Rabu, 18 Februari 2009

Ponari, Kembalilah Ke Sekolah!

PONARI, KEMBALILAH KE SEKOLAH!

Oleh Nurani, Ketua Yayasan TABUR (Taman Belajar untuk Rakyat) Jawa Timur; Voluntary Educator (Pengajar Sukarelawan) dan Penulis Buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Januari 2008) dan “Metode Pendidikan Marxis-Sosialis: Antara Teori dan Praktek” (Desember 2008)


Ponari, kembalilah ke sekolah!

Sudah hampir satu bulan engkau tidak masuk sekolah. Bangku di sekolahmu kosong. Teman-temanmu mencarimu, mereka menunggumu, hingga mereka menempelkan nama “Ponari, Kelas III SD” di kursimu.

Ponari, aku tahu engkau adalah anak yang dipilih oleh alam dengan kekuatan rahasianya. Kekuatan yang tak dapat kau jelaskan, bahkan kekuatan alam yang juga tak mampu dijelaskan oleh orang-orang tua dan bahkan para pendidik di negeri ini. Mereka hanya tahu bahwa kamu beri kekuatan untuk menyembuhkan.

Mereka yang berdatangan padamu untuk minta penyembuhan melalui ‘batu petir’-mu dengan berdesak-desakan itu... mungkin hanya memandang kamu sebagai dewa penolong. Mereka tidak perlu penyelidikan ilmiah tentang kemampuanmu. Mereka butuh obat mendesak untuk menyembuhkan sakitnya, juga sakit parah yang diderita saudara-saudaranya!

Dan memang bukan salah mereka kalau mereka datang dari berbagai daerah.. untuk menemuimu, yang membuatmu harus menemui dan mengharuskanmu mencelupkan batu ajaib itu ke dalam air yang akan diminumkan pada si sakit, selain juga dioleskan pada bagian tubuh yang sakit dengan harapan bahwa air dewa petir yang menurut Mama Laurent mengandung kekuatan elektrik itu menyembuhkannya.

Tapi aku lihat, meskipun dari layar kaca (TV), kelihatan bahwa tubuh dan wajahmu kelihatan capek memberikan pelayanan itu. Aku tahu, meskipun kamu tersenyum dan tertawa-tawa saat berada dalam gendongan ketika menemui antrean orang itu, sesungguhnya aku tahu bahwa kamu sudah mulai bosan membawakan peranmu.

Serba sulit, Ponari! Aku juga tak tahu, siapakah yang diuntungkan oleh peranmu ini. Menurutku pemerintahlah yang tertawa-tawa karena bebas dari tuntutan rakyat untuk memberikan kesehatan murah bahkan kalau bisa gratis. Akhirnya engkau tahu, Ponari!—Bahwa negerimu yang kaya ini adalah negara di mana orang sakit sangatlah besar jumlahnya. Dari penyakit yang ringan, hingga penyakit yang parah, semuanya membutuhkan pengobatan agar sembuh. Tetapi pelayanan kesehatan di negeri ini juga belum memadahi. Rakyat masih berbenturan dengan mahalnya harga berobat, sedangkan infrastruktur dan tenaga kesehatan juga masih belum memadahi. Bahkan kebijakan pelayanan kesehatan bukan hanya minim, tetapi juga melanggar hak-hak rakyat akan kesehatan. Dalam laporan WHO (2005) untuk setiap penduduk Indonesia, pemerintah hanya mengalokasikan US$ 4 (sekitar Rp 34.000) per tahun untuk sektor kesehatan. Bandingkan hal ini dengan Malaysia yang pemerintahnya mengalokasikan US$ 77 (Rp. 654.000) per tahun per kapita. Hal tersebut bukanlah diakibatkan terlalu banyaknya penduduk Indonesia. Secara umum, walau jumlah penduduknya terbanyak di Asia Tenggara, alokasi anggarannya (dihitung berdasarkan persen PDB dan APBN) masih terhitung paling rendah di wilayah yang sama. Selain itu, pengeluaran rakyat secara swadaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masih sangat tinggi.

Betapa besar jasamu Ponari! Meskipun di sisi lain aku juga kasihan karena engkau tidak sekolah. Aku tahu, jika pemerinta bisa memberikan kesehatan gratis pada rakyat... tak terlalu banyak orang yang sakit.

Ya, inilah, Ponari! Inilah negara yang menerapkan sistem kapitalisme! Kapitalisme sebagai bentuk ekonomi yang menjajah dan menindas, di mana pemerintahan negara kita menikmatinya karena mendapatkan keuntungan besar di bawah penderitaan rakyat itu. Tahukah kamu, Ponari! Bahwa kapitalisme atau para pebisnis sebagai tuan kapitalis tidak menginginkan rakyat sehat, mereka menginginkan banyak orang menderita sakit. Taukah mengapa, Ponari?

Karena kapitalisme tak akan berjalan, tuan kapitalis tidak akan dapat hidup dan tak dapat mendapatkan keuntungan jika mereka tidak bisnis obat-obatan atau pelayanan kesehatan! Di sinilah jasamu untuk menarik biaya murah sekali dari air ajaibmu, merupakan anugerah bagi rakyat miskin yang berdesak-desakan itu. Sesungguhnya mereka memang selalu berdesak-desakan sepanjang sejarah, Ponari! Sejarah penindasan di mana mereka siap berkumpul dan menunggu dimasukkan dalam lubang pembantaian sejarah. Lalu orang-orang berkuasa dan tuan-tuan kapitalis akan tertawa kegirangan...

Taukah Kau, Ponari? Orang-orang elit juga sering sakit, terutama sakit perut karena terlalu banyak makan keuntungan dari orang lain yang dihisapnya. Dan ketika sakitnya kambuh mereka tak akan mau datang padamu. Mana mungkin mereka mau datang berdesak-desakan di tempat yang kotor dan dekil... Mereka lebih suka berobat ke Singapura.. bukan di tempatmu, apalagi sebuah tempat yang terpencil di sebelah utara Kabupaten Jombang yang berdekatan dengan Mojokerto tempatmu berada.

Tapi aku melihat wajahmu sudah mulai bosan mendatangi kerumunan orang-orang yang berdesakan itu. Jujurlah, Ponari! Engkau ingin bersekolah lagi, engkau ingin bermain lagi, dan engaku ingin mendapatkan ruang yang lapang untuk berekspresi...

Kembalilah ke Sekolah, Ponari! Bukankah engkau ingin jadi tentara? Karenanya engkau harus belajar... Karena negeri kita butuh tentara yang pintar dan cerdas, yang berpengetahuan luas... Bukan tentara yang kerjaannya menembaki mahasiswa dan menculiki pejuang demokrasi....

Ayolah, Ponari! Engkau jangan hanya mau dijadikan mesin pencari uang yang efektif bagi orang-orang sekelilingmu. . Meskipun menarik biaya yang murah, datangnya puluhan ribu orang yang datang jelas mendatangkan uang yang banyak sebagai imbalan dari pemberian air yang telah kau dicelupi ‘batu ajaib’! Bukankah, banyak uang yang terkumpul dan terus mengalir juga menimbulkan masalah tersendiri. Sebagaimana diberitakan berbagai media, Kau telah menjadi rebutan orang-orang dekat dan anggota keluargamu!

Kau bukan mesin pencari uang, Ponari! Kembalilah ke Sekolah!***

Tidak ada komentar: