Senin, 04 Agustus 2008

Diomuat di KOMPAS Jatim, Jumat 1 Agustus 2008:

Mutilasi Jombang, Kekerasan,
dan Tragedi Eros


Oleh: Nurani Soyomukti,
penulis buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Aruzzmedia, Yogyakarta 2008); kini sebagai kordinator Taman Bacaan untuk Rakyat (TABuR) Jawa Timur


Tragedi pembunuhan berantai di Jombang Jawa Timur dengan terdakwa Ryan merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang mengenaskan. Pembunuhan dengan motif penyimpangan seksualitas da
n secara psikologis dikendalikan oleh penyakit kejiwaan itu patut mendapatkan perhatian kita semua.

Tentunya peristiwa kekerasan berupa pembunuhan itu harus kita sikapi secara arif dan bijaksana. Lebih jauh yang patut kita renungkan adalah sebuah pertanyaan mengapa kondisi kejiwaan seperti dialami Ryan muncul. Tidak mungkin segala sesuatu terjadi tanpa sebab-sebab yang jelas. Sebuah kondisi kejiwaan pasti diakibatkan oleh pengalaman kehidupan yang dibentuknya sejak kecil. Artinya, mental, watak, dan situasi kejiwaan individu dibentuk dari lingkungan tempat ia tinggal.

Tentu kita akan menuduh keluarga sebagai penyebab dari cacatnya pertumbuhan sang anak. Ryan sebagai seorang anak dari keluarganya memiliki kejiwaan yang secara tidak disadari membahayakan orang-orang dekatnya. Tetapi menyalahkan keluarga saja tidak cukup karena keluarga bukanlah lembaga yang independen dari hubungan-hubungan ekonomi-sosial dalam masyarakat yang lebih luas.

Instinktual
Kasus Ryan harus kita kembalikan pada analisa psikologi mendalam (psikoanalisis), kemudian kita kaitkan dengan bagaimana basis material sejarah (situasi sosial) membentuk perkembangan individu-individu dalam masyarakat kita. Ajaran psikologi sosial menghendaki adanya terapi individu dalam kaitannya dengan kondisi yang membentuk pengalaman-pengalaman indindividu yang ada.

Jika tiap-tia
p individu adalah makhluk hidup, ada dua instink yang sebenarnya ada dalam diri manusia, yaitu Eros dan Tanatos. Eros adalah instink (naluri) untuk menyatukan diri karena ada dasarnya keberadaan kita ini adalah materi,tubuh dengan hubungan materi-materi (dari sel hingga organ yang saling berhubungan membentuk kerja tubuh yang hidup), dan materi selalu terdiri materi-materi yang lebih kecil yang saling menyatu atau cenderung mengarah pada penyatuan. Kita berasal dari materi itu, yaitu berasl dari satu dan akan kembali ke satu itu—makanya kita ingin selalu menyatu. Kecenderungan menyatukan tubuh atau merasakan suatu kebersamaan dalam satu inilah yang membuat kita ingin membangun suatu kelompok umat manusia yang juga melekat (memenuhi dengan dan dipenuhi dari) alam.

Manifestasi konkrit dari instink Eros itu adalah kecenderungan untuk menyatukan diri dan melekat dengan tubuh orang lain. Saya benar-benar curiga bahwa jangan-jangan, sebelum terjadi ledakan besar (big-bank) yang oleh para pengamat alam disebut sebagai awal terjadinya jagat raya, asal materi itu adalah satu bentuk materi.

Gejala yang hampir sama adalah kecenderungan kasih sayang yang kuat (attachment) antara seorang ibu dan anak. Kenapa itu terjadi tentu tidak sulit ditebak. Awalnya ibu dan anak adalah satu, menjadi satu, satu darah. Dari darah, menjadi janin, hingga wujud manusia, anak melekat menjadi satu dalam tubuh (kandungan) ibu selama 9 bulan. Inilah yang membuat saya berani mengatakan bahwa tiada kasih sayang yang paling besar sebanding dengan kasih sayang ibu terhadap seorang anaknya.

Lihatlah betapa perkembangan anak tergantung pada kenyamanan fisikal dan psikologis (rasa aman dan nyaman) yang didapatkan dari Ibu pada awal-awal perkembangannya. Setelah keluar dari rahim dan hubungan badan itu dipisahkan setelah daging penghubung itu dipotong, bayi tetap saja mencari-cari tubuh ibu. Pertama-tama untuk menghubungkan fisiknya dengan fisik Ibu adalah dengan cara mencari-cari puting susu ibu untuk dimasukkan ke dalam mulutnya.

Dan siapapun ia, laki-laki atau perempuan, sepanjang umurnya instink untuk menyatukan diri ini tetap abadi. Inilah yang membuat saya begitu yakin bahwa kita ini adalah makhluk erotis, yang dikuasai instink untuk menyalurkan energy Eros dengan cara menyatukan diri dengan orang lain. Manifestasi Eros adalah pada kehendak untuk menyatukan diri melalui hubungan seksual (bersetubuh) dan yang berujung pada orgasme. Eros adalah instink positif yang mendasari rasa solidaritas dan pengalaman kebersamaan dengan sesame manusia. Kita seakan merasa sakit saat oang lain, terutama orang yang dekat dengan kita, disakiti.

Tetapi konon ada satu lagi instink yang dimiliki, yang bertarung dengan instink Eros, yaitu instink Tanatos. Kalau Eros disebut sebagai instink kehidupan, yang ini adalah instink kematian. Kalau Eros adalah instink menyatukan diri, ini adalah instink penghancuran, memisahkan diri, atau instink agresi (menyerang). Kita tentu dapat mengenali instink ini pada manusia saat material mereka akan cenderung rusak, sel-sel tubuhnya hancur, dan menua menuju pada kematian. Manifestasi sikapnya adalah kecenderungan orang untuk menyerang secara fisik dengan apa yang ada di sekiranya, bahkan juga orang lain.

Frustasi Sosial
Penyimpangan psikologis dalam tiap-tiap anggota masyarakat selalu berkaitan dengan situasi material masyarakat yang juga tak sehat. Erich Fromm, dalam bukunya “Masyarakat Yang Sehat” (1995) menunjukkan bahwa penyimpangan psikologis dan ketimpangan pemanknaan hidup orang sangat berkaitan dengan perkembangan masyarakat kapitalis mutakhir yang semakin menunjukkan wajah ganasnya. Meskipun studi Erich Fromm dilakukan di Negara Barat yang maju (Amerika Serikat/AS), tentu kita dapat menarik kesimpulan yang sama untuk melihat berbagai macam perkembangan masyarakat di dunia Ketiga seperti Ind
onesia.

Data membuktikan bahwa frustasi merupakan gejala yang meningkat pada saat kapitalisme dengan penindasannya juga merajalela. Pada tahun 2010, sebagaimana ditulis Strategic Plan for Health Development, rasio gangguan kesehatan mental dalam jumlah penduduk nasional diperkirakan 140:1000 bagi orang yang berumur lebih dari 15 tahun. Artinya, dalam setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 140 orang yang mentalnya tidak sehat. Jumlah ini jauh lebih besar dari pada rasio penyakit fisik, seperti diabetes (16:1000), penyakit kardiak pulmonaris (4,8:1000) atau stokes (5,2:1000). Bagaimanapun, menteri kesehatan memperkirakan bahwa pasien gangguan mental hanya berjumlah 1,5 persen yang saat ini dirawat di rumah-rumah sakit (Jakarta Post, Sabtu 22 Oktober 2005).

Jumlah masyarakat tidak sehat secara fisik seperti pertumbuhannya terganggu, cacat, menderita sakit, di Indonesia sangat besar. Setiap orang di Indonesia dihinggapi rasa takut kalau sewaktu-
waktu menderita sakit. Hal ini dihadapkan pada fakta bahwa biaya kesehatan sangat tinggi. Kesehatan fisik masih sangat sulit diakses ketika harga-harga mahal akan membuat orangtua miskin mengurangi anggaran konsumsi nutrisi berkualitas (bergizi) bagi anak-anaknya. Sedangkan kesehatan mental juga jelas-jelas tergantung pada kesehatan fisik. Pertumbuhan tubuh yang jelek akan menghasilkan kualitas pemikiran dan kreatifitas yang jelek. Adagium mensana in korporesano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) masih tidak dapat terbantahkan.***
-------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar: