Selasa, 30 Oktober 2007

Kaum Muda Sebagai Agen
Counter-Culture (Budaya Tanding)

(Dimuat di KOMPAS Jawa Timur, Senin 29 Oktober 2007)

Oleh:
Nurani Soyomukti,
Juara Umum I Lomba Esai Pemuda Menteri Pemuda dan Olahraga 2007; aktivis Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN); pendiri Yayasan KOMUNITAS TEMAN KATAKATA (KOTEKA).



Momentum Sumpah Pemuda 1928 adalah momentum budaya tanding karena pada waktu itu kaum muda menggulirkan garis kebudayaan secara tegas. Pertama, mereka berupaya menggarisbawahi budaya persatuan dan kesatuan di kalangan rakyat dengan maksud untuk membuat garis yang berbeda dari kaum tua yang feudal, yang kebanyakan mendukung hegemoni kolonialisme terhadap kalangan istana untuk melanggengkan penjajahan. Kedua, kaum muda menyatakan pandangan politiknya terhadap independensi suatu masyarakat bangsa dari penjajahan asing.

Semangat menggulirkan budaya tanding itulah yang kini harus kita warisi karena kaum muda memang dikenal sebagai kalangan yang kritis dan berani, yang kadang juga berani berbeda dari budaya mainstream yang digunakan oleh kekuasaan sebagai topeng menyembunyikan penindasan.

Tantangan Globalisasi
Dewasa ini kaum muda memang menghadapi sebuah kekuasaan global yang menginginkan kaum muda tidak bisa kritis. Dalam kapitalisme global, ada dua hal yang bertentangan dalam segi kebudayaan: antara kebutuhan rakyat dan kaum muda untuk mencari-cari kreatifitas kebudayaaan pada saat hakekat manusia adalah menyalurkan aktualisasi dirinya melalui budaya (seni, gaya hidup, sastra, dan lain-lain) dengan konsepsi dan praktek kebudayan kapitalis yang cenderung menuju proses homogenisasi—yang melanggengkan penindasan pada aras hubungan ekonomi.

Dari sinilah kemudian kita masih saja dapat menemukan kaum muda yang kritis dan tidak semata-mata menuruti apa yang diarahkan oleh kebudayaan kapitalis yang represif. Kalangan kaum muda ini menciptakan suatu kebudayaan yang bahkan mencoba mendefinsikan realitas untuk melawan kecenderungan umum yang berkembang dan dikembangkan untuk menyangga tatanan ekonomi kapitalis. Inilah yang dalam istilah kebudayaan dapat disebut counter-culture (budaya tanding).

Istilah “budaya tandingan” (counter-culture) itu sendiri berasal masyarakat Barat. Rozak, dalam bukunya yang amat berpengaruh The Making of Counter Culture, menenkankan aspek oposisi dari budaya tandingan terhadap susunan masyarakat teknokratis-kapitalis yang mendominasi kebudayaan Barat di era tahun 1960-an. Masyarakat kapitalis waktu itu dianggap koruptif karena menekankan rasionalitas yang represif; rasionalitas yang membuat manusia terasing, homeless mind, serta—sekali lagi, apa yang disebut Herbert Marcuse—one-dimensional. John Milton Yinger, dalam bukunya Counter Culture (1982), mendefinsikan istilah “budaya tandingan” sebagai “seperangkat norma dan nilai dari sebuah kelompok yang secara tajam bertentangan dengan norma dan nilai dominan dalam masyarakat di mana kelompok itu menjadi bagiannya”.

Di Barat, para agen budaya tanding adalah kaum muda yang mengalami keresahan terhadap krisis kapitalisme yang memiskinkan dan juga dilakukan tak manusiawi dengan jalan perang. Para kaum muda ini menciptakan gaya hidup dan menciptakan produk seni, sastra, dan budaya yang kritis terhadap perkembangan kebudayaan dominan yang dianggap mengasingkan (alienating). Mereka seringkali disebut sebagai “generasi bunga” (flower generation) yang memperjuangkan kesetaraan.

Kaum muda berani menyatakan pikiran dan orientasi gerakan yang berbeda. Pertanyaan tersebut diwakili oleh syair lagu The Police yang berjudul “Born in the 50’s”: “We are the class, they couldn’t teach, cause we know better!” (Kami adalah generasi yang tak dapat mereka didik, karena kami memahami lebih baik). Budaya dominan yang menyebar dianggap tidak mampu memberikan apa-apa karena hanya dangkal dan beku, sedangkan kaum muda yang mampu merasakan dan mengetahui lebih baik ini menginginkan gaya hidup yang berbeda.
Di Indonesia budaya tanding juga menjadi ciri khas dari gerakan kaum muda yang dimuali dengan kemampuan untuk merasakan kontradiksi yang muncul. Gerakan mahasiswa melawan Orde Baru merupakan fakta sejarah yang paling menonjol. Pengaruh budaya tanding tahun 1960-an di Barat juga berimbas pada kaum muda yang mampu mengakses informasi dan ilmu pengetahuan ini. Gerakan kaum muda pun harus selalu tampil dalam setiap sejarah di mana kebudayaan dijadikan topeng kekuasaan yang menindas.

Sekarang ini, banyak orang yang pesimis pada kaum muda. Mereka diarahkan oleh media dan idola semacam “artis-selebritis” yang hanya menegaskan peradaban gosip, peradaban lisan yang selama berabad-abad membuat rakyat nusantara dibodohi oleh kekuasaan (feodal) di istana. Idola itu menghambat kemajuan peradaban literer (baca-tulis) yang diwariskan oleh aktivis pergerakan melawan penjajah melalui pers dan kesusastraan.

Pahlawan masa lalu mengajarkan pentingnya pena dan organisasi dalam menjawab perubahan dalam masyarakat kita yang berada dalam cengkeraman penindasan. Kebesaran R.A.Kartini, Ki Hajar Dewantoro dan tokoh-tokoh pergerakan seperti Raden Mas Marco Kartodikromo, Tirto Adisuryo, Semaoen, Haji Misbach; lalu Sutan Takdir Ali Syahbana (STA), Chairil Anwar; lalu Pramoedya Ananta Toer, WS. Rendra, Umar Khayam, Widji Thukul, dan lain-lain; semua menegaskan cita-cita pencerahan dan pembebasan rakyat melalui tulisan-tulisan dan gerakan kebudayaan.

Pahlawan masa kini justru membodohi anak-anak, remaja, dan orang dewasa dan menggiring mereka pada kehidupan satu dimensi: Pasar. Sekarang ini, di tengah-tengah masyarakat yang masih menggunakan bahasa dan kata-kata sekedar untuk menghafal nama-nama pemain sinetron dan sepakbola, sekedar untuk melihat berapa persen diskon harga baju yang lagi “ngetrend”, para pahlawan sejati masa kini karus mendekatkan bahasa dan sastra pada dunia kemanusiaan.

Lalu di manakah celah bagi munculnya budaya tanding di era sekarang ini? Kita harus percaya bahwa sejarah berjalan dengan berbagai macam konjungturnya. Akan ada epos di mana kaum muda dapat tampil kembali saat sistem yang dijalankan oleh kaum tua dan konservatif mengalami kebuntuan. Mereka akan memainkan perannya, sebagaimana selalu terjadi dalam sejarah.***

Tidak ada komentar: