Kamis, 05 Juni 2008

Dimuat di RADAR SURABAYA/Selasa, 2 Juni 2008:

Hedonisme Perempuan
dalam Kebudayaan Kapitalis



Oleh: Nurani Soyomukti,
Pustakawan di Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA)—sebuah Lembaga Studi dan Aksi untuk Kebudayaan Literer—Kota Surabaya


Konon ada seorang perempuan artis-selebritis yang menghabiskan biaya dandan sekitar 100 juta tiap bulannya. Ketika Sang Diva tampil di atas panggung dengan dua lagu saja, ia mendapatkan bayaran (honor) dengan jumlah yang tak pernah
didapat oleh buruh perempuan yang bekerja selama setahun. Hubungan antara pendapatan dan tingkat konsumsi memang berkaitan.

Kebiasaan berbelanja dan mendandani tubuh awalnya memang merupakan kebiasaan perempuan elit feudal: mereka dipaksa memoles mukanya dengan kosmetik agar sang raja senang, perempuan-perempuan yang hanya dinikmati tubuhnya oleh penguasa kerajaan untuk melengkapi (narsisme) kekuasaannya. Perempuan yang rajin mendandani tubuh dan mengenakan pakaian bagus dan hiasan emas ini adalah murni pelayan (pure servant—“servant” dalam bahasa Inggris artinya “pembantu”). Tentu saja mereka adalah sedikit sekali perempuan di jaman kerajaan karena sebagian besar perempuan lainnya tak memiliki pakaian sebagus itu, bahkan hanya berpakaian seadanya (sewek atau kemben yang menutupi dada hingga betisnya).

Setelah feudal kerajaan runtuh, titik ekstrim antara perempuan kaum elit dan perempuan rakyat jelata semakin parah. Para perempuan yang menjadi istri atau anak (perempuan) laki-laki kapitalis mampu membeli apa saja yang diinginkan. Dengan menjadi pelayan suaminya yang kaya, ia mendapatkan sogokan ekonomis yang besar, yang memungkinkan mereka memiliki banyak uang untuk belanja. Perempuan bekerja melayani laki-laki dengan dan demi gaya hidup, agar bisa tampil cantik dan dipuji banyak orang karena kecantikannya. Dan didandaninya tubuh dan dibuat-buatlah pencitraan dirinya agar ia dapat menarik laki-laki yang kaya.

Citra diri dilengkapi dengan gaya hidup dan tindakan mengkonsumsi positional goods. Mereka memang mengonsumsi/mengkoleksi buku-buku, film-film, barang-barang bagus dan branded goodies—tetapi semuanya hanya untuk menunjukkan gaya hidup dan mencipta citra (merayakan narsisme). Benda-benda itu, bagi mereka, dianggap sebagai penanda bagi ‘kekayaan” hidupnya.

‘Hawa-Hawa Parasit’
Menurut Featherstone (2002), “mereka akan selalu berupaya untuk meningkatkan otonomi bidang budaya serta menambah langkanya kapital budaya dengan cara menolak demokratisasi budaya.” Dari sinilah, kebebasan dan kenyamanan hanya dinikmati oleh sedikit kaum perempuan kaya, sedangkan perempuan miskin banyak yang teraniaya. Inilah yang disebut ketidakdemokratisan kebudayaan kapitalis bagi kaum perempuan.


Kaum perempuan borjuis—atau yang ‘sok’borjuis—adalah barisan dari kalangan parasit dalam kelasnya yang hanya mengharap belas kasihan dari laki-laki, berharap menemukan pasangan hidup yang kaya sehingga status kian meningkat. Merekalah yang sering disebut sebagai “parasist eves” (‘hawa-hawa parasit’)—bahasa kasarnya: pelacur papan atas. Ketakutan utama mereka adalah kalau tidak bisa bertahan hidup dengan menunjukkan kecantikan tubuh dan citra diri narsistik, dan ketakutan itu dibayar dengan kerja rekayasa yang keras agar dapat mendapatkan laki-laki kaya atau kerja-kerja apa saja yang menghasilkan penghasilan tetap. Mereka hanya menyadari potensi tubuhnya dan kecerdasan artifisialnya yang hanya relevan untuk merayu, melayani, dan memanipulasi hubungan sejati.

“Parasite Eve”—entah identik dengan istilah yang dibuat Ayu Utami (‘Parasit Lajang’) atau tidak—adalah penyangga berlangsungnya kebudayaan manipulatif dalam menyokong tatanan material kapitalisme yang memang mengeksploitasi kerja-kerja produktif untuk dieksploitasi dan tiada dihargai. Betapa banyak pengagum kaum perempuan yang hanya tampil cantik (entah mereka punya otak atau tidak)!

Hal itu mendustai bahwa dalam sejarah kaum perempuan adalah makhluk yang produktif dan menegaskan peran mereka sebagai pengayom kehidupan (pro-life). Pada jaman dulu, sementara kaum laki-laki di jaman dulu lebih disibukkan dengan pekerjaan berburu dan membunuh hewan-hewan di di hutan-hutan dan menebangi pohon-pohon, pada saat yang sama kaum perempuan disibukkan dengan usaha pertanian, bumbu-bumbu masakan yang dibutuhkan bagi keperluan hidup sehari-hari, dan peralatan-peralatan masak lainnya. Artinya, kaum perempuan berhasil menemukan teknologi bagi keberlangsungan hidup, kesehatan, dan pertumbuhan manusia.

Sebagaimana dikisahkan Nawal El Sadawi dalam buku “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan”, perempuan-perempuan Mesir kuno adalah nenek moyang penemu kebudayaan bercocok tanam di Mesir di sepanjang pesisir sungai Nil. Di antara mereka bahkan ada yang dikenal dalam sejarah kemanusiaan yang disimbolkan sebagai dewi langit yaitu Nut, dewi hikmah yaitu Izis, dewi keadilan yaitu M’ât, dan dewi kedokteran yaitu Sekhmet. Kaum perempuan Mesir waktu itu benar-benar leluasa untuk melakukan aktifitas yang produktif dan kreatif. Mereka tidaklah terkekang oleh hijab ataupun tembok-tembok kokoh rumah dan dapur. Akan tetapi di antara perempuan ada yang menjadi pemikir, ahli filsafat, ahli ilmu pengetahuan dalam disiplin ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu arsitektur, ilmu perundang-undangan sosial, politik, ekonomi, strategi perang, dan ilmu perdamaian.

Memang telah muncul masyarakat modern yang memungkinkan keterlibatan kaum perempuan berpartisipasi dalam ranah publik, baik sector industri maupun pengambilan keputusan (sosial-politik). Tetapi aturan yang diberlakukan (biasanya dikukuhkan secara legal oleh Negara) juga masih tetap diskriminatif. Bahkan dalam masyarakat yang telah menuju fase industri (kapitalis), keterlibatan perempuan di sektor industri dapat dikatakan lebih banyak dari pada laki-laki. Tetapi seringkali imbalan dan pendapatan yang diperoleh juga masih dibedakan daripada laki-laki.

Di Indonesia, sektor industri membutuhkan lebih banyak perempuan untuk kerja di pabrik-pabrik daripada laki-laki. Upah mereka lebih rendah, bahkan terlalu rendah dan tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Industrialisasi kapitalis memang menarget kaum perempuan dalam menjalankan proses produksinya. Modal asing begitu senang menanamkan modalnya di Indonesia karena buruh perempuan Indonesia dapat diupah dengan biaya murah, sangat jauh dibanding buruh-buruh perempuan di Negara-negara Barat.
Selain itu, bagi pemilik modal yang menjalankan industri, perempuan merupakan sasaran pasar yang lebih potensial daripada laki-laki. Perempuan yang berjumlah lebih banyak daripada laki-laki adalah konsumen yang diharapkan akan menjadi pembeli produk-produk yang dihasilkan untuk mencari keuntungan. Tak heran jika kebanyakan iklan lebih banyak mempengaruhi kaum perempuan daripada laki-laki.***

______________________
*)Nurani Soyomukti, peraih penghargaan penulis muda dan Juara Umum I Lomba Esai Pemuda Tingkat Nasional Menpora tahun ini (2007); penulis buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Aruzzmedia, Yogyakarta 2008); “Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme” (Garasi Book, Yogyakarta 2008); “Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Politik Radikal” (Resist Book, Yogyakarta, 2007)”; “Revolusi Sandinista: Perjuangan Tanpa Akhir Melawan Neoliberalisme” (Garasi Book, Yogyakarta 2008)”; ”Hugo Chavez Vs. Amerika Serikat (Garasi Book, Yogyakarta 2008).

Tidak ada komentar: