Rabu, 04 Februari 2009
Dari Naskah Bukuku:
Ketika Istri Ingin Cerai
(Belajar dari Sekelumit Kisah Nawal El Sadawi dan Alexandra Kollontai)
Oleh Nurani, pendidik dan penulis buku
Pernah mendengar istri ‘menceraikan’ suami kan? Tentu dari kacamata agama, perempuan tidak bisa menceraikan laki-laki dalam sebuah perkawinan. Maksudnya, ingin cerai tetapi si suami tidak mau atau tak mau menandatangani keputusan cerai, maka dalam kaca mata agama memang tidak bisa cerai.
Hak ‘Cerai’ untuk Perempuan
Tetapi di era modern, perempuan bukanlah pihak yang lemah dan tunduk-patuh dan menuruti apapun yang terjadi dan bagaimanapun pernikahan menyebabkan nasib mereka. Jaman dulu, jika istri tidak suka pada suami, maka ia tak bisa memilih. Bahkan jika suami tak suka pada istri, ia bisa saja mencari istri lain dan si istri tetap jadi istrinya meskipun secara de fakto tak lagi berhubungan sebagaimana layaknya orang yang menginginkan hubungan. Tak heran jika laki-laki yang memiliki kedudukan di masyarakat, seperti raja-raja, bisa memiliki ribuan istri atau selir—seperti raja-raja Cina.
Situasi keterbukaan seperti sekarang ini tentu lebih memberi peluang pada perempuan untuk menyatakan kesukaan atau ketidaksukaan, kecocokan dan ketidakcocokan, pada pasangannya. Istri punya ruang untuk memutuskan atau minimal mengungkapkan jika ia ingin memutuskan hubungannya karena ia merasa tak cocok lagi dengan laki-laki yang dianggap oleh orang lain sebagai suaminya.
Tidak jarang keputusan semacam itu diambil karena si istri merasa memiliki kecocokan dengan suaminya, dan kadang juga ada pemicu dari luar misalnya dia juga telah tertarik dengan orang lain pada saat ia sudah menikah. Ada juga yang memilih cerai atau berpisah karena ia dikekang di dalam rumah dan tidak boleh berperan di luar atau bahkan karena bentuk-bentuk penindasan lainnya. Perempuan yang mendapatkan perlakuakn kekerasan itu memilih lari dari rumah. Juga ingin lari karena ia tak mau dikekang dan ingin berperan luas di luar rumah karena ia merasa bahwa kondisis kehidupan di luar rumah mengundang perannya.
Seorang single parent, bagaimanapun, adalah suatu status yang tak diinginkan karena pada dasarnya segala sesuatu akan mudah dihadapi bersama orang lain. Tetapi yang harus dipahami adalah bahwa: kesendirian dan tanpa bantuan orang lain kadang kita juga bisa menghadapi hidup dengan penuh makna, lebih produktif-kreatif, bahkan lebih dibanding pada saat kita bersama-sama dengan pasangan Anda. Lebih baik sendiri daripada bersama tetapi ditindas karena penindasan itu membuat kita menjadi kerdil dan hanya patuh-tunduk tanpa punya otonomi dan kreatifitas.
Muncul berbagai macam pertanyaan dalam benak perempuan, misalnya:
“Apakah hidup kalau bukan aktifitas? Kenapa aku justru terpasung seperti ini dalam rumahtangga. Iya kalau suamiku menyayangi aku sepenuhnya, kenyataannya dia hanya peduli pada dirinya sendiri. Dia sibuk di luar dan mungkin juga bertemu dengan banyak orang, termasuk perempuan-perempuan yang pasti membuatnya tergoda—pasti tergoda, aku tahu persis watak suamiku. Jadi kenapa aku dibohongi seperti ini. Aku kan juga punya kemampuan untuk berperan di luar rumah? Aku tidak suka pada suamiku yang keluar rumah untuk urusan dirinya sendiri. Aku ingin keluar rumah untuk berperan agar lebih berguna di masyarakat!”
Istri Tak Taat?
Apakah istri harus taat pada laki-laki dan budaya jika apa yang dimaui oleh laki-laki dan budaya tidak sesuai dengan kemauannya yang sesuai dengan ukuran-ukuran kemanusiaan? Apakah ketika istri ingin cerai atau putus hubungan dengan suami karena tidak cocok, ia disebut perempuan menyimpang? Memangnya, apakah pernikahan adalah tempat istri harus taat pada suatu hal yang mungkin bertentangan dengan perasaannya akan keadilan hubungan dan nilai-nilai kemanusiaan?
Jangan-jangan di balik selubung budaya ketaatan tersimpan wajah buruk penindasan atau penipuan. Sebagaimana dikatakan oleh Nawal El Sadawi:
“Seorang yang sedang dipimpin oleh orang lain dan terlihat taat sebenarnya orang yang munafik. Ketaatan adalah wajah lain dari rasa takut, sedang ketakutan itu akan membawa pada sebuah kemunafikan. Akan tetapi, kita tidak akan sampai pada akar segala sesuatu, karena rasa takut itu. Karena, kita takut untuk menentang sesuatu yang telah jelas atau hal yang masih semu pada nilai-nilai dan kebiasaan yang kita hadapi. Pada akhirnya, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kemunafikan dan ketaatan itu dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.”[1]
Sekali lagi, bukan seks dan bukan kekayaan material yang mengikat dan menjadikan hubungan langgeng, tetapi nilai yang lahir dari pemaknaan terhadap materi itu dan ikatan/hubungan yang didukung oleh materi itulah yang penting. Nilai-nilai manusia kadang juga bersifat universal, seperti seorang perempuan yang justru lari dari suaminya karena begitu terpesona dengan nilai universal yang bernama keadilan dan kesetaraan antara manusia, prinsip yang membuatnya menyukai kegiatan yang dilarang dan tidak disukai oleh suaminya.
Dialah seorang perempuan yang bernama Alexandra Kollontai, lahir dari keluarga Finno-Rusia. Namanya akan terus dikenang dalam sejarah, terutama dalam sejarah gerakan perempuan. Alexandra berparas cantik, cerdas, tegas dan mandiri. Dia menikah saat usia muda—melawan kemauan keluarga—dengan sepupunya yang bernama Vladimir Kollontai. Titik balik dalam kehidupan Alexandra datang pada tahun 1896 ketika ia mendampingin Vladimir, seorang inspektur pabrik, dalam salah satu kunjungannya.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa pabrik-pabrik tempat suaminya bekerja itu sangat kotor, bising, dan berbahaya. “Dan buruh-buruh yang kelaparan ini diperbudak hingga di luar batas kemampuan manusia”, katanya.[2] Vladimir tak mempedulikan keresahan manusiawi istrinya. Alexandra marah dan akhirnya bergabung dengan sekelompok Marxis dalam mendukung pemogokan buruh tekstil di St. Petersburg tahun 1896. Vladimir berusaha mencegahnya, Alexandra menangis kecewa dan memutuskan meninggalkan Vladimir, dan untuk sementara waktu meninggalkan anak laki-lakinya.
Sepertinya hal itu merupakan sebuah tindakan melanggar batas yang dilakukan laki-laki terhadap individualitas kaum perempuan. Artinya sebuah perjuangan berlangsung di seputar persoalan: kerja atau menikah atau cinta. Demi nilai-nilai kemanusiaan yang berbeda dengan pasangannya (suaminya), hubungan dihentikan karena memang tak ada harapan lagi menjalani hubungan yang tiada nilai. Kebutuhan seorang perempuan agung seperti Kollontai bukanlah semata-mata kemewahan dan seksualitas atau sanjungan dari masyarakat bahwa dia berstatus bangsawan.
Bahkan demi cita-cita kemanusiaan bukan saja ia menceraikan istri di luar prosedur resmi. Tetapi ia juga berani bertaruh pada hidupnya: Aktivitas-aktivitas Alexandra dalam kelompok perempuan sosialis menarik perhatian polisi Tsar dan dia harus keluar dari Rusia. Diasingkan di Eropa dan AS, dia berjuang penuh semangat melawan pecahnya PD I. Pada tahun 1914, dia bergabung dengan Partai Bolsyewik pimpinan Lenin, yang merupakan penentang Perang Dunia I yang paling kuat. Saat terjadi Revolusi Februari 1917, Alexandra kembali ke Rusia. Tujuh bulan kemudian, setelah kemenangan Revolusi Oktober-nya Bolsyewik, Lenin mengajaknya duduk dalam pemerintahan sebagai Komisaris Kesejahteraan Sosial.
Alexandra bekerja dengan perempuan-perempuan pemimpin Bolsyewik lainnya (Innesia Armand, Krupskaia, Ludmilla Stael, Zinaida Lilina untuk menerapkan suatu program sosialis bagi perempuan, meskipun berlangsung krisis kelaparan dan perang saudara. Program-program yang dilakukan antara lain:
· Hak pilih bagi perempuan;
· Kesetaraan Hukum laki-laki dan perempuan;
· Kebebasan untuk bercerai;
· Cuti melahirkan 2 bulan dengan tetap digaji;
· Tempat pengasuhan anak di tempat kerja dan di lingkungan perumahan;
· Memukul istri dianggap illegal;
· Kampanye pendidikan dan propaganda menentang pemingitan dan pemakaian jilbab untuk perempuan di daerah-daerah Muslim yang luas di Uni Soviet;
· Klinik-klinik, tempat penitipan anak dan rumah-rumah perawatan ibu-ibu melahirkan;
· ‘Cuti sakit’ tetap digaji untuk ibu-ibu yang masih menyusui bayi;
· Didirikan komune-komune perumahan.
Kolontai menjadi contoh perempuan sadar yang ingin memilih, yaitu memilih memperjuangkan nilai daripada mempertahankan hubungan yang tidak bemakna. Sebagai seorang yang tersadarkan, tentu ia tak melihat bahwa kekayaan material mampu menjelaskan eksistensi dirinya.
Dan saya selalu berharap tidak terjadi citra buruk bagi perempuan yang memilih keinginannya untuk putus hubungan dengan laki-laki. Bahkan argument mendasar dari ungkapan saya itu adalah: hubungan tidak bias dipaksakan, perempuan, sebagaimana laki-laki, juga harus diberi hak untuk memilih pasangan yang diinginkan—atau memilih untuk tidak berpasangan. Artinya, bahkan kalau toh perempuan melakukan perselingkuhan atau ‘pindah ke lain hati’ (ke laki-laki lain), kita juga jangan melihat sebelah mata. Karena saya yakin bahwa perempuan yang selingkuh biasanya disebabkan oleh suami yang menindas, mengasingkan, mengekang, dan egois—berbeda dengan laki-laki yang tetap saja selingkuh pada saat istrinya mengabdikan diri sepenuhnya.
Selingkuh?
Banyak riset mutakhir yang menunjukkan bahwa perempuan yang berselingkuh cenderung dimotivasi untuk mencari cinta dan kedekatan, sedangkan laki-laki seringkali hanya karena dorongan seks. Umumnya, perempuan percaya bahwa ketidaksetiaan mereka dibenarkan demi cinta; sedangkan laki-laki cenderung percaya bahwa perselingkuhan mereka dibenarkan jika tidak dilandasi rasa cinta. Perempuan mungkin juga merasakan kesedihan yang mendalam atas perselingkuhannya jika dibandingkan dengan laki-laki.[3]
Memang ada perkembangan baru di jaman yang terus berubah ini di mana dalam penelitian ditemukan generasi perempuan yang mencari selingkuhan untuk kepuasan seksual dan melakukannya tanpa perasaan bersalah, yang disebut Carol Botwin sebagai para ‘groundbreaker’.[4] Tetapi saya kira, hanya sedikit perempuan yang masuk dalam kalangan seperti itu, terutama kaum minoritas dari kalangan elit yang memang secara psikologis mengalami suatu tahap yang berbeda dengan pengalaman perempuan rata-rata.
Tetapi diskusi kita adalah tentang di bagian ini adalah adanya kemungkinan bahwa setelah perempuan minta cerai atau lari dari hubungan bukanlah karena ia mencari laki-laki lain. Tetapi karena ia tidak betah terkungkung di dalam rumah bersama suami. Maka ia dalam hal ini kita mengharapkan bahwa sang istri bisa menuntut cerai dan sang suami juga diharapkan mau memenuhi tuntutannya. Dan pada kenyataannya situasi atau peristiwa semacam itu tidak jarang terjadi.
Suami yang memenuhi tuntutan semacam itu biasanya juga mengajukan syarat-syarat, misalnya dengan ungkapan seperti ini: “OK, aku penuhi tuntutanmu! Aku mau cerai tetapi anak kita ikut kamu dan urusan perkembangan dan biaya hidupnya kamu yang menanggung. Aku lepas dari seluruh tanggung jawab!”
Maka si perempuan pun menjadi orangtua tunggal dari anak yang lahir dari pernikahannya dengan mantan suaminya, suami yang telah ditinggalkannya. Ia selamat dari pernikahan dengan laki-laki yang tidak diinginkan, tetapi ia memiliki tanggungjawab merawat anak yang lahir dari rahimnya.***
_______________
[1] Nawal El Sadawi. “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan (Esai-Esai Nawal El Sadaawi). Jakarta: Kalyanamitra, 2004
[2] Lihat Marisa Rueda, Marta Rodriguez, Susan Allice Watkins. Feminisme untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book, 2007, hal. 88-91
[3] Shirley P. Glass dan Thomas L. Wright. Clinical Implications of Research on Extra-Marital Involvement: In the Treatment of Sexual Problem in Indivudual and Couple Therapy. New York: PMA, 1988, hal. 318
[4] Lihat Carol Botwin. Tempted Women: The Passions, Perils, and Agonies of Female Infidelity. New York: William Morrow, 1994
(Belajar dari Sekelumit Kisah Nawal El Sadawi dan Alexandra Kollontai)
Oleh Nurani, pendidik dan penulis buku
Pernah mendengar istri ‘menceraikan’ suami kan? Tentu dari kacamata agama, perempuan tidak bisa menceraikan laki-laki dalam sebuah perkawinan. Maksudnya, ingin cerai tetapi si suami tidak mau atau tak mau menandatangani keputusan cerai, maka dalam kaca mata agama memang tidak bisa cerai.
Hak ‘Cerai’ untuk Perempuan
Tetapi di era modern, perempuan bukanlah pihak yang lemah dan tunduk-patuh dan menuruti apapun yang terjadi dan bagaimanapun pernikahan menyebabkan nasib mereka. Jaman dulu, jika istri tidak suka pada suami, maka ia tak bisa memilih. Bahkan jika suami tak suka pada istri, ia bisa saja mencari istri lain dan si istri tetap jadi istrinya meskipun secara de fakto tak lagi berhubungan sebagaimana layaknya orang yang menginginkan hubungan. Tak heran jika laki-laki yang memiliki kedudukan di masyarakat, seperti raja-raja, bisa memiliki ribuan istri atau selir—seperti raja-raja Cina.
Situasi keterbukaan seperti sekarang ini tentu lebih memberi peluang pada perempuan untuk menyatakan kesukaan atau ketidaksukaan, kecocokan dan ketidakcocokan, pada pasangannya. Istri punya ruang untuk memutuskan atau minimal mengungkapkan jika ia ingin memutuskan hubungannya karena ia merasa tak cocok lagi dengan laki-laki yang dianggap oleh orang lain sebagai suaminya.
Tidak jarang keputusan semacam itu diambil karena si istri merasa memiliki kecocokan dengan suaminya, dan kadang juga ada pemicu dari luar misalnya dia juga telah tertarik dengan orang lain pada saat ia sudah menikah. Ada juga yang memilih cerai atau berpisah karena ia dikekang di dalam rumah dan tidak boleh berperan di luar atau bahkan karena bentuk-bentuk penindasan lainnya. Perempuan yang mendapatkan perlakuakn kekerasan itu memilih lari dari rumah. Juga ingin lari karena ia tak mau dikekang dan ingin berperan luas di luar rumah karena ia merasa bahwa kondisis kehidupan di luar rumah mengundang perannya.
Seorang single parent, bagaimanapun, adalah suatu status yang tak diinginkan karena pada dasarnya segala sesuatu akan mudah dihadapi bersama orang lain. Tetapi yang harus dipahami adalah bahwa: kesendirian dan tanpa bantuan orang lain kadang kita juga bisa menghadapi hidup dengan penuh makna, lebih produktif-kreatif, bahkan lebih dibanding pada saat kita bersama-sama dengan pasangan Anda. Lebih baik sendiri daripada bersama tetapi ditindas karena penindasan itu membuat kita menjadi kerdil dan hanya patuh-tunduk tanpa punya otonomi dan kreatifitas.
Muncul berbagai macam pertanyaan dalam benak perempuan, misalnya:
“Apakah hidup kalau bukan aktifitas? Kenapa aku justru terpasung seperti ini dalam rumahtangga. Iya kalau suamiku menyayangi aku sepenuhnya, kenyataannya dia hanya peduli pada dirinya sendiri. Dia sibuk di luar dan mungkin juga bertemu dengan banyak orang, termasuk perempuan-perempuan yang pasti membuatnya tergoda—pasti tergoda, aku tahu persis watak suamiku. Jadi kenapa aku dibohongi seperti ini. Aku kan juga punya kemampuan untuk berperan di luar rumah? Aku tidak suka pada suamiku yang keluar rumah untuk urusan dirinya sendiri. Aku ingin keluar rumah untuk berperan agar lebih berguna di masyarakat!”
Istri Tak Taat?
Apakah istri harus taat pada laki-laki dan budaya jika apa yang dimaui oleh laki-laki dan budaya tidak sesuai dengan kemauannya yang sesuai dengan ukuran-ukuran kemanusiaan? Apakah ketika istri ingin cerai atau putus hubungan dengan suami karena tidak cocok, ia disebut perempuan menyimpang? Memangnya, apakah pernikahan adalah tempat istri harus taat pada suatu hal yang mungkin bertentangan dengan perasaannya akan keadilan hubungan dan nilai-nilai kemanusiaan?
Jangan-jangan di balik selubung budaya ketaatan tersimpan wajah buruk penindasan atau penipuan. Sebagaimana dikatakan oleh Nawal El Sadawi:
“Seorang yang sedang dipimpin oleh orang lain dan terlihat taat sebenarnya orang yang munafik. Ketaatan adalah wajah lain dari rasa takut, sedang ketakutan itu akan membawa pada sebuah kemunafikan. Akan tetapi, kita tidak akan sampai pada akar segala sesuatu, karena rasa takut itu. Karena, kita takut untuk menentang sesuatu yang telah jelas atau hal yang masih semu pada nilai-nilai dan kebiasaan yang kita hadapi. Pada akhirnya, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kemunafikan dan ketaatan itu dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.”[1]
Sekali lagi, bukan seks dan bukan kekayaan material yang mengikat dan menjadikan hubungan langgeng, tetapi nilai yang lahir dari pemaknaan terhadap materi itu dan ikatan/hubungan yang didukung oleh materi itulah yang penting. Nilai-nilai manusia kadang juga bersifat universal, seperti seorang perempuan yang justru lari dari suaminya karena begitu terpesona dengan nilai universal yang bernama keadilan dan kesetaraan antara manusia, prinsip yang membuatnya menyukai kegiatan yang dilarang dan tidak disukai oleh suaminya.
Dialah seorang perempuan yang bernama Alexandra Kollontai, lahir dari keluarga Finno-Rusia. Namanya akan terus dikenang dalam sejarah, terutama dalam sejarah gerakan perempuan. Alexandra berparas cantik, cerdas, tegas dan mandiri. Dia menikah saat usia muda—melawan kemauan keluarga—dengan sepupunya yang bernama Vladimir Kollontai. Titik balik dalam kehidupan Alexandra datang pada tahun 1896 ketika ia mendampingin Vladimir, seorang inspektur pabrik, dalam salah satu kunjungannya.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa pabrik-pabrik tempat suaminya bekerja itu sangat kotor, bising, dan berbahaya. “Dan buruh-buruh yang kelaparan ini diperbudak hingga di luar batas kemampuan manusia”, katanya.[2] Vladimir tak mempedulikan keresahan manusiawi istrinya. Alexandra marah dan akhirnya bergabung dengan sekelompok Marxis dalam mendukung pemogokan buruh tekstil di St. Petersburg tahun 1896. Vladimir berusaha mencegahnya, Alexandra menangis kecewa dan memutuskan meninggalkan Vladimir, dan untuk sementara waktu meninggalkan anak laki-lakinya.
Sepertinya hal itu merupakan sebuah tindakan melanggar batas yang dilakukan laki-laki terhadap individualitas kaum perempuan. Artinya sebuah perjuangan berlangsung di seputar persoalan: kerja atau menikah atau cinta. Demi nilai-nilai kemanusiaan yang berbeda dengan pasangannya (suaminya), hubungan dihentikan karena memang tak ada harapan lagi menjalani hubungan yang tiada nilai. Kebutuhan seorang perempuan agung seperti Kollontai bukanlah semata-mata kemewahan dan seksualitas atau sanjungan dari masyarakat bahwa dia berstatus bangsawan.
Bahkan demi cita-cita kemanusiaan bukan saja ia menceraikan istri di luar prosedur resmi. Tetapi ia juga berani bertaruh pada hidupnya: Aktivitas-aktivitas Alexandra dalam kelompok perempuan sosialis menarik perhatian polisi Tsar dan dia harus keluar dari Rusia. Diasingkan di Eropa dan AS, dia berjuang penuh semangat melawan pecahnya PD I. Pada tahun 1914, dia bergabung dengan Partai Bolsyewik pimpinan Lenin, yang merupakan penentang Perang Dunia I yang paling kuat. Saat terjadi Revolusi Februari 1917, Alexandra kembali ke Rusia. Tujuh bulan kemudian, setelah kemenangan Revolusi Oktober-nya Bolsyewik, Lenin mengajaknya duduk dalam pemerintahan sebagai Komisaris Kesejahteraan Sosial.
Alexandra bekerja dengan perempuan-perempuan pemimpin Bolsyewik lainnya (Innesia Armand, Krupskaia, Ludmilla Stael, Zinaida Lilina untuk menerapkan suatu program sosialis bagi perempuan, meskipun berlangsung krisis kelaparan dan perang saudara. Program-program yang dilakukan antara lain:
· Hak pilih bagi perempuan;
· Kesetaraan Hukum laki-laki dan perempuan;
· Kebebasan untuk bercerai;
· Cuti melahirkan 2 bulan dengan tetap digaji;
· Tempat pengasuhan anak di tempat kerja dan di lingkungan perumahan;
· Memukul istri dianggap illegal;
· Kampanye pendidikan dan propaganda menentang pemingitan dan pemakaian jilbab untuk perempuan di daerah-daerah Muslim yang luas di Uni Soviet;
· Klinik-klinik, tempat penitipan anak dan rumah-rumah perawatan ibu-ibu melahirkan;
· ‘Cuti sakit’ tetap digaji untuk ibu-ibu yang masih menyusui bayi;
· Didirikan komune-komune perumahan.
Kolontai menjadi contoh perempuan sadar yang ingin memilih, yaitu memilih memperjuangkan nilai daripada mempertahankan hubungan yang tidak bemakna. Sebagai seorang yang tersadarkan, tentu ia tak melihat bahwa kekayaan material mampu menjelaskan eksistensi dirinya.
Dan saya selalu berharap tidak terjadi citra buruk bagi perempuan yang memilih keinginannya untuk putus hubungan dengan laki-laki. Bahkan argument mendasar dari ungkapan saya itu adalah: hubungan tidak bias dipaksakan, perempuan, sebagaimana laki-laki, juga harus diberi hak untuk memilih pasangan yang diinginkan—atau memilih untuk tidak berpasangan. Artinya, bahkan kalau toh perempuan melakukan perselingkuhan atau ‘pindah ke lain hati’ (ke laki-laki lain), kita juga jangan melihat sebelah mata. Karena saya yakin bahwa perempuan yang selingkuh biasanya disebabkan oleh suami yang menindas, mengasingkan, mengekang, dan egois—berbeda dengan laki-laki yang tetap saja selingkuh pada saat istrinya mengabdikan diri sepenuhnya.
Selingkuh?
Banyak riset mutakhir yang menunjukkan bahwa perempuan yang berselingkuh cenderung dimotivasi untuk mencari cinta dan kedekatan, sedangkan laki-laki seringkali hanya karena dorongan seks. Umumnya, perempuan percaya bahwa ketidaksetiaan mereka dibenarkan demi cinta; sedangkan laki-laki cenderung percaya bahwa perselingkuhan mereka dibenarkan jika tidak dilandasi rasa cinta. Perempuan mungkin juga merasakan kesedihan yang mendalam atas perselingkuhannya jika dibandingkan dengan laki-laki.[3]
Memang ada perkembangan baru di jaman yang terus berubah ini di mana dalam penelitian ditemukan generasi perempuan yang mencari selingkuhan untuk kepuasan seksual dan melakukannya tanpa perasaan bersalah, yang disebut Carol Botwin sebagai para ‘groundbreaker’.[4] Tetapi saya kira, hanya sedikit perempuan yang masuk dalam kalangan seperti itu, terutama kaum minoritas dari kalangan elit yang memang secara psikologis mengalami suatu tahap yang berbeda dengan pengalaman perempuan rata-rata.
Tetapi diskusi kita adalah tentang di bagian ini adalah adanya kemungkinan bahwa setelah perempuan minta cerai atau lari dari hubungan bukanlah karena ia mencari laki-laki lain. Tetapi karena ia tidak betah terkungkung di dalam rumah bersama suami. Maka ia dalam hal ini kita mengharapkan bahwa sang istri bisa menuntut cerai dan sang suami juga diharapkan mau memenuhi tuntutannya. Dan pada kenyataannya situasi atau peristiwa semacam itu tidak jarang terjadi.
Suami yang memenuhi tuntutan semacam itu biasanya juga mengajukan syarat-syarat, misalnya dengan ungkapan seperti ini: “OK, aku penuhi tuntutanmu! Aku mau cerai tetapi anak kita ikut kamu dan urusan perkembangan dan biaya hidupnya kamu yang menanggung. Aku lepas dari seluruh tanggung jawab!”
Maka si perempuan pun menjadi orangtua tunggal dari anak yang lahir dari pernikahannya dengan mantan suaminya, suami yang telah ditinggalkannya. Ia selamat dari pernikahan dengan laki-laki yang tidak diinginkan, tetapi ia memiliki tanggungjawab merawat anak yang lahir dari rahimnya.***
_______________
[1] Nawal El Sadawi. “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan (Esai-Esai Nawal El Sadaawi). Jakarta: Kalyanamitra, 2004
[2] Lihat Marisa Rueda, Marta Rodriguez, Susan Allice Watkins. Feminisme untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book, 2007, hal. 88-91
[3] Shirley P. Glass dan Thomas L. Wright. Clinical Implications of Research on Extra-Marital Involvement: In the Treatment of Sexual Problem in Indivudual and Couple Therapy. New York: PMA, 1988, hal. 318
[4] Lihat Carol Botwin. Tempted Women: The Passions, Perils, and Agonies of Female Infidelity. New York: William Morrow, 1994
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar