Minggu, 11 Januari 2009

OPINI Dimuat di SUARA KARYA (Senin/12 Januari 2009):

(Oleh Nurani Soyomukti)

Anak-Anak, Perang, dan Terorisme

Serangan Israel ke Jalur Gaza dan wilayah-wilayah lain di Palestina benar-benar menimbulkan dampak kemanusiaan yang luar biasa. Yang paling disayangkan adalah ketika serangan itu juga memangsa anak-anak yang tak berdosa, yang seharusnya mendapatkan suasana yang damai dan sejahtera bagi perkembangannya.

Sekitar 50 persen penduduk Jalur Gaza adalah anak-anak. Dari korban tewas, 220 di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 17 tahun. Anak-anak yang selamat pun akan menghadapi masalah. Mereka terkejut, menangis, untuk sebuah alasan yang tidak mereka tahu karena ada yang berusia di bawah lima tahun. Masalah yang dihadapi anak-an

ak akan meningkat karena keluarga mereka terpaksa melarikan diri menghindari serangan dan sebagian rumah mereka telah rata dengan tanah. Pada hal sebelum serangan Israel, sekitar 50.000 anak Palestina sudah kekurangan gizi akibat blokade Israel selama 18 bulan terakhir di Jalur Gaza (Kompas, 08/01/2009).

Selain itu, jika tuduhan Israel benar bahwa Hamas melibatkan pasukan ‘jihad’ yang terdiri dari anak-anak, kita juga menyayangkan keberadaan anak-anak yang dilibatkan dalam Perang. Masalahnya, di dalam konflik dan perang yang ada hanyalah kebencian dan dendam. Anak-anak Palestina telah lama kehilangan bapak dan ibunya, juga tanahnya, dan mereka telah ditanamkan kebencian yang mendalam pada Israel. tak sedikit anak-anak yang telah didoktrin untuk menjadi pasukan jihad dan rela mati m

elakukan peledakan bom bunuh diri demi menunjukkan perlawanannya pada Israel.

Fenomena Global

Yang seharusnya dipahami oleh kita semua adalah bahwa gejala itu ternyata bukan hanya terjadi di Gaza. Anak-anak di kawasan dunia lainnya juga masih mengalami nasib yang sama akibat kejahatan politik, perang, dan konflik. Di tahun 2008 lalu, misalnya, Junta militer Myanmar ternyata juga merekrut anak-anak untuk dipaksa menjadi tentara gara-gara junta kehabisan tentara setelah tindakan keras terhadap protes-protes pr

o-demokrasi yang terjadi di negeri itu. Anak-anak berusia 10 tahun telah direkrut menjadi barisan tentara. Bahkan konon cara perekrutannya adalah dengan cara membeli anak-anak tersebut dan anak-anak juga ditahan dan dipukuli pada saat melakukan perlawanan.

Menurut Badan Pengawas HAM, seorang anak yang direkrut pada usia 11 tahun mengatakan kepada lembaga ini bahwa dia gagal tes fisik rekrutmen karena tinggi badannya hanya 1,3 meter dan beratnya 31 kilogram. Namun perekrutnya menyuap pejabat medis un

tuk menjamin dia lolos rekrutmen. Pada 2005, rekrutmen baru diperjual-belikan seharga 25.000 sampai 50.000 kyat, atau kurang dari Rp 180 ribu sampai Rp 360 ribu dan jumlah itu merupakan satu setengah atau lebih dari tiga kali lipat gaji bulanan seorang tentara.

Dalam sejarah kekerasan terhadap anak di berbagai negara, berita itu bukanlah pertama kali. Anak-anak di Amerika Latin pada jaman kediktatoran menjadi korban pembantaian pemerintah militeristik, dan juga direkrut secara paksa dalam wajib militer untuk menghadapi gerilyawan yang berupaya melawan penindasan rejim—seperti terjadi di Ekua

dor. Anak-anak di Irak dan Afghanistan terbunuh oleh bombardir bom Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, bangunan-bangunan sekolah mereka juga hancur, bapak-ibunya juga mati. Yang tersisa di kepala dan hati anak-anak ini adalah dendam.

Merekapun bergabung pada gerombolan gerilyawan anti-Amerika Serikat yang sayangnya didoktrin dengan pandangan-pandangan teroristik, anti-universalisme, dan sentimen k

elompok yang keras. Anak-anak inipun menjadi pasukan bom bunuh diri (seperti di Irak dan Timur Tengah). Dan cara pandang merekapun tertutup dari kebenaran universal, mereka menjadi bagian dari mesin-mesin kekerasan yang ikut meramaikan politik kekerasan global era ini.

Berbagai macam

kantong-kantong kekerasan dan perang global di beberapa belahan dunia juga menyeret anak-anak kita terlibat dalam doktrinasi kekerasan. Cara pandang menghalalkan kekerasan telah disuntikkan pada benak dan perasaan anak-anak itu. Perang dan imperialism telah menjauhkan anak-anak dari perhatian orangtua atau orang dekat yang dapat mengasihinya.

Seperti di gambarkan dalam film “Blood Diamond” yang dibintangi oleh Leonardo Decaprio, seorang anak bernama Dia telah terpisahkan dari ayah dan ibunya karena diculik oleh kelompok bersenjata. Dia awalnya adalah seorang anak yang bercita-cita menjadi dokter s

ebagaimana diinginkan oleh ayahnya juga. Di kamp para penculik anak ini, bersama anak-anak lainnya, dilatih untuk membunuh dan otaknya didoktrin dengan kekerasan dan kekejaman. Latihan membunuh pertama adalah menembak orang yang masih dalam keadaan hidup, tanpa diberitahu siapakah orang itu. Seiring dengan perjalanan waktu, Dia pun menjadi remaja yang telah terlatih untuk membunuh dengan doktrin untuk merebut kekuasaan. Tugas pertama adalah merebut suatu daerah penambangan emas di daerah Siera Lion, Afrika.

Gambaran kekejaman orang tua yang mengajari anak-anak untuk membenci dan memusuhi kelompok lain semacam itu adalah racun bagi anak-anak. Bagaimanapun anak-anak adalah milik dunia dan mereka harus tumbuh menjadi sosok yang punya kesadaran universal tentang manusia dan hubungan-hubungannya. Anak-anak harus kita cega

h untuk membenci tetapi harus kita ajari untuk mencintai dan terlibat dalam peran yang produktif bagi pembangunan peradaban.

Pertama-tama yang harus kita cegah adalah perang dan konflik, serta penyebab dari konflik itu harus kita pahami dan kita atasi bersama. Ki

ta menyerang penjajahan dan perampasan hak, tetapi kita juga harus mencegah reaksi yang bermakna dendam bagi anak-anak. Setiap tindakan yang merampas hak-hak anak dan melukai anak harus kita kutuk. Dan yang lebih penting kita harus membukakan mata hati anak tentang apa yang sebenarnya terjadi dan tidak boleh hanya dari cara pandang satu pihak yang penuh doktrin untuk mendukung kepentingan yang sempit.

Konflik dan perang di Gaza bukanlah perang agama, itulah yang tetap harus kita ajarkan pada anak-anak. Konflik di sana adalah konflik yang didorong oleh kepentingan ekonomi dan imperialisme. Karenanya anak-anak tidak perlu mati atas nama agama dengan cara melakukan bom bunuh diri hanya atas nama agama dan dendam karena orangtuanya telah dibantai oleh Israel. Tetapi anak-anak harus kita selamatkan pada saat kita semua juga harus bergabung dengan gerakan demokrasi dan HAM untuk mengutuk serangan aanti-HAM yang dilakukan oleh imperialis Israel. Gerakan menyelamatkan anak-anak Gaza harus jadi bagian dari gerakan demokrasi dan HAM.***

-----------------------------------

Tidak ada komentar: