Kamis, 07 Agustus 2008

Dimuat di SUARA KARYA/Jumat, 8 Agustus 2008:

Dari Keintiman hingga Pembunuhan

Oleh Nurani Soyomukti*)


Dalam buku "Civilization and Discontents (Peradaban dan Kekecewaan-kekecewaannya)", Sigmund Freud mengatakan, "peradaban adalah suatu proses melayani Eros, yang tujuannya adalah untuk menggabungkan individu-individu manusia tunggal, selanjutnya keluarga-keluarga, kemudian ras-ras, masyarakat-masyarakat dan negara-negara, ke dalam suatu kesatuan besar, kesatuan umat manusia".

Tetapi ketika cinta membuat kecewa, orang pun mendendam dan kemudian juga tak ragu untuk membunuh secara kejam. Perasaan ingin mencintai dan ketakutan ditolak menghinggapi. Sedangkan penolakan dan kekecewaan akibat (merasa) tersakiti, juga tak jarang membuat orang yang awalnya penuh rasa cinta menjadi orang yang penuh kebencian dan melampiaskan perasaannya itu dengan cara menyakiti, salah satunya membunuh.

Dan peradaban juga menunjukkan adanya tragedi berupa pembunuhan berantai sebagaimana terjadi akhir-akhir ini. Ryan, seorang pemuda yang diduga mengalami penyimpangan psiko-seksual, (didakwa) telah melakukan pembunuhan berantai. Pembunuhan dengan cara memutilasi ini telah menimbulkan rasa sedih bagi mereka yang anak-anak atau saudaranya dibunuh secara tak berperikemanusiaan, juga menghenyak kita semua karena peristiwa semacam ini tak seharusnya terjadi.

Orang awam barangkali mengira bahwa pembunuhan semacam itu mustahil terjadi. Tetapi, bagi mereka yang memahami bagaimana dinamika psikologis merupakan suatu wilayah yang sangat ditentukan oleh pengalaman-pengalaman hidupnya sejak kecil, tentunya sudah tak mengherankan lagi.

Kalau kita kembali pada teori psikoanalisis (psikologi mendalam) Sigmund Freud, tentunya kita akan banyak melihat bahwa kekecewaan-kekecewaan (discontents) sering kali muncul dalam jiwa orang, terutama karena realitas (kondisi yang ada) tidak memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan yang ada dalam diri manusia sering kali tak memungkinkan untuk dipenuhi, terutama dalam kondisi material yang diskriminatif bagi pemenuhan kebutuhan itu.

Kasus Ryan menunjukkan bahwa si pelaku korban tersebut mengalami obsesi penyatuan seksual dengan orang-orang yang merupakan sesama jenis. Di balik penampilan sehari-hari di lingkungan tetangganya yang masih tabu dengan percintaan sesama jenis, ternyata dunia Ryan dalam hubungannya dengan teman-temannya adalah dunia percintaan yang juga diwarnai dengan obsesi-obsesi dan kekecewaan-kekecewaannya. Kekecewaan yang mendalam itulah yang konon membuat Ryan merasa dendam dengan orang-orang yang kemudian dibunuhnya secara kejam.

Tiap individu dikuasai oleh dua insting sekaligus, yaitu insting (naluri) yang disebut Eros dan Tanatos. Insting Eros adalah insting ingin menyatukan diri yang manifestasinya adalah cinta dan kasih sayang yang secara material dan konkret adalah tindakan persetubuhan. Sedangkan insting Tanatos adalah insting menyerang atau merusak, yang manifestasinya adalah tindakan kekerasan dan bahkan membunuh.

Kedua insting ini sama-sama ingin mendendalikan makhluk hidup dan manusia. Kadang sulit membedakan di antara keduanya. Tarik-menarik kedua insting inilah yang membuat manusia resah, gundah, dan kadang lebih banyak dikuasai oleh ketidaksadaran (tidak rasional), sehingga dalam melakukan hal-hal jarang dipikirkan, spontan, dan baru menyesal setelah dipikirkan secara keras dengan rasio yang ada.

Secara pribadi, saya punya pandangan bahwa untuk melihat bagaimana Eros dan Tanatos dapat dilihat manifestasinya secara mudah dalam waktu yang bersamaan adalah pada saat orang melakukan persetubuhan.

Jadi persetubuhan seakan bukan didorong oleh insting Eros, tetapi juga Tanatos. Jadi cinta sebetulnya tak hanya layak dipahami sebagai suatu hal yang melekat pada Eros. Untuk memahami cinta, kita harus melihat seluruh eksistensi yang ada pada diri manusia. Cinta adalah dorongan untuk menyatukan diri, berarti kita mengenal bagaimana ada suatu dorongan material dalam tubuh manusia. Dorongan ini ternyata sungguh-sungguh riil keberadaannya, dengan diekspresikan dengan pola-pola yang membentuk kebiasaan dalam kebudayaan universal umat manusia.

Kasus Ryan harus kita kembalikan pada analisis psikologi mendalam (psikoanalisis), kemudian kita kaitkan dengan bagaimana basis material sejarah (situasi sosial) membentuk perkembangan individu-individu dalam masyarakat kita. Ajaran psikologi sosial menghendaki adanya terapi individu dalam kaitannya dengan kondisi yang membentuk pengalaman-pengalaman individu yang ada.***
--------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar: