Kamis, 26 Juni 2008

Resensi Buku "REVOLUSI TIBET":

Menguak Kepentingan di Balik Tragedi Tibet

oleh: Ahmad Makki.

klik: http://www.penulislepas.com/v2/?p=838

Judul : Revolusi Tibet (Fakta, Intrik dan Politik Kepentingan Tibet-China-Amerika Serikat)Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit : Garasi - Yogyakarta
Cetakan I : Mei - 2008
Tebal : 136 halaman

Aksi protes anti-China yang terjadi di Ibu Kota Tibet, Lhasa, pada 10 Maret 2008 lalu begitu mengundang perhatian banyak orang di segala penjuru dunia. Bagi pemerintah China sendiri, kejadian di Tibet tersebut adalah persoalan domestik. Kebetulan Cina akan menjadi tuan rumah pesta olah raga dunia di Beijing atau yang dikenal dengan Olimpiade Beijing pada Agustus 2008 mendatang tentu mendapat tantangan tersendiri.Tak heran, untuk melenyapkan unjukrasa anti-China itu, pemerintah China akhirnya melakukan berbagai cara, termasuk melakukan tindak kekerasan, bahkan untuk beberapa waktu Tibet sempat diisolasi dan tertutup bagi media massa dan orang asing termasuk para wisatawan.

Kebijakan memberlakukan tindakan represif dan tak kenal prikemanusiaan dai aparat keamanan China dalam mengatasi kerusuhan itulah yang dipegang teguh dunia sebagai alasan untuk melakukan protes keras terhadap China. Tekanan keras dari masyarakat internasional atas kekerasan dan penutupan akses ke Tibet terus mendapat kecaman di mata dunia. Diantaranya dengan adanya ancaman para kepala negara Barat, khususnya Presiden Prancis, Nicholas Sarkozy, yang tengah menimbang-nimbang untuk memboikot Olimpiade.

Merasa mendapat kecaman masyarakat internasional, pemerintah China menuduh Dalai Lama yang merupakan pemimpin pemerintahan Tibet yang masih berada di pengasingan sebagai tokoh di balik munculnya aksi protes anti-China itu. Namun, dengan tegas Dalai Lama menolak tuduhan tersebut dan ia menyatakan diri mundur dari jabatannya sebagai pemimpin pemerintahan Tibet jika kerusuhan anti-China di Tibet terus memburuk. Dalai Lama tak pernah berhenti menyatakan bahwa dalam perjuangannya ia tidak pernah melakukan kekerasan. Tibet sendiri selama ini telah dikenal sebagai negeri para biksu Buddha yang memiliki paham perdamaian atau ahimsa.

Dikalangan masyarakat China sendiri, khususnya bagi publik di wilayah Barat beranggapan bahwa persepsi boikot atas Olimpiade adalah tidak lain untuk menghukum rezim otoritas Partai Komunis China (PKC) yang antidemokrasi dan pelanggar HAM. Dengan semangat nasionalisme yang menggebu, dan memang dipompakan pemerintah, Olimpiade lebih merupakan lambang kejayaan China di pentas internasional ketimbang demi kejayaan komunisme ataupun PKC.

Akibatnya, banyak yang berpikir emosional dan memandang Tibet dan Dalai Lama sebagai tak lebih dari mainan Barat untuk merebut kebanggaan internasional ini dari tangan rakyat China. Jadi, Dalai Lama dan para pengikutnya sama saja dengan Chen Shui-bian yang pernah berkuasa selama delapan tahun di Taiwan. Yaitu kaum separatis dan splittist yang berniat memisahkan diri dan membentuk sebuah negara. Itulah sebabnya propaganda dalam mendiskreditkan Dalai Lama difokuskan pada sasarannya sebagai pemberontak dan boneka. Tapi, Dalai Lama menghadapi serangan mesin propaganda China ini dengan sabar. Tidak emosional. Dalam berbagai pernyataan, ia menekankan bahwa dia dan para pengikutnya sudah lama meninggalkan cita-cita untuk menciptakan negara Tibet sendiri.

Setelah diusut lebih mendalam, tenyata memang jelas ada keterlibatan Amerika Serikat lewat CIA dan media korpora
tifnya yang turut andil dan bermain di balik membaranya Tibet mulai dari setengah abad yang lalu hingga bergolaknya kembali Tibet pada beberapa waktu lalu. Pada tragedi baru-baru ini jelas bahwa intrik politik Amerika Serikat dan Barat iri dengan China, sehingga ingin mempermalukan China melalu kasus Tibet di tengah perhelatan Olimpiade Beijing 2008.

Mengingat naiknya China sebagai raksasa baru ekonomi dari kawasan Asia tentu merupakan ancaman baru terhadap hegemoni Amerika Serikat di wilayah ini. Karenanya, masalah Tibet tidak lepas dari pengaruh wilayah China. Amerika Serikat sejak awal tidak henti-hentinya membantu perjuangan rakyat Tibet untuk melepaskan diri dari China. Mungkin kalau Tibet merdeka, Amerika Serikat akan dapat masuk ke wilayah itu untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya. Karena memang Tibet ditaksir tengah menyimpan jutaan mineral dan minyak seharga jutaan atau bahkan miliaran dolar.

Karena itu, dalam buku yang ditulis oleh Nurani Soyomukti dengan judul “Revolusi Tibet: Fakta, Intrik dan Politik Kepentingan Tibet-China-Amerika Serikat” ini, diungkapkan secara singkat segala bentuk fakta, intrik dan politik antara Tibet, China dan Amerika Serikat. Dalam bahasan buku ini, disertai pula berbagai bukti dan babakan sejarah yang sangat rasional, sistematis dan komprehensif. Meskipun dibahas dalam buku yang tidak terlalu tebal tentunya, namun uraian dan penjabarannya menjadikan setiap para pembacanya bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi selama ini di Tibet?

Dengan mengkaitkan peringatan Hari Perlawanan Tibet terhadap invasi China pada tanggal 10 Maret 1959, aksi damai para biksu pada 10 Maret 2008 berubah menjadi gejolak baru karena pemerintah China secara spontan bereaksi keras dan membabi buta. Dengan wacana bahwa Tibet akan mengusung kembali untuk memerdekakan diri dan melepaskan diri dari China. Tidakkah pergolakan itu tentunya merupakan bagian dari sejarah dunia atau tepatnya telah dirancang sedemikian rupa oleh aktor-aktor global dengan tujuan menciptakan dinamika politik yang nantinya diharapkan menguntungkan bagi mereka yang menciptakan skenario ini?

Sebagai negeri di balik salju atau dikenal pula sebagai negeri atap dunia itu, Tibet memang banyak menyimpang segudang misteri yang masih tidak terjamah oleh kasat pengamatan banyak orang sekarang ini. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa Dalai Lama dikenal sangat dekat dengan Amerika Serikat bahkan beberapa kali sempat bertemu dengan Bush. Sosok pemimpin spiritual Tibet yang dianggap suci yang ternyata juga menyimpan banyak hal di kaki-kaki Istana Potala yang megah itu.

Dengan membaca buku ini setidaknya terkuat korporasi banyak kepentingan yang melibatkan beberapa negara. Terungkap jelas bahwa pergolakan yang terjadi di Tibet selama ini tidak semata-mata muncul begitu saja. Seperti halnya rahasia di balik timbunan salju yang sangat tebal di kaki Himalaya yang ternyata terdapat tarik-ulur kepentingan beberapa negara, khususnya Amerika Serikat dan tentunya bagi China sendiri.

__________________
*) Ahmad Makki HasanMahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

Minggu, 22 Juni 2008

Buku Terbaru Nurani Soyomukti: "MEMAHAMI FILSAFAT CINTA"

























Keterangan Cover Belakang:

"Demam film “Ayat-Ayat Cinta” (AAC) menunjukkan bahwa kata “Cinta” benar-benar masih menjadi magnet bagi banyak orang, terutama remaja dan kaum muda. Tetapi sudahkah mereka memahami filsafat Cinta itu sendiri ataukah mereka hanya menjalani hubungan cinta yang dangkal dan tidak menunjukkan hakekat kemanusiaan itu sendiri.

Cinta bukanlah kata-kata, tetapi adalah tindakan konkrit yang diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Demikianlah, buku ini adalah risalah Cinta yang sangat penting: renungan seorang filsuf muda yang telah menghasilkan berbagai karya (buku dan catatan-catatan budaya), Nurani Soyomukti.

Dengan menawarkan konsep Cinta yang akan membawa Anda pada pemahaman tentang cinta tang mendalam dan bermakna dalam hubungan antar manusia, buku ini menawarkan universalisasi hubungan Cinta. Lebih dari sekedar buku yang memberikan kiat-kiat membangun hubungan cinta eksklusif (pacaran dan pernikahan), buku ini mengkonstruksi sebuah pemahaman yang sangat utuh dan reflektif.

“Buku ini tidak layak dibaca oleh orang yang tidak percaya pada Cinta”, demikian Nurani Soyomukti menegaskan sebelum Anda membaca uraian kata-kata yang mencerahkan tetapi dikemas dengan bahasa yang tidak terlalu berat ini. Maka inilah buku filsafat Cinta yang akan membawa Anda pada pemahaman komprehensif tentang Cinta dan kisah kasih yang Anda jalin dalam kehidupan ini. Reflektif, humanis, enlighten, dan kaya akan landasan teoritik... Inilah ‘Ayat-Ayat Cinta Universal’ itu!"
=====================================


Sabtu, 07 Juni 2008

Resensi Buku "TIBET" di Media Indonesia (Sabtu/7 Juni 2008):

Tibet dalam Persaingan Cina dan Amerika Serikat (AS)

Oleh: Ahmad Zaenurrofik,
Peneliti di CSSR (Center for Social Science and Religion) Surabaya; sedang menyusun tesis di Program Magister Hukum di Universitas Negeri Jember


Judul: Revolusi Tibet (Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan
Tibet, Cina, dan Amerika Serikat)
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi Book, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2008
Tebal: iv + 136 hlm


Pada saat Tibet bergolak mulai pertengahan Maret 2008 lalu, masyarakat dunia banyak yang tidak tahu bahwa pemberontakan rakyat Tibet pernah terjadi pada 49 tahun sebelumnya. Tepatnya tanggal 10 Maret 1959, rakyat Tibet yang keba
nyakan para biksu yang disokong secara finansial dan persenjataan oleh Amerika Serikat (AS) melalui CIA (Central Intelligence Agency) melakukan pemberontakan. Pemberontakan tersebut gagal, tetapi perjuangan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) tetap dilakukan melalui kampanye politik dengan tokoh utama Dalai Lama yang berkeliling dan berkunjung ke negara-negara Barat.

Maka ada kepentingan AS di Tibet. Tak mengherankan ketika demonstrasi peringatan Pemberontakan Tibet yang dilakukan dengan demonstrasi menapatkan reaksi dari Cina, AS sangat membesar-besarkan perlakuan Cina yang disebut ”represif” dan ”melanggar HAM”. AS juga mempelopori kampanye ”Boikot Olimpiade Beijing” tahun ini. Tujuannya agar Olimpiade 2008 Beijing gagal atau tercoreng. Sebagai bangsa yang kini tumbuh besar Cina akan merasa malu atau setidaknya pamornya bisa sedikit berkurang dalam pergaulan internasional, apalagi kalau tercorengnya dibumbui dengan citra sebagai pelanggar HAM. Tetapi itu adalah tujuan AS melalui medianya, agar Cina harus menyelesaikan pekerjaan politik yang berat ini. Kasus-kasus semacam Tibet diharapkan akan menyita tenaga Cina sehingga pertumbuhannya juga sedikit terganggu.

Buku ”Revolusi Tibet: Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan Tibet, Cina, dan Amerika Serikat” karya Nurani Soyomukti ini merupakan uraian yang cukup menarik dalam menganalisa berbagai macam kekuatan politik dan kentingan yang menyebabkan Tibet bergolak mulai pertengahan Maret 2008, setelah pada rahun 1959 juga pernah membara dengan terjadinya pemberontakan rakyat Tibet terhadap Cina. Perjuangan Tibet untuk melepaskan diri dari Cina nampaknya akan bangkit lagi.

Ketika belakangan ini Tibet kembali bergejolak, tentu saja hal itu bukan semata-mata terjadi melalui gerakan rakyatnya, tetapi memang telah direncanakan bersamaan dengan upaya yang sistematis untuk meluncurkan gerakan kembali protest rakyat Tibet dan jaringannya, dibarengi dengan blow-up media yang besar-besaran. Dan tak mungkin Amerika Serikat (AS) tidak bermain di sana.

Dalam memandang masalah Tibet, media memang memblow-upnya secara besar-besaran. Cina ditempatkan sebagai tertuduh oleh banyak pihak, sementara pihak demonstran Tibet yang memulai aksinya pada 10 Maret 2008—dalam rangka memperingati Pemberontakan Tibet (yang dibantu oleh CIA/AS)—mendapatkan simpati pada hal jelas-jelas mereka memang melakukan tindakan anarkis. Artinya, tindakan anarkis oleh rakyat Tibet tidak diangkat oleh media, agar memunculkan opini bahwa memang pada dasarnya pemerintah Cinalah (melalui aparatnya) yang represif. Dengan tujuannya adalah munculnya keyakinan dogmatis bahwa Tibet benar-benar ditindas oleh Cina. Hal ini akan membantu dan bahkan menyembunyikan seakan-akan bantuan AS murni dilandasi oleh idealisme dalam membela HAM, pada hal dalam sejarah perjuangan HAM AS selalu bermakna standar ganda.

Naiknya Cina sebagai raksasa baru ekonomi dari kawasan Asia merupakan ancaman terhadap hegemoni AS di wilayah ini. Karenanya masalah Tibet tak lepas dari pengaruh wilayah ini. AS sejak awal berusaha berada di pihak Tibet dan tak henti-hentinya membantu perjuangan rakyat Tibet melepaskan diri dari Cina, mungkin kalau Tibet merdeka AS akan dapat masuk ke wilayah itu untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya.

AS dan negara Barat iri dengan Cina, sehingga ingin mempermalukan Cina melalui kasus Tibet—kesimpulan itulah yang diangkat oleh sebuah media online Inggris, Spiked. Dalam sebuah artikel yang berjudul "Using Tibet to Settle Ccores with China" dalam media tersebut, seorang penulis bernama Brendan O'Neill (Edisi Monday 17 March 2008) menyebutkan bahwa Barat hendak menggunakan kesempatan kali ini (masalah Tibet) untuk mempermalukan (humiliating) dan memojokkan RRC di mata dunia menjelang Olympiade.
Dan Tibet dijadikan alasan sekaligus sebagai tumbal ("bogeymen"). Skenarionya adalah bahwa obor Olimpiade yang direncanakan akan melewati Lhasa nantinya, di situlah provokasi hendak diciptakan. Harapannya, dengan terjadinya peristiwa di Tibet ini maka masyarakat internasional akan memboikot pesta Olympiade ini.

Analisa yang objektif mengenai Tibet tentunya harus melihat dari berbagai macam kepentingan yang bisa dianalisa dari pernyataan-pernyataan yang harus dikaitkan dengan bukti-bukti yang ada. Tiap-tiap negara, terutama antara Cina dan AS, yang telah melibatkan diri dalam pernyataan dan tindakan mengenai masalah Tibet tentunya memiliki kepentingan masing-masing.

Karenanya, buku ini mencoba menggali kebenaran sejarah konflik Tibet dengan melihat berbagai macam kepentingan yang bermain di sana, agar cara pandang kita mengenai masalah Tibet tidak berat sebelah. Dari buku yang tidak ebal inilah kita bisa memahami berbagai macam kepntingan, baik dari pihak Cina, Tibet dan Dalai Lama, serta AS sebagai negara yang harus terus mencengkeram sumber daya alam negara lain agar kapitalisme-imperialisme yang dijalankannya tidak mandeg.

Menutur Nurani Soyomukti, hak menentukan nasib sendiri (self-determination) adalah harga mati dalam politik pergaulan antar bangsa. Tetapi apakah setelah Tibet merdekan akan terjadi pemenuhan hak-hak rakyat Tibet. Atau jangan-jangan setelah Tibet lepas dari Cina, modal AS akan masuk sehingga segala kandungan bumi Tibet menjadi milik modal internasional, aset medis tradisional Tibet akan menjadi hak paten kapirtalis farmasi, atau kedepannya pandangan ekologis Buddhisme akan enyah oleh ideologi ekploitatif kapitalisme neoliberal yang akan dipaksakan Amerika Serikat (hlm. 123).

Penulis juga menguraikan kehidupan para Lama, terutama Dalai Lama ke-14 yang merupakan sosok yang sangat dekat dengan AS, bahkan beberapa kali pernah bertemu Bush—seorang presiden AS yang kini banyak disorot karena kejahatan perangnya. Konon Dalai Lama adalah pejuang cinta damai, tetapi berdekatan dengan Bush yang merupakan “Penjahat Perang”, pembunuh anak-anak dan Ibu-ibu di Irak, mungkin akan menentukan cerita yang lain.
Dan penulis nampaknya cukup berhasil dalam menunaikan tugasnya meskipun buku ini cukup tipis. Yang terpenting adalah informasi dan analisa yang objktif dan tidak berat sebelah, yang membawa pembaca pada apa yang sebenarnya terjadi di Tibet di tengah percaturan politik dunia yang terus merangkak.[*]

Kamis, 05 Juni 2008

Dimuat di RADAR SURABAYA/Selasa, 2 Juni 2008:

Hedonisme Perempuan
dalam Kebudayaan Kapitalis



Oleh: Nurani Soyomukti,
Pustakawan di Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA)—sebuah Lembaga Studi dan Aksi untuk Kebudayaan Literer—Kota Surabaya


Konon ada seorang perempuan artis-selebritis yang menghabiskan biaya dandan sekitar 100 juta tiap bulannya. Ketika Sang Diva tampil di atas panggung dengan dua lagu saja, ia mendapatkan bayaran (honor) dengan jumlah yang tak pernah
didapat oleh buruh perempuan yang bekerja selama setahun. Hubungan antara pendapatan dan tingkat konsumsi memang berkaitan.

Kebiasaan berbelanja dan mendandani tubuh awalnya memang merupakan kebiasaan perempuan elit feudal: mereka dipaksa memoles mukanya dengan kosmetik agar sang raja senang, perempuan-perempuan yang hanya dinikmati tubuhnya oleh penguasa kerajaan untuk melengkapi (narsisme) kekuasaannya. Perempuan yang rajin mendandani tubuh dan mengenakan pakaian bagus dan hiasan emas ini adalah murni pelayan (pure servant—“servant” dalam bahasa Inggris artinya “pembantu”). Tentu saja mereka adalah sedikit sekali perempuan di jaman kerajaan karena sebagian besar perempuan lainnya tak memiliki pakaian sebagus itu, bahkan hanya berpakaian seadanya (sewek atau kemben yang menutupi dada hingga betisnya).

Setelah feudal kerajaan runtuh, titik ekstrim antara perempuan kaum elit dan perempuan rakyat jelata semakin parah. Para perempuan yang menjadi istri atau anak (perempuan) laki-laki kapitalis mampu membeli apa saja yang diinginkan. Dengan menjadi pelayan suaminya yang kaya, ia mendapatkan sogokan ekonomis yang besar, yang memungkinkan mereka memiliki banyak uang untuk belanja. Perempuan bekerja melayani laki-laki dengan dan demi gaya hidup, agar bisa tampil cantik dan dipuji banyak orang karena kecantikannya. Dan didandaninya tubuh dan dibuat-buatlah pencitraan dirinya agar ia dapat menarik laki-laki yang kaya.

Citra diri dilengkapi dengan gaya hidup dan tindakan mengkonsumsi positional goods. Mereka memang mengonsumsi/mengkoleksi buku-buku, film-film, barang-barang bagus dan branded goodies—tetapi semuanya hanya untuk menunjukkan gaya hidup dan mencipta citra (merayakan narsisme). Benda-benda itu, bagi mereka, dianggap sebagai penanda bagi ‘kekayaan” hidupnya.

‘Hawa-Hawa Parasit’
Menurut Featherstone (2002), “mereka akan selalu berupaya untuk meningkatkan otonomi bidang budaya serta menambah langkanya kapital budaya dengan cara menolak demokratisasi budaya.” Dari sinilah, kebebasan dan kenyamanan hanya dinikmati oleh sedikit kaum perempuan kaya, sedangkan perempuan miskin banyak yang teraniaya. Inilah yang disebut ketidakdemokratisan kebudayaan kapitalis bagi kaum perempuan.


Kaum perempuan borjuis—atau yang ‘sok’borjuis—adalah barisan dari kalangan parasit dalam kelasnya yang hanya mengharap belas kasihan dari laki-laki, berharap menemukan pasangan hidup yang kaya sehingga status kian meningkat. Merekalah yang sering disebut sebagai “parasist eves” (‘hawa-hawa parasit’)—bahasa kasarnya: pelacur papan atas. Ketakutan utama mereka adalah kalau tidak bisa bertahan hidup dengan menunjukkan kecantikan tubuh dan citra diri narsistik, dan ketakutan itu dibayar dengan kerja rekayasa yang keras agar dapat mendapatkan laki-laki kaya atau kerja-kerja apa saja yang menghasilkan penghasilan tetap. Mereka hanya menyadari potensi tubuhnya dan kecerdasan artifisialnya yang hanya relevan untuk merayu, melayani, dan memanipulasi hubungan sejati.

“Parasite Eve”—entah identik dengan istilah yang dibuat Ayu Utami (‘Parasit Lajang’) atau tidak—adalah penyangga berlangsungnya kebudayaan manipulatif dalam menyokong tatanan material kapitalisme yang memang mengeksploitasi kerja-kerja produktif untuk dieksploitasi dan tiada dihargai. Betapa banyak pengagum kaum perempuan yang hanya tampil cantik (entah mereka punya otak atau tidak)!

Hal itu mendustai bahwa dalam sejarah kaum perempuan adalah makhluk yang produktif dan menegaskan peran mereka sebagai pengayom kehidupan (pro-life). Pada jaman dulu, sementara kaum laki-laki di jaman dulu lebih disibukkan dengan pekerjaan berburu dan membunuh hewan-hewan di di hutan-hutan dan menebangi pohon-pohon, pada saat yang sama kaum perempuan disibukkan dengan usaha pertanian, bumbu-bumbu masakan yang dibutuhkan bagi keperluan hidup sehari-hari, dan peralatan-peralatan masak lainnya. Artinya, kaum perempuan berhasil menemukan teknologi bagi keberlangsungan hidup, kesehatan, dan pertumbuhan manusia.

Sebagaimana dikisahkan Nawal El Sadawi dalam buku “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan”, perempuan-perempuan Mesir kuno adalah nenek moyang penemu kebudayaan bercocok tanam di Mesir di sepanjang pesisir sungai Nil. Di antara mereka bahkan ada yang dikenal dalam sejarah kemanusiaan yang disimbolkan sebagai dewi langit yaitu Nut, dewi hikmah yaitu Izis, dewi keadilan yaitu M’ât, dan dewi kedokteran yaitu Sekhmet. Kaum perempuan Mesir waktu itu benar-benar leluasa untuk melakukan aktifitas yang produktif dan kreatif. Mereka tidaklah terkekang oleh hijab ataupun tembok-tembok kokoh rumah dan dapur. Akan tetapi di antara perempuan ada yang menjadi pemikir, ahli filsafat, ahli ilmu pengetahuan dalam disiplin ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu arsitektur, ilmu perundang-undangan sosial, politik, ekonomi, strategi perang, dan ilmu perdamaian.

Memang telah muncul masyarakat modern yang memungkinkan keterlibatan kaum perempuan berpartisipasi dalam ranah publik, baik sector industri maupun pengambilan keputusan (sosial-politik). Tetapi aturan yang diberlakukan (biasanya dikukuhkan secara legal oleh Negara) juga masih tetap diskriminatif. Bahkan dalam masyarakat yang telah menuju fase industri (kapitalis), keterlibatan perempuan di sektor industri dapat dikatakan lebih banyak dari pada laki-laki. Tetapi seringkali imbalan dan pendapatan yang diperoleh juga masih dibedakan daripada laki-laki.

Di Indonesia, sektor industri membutuhkan lebih banyak perempuan untuk kerja di pabrik-pabrik daripada laki-laki. Upah mereka lebih rendah, bahkan terlalu rendah dan tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Industrialisasi kapitalis memang menarget kaum perempuan dalam menjalankan proses produksinya. Modal asing begitu senang menanamkan modalnya di Indonesia karena buruh perempuan Indonesia dapat diupah dengan biaya murah, sangat jauh dibanding buruh-buruh perempuan di Negara-negara Barat.
Selain itu, bagi pemilik modal yang menjalankan industri, perempuan merupakan sasaran pasar yang lebih potensial daripada laki-laki. Perempuan yang berjumlah lebih banyak daripada laki-laki adalah konsumen yang diharapkan akan menjadi pembeli produk-produk yang dihasilkan untuk mencari keuntungan. Tak heran jika kebanyakan iklan lebih banyak mempengaruhi kaum perempuan daripada laki-laki.***

______________________
*)Nurani Soyomukti, peraih penghargaan penulis muda dan Juara Umum I Lomba Esai Pemuda Tingkat Nasional Menpora tahun ini (2007); penulis buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Aruzzmedia, Yogyakarta 2008); “Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme” (Garasi Book, Yogyakarta 2008); “Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Politik Radikal” (Resist Book, Yogyakarta, 2007)”; “Revolusi Sandinista: Perjuangan Tanpa Akhir Melawan Neoliberalisme” (Garasi Book, Yogyakarta 2008)”; ”Hugo Chavez Vs. Amerika Serikat (Garasi Book, Yogyakarta 2008).

Senin, 02 Juni 2008

Catatan Budaya:

Dehumanisasi “Pacaran”
Oleh: Nurani Soyomukti

Sayangnya, dalam p
acaran di kalangan remaja dan mahasiswa, kadang juga tak seromantis sebagaimana buku-buku dan artikel-artikel panduan pacaran. Dalam banyak kasus, pacaran di kalangan mahasiswa juga banyak diwarnai dengan berbagai macam penyimpangan. Berikut ini saya gambarkan berbagai macam akibat negatif yang ditimbulkan oleh hubungan pacaran antara lain:

(1) Kegiatan Produktif Hilang
Manusia yang berguna pastilah orang yang banyak berproduksi, menghasilkan sesuatu yang dapat bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun o
rang lain. Produktifitas mahasiswa adalah menghasilkan karya ilmiah, kreativitas, dan aktivitas yang berguna bagi pembangunan kualitas diri dan pembangunan masyarakat. Sebagai mahasiswa kamu harus baca buku, memahami suatu masalah dan informasi yanga ada, berdiskusi, melahirkan gagasan tertulis (menulis) maupun ucapan yang berkualitas. Kalau tak ada hasil semacam itu, maka kamu bukan mahasiswa yang produktif. Percuma banyak uang yang dikeluarkan orangtuamu, tetapi hasilnya tak ada.

Tidak sedikit kegiatan pacaran yang menyita waktu dan membuat kamu kehilangan kesempatan bagi kegiatan-kegiatan yang produktif. Pikiranmu terkuras untuk memikirkan pacar kamu, apalagi saat hubungan tengah mengalami dinamika yang yang membuat perasaan dan pikiran kamu terkuras. Saat hubungan cinta menjadi romantis, apalagi yang melibatkan seks, kamu bahkan tak bisa memikirkan hal lain selain bagaimana supaya bisa dekat terus dengan pacar kamu.

Saya tertawa dan “jijik” melihat mahasiswa sekarang yang kegiatannya hanya menghabiskan waktu berdua bersama pacarnya. Bayangkan, kuliah duduk bareng, pulang bareng, makan bareng, lalu pulang menuju kos (tak jarang yang melakukan aktivitas seksual seperti layaknya suami istri). Baru setelah libido tersalurkan, bosan lalu berpisah dan baru berinteraksi dengan yang lain atau mengurusi urusan kuliah. Kuliah seakan hanya sampingan, yang penting adalah bagaimana menghabiskan waktu hanya pacaran.

Pada hal, kamu tentu paham, interaksi dengan orang yang itu-itu saja (pacar) tidak akan membuat otak kamu berkembang—tak akan menambah pengetahuan dan pengalaman kamu bertambah. Kemandegan pengetahuan dilembagakan dalam interaksi dua orang yang cuek pada pengetahuan baru gara-gara keduanya hanya sibuk mengurusi hal-hal untuk melampiaskan kebutuhan-kebutuhan sempitnya.

Bayangkan, kedua orang yang tanpa pengetahuan dan wawasan bisa jadi sepakat untuk menikah dan membangun rumaahtangga. Maka dapat dipastikan anak-anak dan cucu-cucunya (keturunannya) juga akan mewarisi kebodohan, mengingat sosialisasi pengetahuan itu juga didapat dari keluarga. Keluarga yang berkualitas akan melahirkan generasi yang berkualitas.

(2) Kekerasan dan Ketergantungan
Tak jarang pacaran menjadi ajang bagi hubungan dominasi. Dan dominasi adalah awal bagi terjadinya kekerasan dan penindasan. Pihak perempuanlah yang biasanya berada pada pihak yang tertindas. Mereka jadi korban kekerasan, mulai kekerasan emosional hingga kekerasan fisikal.

Kekerasan emosional, misalnya, pihak cowok seringkali memasung si cewek. Si cowok posesif dan cemburuan. Dan seringkali memaksakan keinginannya kepada si cewek, suka mengatur.
Saya heran pada saat saya mendengar cerita dari seorang kawan perempuan. Dia punya teman, sebut saja namanya Bunga. Bunga punya seorang cowok yang sangat posesif. Bayangkan, si Bunga dilarang menyimpan no HP selain nomer si cowok, nomer orangtuanya, dan 3 orang temannya. Si Bunga tidak boleh keluar kecuali dengan si cowok dan kalau ada acara harus ijin atau memberi informasi pada si cowok.
Mendengar cerita ini saya hanya bisa menyeletuk: “Kok kayak Bapaknya saja!”

Dan, menurut saya, Bunga bukan satu-satunya remaja yang jadi korban kekerasan (“fasisme” dan “kediktatoran”) dari hubungan eksklusif yang bernama pacaran. Tidak jarang juga terjadi pemerkosaan dalam pacaran. Si cewek diajak untuk melakukan kegiatan seksual, kadang dipaksa kalau tidak kamu. Tidak jarang upaya untuk mendapatkan kepuasan seksual dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari “rayuan gombal”, penipuan, hingga pemaksaan atau tindakan licik seperti memasukkan obat perangsang dalam nimuman si cewek.

Model hubungan semacam itu pada akhirnya bahkan berakibat fatal karena efek kekerasan akan mengakibatkan dampak psikologis di kalangan remaja perempuan. Para remaja perempuan yang sudah tidak perawan dan kemudian dicampakkan oleh cowoknya pada akhirnya masuk pada lubang hitam kehidupan, di mana ia sudah menganggap dirinya tak berguna. Hal itu dapat mengakibatkan si cewek terjerumus pada prostitusi. Masalahnya seks adalah kegiatan yang menyebabkan adiksi (ketagihan). Kalau orang sudernah menikmati seks, ia selalu ingin mengulanginya. Kalau si cewek sudah dicampakkan oleh cowoknya, maka ia akan kebingungan dan ia ingin mencari cowok lain. Apalagi, setelah ketahuan sudah tak perawan, biasanya cewek dipandang “rendah”. Cowok mendatangi “cewek” semacam itu pasti hanya untuk mudah mendapatkan seks.

Kejijikan si cewek pada tubuhnya sendiri (yang sudah tak virgin) dan kebencian pada laki-laki (akibat pengalaman cowoknya yang “kurang-ajar”) tak jarang membuat cewek tak percaya lagi pada cinta, kepercayaan, dan kebaikan. Tubuhnya sendiripun dianggap lagi tak berguna. Maka iapun berusaha menjual tubuhnya untuk kesenangan dan diperjualkan—dari kondisi semacam ini salah satu sebab kenapa perempuan menjadi pelacur (prostituted).

Sebagai pelacur, iapun dianggap “sampah masyarakat”. Masa depannya tergantung pada berapa harga yang diberikan oleh laki-laki yang membelinya. Tak ada lagi cinta, yang ada hanyalah jual-beli tubuh. Tidak ada gunanya pikiran. Yang ada adalah harga fisik (seks). Pemahaman semacam ini juga memicu para anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk mengurusi tubuh agar tampil cantik dan seksi agar mereka “berharga mahal” dalam transaksi sosial dalam relasi antar-individu. Kondisi inilah yang menyebabkan langgengnya kapitalisme seksualitas era ini, yang ditandai dengan terjerumusnya para kaum muda dalam lubang seksualitas dan ketidakpercayaan pada cinta akibat gaya pacaran yang penuh dengan kepalsuan dan bahkan kekerasan.

Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (Domestic Violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada remaja, terutama kekerasan yang terjadi saat mereka sedang berpacaran (Kekerasan Dalam Pacaran/KDP) atau Dating Violence). Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan jender menemukan bahwa sejak tahun 1994-2001, dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani, 385 diantaranya adalah KDP (Komnas Perempuan, 2002).

PKBI Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2001 saja, terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan emosional, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi. Data yang lebih baru menunjukkan bahwa selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26,60 persen di antaranya adalah KDP dan perkosaan. Meskipun frekuensinya cenderung menurun, tetapi setiap tahun kedua kasus tersebut masih tetap terjadi di DI Yogyakarta.
Selama periode 1994-September 2007, rekapitulasi jumlah kasus KDP dan perkosaan yang masuk Rifka Annisa mencapai 965 kasus. Kejadian KDP yang terungkap tiap tahun minimal 20 kasus, sedangkan perkosaan lima kasus. [1]

KDP yang dimaksud meliputi segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan di luar hubungan pernikahan yang sah. Sementara itu, perkosaan adalah pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/tidak disukai hingga pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu.

(3) Latihan Kebohongan
Kebohongan merupakan gejala yang banyak terjadi sejak kepercayaan sulit dibangun akibat berkali-kali dikhianati. Hubungan yang hanya diikat oleh ketidakpercayaan, maka hubungan itu palsu. Dan pacaran sebenarnya adalah hubungan palsu, langgeng karena adanya kepentingan sempit maupun ketidaktahuan yang menghasilkan ketertundukan dan dominasi antara satu sama lain—biasanya laki-laki (cowok) yang mendominasi.

Karena pacaran bukan hubungan yang terikat secara formal (oleh hukum negara, adat, maupun agama—seperti pernikahan), maka memang rentan sekali untuk berpisah atau putus—atau sering disebut broken atau “putus cinta” [sic!]. Apalagi gejala pacaran sebenarnya tak lebih dari demam kaum remaja karena meniru tayangan-tayangan TV/film atau meniru lainnya. Kamu harus pacaran (punya pacar) gara-gara gengsi karena teman-temanmu lelakukannya, juga karena ada contoh-contoh dari sinetron dan film.

Coba, mari kita tanyakan? Sejak kapan sich gejala yang namanya pacaran itu muncul? Adakah artefak-artefak sejarahnya di masyarakat kita, sejak kapan fenomena pacaran itu muncul?
Kemungkinan besar, pacaran ditiru dari Barat, melalui film-film—awalnya adalah film Barat dan kemudian film Indonesia. Kisahnya pun selalu seputar pertemuan dan perpisahan, yambung-putus, nyambung-putus, dengan berbagai macam dinamika romantika yang ada. Kecemburuan, konformisme pada pasangan, menyenangkan dan beradaptasi pada pasangan (meskipun beradaptasi untuk sikap yang salah dan dipaksakan), dll, mempengaruhi watak dan membentuk kebiasaan.

“Yang, kamu sayang aku nggak sih?”
Bayangkan jika yang ditanya ini sebenarnya tidak tahu apa makna sayang atau cinta karena ia merasa tentram dengan pasangannya gara-gara ia hanya nyaman karena bisa “indah-indahan” dan ngeseks, toh nanti kalau sudah bosan juga bisa ditinggal dan cari lagi yang lain. Anggap saja ia adalah cowok/cewek playboy/playgirl. Kamu tentu tahu jawabannya:
“... Emmm, sayang dong!”
Ia terpaksa berbohong. Pada hal sebenarnya ia tak sepenuhnya sayang. Yang dibutuhkan hanyalah sentuhan fisikal yang menimbulkan sensasi-sensasi kesenangan seperti ciumannya, sentuhannya, pelukannya, dan selangkangannya. Kalau tidak menjawab “sayang”, nanti sang pacar bisa marah dan kalau sudah marah akan sulit untuk dirayu agar menyerahkan tubuhnya.
Serba sulit memang membedakan antara ketulusan dan tindakan yang direncanakan dalam masalah hubungan yang telah mengarah pada relasi fisikal. Ketergantungan pada kenikmatan fisik dengan pasangan (pacar) biasanya telah menghapus pertimbangan-pertimbangan rasional. Kebiasaan mengucapkan kata “aku cinta kamu” pada saat menginginkan kenikmatan fisik nampak sudah tertanam dalam alam bawah sadar.

Kata-kata dikendalikan oleh nafsu dan kebiasaan merayu dengan kata-kata manis dan indah juga telah diketahui menjadi senjata para “playboy” atau “playgirl” untuk memudahkan mendapatkan penyatuan cinta palsu semacam pacaran atau hubungan yang dibuat-buat untuk melampiaskan tuntutan nafsu. Sekali lagi, cinta bukanlah seks, meski seks bisa membangun langgengnya cinta—biasanya dalam kasus dua orang yang sudah menikah.

Tetapi, sekali lagi, cinta sejati tak dapat kita letakkan hanya pada hubungan eksklusif semacam pacaran atau pernikahan. Kedua hubungan “kecil” dan “sempit” itu adalah pelarian bagi manusia-manusia yang gagap menghadapi kehidupan. Dan hanya untuk keperluan kebutuhan sempit itulah, lembaga hubungan bernama pacaran dan pernikahan established dalam peradaban yang kontradiktif bagi hubungan universal yang luas.

(4) Cuek Pada Masa Depan
Dunia bergerak dan dunia berubah. Para pelaku pacaran yang sibuk mengurusi “keindahan berdua” bukan hanya lupa bahwa dunia bergerak dan ruang hidup ini luas untuk dijelaskan. Mereka berdua bahkan juga lupa bahwa waktu juga bergerak seiring nafsu mereka yang kian mendekat dalam hubungan eksklusif.

Dan dapat diduga, tidak jarang pacaran selalu mempercepat jalan menuju pernikahan—entah itu melalui cara normal maupun MBA (marriage by accident) karena seksualitas sebagai aktivitas reproduktif membuat si cewek hamil. Mahasiswa yang keburu hamil tentunya akan kerepotan untuk menunaikan tugas-tugas kuliahnya di kampus. Di antara mereka ada yang cuti untuk menunggu lahirnya bayi dan pulihnya kesehatan tubuh si cewek mahasiswa (mahasiswi). Si cowok, sang pacar yang terpaksa menjadi sang suami, juga terpaksa harus berhenti meninggalkan aktivitas-aktivitas pembelajaran. Untuk membangun keluarga, dengan hadirnya si bayi, ia harus fokus mendapatkan penghasilan (pekerjaan).

Dalam kasus itu, pacaran lebih banyak membuat mahasiswa lupa pada masa depan yang panjang dari posisi dan perannya. Ia bukan hanya lupa sejarah dan kehilangan ruang, tapi juga kehilangan waktu untuk menjadi manusia yang bebas-merdeka dan punya peran dalam sejarah.

Menghidupi istri dan anak tidak mudah. Ekonomipun terpaksa tergantung pada orangtua. Mencari pekerjaanpun tak bisa menggunakan ijazah sarjana, karena ia harus mencari kerja karena kuliahnya belum lulus. Mengurusi rumahtangga bukan pekerjaan yang mudah.

Bagi mereka yang tetap terlena dalam hubungan pacaran saja, juga terus saja mengabdikan hidupnya untuk kesenangan seksual. Ketika pacarnya (si cewek) hamil, aborsipun dilakukan karena tidak mau terburu-buru menikah—terutama karena syarat-syarat material-ekonomis yang jelas belum siap. Aborsi daalam pacaran telah mengingkari hak janin untuk menikmati kehidupan sebagai manusia yang tumbuh. Para pembunuh janin dan bayi adalah para mahasiswa yang cara pandangnya cupet dan tindakannya (sebagai mahasiswa) hanya untuk mengejar romantika pacaran dan perayaan seksualitas yang memundurkan keberadaannya sebagai makhluk yang bernama manusia.***



[1] ”Perempuan Rawan Alami Kekerasan dalam Pacaran”, KOMPAS/ Rabu, 28 November 2007