Senin, 02 Juni 2008

Catatan Budaya:

Dehumanisasi “Pacaran”
Oleh: Nurani Soyomukti

Sayangnya, dalam p
acaran di kalangan remaja dan mahasiswa, kadang juga tak seromantis sebagaimana buku-buku dan artikel-artikel panduan pacaran. Dalam banyak kasus, pacaran di kalangan mahasiswa juga banyak diwarnai dengan berbagai macam penyimpangan. Berikut ini saya gambarkan berbagai macam akibat negatif yang ditimbulkan oleh hubungan pacaran antara lain:

(1) Kegiatan Produktif Hilang
Manusia yang berguna pastilah orang yang banyak berproduksi, menghasilkan sesuatu yang dapat bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun o
rang lain. Produktifitas mahasiswa adalah menghasilkan karya ilmiah, kreativitas, dan aktivitas yang berguna bagi pembangunan kualitas diri dan pembangunan masyarakat. Sebagai mahasiswa kamu harus baca buku, memahami suatu masalah dan informasi yanga ada, berdiskusi, melahirkan gagasan tertulis (menulis) maupun ucapan yang berkualitas. Kalau tak ada hasil semacam itu, maka kamu bukan mahasiswa yang produktif. Percuma banyak uang yang dikeluarkan orangtuamu, tetapi hasilnya tak ada.

Tidak sedikit kegiatan pacaran yang menyita waktu dan membuat kamu kehilangan kesempatan bagi kegiatan-kegiatan yang produktif. Pikiranmu terkuras untuk memikirkan pacar kamu, apalagi saat hubungan tengah mengalami dinamika yang yang membuat perasaan dan pikiran kamu terkuras. Saat hubungan cinta menjadi romantis, apalagi yang melibatkan seks, kamu bahkan tak bisa memikirkan hal lain selain bagaimana supaya bisa dekat terus dengan pacar kamu.

Saya tertawa dan “jijik” melihat mahasiswa sekarang yang kegiatannya hanya menghabiskan waktu berdua bersama pacarnya. Bayangkan, kuliah duduk bareng, pulang bareng, makan bareng, lalu pulang menuju kos (tak jarang yang melakukan aktivitas seksual seperti layaknya suami istri). Baru setelah libido tersalurkan, bosan lalu berpisah dan baru berinteraksi dengan yang lain atau mengurusi urusan kuliah. Kuliah seakan hanya sampingan, yang penting adalah bagaimana menghabiskan waktu hanya pacaran.

Pada hal, kamu tentu paham, interaksi dengan orang yang itu-itu saja (pacar) tidak akan membuat otak kamu berkembang—tak akan menambah pengetahuan dan pengalaman kamu bertambah. Kemandegan pengetahuan dilembagakan dalam interaksi dua orang yang cuek pada pengetahuan baru gara-gara keduanya hanya sibuk mengurusi hal-hal untuk melampiaskan kebutuhan-kebutuhan sempitnya.

Bayangkan, kedua orang yang tanpa pengetahuan dan wawasan bisa jadi sepakat untuk menikah dan membangun rumaahtangga. Maka dapat dipastikan anak-anak dan cucu-cucunya (keturunannya) juga akan mewarisi kebodohan, mengingat sosialisasi pengetahuan itu juga didapat dari keluarga. Keluarga yang berkualitas akan melahirkan generasi yang berkualitas.

(2) Kekerasan dan Ketergantungan
Tak jarang pacaran menjadi ajang bagi hubungan dominasi. Dan dominasi adalah awal bagi terjadinya kekerasan dan penindasan. Pihak perempuanlah yang biasanya berada pada pihak yang tertindas. Mereka jadi korban kekerasan, mulai kekerasan emosional hingga kekerasan fisikal.

Kekerasan emosional, misalnya, pihak cowok seringkali memasung si cewek. Si cowok posesif dan cemburuan. Dan seringkali memaksakan keinginannya kepada si cewek, suka mengatur.
Saya heran pada saat saya mendengar cerita dari seorang kawan perempuan. Dia punya teman, sebut saja namanya Bunga. Bunga punya seorang cowok yang sangat posesif. Bayangkan, si Bunga dilarang menyimpan no HP selain nomer si cowok, nomer orangtuanya, dan 3 orang temannya. Si Bunga tidak boleh keluar kecuali dengan si cowok dan kalau ada acara harus ijin atau memberi informasi pada si cowok.
Mendengar cerita ini saya hanya bisa menyeletuk: “Kok kayak Bapaknya saja!”

Dan, menurut saya, Bunga bukan satu-satunya remaja yang jadi korban kekerasan (“fasisme” dan “kediktatoran”) dari hubungan eksklusif yang bernama pacaran. Tidak jarang juga terjadi pemerkosaan dalam pacaran. Si cewek diajak untuk melakukan kegiatan seksual, kadang dipaksa kalau tidak kamu. Tidak jarang upaya untuk mendapatkan kepuasan seksual dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari “rayuan gombal”, penipuan, hingga pemaksaan atau tindakan licik seperti memasukkan obat perangsang dalam nimuman si cewek.

Model hubungan semacam itu pada akhirnya bahkan berakibat fatal karena efek kekerasan akan mengakibatkan dampak psikologis di kalangan remaja perempuan. Para remaja perempuan yang sudah tidak perawan dan kemudian dicampakkan oleh cowoknya pada akhirnya masuk pada lubang hitam kehidupan, di mana ia sudah menganggap dirinya tak berguna. Hal itu dapat mengakibatkan si cewek terjerumus pada prostitusi. Masalahnya seks adalah kegiatan yang menyebabkan adiksi (ketagihan). Kalau orang sudernah menikmati seks, ia selalu ingin mengulanginya. Kalau si cewek sudah dicampakkan oleh cowoknya, maka ia akan kebingungan dan ia ingin mencari cowok lain. Apalagi, setelah ketahuan sudah tak perawan, biasanya cewek dipandang “rendah”. Cowok mendatangi “cewek” semacam itu pasti hanya untuk mudah mendapatkan seks.

Kejijikan si cewek pada tubuhnya sendiri (yang sudah tak virgin) dan kebencian pada laki-laki (akibat pengalaman cowoknya yang “kurang-ajar”) tak jarang membuat cewek tak percaya lagi pada cinta, kepercayaan, dan kebaikan. Tubuhnya sendiripun dianggap lagi tak berguna. Maka iapun berusaha menjual tubuhnya untuk kesenangan dan diperjualkan—dari kondisi semacam ini salah satu sebab kenapa perempuan menjadi pelacur (prostituted).

Sebagai pelacur, iapun dianggap “sampah masyarakat”. Masa depannya tergantung pada berapa harga yang diberikan oleh laki-laki yang membelinya. Tak ada lagi cinta, yang ada hanyalah jual-beli tubuh. Tidak ada gunanya pikiran. Yang ada adalah harga fisik (seks). Pemahaman semacam ini juga memicu para anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk mengurusi tubuh agar tampil cantik dan seksi agar mereka “berharga mahal” dalam transaksi sosial dalam relasi antar-individu. Kondisi inilah yang menyebabkan langgengnya kapitalisme seksualitas era ini, yang ditandai dengan terjerumusnya para kaum muda dalam lubang seksualitas dan ketidakpercayaan pada cinta akibat gaya pacaran yang penuh dengan kepalsuan dan bahkan kekerasan.

Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (Domestic Violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada remaja, terutama kekerasan yang terjadi saat mereka sedang berpacaran (Kekerasan Dalam Pacaran/KDP) atau Dating Violence). Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan jender menemukan bahwa sejak tahun 1994-2001, dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani, 385 diantaranya adalah KDP (Komnas Perempuan, 2002).

PKBI Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2001 saja, terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan emosional, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi. Data yang lebih baru menunjukkan bahwa selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26,60 persen di antaranya adalah KDP dan perkosaan. Meskipun frekuensinya cenderung menurun, tetapi setiap tahun kedua kasus tersebut masih tetap terjadi di DI Yogyakarta.
Selama periode 1994-September 2007, rekapitulasi jumlah kasus KDP dan perkosaan yang masuk Rifka Annisa mencapai 965 kasus. Kejadian KDP yang terungkap tiap tahun minimal 20 kasus, sedangkan perkosaan lima kasus. [1]

KDP yang dimaksud meliputi segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan di luar hubungan pernikahan yang sah. Sementara itu, perkosaan adalah pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/tidak disukai hingga pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu.

(3) Latihan Kebohongan
Kebohongan merupakan gejala yang banyak terjadi sejak kepercayaan sulit dibangun akibat berkali-kali dikhianati. Hubungan yang hanya diikat oleh ketidakpercayaan, maka hubungan itu palsu. Dan pacaran sebenarnya adalah hubungan palsu, langgeng karena adanya kepentingan sempit maupun ketidaktahuan yang menghasilkan ketertundukan dan dominasi antara satu sama lain—biasanya laki-laki (cowok) yang mendominasi.

Karena pacaran bukan hubungan yang terikat secara formal (oleh hukum negara, adat, maupun agama—seperti pernikahan), maka memang rentan sekali untuk berpisah atau putus—atau sering disebut broken atau “putus cinta” [sic!]. Apalagi gejala pacaran sebenarnya tak lebih dari demam kaum remaja karena meniru tayangan-tayangan TV/film atau meniru lainnya. Kamu harus pacaran (punya pacar) gara-gara gengsi karena teman-temanmu lelakukannya, juga karena ada contoh-contoh dari sinetron dan film.

Coba, mari kita tanyakan? Sejak kapan sich gejala yang namanya pacaran itu muncul? Adakah artefak-artefak sejarahnya di masyarakat kita, sejak kapan fenomena pacaran itu muncul?
Kemungkinan besar, pacaran ditiru dari Barat, melalui film-film—awalnya adalah film Barat dan kemudian film Indonesia. Kisahnya pun selalu seputar pertemuan dan perpisahan, yambung-putus, nyambung-putus, dengan berbagai macam dinamika romantika yang ada. Kecemburuan, konformisme pada pasangan, menyenangkan dan beradaptasi pada pasangan (meskipun beradaptasi untuk sikap yang salah dan dipaksakan), dll, mempengaruhi watak dan membentuk kebiasaan.

“Yang, kamu sayang aku nggak sih?”
Bayangkan jika yang ditanya ini sebenarnya tidak tahu apa makna sayang atau cinta karena ia merasa tentram dengan pasangannya gara-gara ia hanya nyaman karena bisa “indah-indahan” dan ngeseks, toh nanti kalau sudah bosan juga bisa ditinggal dan cari lagi yang lain. Anggap saja ia adalah cowok/cewek playboy/playgirl. Kamu tentu tahu jawabannya:
“... Emmm, sayang dong!”
Ia terpaksa berbohong. Pada hal sebenarnya ia tak sepenuhnya sayang. Yang dibutuhkan hanyalah sentuhan fisikal yang menimbulkan sensasi-sensasi kesenangan seperti ciumannya, sentuhannya, pelukannya, dan selangkangannya. Kalau tidak menjawab “sayang”, nanti sang pacar bisa marah dan kalau sudah marah akan sulit untuk dirayu agar menyerahkan tubuhnya.
Serba sulit memang membedakan antara ketulusan dan tindakan yang direncanakan dalam masalah hubungan yang telah mengarah pada relasi fisikal. Ketergantungan pada kenikmatan fisik dengan pasangan (pacar) biasanya telah menghapus pertimbangan-pertimbangan rasional. Kebiasaan mengucapkan kata “aku cinta kamu” pada saat menginginkan kenikmatan fisik nampak sudah tertanam dalam alam bawah sadar.

Kata-kata dikendalikan oleh nafsu dan kebiasaan merayu dengan kata-kata manis dan indah juga telah diketahui menjadi senjata para “playboy” atau “playgirl” untuk memudahkan mendapatkan penyatuan cinta palsu semacam pacaran atau hubungan yang dibuat-buat untuk melampiaskan tuntutan nafsu. Sekali lagi, cinta bukanlah seks, meski seks bisa membangun langgengnya cinta—biasanya dalam kasus dua orang yang sudah menikah.

Tetapi, sekali lagi, cinta sejati tak dapat kita letakkan hanya pada hubungan eksklusif semacam pacaran atau pernikahan. Kedua hubungan “kecil” dan “sempit” itu adalah pelarian bagi manusia-manusia yang gagap menghadapi kehidupan. Dan hanya untuk keperluan kebutuhan sempit itulah, lembaga hubungan bernama pacaran dan pernikahan established dalam peradaban yang kontradiktif bagi hubungan universal yang luas.

(4) Cuek Pada Masa Depan
Dunia bergerak dan dunia berubah. Para pelaku pacaran yang sibuk mengurusi “keindahan berdua” bukan hanya lupa bahwa dunia bergerak dan ruang hidup ini luas untuk dijelaskan. Mereka berdua bahkan juga lupa bahwa waktu juga bergerak seiring nafsu mereka yang kian mendekat dalam hubungan eksklusif.

Dan dapat diduga, tidak jarang pacaran selalu mempercepat jalan menuju pernikahan—entah itu melalui cara normal maupun MBA (marriage by accident) karena seksualitas sebagai aktivitas reproduktif membuat si cewek hamil. Mahasiswa yang keburu hamil tentunya akan kerepotan untuk menunaikan tugas-tugas kuliahnya di kampus. Di antara mereka ada yang cuti untuk menunggu lahirnya bayi dan pulihnya kesehatan tubuh si cewek mahasiswa (mahasiswi). Si cowok, sang pacar yang terpaksa menjadi sang suami, juga terpaksa harus berhenti meninggalkan aktivitas-aktivitas pembelajaran. Untuk membangun keluarga, dengan hadirnya si bayi, ia harus fokus mendapatkan penghasilan (pekerjaan).

Dalam kasus itu, pacaran lebih banyak membuat mahasiswa lupa pada masa depan yang panjang dari posisi dan perannya. Ia bukan hanya lupa sejarah dan kehilangan ruang, tapi juga kehilangan waktu untuk menjadi manusia yang bebas-merdeka dan punya peran dalam sejarah.

Menghidupi istri dan anak tidak mudah. Ekonomipun terpaksa tergantung pada orangtua. Mencari pekerjaanpun tak bisa menggunakan ijazah sarjana, karena ia harus mencari kerja karena kuliahnya belum lulus. Mengurusi rumahtangga bukan pekerjaan yang mudah.

Bagi mereka yang tetap terlena dalam hubungan pacaran saja, juga terus saja mengabdikan hidupnya untuk kesenangan seksual. Ketika pacarnya (si cewek) hamil, aborsipun dilakukan karena tidak mau terburu-buru menikah—terutama karena syarat-syarat material-ekonomis yang jelas belum siap. Aborsi daalam pacaran telah mengingkari hak janin untuk menikmati kehidupan sebagai manusia yang tumbuh. Para pembunuh janin dan bayi adalah para mahasiswa yang cara pandangnya cupet dan tindakannya (sebagai mahasiswa) hanya untuk mengejar romantika pacaran dan perayaan seksualitas yang memundurkan keberadaannya sebagai makhluk yang bernama manusia.***



[1] ”Perempuan Rawan Alami Kekerasan dalam Pacaran”, KOMPAS/ Rabu, 28 November 2007

Tidak ada komentar: