Minggu, 07 Oktober 2007

SASTRA DAN MULTIKULTURALISME

Dari Etika Sastra Menuju Etika Global (Global Ethic)

Oleh:
Nurani Soyomukti,
Esais dan pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jakarta

Tidak ada yang menyangkal bagaimana peran satra dalam mempengaruhi kehidupan manusia. Mendiang presiden Amerika Serikat (AS) John F. Kennedy pernah mengatakan bahwa jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya. Sastra sebagai penggerak semangat perjuangan rakyat bukanlah hal baru. Di India, puisi-puisi Rabindranat Tagore turut membantu mendorong rakyat di sana untuk melawan penjajahan Inggris. Di Indonesia juga demikian, karya sastra Pramodeya Ananta Toer, W.S. Rendra, Wiji Thukul, dan lain-lainnya juga mengasah inspirasi perlawanan terhadap penindasan pemerintahan Soeharto yang lengser di tahun 1998.
Sastra mengasah jiwa, membuka kepekaan diri akan situasi yang berkembang. Ketika perang dan kekerasan membuat kemanusiaan membeku, sastra diharapkan melahirkan norma-norma dari yang bersifat estetis menuju pada kemunculan etika dalam menjalani hubungan antara umat manusia. Penyair Sutardji Calzoum Bachri pernah mengatakan bahwa jika tentara punya panser dan peluru, penyair hanya punya kata-kata. Sehingga kita berharap Festival Sastra Internasional akan dapat membuka mata hati masyarakat dunia bahwa kata-kata adalah alat yang penting untuk menyelesaikan masalah dibanding cara-cara militeristik sebagaimana sering kita saksikan. Keindahan dapat meningkatkan kepekaan sehingga banyak yang memahami bahwa etika sangat diperlukan dalam berhubungan sosial.
Menurut Hans Kung (1991) dalam bukunya Global Responsibility In Search of a New World Ethic mengatakan bahwa untuk menghindari bencana yang barangkali akan semakin membesar ini tidak bisa tidak harus ada suatu pergeseran nilai dalam paradigma kehidupan manusia. Pergerakan dari nilai-nilai modernitas ke “paska modernitas” ini meliputi hal-hal berikut. Pertama, perubahan dari masyarakat yang bebas etik menuju masyarakat yang bertanggung jawab secara etis. Kedua, dari budaya teknokrasi yang mendominasi manusia menuju teknologi yang melayani manusia. Ketiga, dari industri yang merusak lingkungan menuju industri yang ramah lingkungan, dan keempat, dari demokrasi legal menuju demokrasi yang berkeadilan dan berkebebasan.
Tetapi kita tidak boleh lupa bawa etika global (global ethics) juga harus didasarkan pada etika ekonomi (economic ethics) dalam mengidealkan keadilan sosial. Pasalnya, transformasi tenaga produksi adalah menentukan dalam perkembangan hubungan sosial di masyarakat dalam sejarah perkembangannya. Cara pandang dan pola hubungan antar manusia yang ada sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan distribusi nilai ekonomisnya ketimbang terjadi secara alamiah (tanpa sebab-sebab material). Kontradiksi pun muncul ketika antara tenaga produktif manusia (kekuatan kerjanya, alat kerja dan teknologinya, sasaran kerja atau lingkungan alamnya) tidak sesuai dengan hubungan kepemilikan yang ada. Pada epos sejarah seperti ini, tidak heran jika berbagai persoalan yang mengikutinya akan muncul berupa persoalan sosial, politik, dan budaya sebagai imbasdari kontradiksi ekonomi yang ada.
Artinya, etika harus dipahami sebagai bentuk kepedulian antar sesama manusia (inter-human) yang didasarkan pada pengetahuan objektif tentang kontradiksi yang ada. Logikanya orang tidak mungkin akan memiliki patokan etis kalau tidak didahului dengan penilaian tentang mana yang baik-dan buruk. Kualitas dapat dilihat dari bentuk-bentuk hubungan material yang ada dalam kenyataan sehari-hari. Kesadaran tentang permasalaan akan membuat orang menilai apakah masyarakat sekarang ini akan berjalan menuju humanitas atau dehumanitas. Struktur objektif adalah tempat individu-individu dalam masyarakat saling berhubungan dalam rangka memenuhi dan meningkatkan kebutuhan hidupnya. Apa bila hubungan itu saling mendukung dan memenuhi (kerjasama), maka masyarakat berjalan secara harmonis. Dan apa bila dalam hubungan ekonomis itu terjadi konflik, maka dapat dipastikan secara sosial-politik dan budaya (bahkan agama) akan terjadi konflik secara terus menerus.
Etika global adalah semacam patokan budi yang lahir dari cara memandang realitas kemiskinan, sebab-sebab objektifnya, dan imbasnya bagi disharmoni sosial, budaya, agama, dan etnisitas yang sangat rawan terjadi di era ini. Etika global tidak hanya mencari titik temu antara berbagai macam kekayaan lokalitas yang terbangun dan mendukung keragaman budaya manusia, tetapi juga mencari titik temu untuk mengatasi kontradiksi (ketidakadilan) global yang manifest dalam hubungan ekonomi-politik.
Toleransi antar sesama manusia di planet ini adalah watak yang dicita-citakan oleh pendukung etika global. Dan toleransi sebagai dimensi psikologis juga menyangkut bentuk perasaan dan cara pandang terhadap realitas dan hubungan antar sesama manusia. Toleransi adalah perasaan dan cara pandang melihat manusia lain sebagai bagian dari dunianya dan semua manusia dianggap sebagai sesame mahkluk yang perlu bekerjasama dalam mengatasi kesulitan hidup dan bersama-sama dapat mengembangkan dirinya di dunia ini.
Seabad lebih yang lalu, seorang pemikir yang bernama Bahá'u'lláh memberikan peringatan: "The well-being of mankind, its peace and security, are unattainable unless and until its unity is firmly established" (umat manusia, kedamaian dan keamanannya, hanya atas suatu pondasi kesatuan sejati, harmoni dan pemahaman antara manusia dari bermacam-macam bangsa di dunia, masyarakat global yang berkelanjutan bisa dicanangkan). Dari sini, etika global adalah konsekuensi dari globalisasi yang memiskinkan manusia dan menimbulkan rasa solidaritas untuk memecahkan persoalan-persoalan lain akibat ketidakadilan global.
Globalisasi akan mengarah pada adanya kewarganegaraan global (world citizenship) melampaui identitas bangsa, suku, agama untuk menyikapi isu-isu global dan mengatasi permasalan-permasalahan yang ada. Peran sastra dalam hal ini masih sangat potensial untuk mencetak generasi-generasi yang peka terhadap perubahan dan perbedaan.***

Tidak ada komentar: