Oleh: Nurani Soyomukti
Dimuat di BATAM POS/Senin, 01 Oktober 2007
Terlalu utopis sebenarnya mengharapkan terjadinya keadilan dalam dunia pendidikan dari kedermawanan semacam zakat. Apa lagi dalam corak masyarakat kapitalis yang bersandar pada ideologi individualisme dan liberalisme sekarang ini. Setiap kedermawanan pasti akan dipandang sebagai perbuatan baik yang membuat hati sang pemberi sombong; atau akan mendapat yang diberi derma terus saja bergantung, tetapi mereka tetap malas dan tidak terberdayakan.
Solusi mengatasi kemiskinan dengan pendidikan lebih akan mampu menjembatani antara realitas kehidupan terkini dengan kualitas subjektif individu-individu yang miskin. Pendidikan pada dasarnya adalah hak setiap warga negara. Sehingga, berteriak pada masyarakat agar mendermakan hartanya untuk pendidikan sama saja dengan mengingkari kewajiban negara yang termaktub dalam UUD kita.
Dalam pandangan Islam sendiri pendidikan juga merupakan prasyarat muthlak untuk mewujudkan masyarakat yang kondusif bagi umatnya untuk terselamatkan dari keangkaramurkaan, yaitu kebodohan, ketamakan, dan ketidakadilan. Bahkan pendidikan bagi kaum tertindas ala Frerian nampaknya secara tegas adalah misi kitab suci Islam. Al-Qur’an memiliki alasan yang kuat kenapa orang miskin harus diberdayakan. Kenapa orang-orang yang ditindas harus dibela? Dan kenapa penindasan harus dilenyapkan? Al-Qur’an Surat Al-Qashas, ayat 5 menyebutkan: “Kami ingin memberi karunia kepada mereka yang tertindas di atas bumi, menjadikan mereka pemimpin dan pewaris.”
Dari ayat ini jelas, bahwa orang tertindas ”dikaruniai” Allah, sementara para penindas “dikutuk” Allah. Membela orang yang tertindas, dengan demikian, juga lebih mulia dari pada berdiam diri ataupun membela para penindas dan ikut melanggengkan penindasan. Selanjutnya, orang tertindas nampaknya juga memiliki potensi yang baik untuk menjadi ”pewaris” buminya sendiri dan juga ”pemimpin” yang baik dan adil. Hal ini sangat tepat. Pada kenyataannya, pemimpin yang jujur, baik hati, dan adil justru lahir dari orang yang dulunya tertindas. Logikanya, orang akan dapat merasakan kepedihan orang lain kalau dia juga mengalami sendiri kepedihan itu. Makanya, para pemimpin yang sering ”turba” (turun ke bawah) dan mendengarkan serta merasakan penderitaan-penderitaan rakyatnya, maka ia akan melakukan kebijakan yang memihak rakyat.
Zakat dan ajaran kedermawanan lainnya dalam Islam harus dimajukan lebih jauh agar ia tidak hanya menjadikan orang kata atau si penderma merasa berjasa atau sombong gara-gara mampu memberikan apa yang dianggap sebagai miliknya. Atau jangan sampai zakat dan pemberian hanya akan menjadikan kaum miskin hanya bergantung dari kedermawanan tetapi mereka tetap malas dan tidak merubah kualitas dirinya agar mandiri, memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menjalani kehidupan.
Bagaimanapun bukan pemberian yang menunjukkan orang Islam sebagai kalangan yang lebih tinggi di hadapan Allah. Iman bukan hanya dibuktikan dengan memberikan (apa yang dianggap) miliknya dan tidak menganggap bahwa kepemilikan tersebut berkaitan dengan hubungan dialektis dalam struktur ekonomi-politik. Kualitas keberagamaan seorang muslim secara tegas dihasilkan dari dialektika iman, alam, praksis—nilai-nilai kemanusiaan universal. Artinya, fi ahsani taqwin lebih sebagai cita-cita dari pada realitas manusia yang pada kenyataannya (terutama karena bentukan sistem sosioal) lebih mengikuti dorongan instink dari pada kesadaran sebagai mahkluk Tuhan yang sempurna. Tanpa semangat perlindung-an dan penghargaan terhadap nilai-nilai iman dan praksis (perbuatan kebaikan secara sosial) itu manusia akan terlempar dari posisi tinggi dan mulia tadi, justru akan dikembalikan derajadnya serendah-rendahnya, menjadi ”binatang” dan ”benda”: ”Kemudian kami jatuhkan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Terkecuali orang-orang yang beriman dan orang-orang yang banyak berbuat kebajikan” (QS 95: 5-5).
Kenapa agama selalu dipercaya sebagai jawaban bagi persoalan-persoalan sosial di masyarakat? Kenapa agama Islam mencita-citakan manusia sebagai mahkluk yang sempurna (manusia= fi ahsani taqwim)?
Kalau manusia percaya pada Islam, kalau manusia benar-benar takut dosa dan memuja kebajikan spiritual, maka mereka harus percaya bahwa Islam adalah agama yang benar dalam artian bahwa ia mengidealkan sistem dan hubungan sosial yang kondusif dan memungkinkan kita ini benar-benar jadi mahkluk yang sempurna. Sehingga, jangan mengaku kita orang yang beriman kalau kita tidak mau menggagas perubahan demi sistem sosial yang menje-laskan eksistensi kita sebagai manusia.
Keadilan Sosial
Kalau kita mempelajari kandungan Al-Qur’an, maka akan jelas bahwa Islam diturunkan melalui nabi Muhammad untuk merombak sistem sosial yang pro-penindasan. Akan tetapi, sampai saat ini, terutama di masyarakat kita, agama justru menjadi bahan tertawaan dan permainan yang menjauhkan manusia dari penyucian diri dari keseimbang-an alamiah dan ilahiahnya. Kalau ngomong Islam, agama yang dikenal sekarang justru hadir menjadi wajah ritual rutin, yang jangkauannya pada wilayah spiritual-mitologik semata, bukan wajah agama Islam sebagai penyelamat, pembela dan penyelenggara keadilan. Selama berabad-abad, umat Islam dan peradaban seperti kehilangan spirit religius-nya yang asli, yakni spirit keadilan. Keadilan dan kebajikan (al-‘adl wa al’ahsan) adalah suatu hal yang tidak dipisahkan: ”Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan” (QS 16: 91).
Hakikat manusia sempurna nampaknya hanya akan tercipta kalau dalam masyarakat tidak ada kesenjangan ekonomi-politik, tidak ada penindasan. Selama manusia masih sibuk dengan urusan ekonomi dengan kesenjangannya, fiah sani taqwim tetaplah sebuah konsep utopis, karena manusia masih sibuk dengan urusan perut dan nafsu; sementara agama justru akan menjadi alat dengan kondisi manusia sebagai ”binatang ekonomi” ini. Artinya, hanya dalam masyarakat yang adil dan berpendidikanlah, kesempurnaan manusia akan dapat terwujud.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar