Oleh: Nurani Soyomukti
Sangat penting bagi kita untuk mengidentifikasi hidup kita, sebelum kita memahami apa makna kebebasan bagi kita. Kebebasan tidak identik dengan orang yang malas berbuat sesuatu. Orang yang malas dan orang yang tidak melakukan apa-apa bukanlah orang bebas. Orang yang tak melakukan ap

Orang yang diam yang menghabiskan banyak waktu untuk berkhayal dan melamun memang merasakan kebebasan dalam ilusinya, tetapi tetap saja ia tampak sebagai orang yang tidak berguna. Apalagi dengan diam, tidak melakukan apa-apa dan tidak menghasilkan itu ia menggantungkan keberadaannya pada orang lain, artinya merugikan orang lain, maka sesungguhnya ia bukan hanya tidak bebas, tetapi sekaligus eksploitatif. Orang yang menikmati waktu luang tetapi biaya dari waktu yang dihabiskan untuk menggunakan waktu luang itu dilimpahkan pada orang lain adalah parasit.
Jadi dalam hal ini, tampaknya kebebasan yang dimiliki oleh orang yang tak produktif hanyalah sejenis kebebasan yang merugikan. Mungkin orang-orang yang bebas karena mengggur itu, karena bebas dari kerja justru karena tak dapat pekerjaan (tidak berproduksi), boleh jadi begitu tersiksa. Bebas dari pekerjaan yang justru membuat pikirannya tertekan dan otaknya terus berkhayal.
Jadi sangat mengherankan kalau ada orang yang yang memahami kebebasan dengan melupakan adanya fakta bahwa hidup ini diatur oleh ikatan dan oleh pola-pola yang ada dalam hubungan. Bahkan alam itu sendiri tampaknya juga menunjukkan keteraturan dan pola-pola. Tiap hari matahari terbit dari Timur ke Barat, hal ini berlaku bagi semua orang di Indonesia. Bahkan aturan itu tampaknya menjadi kodrat di mana alam telah menetapkan pola-polanya yang telah ada: kita memasukkan makanan untuk menghindari kelaparan melalui mulut, kita berak dengan mengeluarkan “tai” dari dubur. Kita belum dapat berbuat sesuka kita, kita blum mampu memenuhi apa saja yang kita kehendaki.
Artinya kita masih menghadapi pola-pola alam, baik yang gejalanya sederhana maupun yang rumit (untuk dijelaskan). Justru dengan kondisi itu kita harus menuruti aturan dan bekerjasama, menggalang

Sebagian besar pura-pura mau berbagi setelah bencana benar-benar datang. Saat bencana kelaparan diberitakan, mereka pura-pura membantu. Mereka juga tak begitu hirau: banyak bahan pangan yang mereka simpan, yang berlebih dan tak terpakai, tetapi masih banyak orang yang kekurangan makan. Para penguasa, minoritas di tengah-tengah mayoritas rakyat yang menderita itu, cuek pada nasib orang lain; mereka mau mencari selamatnya sendiri.
Dan ketidakmampuan manusia dalam menghadapi kontradiksi alam salah satunya karena mereka tak mau membuat rakyat produktif, berpengetahuan dan menguasai IPTEK. Mereka menginginkan pendidikan hanya untuk anak-anaknya, sedangkan hak-hak anak-anak rakyat mayoritas terhadap pendidikan dilanggar. Pada hal, rakyat akan mampu menemukan tenaga produktif, pengetahuan dan teknologi baru untuk mengatasi kesulitan-kesulitan menghadapi alam, jika hak-hak mereka akan ekonomi diberikan. Mereka bahkan ada yang justru membodohi: mereka mengatakan bahwa kemiskinan dan bencana alam disebabkan oleh takdir Tuhan dan sudah diatur. Pada hal kemiskinan adalah karena eksploitasi mereka, bencana alam juga karena peristiwa alam yang biasa terjadi—dan seringkali terjadi karena rakyat tak berdaya akibat ditindas dan dihisap dan tidak dikondisikan untuk produktif.
Kita yang dapat berpikir rasional tentu tahu bahwa kebebasan mungkin saja diraih jika kita diberikan syara

Mereka yang merupakan rakyat mayoritas itu akan menjawab: “Kami tak punya waktu luang untuk rekreasi, tak punya rumah dan tempat indah untuk tinggal dan ditempati atau sekedar dikunjungi, karena kami harus kerja dari subuh hingga senja hari tetapi kerja kami tak dihargai. Sebagai buruh, upah kami semakin rendah dan kenyamanan kerja kami juga terancam karena sekarang sistemnya buruh kontrak dan outsorcing. Gabah kami juga harganya sedikit sementara biaya bertan

Karenanya, rakyat miskin itu harus hidup dengan saling membantu seadanya, kerjasama antara orang miskin. Se

Lihatlah, betapa pengecut dan jahatnya mereka yang ingin enaknya sendiri dan mencari selamat sendiri. Jangan percaya pada slogan kebebasan itu (yang sebenarnya mirip ilusi untuk saat ini)!. Mereka para penyanjung kebebasan radikal ala borjuis tampaknya tidak memahami itu. Mereka tidak boleh berbuat semaunya. Mereka terikat dengan hukum-hukum material dan dengan memahami hukum-hukum material itulah seharusnya hubungan diatur secara adil. Kaum liberal yang mewakili kepentingan borjuis-kapitalis (pemodal) sebagai penguasa di bidang ekonomi (kapitalis-liberal) tidak menginginkan aturan jika itu menghalanginya untuk data hidup seenaknya sendiri. Lihatlah, mereka membuat negara tak boleh mengatur ekonomi rakyat—mereka men

Berangkat dari situasi itu, perlu saya tegaskan bahwa kebebasan bukanlah suatu hal yang abstrak. Kebebasan bukanlah situasi tanpa aturan atau “anarki”. Kebebasan semacam itu akan dapat dirasakan kalau kita mati atau gila, karena tak sadar kalau ingin melakukan apa saja!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar