Jumat, 30 Januari 2009

REFLEKSI BUDAYA, FILSAFAT:

(Hanya) Menjual Kecantikan!!!

Oleh Nurani

“Aku baru bangun tidur. Tadi mimpi meludahi muka Julia Perex, Dewi Bersisik, Dewi Tersandra, Asmirondho, Titi Kumal, Naysila Murtad, Maiyat Estianti, Marsandal, Mulan Jamahlah, dan Agnes Mounikah”.

(Sms dari Teman saya, Bejo)

“Wanita anggun jarang membuat sejarah”.

(Anita Borg)

“Cantik Itu Luka”.

(Eka Kurniawan, Sastrawan)

Esai ini bukan hanya riak-riak kecil dari bukuku yang akan terbit, “BEHIND THE SCENES” (Jakarta—Prestasi Pustaka, 2009), kisah tentang posisi selebritis dalam kapitalisme hiburan—(sebenarnya) juga dalam pertarungan kelas antara rakyat yang dimiskinkan dengan selebritis yang semakin pamer kemewahan dalam tatanan kapitalisme yang kian timpang!

Esai ini hanyalah ungkapan sentimentil. Barangkali! Intinya, kita dituntut untuk berpikir secara filsafati untuk melihat berbagai ekspresi budaya dan mencari makna dari dialektika material yang sebenarnya…

Julia Perex dan Dewi Bersisik

Seperti temanku Bejo, terus terang aku juga semakin muak dengan sederetan artis seperti Julia Perex, Dewi Bersisik, Luya Mana, Cinta Lora, dll, yang hanya mirip boneka bodoh yang menjual kecentilan. Maafkan aku dengan perasaan ini! Bagi kamu yang gak sependapat denganku, tidak apa-apa tak sepakat. Tapi aku punya pendapatku sendiri tentang nilai dan ukuran... ukuran tentang peran dan posisi seseorang yang hidup dalam pergulatan hidup di era kapitalisme ini. Aku terpaksa menilai mereka. Ya... karena mereka yang tiap hari ‘nongol’ di depan kita, berusaha menularkan nilai mereka.

Jadi sebut saja tulisan ini adalah perang nilai dan perang ideologi. Perang antara tulisan-tulisanku yang mendeligitimasi peran para enterteiner yang parasit dalam budaya borjuis-kapitalis, dengan mereka yang ingin menanamkan ideologi kapitalis melalui nilai-nilai secara terus-menerus. Media mereka TV, majalah gaul, cabul, dan yang agak cabul...

Nilai yang akan kudiskusikan adalah soal NILAI KECANTIKAN!

Model=Domba Tolol

Dewasa ini, kecantikan adalah nilai yang paling dipuja. Kontes kecantikan adalah salah satu contoh menyesatkan. Kontes ini membuat perempuan berpikir bahwa hal terpenting yang harus dikejar dalam hidup adalah menguasai tips kecantikan dan keahlian mencari jodoh. Lalu mereka menawarkan hadiah berupa beasiswa yang justru membuat keadaan sangat ironis karena para lelaki penonton acara kontes kecantikan itu rata-rata adalah penyuka perempuan yang bodoh. Menurut seorang pengamat relasi laki-laki-perempuan di Amerika, Serry Argov, kalau kita kritis sebenarnya kita akan perhatikan bahwa:

kontes kecantikan itu mirip banget sama pameran hewan ternak. Para peternak itu memamerkan sapi-sapi mereka dengan cara yang sama dengan para kontestan kecantikan. Mereka menggiring sapi…juara mereka ke tengah panggung di depan penonton dan para juri, dan mungkin bahkan memerintahkan sapi mereka beraksi sedikit di tengah panggung menunjukkan kebolehannya. Lalu, sapi-sapi yang menang akan diberi pita satin dengan nama gelar yang diperoleh berikut tahunnya”.[1]

Banyak yang tentunya sepakat bahwa kemunduran perempuan salah satunya adalah karena kapitalisme-komersialisme yang membentuk cara berpikir kaum perempuan bahwa mereka hanya dapat menyandarkan eksistensi dirinya pada penampilan fisik. Sherry Argov melontarkan nasehat pada kaum perempuan ketika mereka ingin mendapatkan calon suami yang sejati:

Ketika laki-laki melihat kamu memakai pakaian yang terbuka, biasanya ia [laki-laki] akan berasumsi bahwa kamu nggak punya hal lain yang menarik dalam diri kamu... Ketika dia [laki-laki] melihat kamu berpakaian sangat minim, dia nggak akana mengingat betapa rendahnya tubuh kamu yang telanjang itu. Tapi dia akan segera berpikir tentang berapa banyak laki-laki yang pernah berhubungan sama kamu”.[2]

Dalam hubungan kapitalistik, kepercayaan antara satu manusia satu dengan lainnya, termasuk antara laki-laki dan perempuan, semakin luntur karena kebanyakan orang frustasi akibat penindasan dan tekanan hidup hingga mereka semakin diracuni oleh pikiran bahwa satu-satunya hal yang dapat mewakili mereka dalam interaksi hanyalah modal dan ‘sesuatu’ yang dapat ditawarkan sebagaimana halnya transaksi dalam pasar.

Ketika bertemu dengan perempuan bodoh yang hanya mengandalkan penampilan fisiknya, seorang laki-laki yang kaya mungkin akan berpikir: “Alah, apa arti kecantikanmu... dengan mudah aku dapat membelinya”—dengan membungkusnya dengan basa-basi perkawinan sang laki-laki pun bisa memiliki dan menguasai si perempuan cantik (bisa jadi perempuan ‘baik-baik’) di dalam rumah. Si perempuan sejak awal memang merasa mampu mendapatkan perlindungan dan keamanan finansial ketika mereka bisa menarik hati pria kaya. Pria kaya dan punya pengalaman kebebasan yang lumayan, mungkin sudah dapat menakhlukkan para perempuan lainnya tanpa harus menikah, dan dia tentu butuh seorang istri yang bisa diandalkan dirumah.

Sementara itu, tak sedikit kaum perempuan yang memang mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan pria kaya dengan cara memelihara dan meningkatkan modal kecantikan fisiknya. Tak sedikit di antara mereka yang juga sadar bahwa mereka tak melibatkan perasaan cinta saat menikah, tetapi memang semata-mata mencari keamanan finansial dan menjadi ‘social climber’—perempuan yang ingin naik kelas dengan bermodalkan kecantikan tubuh.

Perempuan harus mempersiapkan kemampuan seolah ia ingin memiliki kapasitas yang dibutuhkan pria yang memang membutuhkan kepuasan seksual ketika berhubungan dengan perempuan. Seringkali perempuan dikasihtahu oleh majalah-majalah dan media bahwa untuk memenangkan hati laki-laki adalah lewat seks.

Jual Keliaran, Seperti (Julia) Pereks

Bacalah majalah-majalah atau buku-buku, misalnya artikel yang berjudul “100 Tips Seks yang Akan Membuatnya Liar”. Kebanyakan tulisan semacam itu sangatlah tolol dan benar-benar membuat perempuan tolol setelah membacanya. Para penulis artikel kacangan itu akan memberikan anjuran, misalnya: perempuan bisa membuat hubungan seks yang penuh petualangan yang membuatnya memberi kesan pada laki-laki sebagai ahli di ranjang. Contoh nasehat detail terhadap perempuan dari artikel semacam itu misalnya: Kamu selalu muncul dengan ‘lingerie’ yang bisa dimakan, goyangan seksual yang spektakuler, barang-barang berbahan lateks, akrobat di ranjang dengan borgol bulu-bulu, dan kamu juga bisa memasang lampu bola disko disamping ranjang agar kegiatan seksual romantis. Terus kamu mengikat tangan laki-laki, menyumpal mulut mereka dengan stocking-mu agar gairah seksual liar, dan memberi suara-suara atau lenguhan yang seksi seperti—misalnya—anjing menggonggong.

Hanya perempuan yang menyadari bahwa seks dan kecantikan bukanlah satu-satunya modal, yang akan menyadari potensi lain dari keberadaannya. Potensi itu adalah seluruh tubuhnya, terutama pikiran maju dan penuh wawasan yang akan mengendalikan tindakannya untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa lepas dari kebiasaan-kebiasaan baru. Perempuan semacam ini sadar bahwa dia juga harus mendapatkan ruang yang lapang untuk terus belajar dan berperan dalam masyarakanya.

Hidupnya bukan hanya untuk mengurusi dirinya sendiri, misalnya hanya sibuk merekayasa penampilan agar banyak orang lain yang kagum terhadap dirinya hanya karena ia menonjol di bidang itu. Kita seringkali menjumpai perempuan yang bergelimang popularitas seperti perempuan artis-selebritis yang dikagumi banyak orang dan mendapatkan kepuasan individual dalam kehidupan hari-harinya, bahakn selalu mampu memenuhi kebutuhan individualnya dengan mudah dan hidup mewah. Kita bisa mengatakan bahwa perempuan semacam itu memiliki posisi di ruang publik karena ketenarannya, tetapi kebanyakan perempuan semacam itu sesungguhnya sama sekali tak dapat diandalkan dalam urusan publik yang serius, dengan kemampuan daya pikirnya yang terbatas dan dangkal.

Lihatlah, tiap hari kita disuguhi lontaran-lontaran gampangan, dangkal, dan kacangan dari para perempuan penghibur semacam itu di acara infoteinmen (gosip) yang ditayangkan hampir setiap jam. Bahkan kalau mau jujur ungkapan-ungkapan mereka juga ikut mempelopori kemunduran cara pandang dan kesadaran kaum perempuan di maasyarakat—karena bagaimanapun mereka adalah tokoh publik. Apa yang diberikan bagi kesadaran perempuan untuk lepas dari penindasan dari mulut selebritis seperti Julia Perez, Dewi Persik, Agnes Monica, Cinta Laura dan lain-lainnya?

Hubungan Palsu

Oh, kayaknya saya terlalu menggambarkan perempuan-perempuan murahan yang berusaha direproduksi kapitalisme. Laki-laki yang membangun hubungan secara serius dengan perempuan memang tak suka ketika seorang perempuan bersikap terlalu artifisial, laki-laki bahkan resah dan kawatir tentang siapa dirinya sebenarnya dan apa motivasi serta tujuan perempuan itu. Biasanya, laki-laki akan berpikir bahwa semua yang dikenakan perempuan itu adalah untuk menjebaknya.

Tentu kita juga akan mengatakan bahwa laki-laki yang hanya memanfaatkan kelemahan perempuan adalah laki-laki yang tidak memiliki nilai yang dipegang dalam membangun hubungan. Karena dia hanya main-main, karena tak percaya pada nilai. Atau tak berusaha memperjuangkannya. Laki-laki kaya juga akan cenderung mewakili hubungannya dengan kekayaannya, artinya di situlah dia telah memanipulasi dirinya.

Kepemilikanlah yang menjadi wakil dari eksistensi dirinya. Ketika kualitasnya jelek, ia mengandalkan materi dan kepemilikannya untuk menarik orang lain agar mau berhubungan dengannya, terutama perempuan-perempuan yang begitu mudah tergoda dengan mater—perempuan-perempuan parasit yang tidak mandiri dan hanya mengandalkan perlindungan laki-laki dan orang lain.

Kecantikan yang dijual adalah seba-sebab retaknya hubungan rumahtangga. Suami-suami tanpa sepengetahuan istri, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, sangat tertarik dengan perempuan-perempuan yang lebih muda. Dan cara pandang laki-laki semacam itu tampaknya dipenuhi oleh kebutuhan pasar: dari acara yang paling ‘gaul’ hingga yang paling ilmiah seperti seminar seakan harus menyediakan perempuan muda yang cantik dan seksi. Yang menginginkan bukan perempuan, tetapi jelas untuk memenuhi kebutuhan laki-laki yang ingin sekedar ‘cuci mata’ hingga mengajak perempuan-perempuan SPG yang mau diajak kencan itu.

Inilah masyarakat yang tidak adil dan bias gender. Kebutuhan laki-laki untuk selingkuh dan serong—baik dengan perempuan pelacur kelas bawah maupun kelas atas—difasilitasi. Untuk perempuan tidak difasilitasi, karena hanya laki-lakilah yang seakan wajar jika “berzina”—sementara perempuan yang ingin cerai karena memang tidak betah dengan hubungan yang menindas dan tak berkualitas dalam pernikahannya, ia tak boleh cerai tanpa persetujuan si suami. Dan ketika se perempuan ketahuan lebih memilih laki-laki lain yang memang dicintainya, maka ia disebut perempuan “gatal” atau tidak pantas melakukan hal itu. Seakan mendua bagi laki-laki dianggap wajar, sementara perempuan yang tak pernah mendua dan lebih memilih dianggap terkutuk.

Kebutuhan laki-laki untuk selingkuh dengan kilat dapat difasilitasi di hotel-hotel, massage/panti pijat, bar-bar, night club, barber shop, salon-salon, billiard center, dan lokasi-likasi lain. Langganannya adalah pria dan bukan wanita. Hotel-hotel juga memfasilitasi laki-laki yang selingkuh dengan perempuan non-pelacur dengan tidak menanyakan surat nikah ketika sepasang laki-laki perempuan check-in. Dan memang kebanyakan bisnis hotel memang mengandalkan pada konsumen yang berupa pasangan tidak sah menurut agama ini.

Maka dari kisah di atas saya sebenarnya ingin menegaskan tesis yang tak terbantahkan bahwa lebih banyak laki-laki yang curang, serong, dan selingkuh daripada perempuan. Kenapa? Karena kondisi masyarakat yang bias-gender memfasilitasi dan mendukung laki-laki untuk serong, baik dari sudut pandang agama (poligami) maupun budaya, hingga dilihat dari aspek sosio-ekonomi.

***


[1] Sherry Argov. Why Men Marry Bitches?: Panduan Bagi Perempuan untuk Memenangkan Hati Pria. Jakarta, GagasMedia, 2008, hal. 11-12

[2] Sherry Argov. Why Men Marry Bitches?: Panduan Bagi Perempuan untuk Memenangkan Hati Pria. Jakarta, GagasMedia, 2008, hal. 20-24




Sabtu, 24 Januari 2009

Resensi Buku "PENDIDIKAN MARXIS-SOSIALIS":

Menggagas Pendidikan ala Marx

Seputar Indonesia/Minggu 25 Januari 2009

SELAMA ini,Karl Marx lebih dikenal sebagai pemikir ekonomi- politik dari pada pemikir pendidikan. Buktinya,sampai saat ini, jarang dijumpai diskursus yang menyandingkan Marx dengan dunia pendidikan. Padahal, sebagaimana diungkap dalam buku Metode Pendidikan Marxis- Sosialis ini, Marx bukan hanya pemikir ekonomi-politik, tapi juga seorang pemi
kir pendidikan terkemuka.Bahkan,menurut Nurani Soyomukti, penulis buku ini,Marx adalah pelopor dan peletak dasar teori pendidikan kritis dan pembebasan, bukan Paulo Freire sebagaimana diyakini banyak kalangan.

Dalam konteks pendidikan, Marx menyingkapkan bahwa basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh kapital (ekonomi). Teori ini disebut dengan determinisme ekonomi. Tampaknya,ramalan Marx itu benar, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain me-rupakan penjelmaan perselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital.
UU BHP membuka akses bagi praktek kapitalisme di bidang pendidikan. Lembaga pendidikan saat ini tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia, melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial.

Status birokrat kampus -Rektor dan para stafnya- tidak ubahnya investor yang hanya memikirkan bagaimana kampus bias mendapatkan laba sebesarbesarnya dari peserta didik. Institusi pendidikan saat ini tidak jauh beda dengan pasar. Bedanya,kalau pasar menjual bahan sembako domestik dan kebutuhan rumah tangga yang lain, maka perguruan tinggi menjual jasa pendidikan.

Mulai dari tenaga pengajar (dosen), mata kuliah (SKS), sampai fasilitas-fasilitas kampus yang seper canggih.Dalam kondisi seperti ini, lembaga pendidikan layaknya korporasi yang hanya memikirkan profit. Tidak heran,kalau makin hari biaya lembagapendidikankian melonjak.
Di era modern, mustahil menemukan biaya pendidikan yang bisa dijangkau orang menengah ke bawah. Semakin canggih dan lengkap fasilitas kampus, semakin besar uang yang mesti dikeluarkan peserta didik. Secara historis, bibit kapitalisme dan pragmatisme pendidikan di Indonesia sudah menyeruak pada zaman Soeharto.

Ketika itu, yang menjadi panglima adalah pembangunan.Pertumbuhan ekonomi pada rezim Orde Baru dikejar habis-habisan tanpa memedulikan aspek kemanusiaan. Tak pelak, lembaga pendidikan sebagai media memanusiakan manusia dan penjaga gawang terakhir atas munculnya kaum-kaum terdidik dan bermoral terpasung.

Munculnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), baik yang berkonsentrasi di dunia mesin, listrik, arsitektur, administrasi perkantoran,akuntansi, kesekretariatan maupun berbagai bidang lain,merupakan pemenuhan atas nafsu kapitalisme. Kehadiran SMK diharapkan meluluskan peserta didik yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan praktis di bidang kerja infrastruktur pembangunan.

Sekolah kejuruan menjadi idaman dan pilihan para orangtua yang ingin yang ingin melihat anaknya cepat mendapat kerja. Penekanan keterampilan teknis seperti ini menyebabkan pendidikan terjerumus dalam pragmatisme. Pragmatisme pendidikan adalah malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan.

Sebab, pragmatisme pendidikan akan melahirkan manusiamanusia yang tidak peka terhadapbobroknya realitaskebangsaan. Pragmatisme pendidikan hanya mencetak generasi yang ingin cepat mendapatkan gelar sarjanadanmemperolehprofesi yang bergengsi. Buku ini berusaha menggagas dan menjabarkan metode pendidikan berbasis Marxis- Sosialis yang menjadi counterpart atas pendidikan kapitalisme yang selama ini menjadi ideologi sistem pendidikan internasional. Ideologi pendidikan yang digagas Marx adalah bentuk gugatan atas merasuknya budaya kapitalisme dan pragmatisme dalam tubuh pendidikan.

Dalam pendidikan berbasis Marxis-Sosialis, tujuan (ideologi) pendidikan adalah membangun karakter (character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum tertindas (the oppressed).
Menurut Marx,pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan, melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaannya yang sejati.

Marx mengidealkan terciptanya pendidikan kritis (critical pedagogy), pendidikan radikal(radical education) dan pendidikan revolusioner (revolutionary education) yang pada gilirannya mampumencetakmanusia yang betul-betul mau memperjuangkan kaum-kaum miskin. Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk kepentingan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lembaga pendidikan.

Bagi Marx, pendidikan bertujuan menciptakan kesadaran kritis,bukan pengetahuan dan keterampilan teknis yang mendukung proyek kapitalisme. Apa yang diidealkan Marx itu sangat kontras dengan karakter objektif para pelajar bangsa ini.Tidak bisa dibantah, 75 % orientasi pelajar menuntut ilmu adalah untuk mendapatkan kerja bergengsi (profesi),menjadi tokoh populer, menjadi orang kaya, dan untuk mengangkat status sosialnya. (*)

Oleh Abdul Khalid Boyan, Peneliti pada Center for Social and Democracy
Studies (CSDS) Jakarta
--------------------------------------

Minggu, 18 Januari 2009

Resensi Buku Nurani Soyomukti di KORAN PAK OLES, 16 Januari 2009:

Dehumanisasi Model Pendidikan Kapitalis

Judul: Metode Pendidikan Marxis Sosialis: Antara Teori dan Praktik
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Ar-Ruzz Media,
Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2008
Tebal: 316 Halaman
Peresensi: Khoridatul Anisah*

Pendidikan, umumnya dipahami sebagai kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan berwatak netral atau bebas nilai. Pandangan ini masih dominan hingga saat ini meskipun tiga dasawarsa yang lalu telah dibongkar oleh Paulo Freire dan Ivan Tillich. Keduanya memandang bahwa penindasan dan selubung nilai yang halus senantiasa berusaha ditanamkan dalam kesadaran semua yang terlibat dalam aktivitas pendidikan. Pendidikan bukan merupakan konsep yang bebas nilai.

Nilai-nilai ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan, ideologi, dan kepentingan dari pemangku kepentingan pendidikan tersebut. Pendidikan ibarat perahu kecil yang terjepit di antara dua karang besar yakni, apakah pendidikan akan memberikan dan mengukuhkan dominasi atas selubung dan ilusi penindasan tersebut, ataukah pendidikan menjadi sarana pembebasan atas dominasi dan penindasan yang telah mapan.

Nurani Soyomukti berusaha untuk melanjutkan tradisi kritik atas dominasi dan penindasan model pendidikan kapitalis yang telah mapan. Sebelum membongkar borok model pendidikan kapitalis, penulis menancapkan dasar berpikir yang sangat dipengaruhi oleh teori-teori Karl Marx seperti filsafat materialisme dialektika dan konsep-konsep ekonomi Marxis. Laiknya pengikut tradisi Marxis yang setia, penulis menempatkan ekonomi sebagai faktor determinan yang berfungsi menjadi basis penyangga, dan pendidikan sebagai bangunan atas atau supra struktur.

Corak produksi masyarakat yang kapitalis, menentukan bangunan pendidikan di atasnya akan seperti apa. Pendidikan berfungsi untuk melayani dan menstabilkan corak produksi tersebut. Secara sukarela dan tanpa sadar banyak dari kita yang menjadi pelayan bagi kepentingan kapitalis yang masuk lewat penidikan. Ketundukan sukarela untuk melayani kepentingan kapital inilah yang oleh Gramsci diistilahkan sebagai hegemoni.

Termanifestasi dalam pendidikan, hegemoni mengambil bentuk melalui kurikulum sebagai media yang sangat penting untuk mereproduksi cara pandang yang sesuai dengan kapitalisme. Semua sekolah kapitalis memiliki “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum) untuk tujuan memaksakan ideologi kapitalis masuk kelas. Kurikulum tersembunyi di sekolah merujuk pada norma-norma, nilai-nilai, dan sikap di bawah sadar yang seringkali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi sosial di sekolah dan kelas. Dengan menekankan pada aturan konformitas, pasifitas, dan ketertundukan, hidden curriculum menjadi salah satu media sosialisasi yang kuat dan dapat berguna untuk memproduksi model-model pribadi yang siap menerima hubungan sosial dan sruktur kekuasaan yang sedang bekerja.

Kurikulum menentukan pelajaran apa yang harus diberikan pada murid dan apa yang harus diajarkan guru. Hal itu juga akan menentukan apa yang dimasukkan pada pikiran anak didik dan guru, akhirnya juga pengetahuan apa dan macam apa (di mana keberpihakannya) yang harus diajarkan di sekolah. Kurikulum dalam pengertian modern dipahami sebagai himpunan pengalaman peserta didik yang menjadi objek pembahasan dan praktek belajar mengajar. Subjek materi dan proses belajar mengajar dalam kurikulum seharusnya bersumber dari dari realitas konkrit keseharian peserta didik sendiri.

Kurikulum tersembunyi bukan satu-satunya pangkal dehumanisasi model pendidikan kapitalis. Komersialisasi pendidikan yang bermuara pada elitisme pendidikan juga menjadi biang keladi bahwa pendidikan telah berubah fungsinya karena tidak lagi mampu melayani kebutuhan dasar nan pokok masayarakat secara luas tanpa diskriminasi dan diakses dengan keluaran biaya yang rendah. Sekolah telah mengimitasi model organisasi perusahaan. Elemen-lemen pendidikan di sekolah tidak jauh berbeda dengan tata kelola perusahaan yang tujuan akhirnya adalah untuk berproduksi.Guru dipersonifikasikan sebagai manajer yang mempunyai otoritas dalam menentukan tujuan dan aktivitas apa yang dilakukan bagi anak didiknya, seperti manajer perusahaan yang mempunyai kewenangan menentukan tujuan produksi buruhnya. Murid yang mirip dengan buruh hanyalah obyek yang tunduk pada majikan. Upah buruh adalah gaji, sedangkan upah murid adalah nilai yang tertera dalam raport. Sama seperti buruh dalam kapitalisme, para murid juga mengalami alienasi dan ketertindasan dari hasil dan proses belajar yang ada (hal. 187).

Seolah tidak ingin terjebak dalam gaya koboi yang segera setelah menuntaskan kejahatan meninggalkan locus-nya, dan tidak memberikan alternatif jawaban yang konkrit, penulis tidak hanya saja melancarkan kritik terhadap model pendidikan kapitalis, namun juga menawarkan alternatif jawaban atas kritikannya tersebut. Sosialisme menjadi jawaban atas kritik yang dilancarkannya. Pendidikan sosialisme bertujuan untuk membongkar ilusi-ilusi kemapanan dan selubung penindasan supaya manusia bisa menemukan kembali kemanusiaannya yang telah tercerabut akibat proses pendidikan yang tidak humanis. Ini berarti tugas utama pendidikan sosialis adalah melakukan refleksi kritis terhadap ideologi dominan menuju ke arah transformasi sosial.

Membangun ruang kesadaran agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur keadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem pendidikan dan sosial yang lebih adil. Dengan lain perkataan, tugas pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.

Supaya tidak hanya menjadi angan kosong model ideal yang dicitakan, penulis melengkapi dengan capaian-capaian beberapa model pendidikan di negera-negara yang menganut atau pernah menganut paham sosialis ( hal. 203-240) seperti di Uni Soviet (sekarang Russia ), Cina , Kuba, dan Venezuela. Sejumlah data-data keberhasilan dan capaian yang cukup signifikan berhasil digapai oleh negara-negara yang menganut model pendidikan sosialis tersebut. Di semua negara-negara tersebut, dari sisi anggaran pendidikan misalnya, mengalami lonjakan yang cukup fantastis. Sebutlah misalnya di Uni Soviet yang mengalami peningkatan anggaran sampai 10 kali lipat sejak rejim Bolshevik berkuasa. Demikian pula dengan capaian sumber daya manusia yang bisa diukur dari kuantitas maupun kualitas keluaran dari model lembaga pendidikan sosialis tersebut.

Buku yang disajikan dengan menggunakan paradigma kritis ini, secara jitu berhasil menelanjangi bangunan pendidikan kapitalis yang banyak mengandung ilusi-ilusi di dalamnya. Sebuah karya yang cukup provokatif mengenai pendidikan di tengah praktik pendidikan yang paradoksal di negeri kita.


*)Guru pada Madrasah Aliyah Persiapan Negeri Cimahi.
Koran Pak Oles/Edisi 167/16-31 Januari 2009

Minggu, 11 Januari 2009

OPINI Dimuat di SUARA KARYA (Senin/12 Januari 2009):

(Oleh Nurani Soyomukti)

Anak-Anak, Perang, dan Terorisme

Serangan Israel ke Jalur Gaza dan wilayah-wilayah lain di Palestina benar-benar menimbulkan dampak kemanusiaan yang luar biasa. Yang paling disayangkan adalah ketika serangan itu juga memangsa anak-anak yang tak berdosa, yang seharusnya mendapatkan suasana yang damai dan sejahtera bagi perkembangannya.

Sekitar 50 persen penduduk Jalur Gaza adalah anak-anak. Dari korban tewas, 220 di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 17 tahun. Anak-anak yang selamat pun akan menghadapi masalah. Mereka terkejut, menangis, untuk sebuah alasan yang tidak mereka tahu karena ada yang berusia di bawah lima tahun. Masalah yang dihadapi anak-an

ak akan meningkat karena keluarga mereka terpaksa melarikan diri menghindari serangan dan sebagian rumah mereka telah rata dengan tanah. Pada hal sebelum serangan Israel, sekitar 50.000 anak Palestina sudah kekurangan gizi akibat blokade Israel selama 18 bulan terakhir di Jalur Gaza (Kompas, 08/01/2009).

Selain itu, jika tuduhan Israel benar bahwa Hamas melibatkan pasukan ‘jihad’ yang terdiri dari anak-anak, kita juga menyayangkan keberadaan anak-anak yang dilibatkan dalam Perang. Masalahnya, di dalam konflik dan perang yang ada hanyalah kebencian dan dendam. Anak-anak Palestina telah lama kehilangan bapak dan ibunya, juga tanahnya, dan mereka telah ditanamkan kebencian yang mendalam pada Israel. tak sedikit anak-anak yang telah didoktrin untuk menjadi pasukan jihad dan rela mati m

elakukan peledakan bom bunuh diri demi menunjukkan perlawanannya pada Israel.

Fenomena Global

Yang seharusnya dipahami oleh kita semua adalah bahwa gejala itu ternyata bukan hanya terjadi di Gaza. Anak-anak di kawasan dunia lainnya juga masih mengalami nasib yang sama akibat kejahatan politik, perang, dan konflik. Di tahun 2008 lalu, misalnya, Junta militer Myanmar ternyata juga merekrut anak-anak untuk dipaksa menjadi tentara gara-gara junta kehabisan tentara setelah tindakan keras terhadap protes-protes pr

o-demokrasi yang terjadi di negeri itu. Anak-anak berusia 10 tahun telah direkrut menjadi barisan tentara. Bahkan konon cara perekrutannya adalah dengan cara membeli anak-anak tersebut dan anak-anak juga ditahan dan dipukuli pada saat melakukan perlawanan.

Menurut Badan Pengawas HAM, seorang anak yang direkrut pada usia 11 tahun mengatakan kepada lembaga ini bahwa dia gagal tes fisik rekrutmen karena tinggi badannya hanya 1,3 meter dan beratnya 31 kilogram. Namun perekrutnya menyuap pejabat medis un

tuk menjamin dia lolos rekrutmen. Pada 2005, rekrutmen baru diperjual-belikan seharga 25.000 sampai 50.000 kyat, atau kurang dari Rp 180 ribu sampai Rp 360 ribu dan jumlah itu merupakan satu setengah atau lebih dari tiga kali lipat gaji bulanan seorang tentara.

Dalam sejarah kekerasan terhadap anak di berbagai negara, berita itu bukanlah pertama kali. Anak-anak di Amerika Latin pada jaman kediktatoran menjadi korban pembantaian pemerintah militeristik, dan juga direkrut secara paksa dalam wajib militer untuk menghadapi gerilyawan yang berupaya melawan penindasan rejim—seperti terjadi di Ekua

dor. Anak-anak di Irak dan Afghanistan terbunuh oleh bombardir bom Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, bangunan-bangunan sekolah mereka juga hancur, bapak-ibunya juga mati. Yang tersisa di kepala dan hati anak-anak ini adalah dendam.

Merekapun bergabung pada gerombolan gerilyawan anti-Amerika Serikat yang sayangnya didoktrin dengan pandangan-pandangan teroristik, anti-universalisme, dan sentimen k

elompok yang keras. Anak-anak inipun menjadi pasukan bom bunuh diri (seperti di Irak dan Timur Tengah). Dan cara pandang merekapun tertutup dari kebenaran universal, mereka menjadi bagian dari mesin-mesin kekerasan yang ikut meramaikan politik kekerasan global era ini.

Berbagai macam

kantong-kantong kekerasan dan perang global di beberapa belahan dunia juga menyeret anak-anak kita terlibat dalam doktrinasi kekerasan. Cara pandang menghalalkan kekerasan telah disuntikkan pada benak dan perasaan anak-anak itu. Perang dan imperialism telah menjauhkan anak-anak dari perhatian orangtua atau orang dekat yang dapat mengasihinya.

Seperti di gambarkan dalam film “Blood Diamond” yang dibintangi oleh Leonardo Decaprio, seorang anak bernama Dia telah terpisahkan dari ayah dan ibunya karena diculik oleh kelompok bersenjata. Dia awalnya adalah seorang anak yang bercita-cita menjadi dokter s

ebagaimana diinginkan oleh ayahnya juga. Di kamp para penculik anak ini, bersama anak-anak lainnya, dilatih untuk membunuh dan otaknya didoktrin dengan kekerasan dan kekejaman. Latihan membunuh pertama adalah menembak orang yang masih dalam keadaan hidup, tanpa diberitahu siapakah orang itu. Seiring dengan perjalanan waktu, Dia pun menjadi remaja yang telah terlatih untuk membunuh dengan doktrin untuk merebut kekuasaan. Tugas pertama adalah merebut suatu daerah penambangan emas di daerah Siera Lion, Afrika.

Gambaran kekejaman orang tua yang mengajari anak-anak untuk membenci dan memusuhi kelompok lain semacam itu adalah racun bagi anak-anak. Bagaimanapun anak-anak adalah milik dunia dan mereka harus tumbuh menjadi sosok yang punya kesadaran universal tentang manusia dan hubungan-hubungannya. Anak-anak harus kita cega

h untuk membenci tetapi harus kita ajari untuk mencintai dan terlibat dalam peran yang produktif bagi pembangunan peradaban.

Pertama-tama yang harus kita cegah adalah perang dan konflik, serta penyebab dari konflik itu harus kita pahami dan kita atasi bersama. Ki

ta menyerang penjajahan dan perampasan hak, tetapi kita juga harus mencegah reaksi yang bermakna dendam bagi anak-anak. Setiap tindakan yang merampas hak-hak anak dan melukai anak harus kita kutuk. Dan yang lebih penting kita harus membukakan mata hati anak tentang apa yang sebenarnya terjadi dan tidak boleh hanya dari cara pandang satu pihak yang penuh doktrin untuk mendukung kepentingan yang sempit.

Konflik dan perang di Gaza bukanlah perang agama, itulah yang tetap harus kita ajarkan pada anak-anak. Konflik di sana adalah konflik yang didorong oleh kepentingan ekonomi dan imperialisme. Karenanya anak-anak tidak perlu mati atas nama agama dengan cara melakukan bom bunuh diri hanya atas nama agama dan dendam karena orangtuanya telah dibantai oleh Israel. Tetapi anak-anak harus kita selamatkan pada saat kita semua juga harus bergabung dengan gerakan demokrasi dan HAM untuk mengutuk serangan aanti-HAM yang dilakukan oleh imperialis Israel. Gerakan menyelamatkan anak-anak Gaza harus jadi bagian dari gerakan demokrasi dan HAM.***

-----------------------------------

Minggu, 04 Januari 2009

Resensi Buku "INTIMACY", Koran PKO (1 Januari 2009)

Mengatur Ritme Erotika

Oleh: Ahmad Zaenurrofik, Peneliti di CSSR (Center  for Social
Science and Religion) Surabaya;
sedang menyusun tesis di Program Master
Hukum di Universitas Negeri Jember


Judul Buku: “INTIMACY: Menjadikan Kebersamaan dalam

Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak sebagai

Surga Kehidupan”

Penulis: Nurani Soyomukti

Penerbit: Prestasi Pustaka, Jakarta

Cetakan: I, Oktober 2008

Tebal: xx+128 halaman

Peresensi: A. Zaenurrofik


Sadar atau tidak, manusia adalah makhluk yang erotis. Kita dapat melihat bagaimana yang awalnya yang berasal dari penyatuan itu merasa ingin selalu menyatu lagi, kesepian saat terpisah dan selalu rindu akan kembali. Kebiasaan kita intim dengan seseorang akan membuat kita sepi dan rindu saat terpisah darinya, terpisah seakan membuat kita tercerabut dari (akar) keberadaan kita sendiri. Seorang suami selalu ingin kembali saat pergi jauh dari istri, misalnya karena merantau untuk mencari uang guna menghidupi sang istri da anak-anaknya. Tentu saja karena ia telah terbiasa melakukan hubungan intim, menyatukan tubuhnya dengan istrinya, dalam sebuah rumah yang membuat ia nyaman dan menjadi tempat bernaung—seperti burung yang juga selalu kembali ke sarang.

Lihatlah betapa perkembangan anak tergantung pada kenyamanan fisikal dan psikologis (rasa aman dan nyaman) yang didapatkan dari Ibu pada awal-wal perkembangannya. Setelah keluar dari rahim dan hubungan badan itu dipisahkan setelah daging penghubung itu dipotong, bayi tetap saja mencari-cari tubuh ibu. Pertama-tama untuk menghubungkan fisiknya dengan fisik Ibu adalah dengan cara mencari-cari puting susu ibu untuk dimasukkan ke dalam mulutnya.

Dan siapapun ia, laki-laki atau perempuan, sepanjang umurnya instink untuk menyatukan diri ini tetap abadi. Inilah yang membuat saya begitu yakin bahwa kita ini adalah makhluk erotis, yang dikuasai instink untuk menyalurkan energy Eros dengan cara menyatukan diri dengan orang lain. Manifestasi Eros adalah pada kehendak untuk menyatukan diri melalui hubungan seksual (bersetubuh) dan yang berujung pada orgasme. Eros adalah instink positif yang mendasari rasa solidaritas dan pengalaman kebersamaan dengan sesame manusia. Kita seakan merasa sakit saat oang lain, terutama orang yang dekat dengan kita, disakiti.

Dasar itulah yang digunakan oleh Nurani Soyomukti untuk menguraikan pandangannya tentang hubungan intim dalam bukunya yang berjudul ”Intimacy” ini. Nuansa psikoanalisis (psikologi mendalam) ala Freud dan Erich Fromm nampaknya masih mendominasi pandangan penulis sebagaimana buku-bukunya yang lain. Misalnya penulis menggunakan teori tentang ’prinsip kesenangan’ dan ’prinsip realitas’ untuk memahami bagaimana dalam banyak hal hilangnya semangat keintiman banyak terjadi akibat sejak kecil manusia terbiasa untuk menyangkal kebutuhan-kebutuhannya, serta menjauhkan diri dari penyatuan akibat ketertekanan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Kemiskinan akibat kapitalisme didakwa sebagai penyebab hilangnya potensi keintiman dan kasih sayang dalam berbagai lembaga sosial, terutama keluarga. Akibat kemiskinan, misalnya, keluarga tercerai berai, istri tidak menghormati suami dan suami juga tertekan lalu melakukan kekerasan, anak-anakpun tak lagi diperhatikan (hlm. 12).

Nurani berangkat dari berbagai fakta yang kontradiktif di era modern, di mana di jaman di mana keterbukaan sudah terjadi akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, fragmentasi sosial masih terjadi bahkan dalam ranah hubungan ’eksklusif’ seperti pacaran dan pernikahan. Dalam pacaran misalnya, dikisahkan dalam buku ini, masih saja ada mahasiswa yang gaya pacarannya—menurut penulis—sangat ’menjijikkan’. Bayangkan, kuliah duduk bareng, pulang bareng, makan bareng, lalu pulang menuju kos (tak jarang yang melakukan aktivitas seksual seperti layaknya suami istri). Baru setelah libido tersalurkan, bosan lalu berpisah dan baru berinteraksi dengan yang lain atau mengurusi urusan seperti main game dan cangkrukan di pinggir jalan. Kuliah seakan hanya sampingan, yang penting adalah bagaimana menghabiskan waktu hanya pacaran dan ngesek. Libidonya hanya untuk tubuh pasangannya dan bukan pada pengetahuan (misteri dunia yang merangsang). Nafsunya tumpul pada gadis cantik yang bernama misteri kehidupan, yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai kekasihnya.

Pada hal, kita tentu paham, interaksi dengan orang yang itu-itu saja (pacar) tidak akan membuat otak kita berkembang—tak akan menambah pengetahuan dan pengalaman kita bertambah. Kemandegan pengetahuan dilembagakan dalam interaksi dua orang yang cuek pada pengetahuan baru gara-gara keduanya hanya sibuk mengurusi hal-hal untuk melampiaskan kebutuhan-kebutuhan sempitnya.

Bayangkan, kedua orang yang tanpa pengetahuan dan wawasan bisa jadi sepakat untuk menikah dan membangun rumahtangga. Maka dapat dipastikan anak-anak dan cucu-cucunya (keturunannya) juga akan mewarisi kebodohan, mengingat sosialisasi pengetahuan itu juga didapat dari keluarga. Keluarga yang berkualitas akan melahirkan generasi yang berkualitas. Itulah yang oleh penulis disebut keintiman yang tidak produktif. Pada hal cinta itu produktif dan bukan destruktif (hlm. 28).

Menguraikan berbagai bentuk keintiman yang hilang dan keintiman yang membodohkan (melenakan), penulis kemudian juga memberikan wawasan serta kiat-kiat dalam menciptakan bentuk keintiman yang humanis dan membuat masing-masing pihak menjadi produktif. Karena syarat-syarat hilangnya penindasan adalah hilangnya ketergantungan dan munculnya independensi, yang keduanya hanya mungkin jika masing-masing pihak sama-sama produktif. Produktifitas itulah kata kunci dari hubungan yang sehat dan intim dalam makna yang sebenarnya. Keintiman bukan suatu hal yang melemahkan dan melenakan, tetapi yang menguatkan. Karena organ tubuh manusia dalam berhubungan intim bukan hanya alat kelamin, tetapi juga suatu organ tubuh yang paling seksi, yaitu: OTAK!

Jadi pada tingkat tertentu, meskipun buku ini tipis, penulis telah berhasil menyuguhkan pandangannya bahwa mencintai itu membutuhkan kecerdasan. Kita akan mampu mencintai selama kita tahu, memahami, dan mengerti. Buku ini membawa kita pada pandangan yang lebih dalam tentang keintiman dan cinta, menolak anggapan awam bahwa “cinta itu buta”. Dan akhirnya mengajak kita untuk mengobati destruksi hubungan sosial dengan memulai dari hubungan yang lingkupnya kecil (pacaran, pernikahan, dan keluarga). Sebelum berkoar-koar untuk merubah tatanan makro sosial, ada baiknya kita memulai keindahan dan hubungan anti-penindasan dalam lingkup kecil kita.[]

--------------------------------------------

Sabtu, 27 Desember 2008

METODE PENDIDIKAN MARXIS-SOSIALIS:

Menggugat Bangunan
Pendidikan Kapitalis


"Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya.”

—Pramoedya Anantra Toer, Novel ”JEJAK LANGKAH”, hal. 291—


Setelah buku berjudul ”Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Arruzzmedia Yogyakarta—Januari 2008), buku ini merupakan tindak lanjut dari risalah yang saya tulis tentang pendidikan. Ada asumsi ideologis yang berkembang dalam dunia pendidikan kita, ide-ide dan paham lama yang mengendalikan dibuatnya kebijakan dan proses pendidikan. Intervensi ideologi kapitalis dalam dunia pendidikan, misalnya, dapat kita lihat lewat kurikulum.

Kurikulum, misalnya, adalah salah satu media yang sangat penting untuk mereproduksi cara pandang yang sesuai dengan kapitalisme. Semua sekolah kapitalis memiliki “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum) untuk tujuan memaksakan ideologi kapitalis masuk kelas—sebagaimana dikatakan Henry Giroux:

Kurikulum tersembunyi di sekolah merujuk pada norma-norma, nilai-nilai, dan sikap di bawah sadar yang seringkali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi social di sekolah dan kelas. Dengan menekankan pada aturan konformitas, pasifitas,dan ketertundukan, hidden curriculum mnjadi salah satu media sosialisasi yang kuat yang dapat berguna untuk memproduksi model-model pribadi yang siap menerima hubungan social dan sruktur kekuasaan yang sedang bekerja”.[1]

Sungguh tak dapat kita sangkal betapa pentingnya kurukulum. Kurikulum adalah yang menentukan pelajaran apa yang harus diberikan pada murid dan apa yang harus diajarkan guru. Hal itu juga akan menentukan apa yang dimasukkan pada pikiran anak didik dan guru, akhirnya juga pengetahuan apa dan macam apa (dimana keberpihakannya) yang harus diajarkan di sekolah. Menurut Paulo Freire dalam bukunya “Education for Critical Consciousness”,
[2] kurikulum dalam pengertian modern dipahami sebagai himpunan pengalaman peserta didik yang menjadi objek pembahasan dan praktek belajar mengajar. Subjek materi dan proses belajar mengajar dalam kurikulum seharusnya bersumber dari dari realitas konkrit keseharian peserta didik sendiri.

Kurikulum yang baik adalah yang berpusat pada “problematisasi” situasi konkrit. Peserta didik bersama para pendidiknya memaknai berbagai macam persoalan seputar pengalaman hidupnya dan berusaha memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sebagai mediator pendidik seharusnya berfungsi meyakinkan akan realitas yang diketahui oleh peserta didiknya, lantas secara bersama menganalisisnya sehingga peserta didik mampu membangun pengetahuannya seiri secara kritis dan berakar dari pengalaman konkrit.

Sayangnya hal itu tak terjadi, dan kurikulum semacam iti benar-benar dijauhi oleh penidikan kapitalis. Pada hal kita tahu dari Freire kita mengetahui bahwa yang terjadi dalam masyarakat kapitalis sekarang adalah bahwa kurikulum yang ada “terputus dari kehidupan, berpusat pada kata-kata yang mewakili realitas yang ingin disampaikan, miskin aktivitas konkrit, tidak pernah mengembangkan kesadaran kritis”.
[3]

Bahkan kalau mau kita analisa secara jauh memakai pendekatan kelas Marxian, kurikulum kapitalis secara jelas berspektif kelas. Lebih dari tidak berdasarkan pengalaman konkrit peserta didik, kurikulum dalam sekolah kapitalis telah membaca cara pandang dan cara berpikir berdasarkan kelas penguasa. Para peserta didik, yang berlatarbelakang macam, dipaksa untuk berpikiran satu dimensi atau bahkan dipaksa menjadi kelas kapitalis.

Tak terbantahkan lagi bahwa remaja-remaja kita yang belajar ilmu ekonomi, dipaksa seolah ia seorang kapitalis (pemilik modal). Saya selalu bercerita tentang pengalaman saya waktu menempuh pelajaran “Ekonomi Kperasi” yang saya dapatkan sejak sekolah di SMP (Sekolah Menengah Pertama). Waktu itu, sebagaimana metode pelajaran mengkondisikan kita untuk menghafal dan bukan untuk mengerti da memahami, maka sebelum ujian harian (“ulangan”—begitu kami dulu menyebutnya) saya harus menghafal doktrin-doktrin ekonomi kapitalis. Saya mendapatkan nilai muthlak (100) dalam suatu “ulangan” yang yang salah satu soalnya adalah “Bagaimanakah prinsip ekonomi?”. Saya harus menjawab, yang sebelumnya harus saya hafalkan berulang-ulangkali mirip merapal mantra: “Dengan modal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya”.

Saya tak tahu apakah soal ujian seperti itu masih diajarkan di sekolah-sekolah kita. Tapi kalau menengok semakin nyatanya doktrin kapitalisme dalam praktek-praktek yang dijalankan oleh pemimpin kita, saya merasa apa yang saya hafal sekitar 15 tahun yang lalu lebih menyebar di otak anak-anak kita.

Pandangan seperti itu tentunya adalah doktrin yang kuat. Bayangkan, seperti saya, tiap anak-harus hafal rumus ekonomi capitalis. Suatu prinsip yang digunakan untuk berhubungan dengan orang lain, ketika anak-anak besar dan dewasa, bahkan ketika banyak anak-anak itu yang kini memegang kebijakan penting Negara/pemerintahan. Buktinya memang para pengambil kebijakan itu benar-benar mempraktekkan prinsip ekonomi yang diajarkan ketika mereka mulai sekolah—belum lagi kotbah-kotbah di luar sekolah. Para pngambil kebijakan etu benar-benar mengutamakan prinsip untuk “mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya”.

Apalagi kalau modal yang mereka keluarkan untuk menjadi pejabat sangat besar, tentu akan semakin besar pula keuntungan yang ingin didapatkan. Sekarang, untuk menjadi pejabat tingkat rendah (PNS), lulusan perguruan tinggi harus mengeluarkan uang rata-rata 150 juta. Itu dianggap mereka sebagai modal. Yang tentunya diharapkan akan kembali saat menjabat. Dengan berbagai tindakan koruptif dan kolutif, mereka akan mengembalikan modalnya—tu target minimal. Tetapi tentu saja, rata-rata orang akan beharap akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Itu sudah cukup menjelaskan kenapa pendidikan kapitalistik akan menghasilkan produk-produk sekolah yang korup. Bukankah watak korup memang tak mungkin terjadi dengan sendirinya?

Korupsi tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan warisan sejarah masyarakat Indonesia. Kolonialisme yang berkelindan dengan penguasa feudal pribumi mewariskan banyak kerusakan, salah satunya mentalitas korup di birokrasi. Feudalisme dan sistem upeti diperkuat oleh masuknya admisnistrasi Belanda yang menyeruak dalam seluruh kehidupan sosial dan politik. Korupsi bisa dianggap nama lain dari upeti, di jaman Orde Baru hingga sekarang namanya diperhalus menjadi hibah. Tentang budaya yang merusak ini tak pernah ada penilaian dan jalan keluar yang serius dari para elit hingga sekarang ini.

Korupsi adalah kelanjutan sejarah kaum priyayi yang harus terus menyogok atasannya dan menginjak lapisan bawahnya, menjilat, demi mengamankan posisi dan kemakmurannya, seperti Sastrokassier menyogok Asisten Residen dengan menjual Sanikem (yang kemudian dikenal dengan Nyai Ontosoroh), anaknya sendiri—dalam Novel “Bumi Manusia” karya Pramodya Ananta Toer. Lebih dari soal mentalitas, korupsi berkaitan dengan rendahnya produktivitas bangsa. Korupsi adalah tentang pemimpin, birokrasi, dan rakyat yang (tidak difasilitasi) kapasitasnya untuk semakin produktif, yang nihil semangat untuk menghargai kerja, yang minim etos kerja.

Itu soal bagaimana mntal pejabat yang dibentu oleh pendidkan. Belum lagi soal cara pandang kelas (kapitalis) yang secara riil dipaksakan dalam detail-detail praktek pendidikan kita. Tesis cara pandang kelas itu akan lebih nyata lagi saat menjadi mahasiswa ilmu ekonomi (administrasi, manajemen, dan akuntansi, dll). Materi-materi yang diajarkan dari buku-buku dan dari kotbah dosen adalah cara berpikir kapitalis. Teorinya adalah teori memacu produktifitas (membuat produk) agar laku dijual dan banyak mendatangkan keuntungan. Manajemen pemasarannya adalah manajemen supaya produk laku dan mncari pasar secara kreatif. Bukankah itu semua adalah tindakan-tindakan yang bertujuan membantu kapitalis untung?

Bahkan saat menuliskan skripsi sebagai tugas akhirpun, juga kembali pada bagaimana supaya mendapatkan keuntungan, misalnya bagaiman agar etos kerja bawahan (buruh atau manajer di bawah kapitalis/pemilik modal) punya etos kerja yang produktif, karena keuntungan akan semakin besar jika banyak produk yang dihasilkan buruh si kapitalis. Dengan meminjam ilmu-ilmu psikologi, mahasiswa manajemen juga dipaksa menuliskan skripsi bagaimana mempengaruhi remaja agar membeli dan membeli.

Yang aneh di sini adalah, mahasiswa itu belum tentu anak kapitalis. Kebanyakan dari mereka adalah anak pegawai atau pejabat rendahan. Bahkan tidak jarang yang anak petani. Lalu mengapa mereka dipaksa
berlaku seakan mereka adalah kapitalis yang tujuan hidupnya, atau yang kuliah-kuliahnya memaksa mereka jadi kapitalis? Tentulah tak terbantahkan bahwa kapitalisme kejam. Yang tidak seharusnya terjadi tetap dipaksakan!

Maka itulah yang dimaksud Karl Marx dengan dominasi ideologi kelas. Kelas penguasa akan berusaha memaksakan cara pandangnya pada semua anggota masyarakat, terutama agar cara pandangnya diterima kelas yang berbeda. Tentu tujuannya sudah jelas: agar sistem yang dijalankannya bertahan kokoh. Agar ia tetap menjadi penguasa yang hidupnya enak sendiri, dengan mengorbakan mayoritas massa rakyat yang sengsara dan menderita.

Ilmu ekonomi kapitalis dan seluruh kurikulum pendidikan telah menjadi bagian dari operasi kapitalisme itu. Operasi ekonomis konkritnya adalah doktrin bahwa membuat produk (produksi) dilakukan untuk mencari keuntungan; bukan produksi untuk dipakai secara bersama (seperti dalam sistem sosialisme). Ajaran mencari keuntungan diajarkan pada tiap-tiap individu, agar menjadi tujuan hidup individu, untuk merongrong kepercayaan bahwa antara manusia satu dan manusia lainnya mampu bekerjasama.***

Catatan Kaki:
[1] Henry Giroux. Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Schooling. Boulder, Colo: Westview Press, 1997, hal. 198
[2] Paulo Freire. Education for Critical Consciousness. London: Sheed and Ward, 1979, hal. 28
[3] Ibid., hal. 37
------------------------------------------------------------

Rabu, 10 Desember 2008

MANUSIA TANPA BATAS

Heaven knows, no frontiers… and I’ve seen heaven in your eyes…
(The Corrs, lirik ‘No Frontiers’)

OLEH Nurani soyomukti


Puji syukur kepada Tuhan, akhirnya gawe penulisan karya ini terselesaikan. Puji syukur pada kebesaran alam yang telah menyediakan ruang dan waktunya, memberikan udara yang membuat saya masih bisa bernafas, yang menyuguhkan tanaman, hewan, dan berbagai kemajuan teknik bagi saya agar dapat mempertahankan hidup dan mendapatkan kemudahan-kemudahan. Bagian alam yang modern, komputer, labtop (notebook), mesin cetak, alat transportasi, dll memungkinkan karya (buku) ini dapat diproses dan disajikan di hadapan pembaca.

Jasa yang paling utama tentu saja pada para buruh-tani dan rakyat pekerja yang tanpa kerja mereka buku ini tak dapat tersaji. Dari hutan, ada kayu yang dipotong, diproses dalam industri menjadi kertas; ada mesin yang berjalan, dan ada produk-produk yang memungkinkan karya ini tersaji jadi buku—semua perubahan dari bahan mentah menjadi produk jadi itu tak mungkin terjadi tanpa tangan-tangan, kaki-kaki, dan tenaga para butuh dan tani. Bahkan ide-ide/gagasan, dan dinamika ideologis dan pemikiran yang terdapat dalam otak dan hati saya, tak mungkin tercipta tanpa kerja mereka. Kehidupan saya, segala perkembangan material di dunia ini, terjadi karena kerja-kerja buruh. Ada bahan tak akan tercipta produk dan produksi; ada mesin tanpa perlakukan kerja buruh, tak akan berjalan mesin itu.

Dan karya yang berbicara tentang ‘kebebasan’ ini memang saya maksudkan untuk memunculkan filsafat tentang kebebasan yang ada dalam kehidupan. Betapa banyak “kebebasan” diucapkan dan dicita-citakan, tetapi manusia modern justru—entah sadar atau tidak—telah “lari dari kebebasan” (escape from freedom), begitulah Erich Fromm mengatakan yang sekaligus menjadi judul dari karya psikologi-sosialnya.

Pergumulan saya dengan teori spikologi-kritis seperti (psikoanalisa) Sigmund Freud, Erich Fromm bersama analisa sosial Karl Marx telah menjadi landasan teoritis-filosofis dari seluruh karya-karya saya—tak heran pula dalam semua buku-buku saya nama-nama mereka selalu hadir dan kata-katanya selalu saya kutip. Mereka berbicara tentang manusia, membongkar alam bawah sadar dan mendekonstruksi tatanan material di luar diri manusia yang menjadi belenggu kebebasan sebagai patokan hidup manusia. Sungguh “kebebasan” adalah cita-cita manusia-manusia modern. Dan sayangnya kebebasan sejati, kebebasan yang bermakna, atau minimal hilangnya belenggu penindasan, belumlah hadir dalam kehidupan kita.

Kali ini, dalam karya ini, saya memang tak lagi berbicara para level makro yang mengharuskan saya berbicara masalah ekonomi-politik pada tingkat negara atau global. Belakangan saya tertarik untuk menyelediki berbagai (sumber) kontradiksi yang terjadi dalam hubungan yang lebih sempit seperti keluarga atau hubungan dalam pernikahan atau pacaran. Tentu saja saya menariknya dari kontradiksi pokok makro-sosial (dan ekonomi-politiknya).

Pada kenyataannya belenggu-belenggu penindasan itu juga terjadi di level yang paling kecil sekalipun, antara dua orang yang pacaran atau membangun hubungan pernikahan, juga dalam keluarga sebagai institusi (lembaga) yang masih mencirikan masyarakat kini. Di dalam keluarga, dalam pacaran, pernikahan, dalam lembaga pendidikan kebebasan dan kesetaraan telah hilang. Sumber-sumber hilangnya kebebasan dalam lembaga-lembaga dan hubungan-hubungan itulah yang saya uraikan dalam buku berjudul “Manusia Tanpa Batas” ini. Saya juga membuat konsep-konsep dan rekomendasi-rekomendasi bagi mereka yang mendambakan pembangunan hubungan dan lembaga yang tidak menghilangkan makna kebebasan di dalamnya. Termasuk kiat-kiat ‘kebebasan’ untuk menumbuhkan jiwa-jiwa yang produktif dan kreatif dari keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat.

Anak-anak yang lahir dari kekangan-kekangan akan tumbuh menjadi anak-anak yang fasis dan cacat secara psikologis, anak-anak yang tidak ekspresif dan pertumbuhannya juga tak sehat. Artinya, prinsip kebebasan dapat digunakan untuk menumbuhkan mental-spiritual. Ruang kebebasan yang sehat juga akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang sehat dan cerdas. Tetapi kebebasan yang tidak sehat dan tidak bermakna hanya akan melahirkan centang-perenang di masyarakat.

Secara khusus, buku ini saya persembahkan untuk mereka yang ingin menjadi manusia bebas, orang-orang yang ingin berperan secara luas dalam masyarakat untuk membangun demokrasi dan kesetaraan di masyarakat; untuk mereka yang ingin terbang mengelilingi bumi hingga perannya lebih luas. Mereka bukanlah orang-orang yang ingin bebas melakukan apa saja terutama kebebasan yang justru merugikan kebebasan orang lain. Kebebasan yang menghasilkan tindakan yang membuat orang lain sengsara bukanlah kebebasan, tapi destruksi. Mereka yang telah banyak kehilangan waktunya untuk mengejar kepentingan sempit pribadi dan menghabiskan banyak waktu untuk kerja-kerja produktif untuk anak-anak, untuk kekasih, dan yang masih mau mendampingi rakyat untuk melepaskan diri dari penindasan ekonomi, sosial, politik, dan budaya… para aktifis yang berjuang untuk penyadaran, kesetaraan, keadilan, dan demokrasi—kepada merekalah buku ini saya haturkan.

Kepada para suami yang tidak menghormati istrinya dan memberinya peran yang layak sebagai manusia seperti dirinya (sang suami); kepada seorang istri yang memahami bahwa posisinya adalah untuk anak-anak dan masyarakatnya, yang merelakan dirinya dalam keadaan sakit melahirkan anak-anak yang diharapkan akan menjadi manusia yang berperan luas di dunia, dan bukan sekedar mencekokinya dengan gelimangan materi dan uang atau kekayaan; kepada para ibu dan bapak yang telah berniat merawat anak-anak dengan kebebasan yang bermakna; kepada para pecinta (para pasangan) yang menjalin hubungan (‘pacaran’) bukan hanya untuk ‘gaul-gaulan’ atau untuk memenuhi tujuan-tujuan sempit (seks bebas); kepada dua orang terkasih yang memahami apa makna hidup dan bagaimana harus berperan untuk perubahan—kepada merekalah buku ini saya persembahkan.***

-----------------------------------------------------