Minggu, 04 Januari 2009

Resensi Buku "INTIMACY", Koran PKO (1 Januari 2009)

Mengatur Ritme Erotika

Oleh: Ahmad Zaenurrofik, Peneliti di CSSR (Center  for Social
Science and Religion) Surabaya;
sedang menyusun tesis di Program Master
Hukum di Universitas Negeri Jember


Judul Buku: “INTIMACY: Menjadikan Kebersamaan dalam

Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak sebagai

Surga Kehidupan”

Penulis: Nurani Soyomukti

Penerbit: Prestasi Pustaka, Jakarta

Cetakan: I, Oktober 2008

Tebal: xx+128 halaman

Peresensi: A. Zaenurrofik


Sadar atau tidak, manusia adalah makhluk yang erotis. Kita dapat melihat bagaimana yang awalnya yang berasal dari penyatuan itu merasa ingin selalu menyatu lagi, kesepian saat terpisah dan selalu rindu akan kembali. Kebiasaan kita intim dengan seseorang akan membuat kita sepi dan rindu saat terpisah darinya, terpisah seakan membuat kita tercerabut dari (akar) keberadaan kita sendiri. Seorang suami selalu ingin kembali saat pergi jauh dari istri, misalnya karena merantau untuk mencari uang guna menghidupi sang istri da anak-anaknya. Tentu saja karena ia telah terbiasa melakukan hubungan intim, menyatukan tubuhnya dengan istrinya, dalam sebuah rumah yang membuat ia nyaman dan menjadi tempat bernaung—seperti burung yang juga selalu kembali ke sarang.

Lihatlah betapa perkembangan anak tergantung pada kenyamanan fisikal dan psikologis (rasa aman dan nyaman) yang didapatkan dari Ibu pada awal-wal perkembangannya. Setelah keluar dari rahim dan hubungan badan itu dipisahkan setelah daging penghubung itu dipotong, bayi tetap saja mencari-cari tubuh ibu. Pertama-tama untuk menghubungkan fisiknya dengan fisik Ibu adalah dengan cara mencari-cari puting susu ibu untuk dimasukkan ke dalam mulutnya.

Dan siapapun ia, laki-laki atau perempuan, sepanjang umurnya instink untuk menyatukan diri ini tetap abadi. Inilah yang membuat saya begitu yakin bahwa kita ini adalah makhluk erotis, yang dikuasai instink untuk menyalurkan energy Eros dengan cara menyatukan diri dengan orang lain. Manifestasi Eros adalah pada kehendak untuk menyatukan diri melalui hubungan seksual (bersetubuh) dan yang berujung pada orgasme. Eros adalah instink positif yang mendasari rasa solidaritas dan pengalaman kebersamaan dengan sesame manusia. Kita seakan merasa sakit saat oang lain, terutama orang yang dekat dengan kita, disakiti.

Dasar itulah yang digunakan oleh Nurani Soyomukti untuk menguraikan pandangannya tentang hubungan intim dalam bukunya yang berjudul ”Intimacy” ini. Nuansa psikoanalisis (psikologi mendalam) ala Freud dan Erich Fromm nampaknya masih mendominasi pandangan penulis sebagaimana buku-bukunya yang lain. Misalnya penulis menggunakan teori tentang ’prinsip kesenangan’ dan ’prinsip realitas’ untuk memahami bagaimana dalam banyak hal hilangnya semangat keintiman banyak terjadi akibat sejak kecil manusia terbiasa untuk menyangkal kebutuhan-kebutuhannya, serta menjauhkan diri dari penyatuan akibat ketertekanan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Kemiskinan akibat kapitalisme didakwa sebagai penyebab hilangnya potensi keintiman dan kasih sayang dalam berbagai lembaga sosial, terutama keluarga. Akibat kemiskinan, misalnya, keluarga tercerai berai, istri tidak menghormati suami dan suami juga tertekan lalu melakukan kekerasan, anak-anakpun tak lagi diperhatikan (hlm. 12).

Nurani berangkat dari berbagai fakta yang kontradiktif di era modern, di mana di jaman di mana keterbukaan sudah terjadi akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, fragmentasi sosial masih terjadi bahkan dalam ranah hubungan ’eksklusif’ seperti pacaran dan pernikahan. Dalam pacaran misalnya, dikisahkan dalam buku ini, masih saja ada mahasiswa yang gaya pacarannya—menurut penulis—sangat ’menjijikkan’. Bayangkan, kuliah duduk bareng, pulang bareng, makan bareng, lalu pulang menuju kos (tak jarang yang melakukan aktivitas seksual seperti layaknya suami istri). Baru setelah libido tersalurkan, bosan lalu berpisah dan baru berinteraksi dengan yang lain atau mengurusi urusan seperti main game dan cangkrukan di pinggir jalan. Kuliah seakan hanya sampingan, yang penting adalah bagaimana menghabiskan waktu hanya pacaran dan ngesek. Libidonya hanya untuk tubuh pasangannya dan bukan pada pengetahuan (misteri dunia yang merangsang). Nafsunya tumpul pada gadis cantik yang bernama misteri kehidupan, yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai kekasihnya.

Pada hal, kita tentu paham, interaksi dengan orang yang itu-itu saja (pacar) tidak akan membuat otak kita berkembang—tak akan menambah pengetahuan dan pengalaman kita bertambah. Kemandegan pengetahuan dilembagakan dalam interaksi dua orang yang cuek pada pengetahuan baru gara-gara keduanya hanya sibuk mengurusi hal-hal untuk melampiaskan kebutuhan-kebutuhan sempitnya.

Bayangkan, kedua orang yang tanpa pengetahuan dan wawasan bisa jadi sepakat untuk menikah dan membangun rumahtangga. Maka dapat dipastikan anak-anak dan cucu-cucunya (keturunannya) juga akan mewarisi kebodohan, mengingat sosialisasi pengetahuan itu juga didapat dari keluarga. Keluarga yang berkualitas akan melahirkan generasi yang berkualitas. Itulah yang oleh penulis disebut keintiman yang tidak produktif. Pada hal cinta itu produktif dan bukan destruktif (hlm. 28).

Menguraikan berbagai bentuk keintiman yang hilang dan keintiman yang membodohkan (melenakan), penulis kemudian juga memberikan wawasan serta kiat-kiat dalam menciptakan bentuk keintiman yang humanis dan membuat masing-masing pihak menjadi produktif. Karena syarat-syarat hilangnya penindasan adalah hilangnya ketergantungan dan munculnya independensi, yang keduanya hanya mungkin jika masing-masing pihak sama-sama produktif. Produktifitas itulah kata kunci dari hubungan yang sehat dan intim dalam makna yang sebenarnya. Keintiman bukan suatu hal yang melemahkan dan melenakan, tetapi yang menguatkan. Karena organ tubuh manusia dalam berhubungan intim bukan hanya alat kelamin, tetapi juga suatu organ tubuh yang paling seksi, yaitu: OTAK!

Jadi pada tingkat tertentu, meskipun buku ini tipis, penulis telah berhasil menyuguhkan pandangannya bahwa mencintai itu membutuhkan kecerdasan. Kita akan mampu mencintai selama kita tahu, memahami, dan mengerti. Buku ini membawa kita pada pandangan yang lebih dalam tentang keintiman dan cinta, menolak anggapan awam bahwa “cinta itu buta”. Dan akhirnya mengajak kita untuk mengobati destruksi hubungan sosial dengan memulai dari hubungan yang lingkupnya kecil (pacaran, pernikahan, dan keluarga). Sebelum berkoar-koar untuk merubah tatanan makro sosial, ada baiknya kita memulai keindahan dan hubungan anti-penindasan dalam lingkup kecil kita.[]

--------------------------------------------

Tidak ada komentar: