Sabtu, 07 Juni 2008

Resensi Buku "TIBET" di Media Indonesia (Sabtu/7 Juni 2008):

Tibet dalam Persaingan Cina dan Amerika Serikat (AS)

Oleh: Ahmad Zaenurrofik,
Peneliti di CSSR (Center for Social Science and Religion) Surabaya; sedang menyusun tesis di Program Magister Hukum di Universitas Negeri Jember


Judul: Revolusi Tibet (Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan
Tibet, Cina, dan Amerika Serikat)
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi Book, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2008
Tebal: iv + 136 hlm


Pada saat Tibet bergolak mulai pertengahan Maret 2008 lalu, masyarakat dunia banyak yang tidak tahu bahwa pemberontakan rakyat Tibet pernah terjadi pada 49 tahun sebelumnya. Tepatnya tanggal 10 Maret 1959, rakyat Tibet yang keba
nyakan para biksu yang disokong secara finansial dan persenjataan oleh Amerika Serikat (AS) melalui CIA (Central Intelligence Agency) melakukan pemberontakan. Pemberontakan tersebut gagal, tetapi perjuangan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) tetap dilakukan melalui kampanye politik dengan tokoh utama Dalai Lama yang berkeliling dan berkunjung ke negara-negara Barat.

Maka ada kepentingan AS di Tibet. Tak mengherankan ketika demonstrasi peringatan Pemberontakan Tibet yang dilakukan dengan demonstrasi menapatkan reaksi dari Cina, AS sangat membesar-besarkan perlakuan Cina yang disebut ”represif” dan ”melanggar HAM”. AS juga mempelopori kampanye ”Boikot Olimpiade Beijing” tahun ini. Tujuannya agar Olimpiade 2008 Beijing gagal atau tercoreng. Sebagai bangsa yang kini tumbuh besar Cina akan merasa malu atau setidaknya pamornya bisa sedikit berkurang dalam pergaulan internasional, apalagi kalau tercorengnya dibumbui dengan citra sebagai pelanggar HAM. Tetapi itu adalah tujuan AS melalui medianya, agar Cina harus menyelesaikan pekerjaan politik yang berat ini. Kasus-kasus semacam Tibet diharapkan akan menyita tenaga Cina sehingga pertumbuhannya juga sedikit terganggu.

Buku ”Revolusi Tibet: Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan Tibet, Cina, dan Amerika Serikat” karya Nurani Soyomukti ini merupakan uraian yang cukup menarik dalam menganalisa berbagai macam kekuatan politik dan kentingan yang menyebabkan Tibet bergolak mulai pertengahan Maret 2008, setelah pada rahun 1959 juga pernah membara dengan terjadinya pemberontakan rakyat Tibet terhadap Cina. Perjuangan Tibet untuk melepaskan diri dari Cina nampaknya akan bangkit lagi.

Ketika belakangan ini Tibet kembali bergejolak, tentu saja hal itu bukan semata-mata terjadi melalui gerakan rakyatnya, tetapi memang telah direncanakan bersamaan dengan upaya yang sistematis untuk meluncurkan gerakan kembali protest rakyat Tibet dan jaringannya, dibarengi dengan blow-up media yang besar-besaran. Dan tak mungkin Amerika Serikat (AS) tidak bermain di sana.

Dalam memandang masalah Tibet, media memang memblow-upnya secara besar-besaran. Cina ditempatkan sebagai tertuduh oleh banyak pihak, sementara pihak demonstran Tibet yang memulai aksinya pada 10 Maret 2008—dalam rangka memperingati Pemberontakan Tibet (yang dibantu oleh CIA/AS)—mendapatkan simpati pada hal jelas-jelas mereka memang melakukan tindakan anarkis. Artinya, tindakan anarkis oleh rakyat Tibet tidak diangkat oleh media, agar memunculkan opini bahwa memang pada dasarnya pemerintah Cinalah (melalui aparatnya) yang represif. Dengan tujuannya adalah munculnya keyakinan dogmatis bahwa Tibet benar-benar ditindas oleh Cina. Hal ini akan membantu dan bahkan menyembunyikan seakan-akan bantuan AS murni dilandasi oleh idealisme dalam membela HAM, pada hal dalam sejarah perjuangan HAM AS selalu bermakna standar ganda.

Naiknya Cina sebagai raksasa baru ekonomi dari kawasan Asia merupakan ancaman terhadap hegemoni AS di wilayah ini. Karenanya masalah Tibet tak lepas dari pengaruh wilayah ini. AS sejak awal berusaha berada di pihak Tibet dan tak henti-hentinya membantu perjuangan rakyat Tibet melepaskan diri dari Cina, mungkin kalau Tibet merdeka AS akan dapat masuk ke wilayah itu untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya.

AS dan negara Barat iri dengan Cina, sehingga ingin mempermalukan Cina melalui kasus Tibet—kesimpulan itulah yang diangkat oleh sebuah media online Inggris, Spiked. Dalam sebuah artikel yang berjudul "Using Tibet to Settle Ccores with China" dalam media tersebut, seorang penulis bernama Brendan O'Neill (Edisi Monday 17 March 2008) menyebutkan bahwa Barat hendak menggunakan kesempatan kali ini (masalah Tibet) untuk mempermalukan (humiliating) dan memojokkan RRC di mata dunia menjelang Olympiade.
Dan Tibet dijadikan alasan sekaligus sebagai tumbal ("bogeymen"). Skenarionya adalah bahwa obor Olimpiade yang direncanakan akan melewati Lhasa nantinya, di situlah provokasi hendak diciptakan. Harapannya, dengan terjadinya peristiwa di Tibet ini maka masyarakat internasional akan memboikot pesta Olympiade ini.

Analisa yang objektif mengenai Tibet tentunya harus melihat dari berbagai macam kepentingan yang bisa dianalisa dari pernyataan-pernyataan yang harus dikaitkan dengan bukti-bukti yang ada. Tiap-tiap negara, terutama antara Cina dan AS, yang telah melibatkan diri dalam pernyataan dan tindakan mengenai masalah Tibet tentunya memiliki kepentingan masing-masing.

Karenanya, buku ini mencoba menggali kebenaran sejarah konflik Tibet dengan melihat berbagai macam kepentingan yang bermain di sana, agar cara pandang kita mengenai masalah Tibet tidak berat sebelah. Dari buku yang tidak ebal inilah kita bisa memahami berbagai macam kepntingan, baik dari pihak Cina, Tibet dan Dalai Lama, serta AS sebagai negara yang harus terus mencengkeram sumber daya alam negara lain agar kapitalisme-imperialisme yang dijalankannya tidak mandeg.

Menutur Nurani Soyomukti, hak menentukan nasib sendiri (self-determination) adalah harga mati dalam politik pergaulan antar bangsa. Tetapi apakah setelah Tibet merdekan akan terjadi pemenuhan hak-hak rakyat Tibet. Atau jangan-jangan setelah Tibet lepas dari Cina, modal AS akan masuk sehingga segala kandungan bumi Tibet menjadi milik modal internasional, aset medis tradisional Tibet akan menjadi hak paten kapirtalis farmasi, atau kedepannya pandangan ekologis Buddhisme akan enyah oleh ideologi ekploitatif kapitalisme neoliberal yang akan dipaksakan Amerika Serikat (hlm. 123).

Penulis juga menguraikan kehidupan para Lama, terutama Dalai Lama ke-14 yang merupakan sosok yang sangat dekat dengan AS, bahkan beberapa kali pernah bertemu Bush—seorang presiden AS yang kini banyak disorot karena kejahatan perangnya. Konon Dalai Lama adalah pejuang cinta damai, tetapi berdekatan dengan Bush yang merupakan “Penjahat Perang”, pembunuh anak-anak dan Ibu-ibu di Irak, mungkin akan menentukan cerita yang lain.
Dan penulis nampaknya cukup berhasil dalam menunaikan tugasnya meskipun buku ini cukup tipis. Yang terpenting adalah informasi dan analisa yang objktif dan tidak berat sebelah, yang membawa pembaca pada apa yang sebenarnya terjadi di Tibet di tengah percaturan politik dunia yang terus merangkak.[*]

Tidak ada komentar: