Selasa, 30 Oktober 2007

Kaum Muda Sebagai Agen
Counter-Culture (Budaya Tanding)

(Dimuat di KOMPAS Jawa Timur, Senin 29 Oktober 2007)

Oleh:
Nurani Soyomukti,
Juara Umum I Lomba Esai Pemuda Menteri Pemuda dan Olahraga 2007; aktivis Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN); pendiri Yayasan KOMUNITAS TEMAN KATAKATA (KOTEKA).



Momentum Sumpah Pemuda 1928 adalah momentum budaya tanding karena pada waktu itu kaum muda menggulirkan garis kebudayaan secara tegas. Pertama, mereka berupaya menggarisbawahi budaya persatuan dan kesatuan di kalangan rakyat dengan maksud untuk membuat garis yang berbeda dari kaum tua yang feudal, yang kebanyakan mendukung hegemoni kolonialisme terhadap kalangan istana untuk melanggengkan penjajahan. Kedua, kaum muda menyatakan pandangan politiknya terhadap independensi suatu masyarakat bangsa dari penjajahan asing.

Semangat menggulirkan budaya tanding itulah yang kini harus kita warisi karena kaum muda memang dikenal sebagai kalangan yang kritis dan berani, yang kadang juga berani berbeda dari budaya mainstream yang digunakan oleh kekuasaan sebagai topeng menyembunyikan penindasan.

Tantangan Globalisasi
Dewasa ini kaum muda memang menghadapi sebuah kekuasaan global yang menginginkan kaum muda tidak bisa kritis. Dalam kapitalisme global, ada dua hal yang bertentangan dalam segi kebudayaan: antara kebutuhan rakyat dan kaum muda untuk mencari-cari kreatifitas kebudayaaan pada saat hakekat manusia adalah menyalurkan aktualisasi dirinya melalui budaya (seni, gaya hidup, sastra, dan lain-lain) dengan konsepsi dan praktek kebudayan kapitalis yang cenderung menuju proses homogenisasi—yang melanggengkan penindasan pada aras hubungan ekonomi.

Dari sinilah kemudian kita masih saja dapat menemukan kaum muda yang kritis dan tidak semata-mata menuruti apa yang diarahkan oleh kebudayaan kapitalis yang represif. Kalangan kaum muda ini menciptakan suatu kebudayaan yang bahkan mencoba mendefinsikan realitas untuk melawan kecenderungan umum yang berkembang dan dikembangkan untuk menyangga tatanan ekonomi kapitalis. Inilah yang dalam istilah kebudayaan dapat disebut counter-culture (budaya tanding).

Istilah “budaya tandingan” (counter-culture) itu sendiri berasal masyarakat Barat. Rozak, dalam bukunya yang amat berpengaruh The Making of Counter Culture, menenkankan aspek oposisi dari budaya tandingan terhadap susunan masyarakat teknokratis-kapitalis yang mendominasi kebudayaan Barat di era tahun 1960-an. Masyarakat kapitalis waktu itu dianggap koruptif karena menekankan rasionalitas yang represif; rasionalitas yang membuat manusia terasing, homeless mind, serta—sekali lagi, apa yang disebut Herbert Marcuse—one-dimensional. John Milton Yinger, dalam bukunya Counter Culture (1982), mendefinsikan istilah “budaya tandingan” sebagai “seperangkat norma dan nilai dari sebuah kelompok yang secara tajam bertentangan dengan norma dan nilai dominan dalam masyarakat di mana kelompok itu menjadi bagiannya”.

Di Barat, para agen budaya tanding adalah kaum muda yang mengalami keresahan terhadap krisis kapitalisme yang memiskinkan dan juga dilakukan tak manusiawi dengan jalan perang. Para kaum muda ini menciptakan gaya hidup dan menciptakan produk seni, sastra, dan budaya yang kritis terhadap perkembangan kebudayaan dominan yang dianggap mengasingkan (alienating). Mereka seringkali disebut sebagai “generasi bunga” (flower generation) yang memperjuangkan kesetaraan.

Kaum muda berani menyatakan pikiran dan orientasi gerakan yang berbeda. Pertanyaan tersebut diwakili oleh syair lagu The Police yang berjudul “Born in the 50’s”: “We are the class, they couldn’t teach, cause we know better!” (Kami adalah generasi yang tak dapat mereka didik, karena kami memahami lebih baik). Budaya dominan yang menyebar dianggap tidak mampu memberikan apa-apa karena hanya dangkal dan beku, sedangkan kaum muda yang mampu merasakan dan mengetahui lebih baik ini menginginkan gaya hidup yang berbeda.
Di Indonesia budaya tanding juga menjadi ciri khas dari gerakan kaum muda yang dimuali dengan kemampuan untuk merasakan kontradiksi yang muncul. Gerakan mahasiswa melawan Orde Baru merupakan fakta sejarah yang paling menonjol. Pengaruh budaya tanding tahun 1960-an di Barat juga berimbas pada kaum muda yang mampu mengakses informasi dan ilmu pengetahuan ini. Gerakan kaum muda pun harus selalu tampil dalam setiap sejarah di mana kebudayaan dijadikan topeng kekuasaan yang menindas.

Sekarang ini, banyak orang yang pesimis pada kaum muda. Mereka diarahkan oleh media dan idola semacam “artis-selebritis” yang hanya menegaskan peradaban gosip, peradaban lisan yang selama berabad-abad membuat rakyat nusantara dibodohi oleh kekuasaan (feodal) di istana. Idola itu menghambat kemajuan peradaban literer (baca-tulis) yang diwariskan oleh aktivis pergerakan melawan penjajah melalui pers dan kesusastraan.

Pahlawan masa lalu mengajarkan pentingnya pena dan organisasi dalam menjawab perubahan dalam masyarakat kita yang berada dalam cengkeraman penindasan. Kebesaran R.A.Kartini, Ki Hajar Dewantoro dan tokoh-tokoh pergerakan seperti Raden Mas Marco Kartodikromo, Tirto Adisuryo, Semaoen, Haji Misbach; lalu Sutan Takdir Ali Syahbana (STA), Chairil Anwar; lalu Pramoedya Ananta Toer, WS. Rendra, Umar Khayam, Widji Thukul, dan lain-lain; semua menegaskan cita-cita pencerahan dan pembebasan rakyat melalui tulisan-tulisan dan gerakan kebudayaan.

Pahlawan masa kini justru membodohi anak-anak, remaja, dan orang dewasa dan menggiring mereka pada kehidupan satu dimensi: Pasar. Sekarang ini, di tengah-tengah masyarakat yang masih menggunakan bahasa dan kata-kata sekedar untuk menghafal nama-nama pemain sinetron dan sepakbola, sekedar untuk melihat berapa persen diskon harga baju yang lagi “ngetrend”, para pahlawan sejati masa kini karus mendekatkan bahasa dan sastra pada dunia kemanusiaan.

Lalu di manakah celah bagi munculnya budaya tanding di era sekarang ini? Kita harus percaya bahwa sejarah berjalan dengan berbagai macam konjungturnya. Akan ada epos di mana kaum muda dapat tampil kembali saat sistem yang dijalankan oleh kaum tua dan konservatif mengalami kebuntuan. Mereka akan memainkan perannya, sebagaimana selalu terjadi dalam sejarah.***

ZAKAT DAN KEADILAN SOSIAL

Zakat dan Keadilan Sosial

Oleh: Nurani Soyomukti


Dimuat di BATAM POS/Senin, 01 Oktober 2007


Terlalu utopis sebenarnya mengharapkan terjadinya keadilan dalam dunia pendidikan dari kedermawanan semacam zakat. Apa lagi dalam corak masyarakat kapitalis yang bersandar pada ideologi individualisme dan liberalisme sekarang ini. Setiap kedermawanan pasti akan dipandang sebagai perbuatan baik yang membuat hati sang pemberi sombong; atau akan mendapat yang diberi derma terus saja bergantung, tetapi mereka tetap malas dan tidak terberdayakan.

Solusi mengatasi kemiskinan dengan pendidikan lebih akan mampu menjembatani antara realitas kehidupan terkini dengan kualitas subjektif individu-individu yang miskin. Pendidikan pada dasarnya adalah hak setiap warga negara. Sehingga, berteriak pada masyarakat agar mendermakan hartanya untuk pendidikan sama saja dengan mengingkari kewajiban negara yang termaktub dalam UUD kita.

Dalam pandangan Islam sendiri pendidikan juga merupakan prasyarat muthlak untuk mewujudkan masyarakat yang kondusif bagi umatnya untuk terselamatkan dari keangkaramurkaan, yaitu kebodohan, ketamakan, dan ketidakadilan. Bahkan pendidikan bagi kaum tertindas ala Frerian nampaknya secara tegas adalah misi kitab suci Islam. Al-Qur’an memiliki alasan yang kuat kenapa orang miskin harus diberdayakan. Kenapa orang-orang yang ditindas harus dibela? Dan kenapa penindasan harus dilenyapkan? Al-Qur’an Surat Al-Qashas, ayat 5 menyebutkan: “Kami ingin memberi karunia kepada mereka yang tertindas di atas bumi, menjadikan mereka pemimpin dan pewaris.”

Dari ayat ini jelas, bahwa orang tertindas ”dikaruniai” Allah, sementara para penindas “dikutuk” Allah. Membela orang yang tertindas, dengan demikian, juga lebih mulia dari pada berdiam diri ataupun membela para penindas dan ikut melanggengkan penindasan. Selanjutnya, orang tertindas nampaknya juga memiliki potensi yang baik untuk menjadi ”pewaris” buminya sendiri dan juga ”pemimpin” yang baik dan adil. Hal ini sangat tepat. Pada kenyataannya, pemimpin yang jujur, baik hati, dan adil justru lahir dari orang yang dulunya tertindas. Logikanya, orang akan dapat merasakan kepedihan orang lain kalau dia juga mengalami sendiri kepedihan itu. Makanya, para pemimpin yang sering ”turba” (turun ke bawah) dan mendengarkan serta merasakan penderitaan-penderitaan rakyatnya, maka ia akan melakukan kebijakan yang memihak rakyat.

Zakat dan ajaran kedermawanan lainnya dalam Islam harus dimajukan lebih jauh agar ia tidak hanya menjadikan orang kata atau si penderma merasa berjasa atau sombong gara-gara mampu memberikan apa yang dianggap sebagai miliknya. Atau jangan sampai zakat dan pemberian hanya akan menjadikan kaum miskin hanya bergantung dari kedermawanan tetapi mereka tetap malas dan tidak merubah kualitas dirinya agar mandiri, memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menjalani kehidupan.

Bagaimanapun bukan pemberian yang menunjukkan orang Islam sebagai kalangan yang lebih tinggi di hadapan Allah. Iman bukan hanya dibuktikan dengan memberikan (apa yang dianggap) miliknya dan tidak menganggap bahwa kepemilikan tersebut berkaitan dengan hubungan dialektis dalam struktur ekonomi-politik. Kualitas keberagamaan seorang muslim secara tegas dihasilkan dari dialektika iman, alam, praksis—nilai-nilai kemanusiaan universal. Artinya, fi ahsani taqwin lebih sebagai cita-cita dari pada realitas manusia yang pada kenyataannya (terutama karena bentukan sistem sosioal) lebih mengikuti dorongan instink dari pada kesadaran sebagai mahkluk Tuhan yang sempurna. Tanpa semangat perlindung-an dan penghargaan terhadap nilai-nilai iman dan praksis (perbuatan kebaikan secara sosial) itu manusia akan terlempar dari posisi tinggi dan mulia tadi, justru akan dikembalikan derajadnya serendah-rendahnya, menjadi ”binatang” dan ”benda”: ”Kemudian kami jatuhkan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Terkecuali orang-orang yang beriman dan orang-orang yang banyak berbuat kebajikan” (QS 95: 5-5).

Kenapa agama selalu dipercaya sebagai jawaban bagi persoalan-persoalan sosial di masyarakat? Kenapa agama Islam mencita-citakan manusia sebagai mahkluk yang sempurna (manusia= fi ahsani taqwim)?

Kalau manusia percaya pada Islam, kalau manusia benar-benar takut dosa dan memuja kebajikan spiritual, maka mereka harus percaya bahwa Islam adalah agama yang benar dalam artian bahwa ia mengidealkan sistem dan hubungan sosial yang kondusif dan memungkinkan kita ini benar-benar jadi mahkluk yang sempurna. Sehingga, jangan mengaku kita orang yang beriman kalau kita tidak mau menggagas perubahan demi sistem sosial yang menje-laskan eksistensi kita sebagai manusia.


Keadilan Sosial
Kalau kita mempelajari kandungan Al-Qur’an, maka akan jelas bahwa Islam diturunkan melalui nabi Muhammad untuk merombak sistem sosial yang pro-penindasan. Akan tetapi, sampai saat ini, terutama di masyarakat kita, agama justru menjadi bahan tertawaan dan permainan yang menjauhkan manusia dari penyucian diri dari keseimbang-an alamiah dan ilahiahnya. Kalau ngomong Islam, agama yang dikenal sekarang justru hadir menjadi wajah ritual rutin, yang jangkauannya pada wilayah spiritual-mitologik semata, bukan wajah agama Islam sebagai penyelamat, pembela dan penyelenggara keadilan. Selama berabad-abad, umat Islam dan peradaban seperti kehilangan spirit religius-nya yang asli, yakni spirit keadilan. Keadilan dan kebajikan (al-‘adl wa al’ahsan) adalah suatu hal yang tidak dipisahkan: ”Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan” (QS 16: 91).

Hakikat manusia sempurna nampaknya hanya akan tercipta kalau dalam masyarakat tidak ada kesenjangan ekonomi-politik, tidak ada penindasan. Selama manusia masih sibuk dengan urusan ekonomi dengan kesenjangannya, fiah sani taqwim tetaplah sebuah konsep utopis, karena manusia masih sibuk dengan urusan perut dan nafsu; sementara agama justru akan menjadi alat dengan kondisi manusia sebagai ”binatang ekonomi” ini. Artinya, hanya dalam masyarakat yang adil dan berpendidikanlah, kesempurnaan manusia akan dapat terwujud.***



*)Nurani Soyomukti, Esais dan pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA).

PUASA DAN PENYADARAN HAKEKAT KEHIDUPAN



Puasa dan Kesadaran Hakikat Kehidupan


Oleh Nurani Soyomukti


Suara Karya/Kamis, 20 September 2007


Hakikat puasa sebenarnya adalah menempa batin agar kita peka terhadap kehidupan. Selama satu bulan, aktivitas berserah diri kepada Allah diharapkan akan membawa pada kesadaran baru tentang hakikat kehidupan di dunia. Menahan rasa lapar, haus dahaga, dan menjauhkan nafsu badaniah merupakan suatu mekanisme pelatihan untuk merasakan bagaimanaa rasanya menderita dalam kekurangan ekonomi (kemiskinan), sebagaimana dialami oleh bangsa ini.
Sementara kemiskinan adalah bagian dari akibat globalisasi pasar yang juga menyebabkan homogenisasi budaya. Individu-individu yang tidak peka dan tidak kritis terhadap perkembangan kebudayaan pasar, dan tanpa membentuk eksistensi otonomnya sendiri, hanya akan menjadi korban dari budaya pasar.
Tanpa kepekaan dan kesadaran, otonomi individual hilang karena sistem kapitalisme, dengan kecenderungannya untuk membuai manusia dan masyarakat dengan hiburan dan kreativitas yang mendorong individu-individu melupakan eksistensinya, kehidupannya. Dalam hal ini individu hanya bergerak berdasarkan keinginan yang berdasarkan kemauan massa yang bercorak kapitalistik. Satu-satunya cara untuk mengembalikan otonomi dan kebebasan individu adalah dengan filsafat.
Menurut Betrand Russel, nilai filsafat sebagian bisa ditemukan dalam ketidakniscayaannya. Orang yang tidak terlatih dalam filsafat akan menjalani hidupnya di dalam tawanan berbagai prasangka yang diterimanya dari common sense, dari kepercayaan-kepercayaan atau kebiasaan-kebiasaan yang diterima begitu saja dari zaman dan bangsanya, dan dari keyakinan-keyakinan yang tumbuh liar di dalam jiwanya, tanpa pertimbangan-pertimbangan yang berasal dari rasio. Dengan demikian, tak ada lagi pertanyaan dan kemungkinan-kemungkinan lain. Sebaliknya, berfilsafat akan menyadarkan bahwa segenap hal dan peristiwa sehari-hari pada prinsipnya menimbulkan banyak pertanyaan. Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan pernah lengkap dan tuntas.
Kenapa filsafat? Sebab cinta sejati hanya mungkin didapat kalau orang mau berpikir tentang hakikat hidup, terutama hubungan-hubungan antara manusia, dengan alam dan Tuhan. Filsafat dan ilmu pengetahuan adalah gagasan perkembangan kehidupan manusia.
Gagasan tentang perubahan, baik evolutif maupun revolutif, dimulai dengan merenungkan dan memahami dunia. Dengan pengetahuan yang memadai kita bisa merancang dan menggagas sejarah cinta yang memungkinkan dicapainya the greatness of humanity. Sementara bekal pengetahuan yang diberikan kepada manusia adalah untuk mengembangkan pengetahuan selanjutnya, namun bukan sekadar untuk mengatasi kelangsungan hidup.
Filsafat sebagai cara berpikir yang total dan radikal, harus mempertanyakan kebenaran sedalam-dalamnya. Realitas yang ada itu sendiri harus diungkit-ungkit. Artinya, skeptisisme harus diarahkan pada kritisisme terhadap kebenaran dan logika yang selama ini dominan serta tidak mampu menjelaskan centang-perenang dan kontradiksi yang ditimbulkannya. Instrumen dan teknik-teknik guna mendapatkan kebenaran harus dirunut karena peradaban (realitas) yang dihasilkannya terkesan menuju ke arah pelembagaan serta status quo, yang akhirnya justru menindas, sebagaimana terjadi dalam kasus modernitas.
Tidak ada kebenaran sejati yang diperoleh dengan "alat" yang salah dan 'keblinger'. Para filosof yang mengaku menemukan kebenaran tersebut juga harus dipertanyakan pekerjaannya, muatan-muatan, dan pengalaman hidupnya, sebab tidak ada pengetahuan yang bebas dari kepentingan. Filosof adalah manusia yang juga memiliki kepentingan. Kekuasaan selalu melekat pada pengetahuan dan teori-teori sosial dan manusia.
Penjajahan saat ini memang akan kelihatan naif dan buruk apabila tampil di depan mata kita secara fisik. Kolonialisasi pemikiran lebih bisa menjelaskan terjadinya penindasan dalam hubungan-hubungan antarmanusia dan masyarakat dewasa ini. Dalam konteks tersebut, kita telah menerima teori-teori yang seolah-olah mampu mengatasi realitas sosial yang kita hadapi. Sebagai suatu entitas negara-bangsa Indonesia misalnya, kita selalu terbelakang dan tergantung vis-a vis negara-negara kolonialis-kapitalis. Dulu kita mengamini diskursus developmentalism supaya kita bisa mengejar keterbelakangan itu.
Ternyata pembangunan manusia dan cintanya menjadi pahit karena hanya dapat dinikmati sebagai "madu" oleh golongan tertentu, para konglomerat dan akumulator modal. Rakyat kecil yang menerima "racun" berbaris sepanjang di permukaan bumi. Ternyata cinta harus tunduk pada diktum-diktum kepentingan kapitalis internasional.
Kita membiarkan bumi kita dilubangi dan menjadi sarang kuman-kuman kebencian. Kepahitan dipercepat oleh ulah para penyelenggara negara yang menyelewengkan kepercayaan dan amanah rakyat, bahkan bersekongkol dengan para penindas. Ironisnya, agama sebagai institusi yang dipercaya untuk menyediakan cinta, tidak mampu menurunkan landasan moral-etis teologisnya bagi kemanusiaan, tapi hanya dijadikan alat dan komprador penguasa. Agama hanya menjadi simbol-simbol tanpa makna karena nilai cintanya "diperkosa" oleh tradisi busuk kekuasaan.
Dengan demikian kita harus segera melakukan reorientasi pemikiran dan pemahaman yang kritis terhadap realitas sosial dan hubungan cinta antarsesama manusia. Selanjutnya marilah kita hargai kebenaran cinta dengan sebenar-benarnya. Ketulusan, kerelaan, kesetiaan, pengorbanan tanpa pamrih harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena selama ini klaim-klaim kebenaran hanya menghasilkan tragedi dan elegi cinta, justru atas nama agama dan negara (nasionalisme) itu sendiri.
Kita selalu berharap peradaban dunia akan tampil dengan cantik dan indah. Perkembangan dan maturitas filsafat serta nilai-nilai cinta akan selalu menemukan relevansinya dengan tingkat pencapaian budaya dan peradaban dalam masyarakat yang tinggi. Dan, memang begitulah sebenar-benarnya manusia; bahwa "bercinta" bukanlah sekadar persoalan pelampiasan kebutuhan-kebutuhan saja.***


Penulis adalah pendiri Yayasan KomunitasTeman Katakata (Koteka) Jakarta

Minggu, 07 Oktober 2007

Inggris Moderenkan Buku Tua

Inggris Moderenkan Buku Tua

KUKUTIP DARI: detik@plinplan on 01 Oct 2007
http://detik.plinplan.com/2007/10/01/inggris-moderenkan-buku-tua/

Inggris - Buku-buku tua milik perpustakaan Inggris akan dimoderenkan melalui proses digital. Jumlahnya lebih dari 100.000 buku yang merupakan keluaran abad 18 dan 19.
Menurut rencana, sebagai langkah awal dari program ini, buku-buku keluaran abad 19 akan lebih diprioritaskan. Pasalnya, kumpulan buku di masa itu dianggap kurang begitu dikenal karena hanya dicetak ulang dalam jumlah yang sedikit setelah edisi pertamanya.
Program digitaliasi ini ditujukan untuk memudahkan para pendidik dalam mencari referensi dalam mengajar. “Jika tidak ada edisi modern, para pengajar tidak dapat menggunakannya saat mengajar,” ujar Dr Kristian Jensen, dari perpustakaan Inggris.
Setiap harinya jumlah halaman yang dipindai mencapai 50.000 halaman. Ada 30 terabyte kapasitas data yang disediakan untuk menampung proyek ini. Diharapkan, 25 juta halaman pertama dapat selesai dalam kurun waktu dua tahun. Sementara kategori baru akan melengkapi kumpulan buku sejarah yang telah lebih dahulu tersedia versi digitalnya.
Ada dua sumber komersial yang ikut serta dalam program ini, yaitu The Early English Books Online dan The Eighteenth Century Collections Online. Mereka menyediakan koleksinya secara cuma-cuma bagi institusi pendidikan tinggi di Inggris. Sumber digital lain untuk melengkapi koleksi perpustakaan Inggris akan berasal dari dua juta halaman surat kabar dari abad 19 dan satu juta halaman dari abad 18.
Seperti dikutip detikINET dari BBC, Senin (1/10/2007), untuk mengakses versi digital ini akan disediakan dua cara, yakni melalui Microsoft’s Live Search Books dan melalui situs perpustakaan Inggris.
Situs ini juga dilengkapi fitur ‘pencarian teks’ untuk memudahkan orang dalam mencari buku-buku yang diinginkan, karena tinggal mengetik kata kunci dari materi yang dicari.
Jika Microsoft bekerja sama dengan perpustakaan Inggris, lain lagi dengan Google. Seakan tak mau kalah, raksasa mesin pencari di internet ini juga telah menggandeng lima perpustakaan ternama sekaligus, yakni Stanford, Harvard, Michigan, New York dan Bodleian di Oxford.

SASTRA DAN MULTIKULTURALISME

Dari Etika Sastra Menuju Etika Global (Global Ethic)

Oleh:
Nurani Soyomukti,
Esais dan pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jakarta

Tidak ada yang menyangkal bagaimana peran satra dalam mempengaruhi kehidupan manusia. Mendiang presiden Amerika Serikat (AS) John F. Kennedy pernah mengatakan bahwa jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya. Sastra sebagai penggerak semangat perjuangan rakyat bukanlah hal baru. Di India, puisi-puisi Rabindranat Tagore turut membantu mendorong rakyat di sana untuk melawan penjajahan Inggris. Di Indonesia juga demikian, karya sastra Pramodeya Ananta Toer, W.S. Rendra, Wiji Thukul, dan lain-lainnya juga mengasah inspirasi perlawanan terhadap penindasan pemerintahan Soeharto yang lengser di tahun 1998.
Sastra mengasah jiwa, membuka kepekaan diri akan situasi yang berkembang. Ketika perang dan kekerasan membuat kemanusiaan membeku, sastra diharapkan melahirkan norma-norma dari yang bersifat estetis menuju pada kemunculan etika dalam menjalani hubungan antara umat manusia. Penyair Sutardji Calzoum Bachri pernah mengatakan bahwa jika tentara punya panser dan peluru, penyair hanya punya kata-kata. Sehingga kita berharap Festival Sastra Internasional akan dapat membuka mata hati masyarakat dunia bahwa kata-kata adalah alat yang penting untuk menyelesaikan masalah dibanding cara-cara militeristik sebagaimana sering kita saksikan. Keindahan dapat meningkatkan kepekaan sehingga banyak yang memahami bahwa etika sangat diperlukan dalam berhubungan sosial.
Menurut Hans Kung (1991) dalam bukunya Global Responsibility In Search of a New World Ethic mengatakan bahwa untuk menghindari bencana yang barangkali akan semakin membesar ini tidak bisa tidak harus ada suatu pergeseran nilai dalam paradigma kehidupan manusia. Pergerakan dari nilai-nilai modernitas ke “paska modernitas” ini meliputi hal-hal berikut. Pertama, perubahan dari masyarakat yang bebas etik menuju masyarakat yang bertanggung jawab secara etis. Kedua, dari budaya teknokrasi yang mendominasi manusia menuju teknologi yang melayani manusia. Ketiga, dari industri yang merusak lingkungan menuju industri yang ramah lingkungan, dan keempat, dari demokrasi legal menuju demokrasi yang berkeadilan dan berkebebasan.
Tetapi kita tidak boleh lupa bawa etika global (global ethics) juga harus didasarkan pada etika ekonomi (economic ethics) dalam mengidealkan keadilan sosial. Pasalnya, transformasi tenaga produksi adalah menentukan dalam perkembangan hubungan sosial di masyarakat dalam sejarah perkembangannya. Cara pandang dan pola hubungan antar manusia yang ada sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan distribusi nilai ekonomisnya ketimbang terjadi secara alamiah (tanpa sebab-sebab material). Kontradiksi pun muncul ketika antara tenaga produktif manusia (kekuatan kerjanya, alat kerja dan teknologinya, sasaran kerja atau lingkungan alamnya) tidak sesuai dengan hubungan kepemilikan yang ada. Pada epos sejarah seperti ini, tidak heran jika berbagai persoalan yang mengikutinya akan muncul berupa persoalan sosial, politik, dan budaya sebagai imbasdari kontradiksi ekonomi yang ada.
Artinya, etika harus dipahami sebagai bentuk kepedulian antar sesama manusia (inter-human) yang didasarkan pada pengetahuan objektif tentang kontradiksi yang ada. Logikanya orang tidak mungkin akan memiliki patokan etis kalau tidak didahului dengan penilaian tentang mana yang baik-dan buruk. Kualitas dapat dilihat dari bentuk-bentuk hubungan material yang ada dalam kenyataan sehari-hari. Kesadaran tentang permasalaan akan membuat orang menilai apakah masyarakat sekarang ini akan berjalan menuju humanitas atau dehumanitas. Struktur objektif adalah tempat individu-individu dalam masyarakat saling berhubungan dalam rangka memenuhi dan meningkatkan kebutuhan hidupnya. Apa bila hubungan itu saling mendukung dan memenuhi (kerjasama), maka masyarakat berjalan secara harmonis. Dan apa bila dalam hubungan ekonomis itu terjadi konflik, maka dapat dipastikan secara sosial-politik dan budaya (bahkan agama) akan terjadi konflik secara terus menerus.
Etika global adalah semacam patokan budi yang lahir dari cara memandang realitas kemiskinan, sebab-sebab objektifnya, dan imbasnya bagi disharmoni sosial, budaya, agama, dan etnisitas yang sangat rawan terjadi di era ini. Etika global tidak hanya mencari titik temu antara berbagai macam kekayaan lokalitas yang terbangun dan mendukung keragaman budaya manusia, tetapi juga mencari titik temu untuk mengatasi kontradiksi (ketidakadilan) global yang manifest dalam hubungan ekonomi-politik.
Toleransi antar sesama manusia di planet ini adalah watak yang dicita-citakan oleh pendukung etika global. Dan toleransi sebagai dimensi psikologis juga menyangkut bentuk perasaan dan cara pandang terhadap realitas dan hubungan antar sesama manusia. Toleransi adalah perasaan dan cara pandang melihat manusia lain sebagai bagian dari dunianya dan semua manusia dianggap sebagai sesame mahkluk yang perlu bekerjasama dalam mengatasi kesulitan hidup dan bersama-sama dapat mengembangkan dirinya di dunia ini.
Seabad lebih yang lalu, seorang pemikir yang bernama Bahá'u'lláh memberikan peringatan: "The well-being of mankind, its peace and security, are unattainable unless and until its unity is firmly established" (umat manusia, kedamaian dan keamanannya, hanya atas suatu pondasi kesatuan sejati, harmoni dan pemahaman antara manusia dari bermacam-macam bangsa di dunia, masyarakat global yang berkelanjutan bisa dicanangkan). Dari sini, etika global adalah konsekuensi dari globalisasi yang memiskinkan manusia dan menimbulkan rasa solidaritas untuk memecahkan persoalan-persoalan lain akibat ketidakadilan global.
Globalisasi akan mengarah pada adanya kewarganegaraan global (world citizenship) melampaui identitas bangsa, suku, agama untuk menyikapi isu-isu global dan mengatasi permasalan-permasalahan yang ada. Peran sastra dalam hal ini masih sangat potensial untuk mencetak generasi-generasi yang peka terhadap perubahan dan perbedaan.***