Minggu, 18 Januari 2009

Resensi Buku Nurani Soyomukti di KORAN PAK OLES, 16 Januari 2009:

Dehumanisasi Model Pendidikan Kapitalis

Judul: Metode Pendidikan Marxis Sosialis: Antara Teori dan Praktik
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Ar-Ruzz Media,
Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2008
Tebal: 316 Halaman
Peresensi: Khoridatul Anisah*

Pendidikan, umumnya dipahami sebagai kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan berwatak netral atau bebas nilai. Pandangan ini masih dominan hingga saat ini meskipun tiga dasawarsa yang lalu telah dibongkar oleh Paulo Freire dan Ivan Tillich. Keduanya memandang bahwa penindasan dan selubung nilai yang halus senantiasa berusaha ditanamkan dalam kesadaran semua yang terlibat dalam aktivitas pendidikan. Pendidikan bukan merupakan konsep yang bebas nilai.

Nilai-nilai ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan, ideologi, dan kepentingan dari pemangku kepentingan pendidikan tersebut. Pendidikan ibarat perahu kecil yang terjepit di antara dua karang besar yakni, apakah pendidikan akan memberikan dan mengukuhkan dominasi atas selubung dan ilusi penindasan tersebut, ataukah pendidikan menjadi sarana pembebasan atas dominasi dan penindasan yang telah mapan.

Nurani Soyomukti berusaha untuk melanjutkan tradisi kritik atas dominasi dan penindasan model pendidikan kapitalis yang telah mapan. Sebelum membongkar borok model pendidikan kapitalis, penulis menancapkan dasar berpikir yang sangat dipengaruhi oleh teori-teori Karl Marx seperti filsafat materialisme dialektika dan konsep-konsep ekonomi Marxis. Laiknya pengikut tradisi Marxis yang setia, penulis menempatkan ekonomi sebagai faktor determinan yang berfungsi menjadi basis penyangga, dan pendidikan sebagai bangunan atas atau supra struktur.

Corak produksi masyarakat yang kapitalis, menentukan bangunan pendidikan di atasnya akan seperti apa. Pendidikan berfungsi untuk melayani dan menstabilkan corak produksi tersebut. Secara sukarela dan tanpa sadar banyak dari kita yang menjadi pelayan bagi kepentingan kapitalis yang masuk lewat penidikan. Ketundukan sukarela untuk melayani kepentingan kapital inilah yang oleh Gramsci diistilahkan sebagai hegemoni.

Termanifestasi dalam pendidikan, hegemoni mengambil bentuk melalui kurikulum sebagai media yang sangat penting untuk mereproduksi cara pandang yang sesuai dengan kapitalisme. Semua sekolah kapitalis memiliki “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum) untuk tujuan memaksakan ideologi kapitalis masuk kelas. Kurikulum tersembunyi di sekolah merujuk pada norma-norma, nilai-nilai, dan sikap di bawah sadar yang seringkali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi sosial di sekolah dan kelas. Dengan menekankan pada aturan konformitas, pasifitas, dan ketertundukan, hidden curriculum menjadi salah satu media sosialisasi yang kuat dan dapat berguna untuk memproduksi model-model pribadi yang siap menerima hubungan sosial dan sruktur kekuasaan yang sedang bekerja.

Kurikulum menentukan pelajaran apa yang harus diberikan pada murid dan apa yang harus diajarkan guru. Hal itu juga akan menentukan apa yang dimasukkan pada pikiran anak didik dan guru, akhirnya juga pengetahuan apa dan macam apa (di mana keberpihakannya) yang harus diajarkan di sekolah. Kurikulum dalam pengertian modern dipahami sebagai himpunan pengalaman peserta didik yang menjadi objek pembahasan dan praktek belajar mengajar. Subjek materi dan proses belajar mengajar dalam kurikulum seharusnya bersumber dari dari realitas konkrit keseharian peserta didik sendiri.

Kurikulum tersembunyi bukan satu-satunya pangkal dehumanisasi model pendidikan kapitalis. Komersialisasi pendidikan yang bermuara pada elitisme pendidikan juga menjadi biang keladi bahwa pendidikan telah berubah fungsinya karena tidak lagi mampu melayani kebutuhan dasar nan pokok masayarakat secara luas tanpa diskriminasi dan diakses dengan keluaran biaya yang rendah. Sekolah telah mengimitasi model organisasi perusahaan. Elemen-lemen pendidikan di sekolah tidak jauh berbeda dengan tata kelola perusahaan yang tujuan akhirnya adalah untuk berproduksi.Guru dipersonifikasikan sebagai manajer yang mempunyai otoritas dalam menentukan tujuan dan aktivitas apa yang dilakukan bagi anak didiknya, seperti manajer perusahaan yang mempunyai kewenangan menentukan tujuan produksi buruhnya. Murid yang mirip dengan buruh hanyalah obyek yang tunduk pada majikan. Upah buruh adalah gaji, sedangkan upah murid adalah nilai yang tertera dalam raport. Sama seperti buruh dalam kapitalisme, para murid juga mengalami alienasi dan ketertindasan dari hasil dan proses belajar yang ada (hal. 187).

Seolah tidak ingin terjebak dalam gaya koboi yang segera setelah menuntaskan kejahatan meninggalkan locus-nya, dan tidak memberikan alternatif jawaban yang konkrit, penulis tidak hanya saja melancarkan kritik terhadap model pendidikan kapitalis, namun juga menawarkan alternatif jawaban atas kritikannya tersebut. Sosialisme menjadi jawaban atas kritik yang dilancarkannya. Pendidikan sosialisme bertujuan untuk membongkar ilusi-ilusi kemapanan dan selubung penindasan supaya manusia bisa menemukan kembali kemanusiaannya yang telah tercerabut akibat proses pendidikan yang tidak humanis. Ini berarti tugas utama pendidikan sosialis adalah melakukan refleksi kritis terhadap ideologi dominan menuju ke arah transformasi sosial.

Membangun ruang kesadaran agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur keadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem pendidikan dan sosial yang lebih adil. Dengan lain perkataan, tugas pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.

Supaya tidak hanya menjadi angan kosong model ideal yang dicitakan, penulis melengkapi dengan capaian-capaian beberapa model pendidikan di negera-negara yang menganut atau pernah menganut paham sosialis ( hal. 203-240) seperti di Uni Soviet (sekarang Russia ), Cina , Kuba, dan Venezuela. Sejumlah data-data keberhasilan dan capaian yang cukup signifikan berhasil digapai oleh negara-negara yang menganut model pendidikan sosialis tersebut. Di semua negara-negara tersebut, dari sisi anggaran pendidikan misalnya, mengalami lonjakan yang cukup fantastis. Sebutlah misalnya di Uni Soviet yang mengalami peningkatan anggaran sampai 10 kali lipat sejak rejim Bolshevik berkuasa. Demikian pula dengan capaian sumber daya manusia yang bisa diukur dari kuantitas maupun kualitas keluaran dari model lembaga pendidikan sosialis tersebut.

Buku yang disajikan dengan menggunakan paradigma kritis ini, secara jitu berhasil menelanjangi bangunan pendidikan kapitalis yang banyak mengandung ilusi-ilusi di dalamnya. Sebuah karya yang cukup provokatif mengenai pendidikan di tengah praktik pendidikan yang paradoksal di negeri kita.


*)Guru pada Madrasah Aliyah Persiapan Negeri Cimahi.
Koran Pak Oles/Edisi 167/16-31 Januari 2009

Tidak ada komentar: