetember 2008:

Seminar di FISIP UNAIR: PEMUDA, POLITIK, DAN PEMILU (Jumat/12 September 13.00 Lantai 3 Gedung C FISIP UNAIR)

Politisi Tua?...
Capek Dech!"
Oleh: Nurani Soyomukti


Kalau pemuda sudah berumur 21, 22 sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita, tak bergiat untuk tanah air dan bangsa… pemuda yang begini lebih baik digunduli kepalanya”.

(Pesan Bung Karno)


Industrialisasi kapitalis telah membuat kaum muda terilusi dan berbondong-bondong memasuki dunia dengan aktivitas-aktivitas (re)produktif yang mendukung kapitalisme: sejak industrialisasi yang dicangkokkan Belanda (kapitalisme-kolonial) hingga industrialisasi neoliberalisme yang berpilar pada kerja sector reproduktif (kapitalisme postmodern), kaum muda selalu bangga dengan status ‘administratur”, “manajer”, “eksekutif muda”, “event organizer”, “entertainer”, dan lain-lain sebagainya. Mereka, yang bekerja dan menikmati posisi/status sebagai onderdil-onderdil dari mesin kapitalisme itu memang rata-rata berasal dari kalangan menengah ke atas.

Tetapi juga tidak sedikit—meskipun tetap kalah banyak—kaum muda yang mau terjun di bidang politik, terutama politik kerakyatan. Semaun memimpin organisasi rakyat (Sarekat Islam/SI Semarang) di usia 18 tahun, para aktivis politik kerakyatan lainnya juga masih tergolong sangat muda belia—dan ketika mereka memimpin dan menjadi politisi atau negarawan usia mereka masihlah sangat muda. Hal itu berbeda dengan kepemimpinan sekarang yang dipenuhi dengan para kaum tua yang umurnya sudah uzur, wajahnya memuakkan, gairahnya sudah loyo, analisanya tak jelas atau istilahnya feudal-konservatif-reaksioner. Tak heran jika Pramoedya Ananta Toer begitu yakin menguraikan pandangannya melalui mulut seorang tokoh dalam novel ‘Anak Semua Bangsa”, bahwa: Telah bersumpah kami menjadi gerakan Angakatan muda... sebab semua percuma toh harus diperintah oleh angkatan tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan... sepandai-pandainya ahli yang berada dalam kekuasaan bodoh akan ikut jadi bodoh”.

Pikiran, obsesi, keinginan, orang-orang tua itu sangat remeh… tanggungjawabnya banyak: butuh waktu luang untuk mencari istri baru (simpanan) lagi, butuh uang untuk membiayai istri pertama dan dan anak-anaknya yang mulai banyak tuntutan karena kosumtif. Itulah yang menyebabkan politisi usia tua tak memiliki prinsip ideologis atau program perjuangan yang maju (alternatif)—mereka korup, menawarkan ilusi-ilusi, jual-beli suara/kursi, atau membangun budaya politik komersial yang memang sesuai dengan tuntutan ekonomi liberal.
Sejarah masa lalu adalah sejarah politik kaum muda untuk membantu kelahiran bayi bangsa. Bung Karno, misalnya, di usianya yang muda telah berani mengambil konsekuensi dan menyukai jalan anti-kompromi terhadap penjajah asing dan jijik pada elit-elit yang menjadi antek penjajah asing. Dalam artikelnya berjudul “Sekali Lagi Tentang Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi” dalam ‘Fikiran Ra’jat’, 1932, Bung Karno mengatakan: “’Non-kooperasi berarti “tidak mau bekerja bersama-sama”. Bagaimanakah jelasnya hal ini?

Non-kooperasi kita adalah salah satu azas-perjuangan (strijdbeginsel) kita untuk mencapai Indonesia merdeka. Di dalam perjuangan mengejar Indonesia-Merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara kaum penjajah dan kaum yang terjajah. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang memberikan keyakinan pada kita, bahwa Indonesia-Merdeka tidaklah bisa dicapai, jikalau kita tak menjalankan politik non-cooperation. Memang per
tentangan kebutuhan inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas perjuangan yang lain-lain—misalnya machtsvorming, massa-aksi, dan lain-lain.
... maka non-kooperasi bukanlah hanya suatu azas-perjuangan ‘tidak duduk di dalam raad-raad-pertuanan’ saja. Non-kooperasi adalah suatu prinsip yang hidup, tidak mau bekerja bersama-sama di atas segala lapangan politik dengan kaum pertuanan, melainkan mengadakan suatu perjuangan yang tak kenal damai, dengan kaum pertuanan itu. Non-kooperasi tidak berhenti di luar dinding-dinding raad-raad saja, tetapi non-kooperasi adalah meliputi semua bagian-bagian daripada kita punya perjuangan politik. Itulah sebabnya, maka non-kooperasi adalah berisi radikalisme—radikalisme hati, radikalisme pikiran, radikalisme sepak-terjang, Radikalisme dalam segala sikap lahir dan batin. Non-kooperasi meminta kegiatan”.1

Taktik radikal ini seakan me
warisi semangat perlawanan para pendahulunya, seperti Sarekat Islam yang pernah mencatat berbagai bentuk perjuangan radikal melalui berbagai pengorganisasian massa rakyat. Taktik yang paling penting dan membedakan taktik radikal non-kooperasi dengan taktik kerjasama (ko-operasi) adalah bahwa prinsip non-kooperasi melihat pentingnya kekuatan massa dalam menekan pihak penindas dalam hal ini penjajah Belanda. Taktik ini tidak percaya bahwa sikap penjajah akan berubah hanya dengan mengadakan permintaan melalui seruan tertulis, permohonan, atau dialog. Dipercaya bahwa hanya dengan membangun kekuatan massa sebagai kekuatan material sebagai kekuatan penekan, maka kaum non-koperasi harus tampil dan terjun ke massa untuk mengajak mereka aktif bergerak mengadakan kumpulan massa dengan menuntut. Massa harus diorganisir karena mereka percaya bahwa massa-lah yang sebenarnya memiliki kepentingan untuk perubahan.

Maka salah satu aktivitas yang sangat penting dari taktik non-kerjasama adalah aksi massa (
vergadering), Machtsvorming, hingga menumbuhkan cara pandang pada massa rakyat bahwa mereka harus merebut kekuasaan. Dalam artikelnya di ‘Pikiran Rakyat’ yang berjudul “Non-Cooperation Tidak Bisa Mendatangkan Massa Aksi dan Machtsvorming?” ia menegaskan bahwa jalan non-kooperasi dilakukan dengan cara menekankan pada gerakan yang dilakukan melalui aksi-aksi massa dan rapat-rapat akbar. Metode perjuangan ini tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi di India yang berprinsip pada ‘Ahimsa’ yang membuat sifat gerakannya kurang menyerang terhadap penjajahan, pasif, dan hanya menekankan pada ‘perdamaian’. Bung Karno menunjukkan bahwa jalan “passive-civil-disobedience” telah menjadi gerakan yang besar ketika Jawaharlal Nehru meminta Gandhi untuk mempelopori gerakan rakyat yang lebih bersifat “militant-civil-disobedience’. Kata Bung Karno: “Non-cooperation kita tidak bersandar pada kepercayaan ahimsa... tetapi non-cooperation kita adalah, sebagaimana saya terangkan dalam karangan saya yang lalu, kita sandarkan pada keyakinan dan kenyataan, bahwa antara sana dan sini adalah suatu pertentangan kebutuhan yang tak dapat ditutup atau di-“jembatani”. Non-cooperation kita... berisi aktivitas dan radikalisme... Radikalisme inilah yang menolak segala sikap yang pasif... yang tak mau tahu akan sikap “diam saja jangan menyerang”, radikalisme inilah yang menuntut sikap militan. Kita tidak boleh bersikap “diam saja jangan menyerang”, kita harus “keluar dari rumah-rumah kita”—keluar menjalankan penyerangan atas segala pusat-pusat musuh”.2

Apa yang dimaksud dengan
“massa aksi” oleh Bung Karno? Simaklah tulisannya berikut ini: “Massa aksi adalah aksinya massa... Dan oleh karena aksi berarti perbuatan, pergerakan, perjuangan, maka massa-aksi adalah dus berarti: perbuatannya, pergerakannya, perjuangannya rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu. Dan perbuatan itu, pergerakan itu, perjuangan itu bukanlah suatu hal yang hanya nanti akan terjadi; perbuatan, pergerakan, perjuangan itu adalah hal yang sudah berjalan sekarang. Apa yang kita kerjakan sekarang, apa yang kita sekarang perbuat, apa saja kita punya tindakan ini hari yang berupa menyusun-nyusun perhimpunan, menulis artikel-artikel dan surat-kabar, mengadakan kursus-kursus, mengadakan rapat-rapat umum, mengadakan demonstrasi-demonstrasi—itu semua sudahlah termasuk dalam perbuatan, pergerakan, perjuangan rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu, itu sudahlah termasuk dalam massa-aksi itu adanya”.3
...

Bukan tiap-tiap pergerakan dari orang yang ratusan, ribuan, jutaan, adalah suatu massa-aksi. Massa-aksi adalah pergerakan rakyat-murba yang berjuta-juta secara radikal dan revolusioner. Pergerakan rakyat-murba yang tidak secara radikal dan revolusioner, pergerakan rakyat-murba yang tidak bersemangat perlawanan, pergerakan rakyat-murba yang “tidak sengit” dan tidak bersemangat “banteng”—pergerakan rakyat-murba yang demikian itu, walaupun milyun-milyunan orang yang bergerak, bukanlah massa-aksi, tetapi hanyalah suatu “Massale actie”, aksi Massal, belaka”.
4

Bung Karno memberikan contoh bagaimana massa aksi memiliki arti yang sangat penting dalam sejarah menuju perubahan. Ia mencontohkan berbagai perubahan dan revolusi seperti revolusi Perancis, revolusi
Rusia, dan berbagai perubahan dimana dimulai dengan peran massa yang aktif dan radikal. Lalu apakah yang dimaksud Machtsvorming menurut Bung Karno?: “Machtsvorming adalah berarti: pembikinan kuasa. Machtsvorming adalah penyusunan tenaga, penyusunan macht. Machtsvorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana menuruti kehendak kita. Paksaan ini adalah perlu, paksaan ini adalah syarat yang pertama”.5

Taktik radikal yang dipilihnya membuat ia yakin bahwa taktik kerjasama dengan Belanda tak akan mencapai tujuan Indonesia yang merdeka. Kemerdekaan adalah ilusi jika kita hanya berkompromi dengan pihak yang membuat kita tak merdeka atau yang menjajah kita. Bung Karno di era ini rajin mengkritik kaum kompromis, kaum yang disebutnya hanya berteori dan berbicara, tetapi tak mau bekerja dan terjun langsung ke massa rakyat untuk meningkatkan (meradikalisasi) perlawanan. Di tahun 1933, di dalam ‘Pikiran Rakyat’ lagi-lagi ia menulis artikel yang judulnya adalah mirip seruan: “Bukan ‘Jangan Banyak Bicara, Bekerjalah!’, Tetapi ‘Banyak Bicara, Banyak Bekerja!”. Pengaruh pernyataan Lenin, “teori yang revolusioner mensyaratkan kerja revolusioner”.

Sekarang? … Wajah-wajah politisi tua yang “nggak keren” dan membosankan, bersamaan dengan mental kacangan mereka yang selalu tunduk pada tuan-tuan imperialisnya di Barat dan para konglomerat yang juga berpolitik (Yosef Colla, Abu Rizik Brekele, dll) yang menghasilkan output-output politik yang menindas dan menyengsarakan rakyat, membuat rakyat kian apatis terhadap proyek politik; rakyat semakin tak percaya bahwa politik adalah jalan merubah keadaan. Mereka semakin percaya pada mistik atau membiarkan diri larut dalam khayalan-khayalan. Bahkan khayalanpun pada akhirnya juga tuntutan dari tubuh yang butuh terpenuhi secara material: ketika pemenuhan kebutuhan semakin mendesak, dan tak dapat terpenuhi, mereka memilih bunuh diri atau menolak jalan-jalan yang dianggap bermoral: mencuri, melacur, dll. Atau—untuk menyangkal kebenaran bahwa mereka ditindas dan ditipu oleh politisi-politisi tua—mereka memilih lari pada sentiment rasial (agama, suku, dll). Pelarian ini dimanfaatkan oleh politisi-politisi dan partai politik penjual moral-agama untuk menyusun proyek-proyek ilusi selanjutnya.
Berharap pada kaum muda ad
alah harapan yang berlebihan? Dilihat dari mana dulu! Secara fisik (usia) dan obsesi psikologis, tak dapat terbantahkan bahwa kaum tua cenderung konservatif-reaksioner sedangkan kaum muda punya potensi yang besar untuk menjadi progresif-revolusioner. Ada yang beranggapan bahwa istilah ‘muda’ harus dipandang dari sisi semangat dan bukannya usia, dengan mengatakan bahwa “kaum muda yang konservatif adalah kaum tua, sedang kaum tua yang progresif juga layak dikatakan muda”. Ah, bisa-bisa aja, bukankah analisa itu tidak material? Berapa jumlah kaum tua di negeri ini yang progresif-radikal-revolusioner atau yang sok revolusioner seperti ikut-ikutan terjun menolak kenaikan BBM menjelang pemilu agar mendapatkan popularitas atau simpati dari kaum muda yang diajaknya—atau di-hire-nya! Kita harus hati-hati dengan gejala-gejala, gejala (fenomena) bukanlah hakekat! Begitulah hokum dialektis sejarah mengajarkan…Saya berani bertaruh, untuk konteks Indonesia, tidak ada kaum tua yang bisa diharapkan! Tetapi kaum muda sendiri juga masih belum siap untuk merebut kekuasaan, malah kebanyakan buru-buru untuk memenuhi hasrat politik demi kursi dan posisi (yang ujung-ujungnya demi uang dan kekuasaan pribadi).

Tentu ada syarat-syarat yang harus kita persiapkan agar politik kaum muda tetaplah menjadi politik gerakan progresif yang bervisi anti-imperialisme.

Hambatan-Hambatan psikologis masihlah terjadi dalam gerakan kaum muda sendiri, bahkan di kalangan yang mengaku sebagai gerakan radikal: INTRIK, EKSISTENSI DIRI, KEKIRI-KIRIAN, SOMBONG (CONGKAK), KASAR, KAKU, DEKIL, TIDAK DEWASA, DLL!!! Ideologi tak menjadi watak, tak disebarkan, tetapi untuk eksistensi diri yang tak membumi…. Maka, saat godaan-godaan kapitalisme dan kekuasaan semakin massif, ada di antara mereka yang mulai sibuk bicara tentang “kursi”. Wallahu’alam!!!!

_______________

CATATAN KAKI:

Penulis buku Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Politik Radikal. Yogyakarta: Resist Book, 2007; buku DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme. Yogyakarta: Garasi Book, 2008; kini mengelola TAMAN BELAJAR UNTUK RAKYAT (T.A.B.U.R) di sebuah lembah sekitar Pantai Prigi di Kab. Trenggalek, Jawa Timur. Nurani Soyomukti bisa dikunjungi di www.esaipolitiknurani.blogspot.com

Dikutip dalam Eko Prasetyo. MINGGIR: Saatnya Gerakan Kaum Muda Memimpin!”. Yogyakarta: Resist Book, 2008

M Fadjroel Rachman dalam opininya di Kompas, misalnya, menyebutkan tokoh-tokoh itu, seperti: Presiden Soekarno (44), Wapres Mohammad Hatta (43), dan 10 perdana menteri, yaitu Sutan Sjahrir (36), Amir Sjarifoeddin (40), Mohammad Hatta (46), Abdul Halim (39), Muhammad Natsir (42), Sukiman Wirjosandjojo (53), Wilopo (44), Ali Sastroamidjojo (50), Burhanuddin Harahap (38), dan Djuanda Kartawidjaja (46). Mereka lebih muda daripada Komite Bangkit Indonesia (KBI) seperti Rizal Ramli (54) dan Taufik Kiemas (65). Jadi KBI tidaklah lain the sunset generation juga.

Masih menurut catatan Fadjroel Rachman, di bidang politik nasional dan lokal, kita mengenal Susilo Bambang Yudhoyono (58), Jusuf Kalla (65), BJ Habibie (71), Megawati Soekarnoputri (60), Abdurrahman Wahid (67), Amien Rais (63), Akbar Tandjung (62), Wiranto (60), Sutiyoso (63), Sri Sultan Hamengku Buwono X (61), dan pemimpin segenerasinya. Artinya, pada Pemilu 2009 the sunset generation sudah berusia 60 tahun atau lebih, usia sosial dan politik yang pantas untuk mengundurkan diri, seperti Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Tony Blair menjabat pada usia 44 tahun (1997) dan mundur pada usia 54 tahun (2007). Presiden AS Bill Clinton menjabat pada usia 47 tahun (1993) dan berakhir pada usia 55 tahun (2001).

Pramoedya Ananta Toer. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006

1 Dalam Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. (Cetakan Ketiga). Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 189-190

2 Dalam Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. (Cetakan Ketiga). Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 194

3 Ibid., hal. 196

4 Ibid., 197

5 Ibid., 202