Selasa, 04 Desember 2007

Satu Lagi PRESIDEN PEREMPUAN ANTI-NEOLIBERALISME


Fernandez, Chavez, dan Kita

Oleh: Nurani Soyomukti*)

Saat di Indonesia sedang ramai diperbincangkan isu kepemimpinan nasional, Argentina baru saja merampungkan proses pergantian kepemimpinan baru dengan Cristina Fernandez de Kirchner terpilih dalam pemilihan presiden. Fernandez adalah suami Neztor Kirchner yang sebelumnya adalah presiden yang dapat dikatakan sebagai seorang pemberani karena pada tahun 2005 ia menyatakan mengutuk keberadaan perdagangan bebas kawasan Amerika (FTAA) dan menyatakan diri menolak pembayaran utang luar negerinya.
Tidak sedikit pengamat yang melihat bahwa kemenangan Fernandez tidak lepas dari popularitas Kirchner selama ini. Sulit bagi Fernandez untuk berbeda dalam garis kebijakannya dengan suaminya, apalagi dua hati dan pikiran (Kirchner dan Fernandez sebagai suami-istri) telah terpaut sejak keduanya kuliah bidang Hukum dan menjadi aktivis. Tetapi bukan berarti bahwa Fernandez tidak mampu mengalahkan keberhasilan suaminya. Perempuan yang pada tahun 1970-an aktif di organisasi Tendensi Revolusioner Argentina ini menang karena pendukung utamanya adalah “kaum papa” di Argentina.

Peran Chavez
“Kemenangan presiden baru Argentina adalah kemenangan seluruh perempuan Amerika Latin,” kata Presiden Venezuela Hugo Chaves. Hugo Chavez termasuk salah satu tokoh presiden tetangga yang pertama kali mengucapkan selamat, selain Lula Da Silva presiden Brazil. Hugo Chavez selama ini memimpin perlawanan terhadap AS dan neoliberalisme di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Fernandez terpilih dan akan menggantikan suaminya yang telah menjadi presiden yang cukup berhasil, juga sama radikalnya dengan Chavez, Morales, Ortega, dan tokoh-tokoh lainnya di kawasan ini.
Terpilihnya Fearnandez tak lepas dari mood politik Amerika Latin yang kian populis-sosialis. Peran terbesar dari munculnya tendensi tersebut dimainkan oleh Hugo Chavez yang selama ini merupakan tokoh yang paling lantang menyerukan perlawanan terhadap pasar bebas dan AS. Sejak awal Chavez bersikeras untuk meluaskan Solidaritas Internasional melawan imperialisme, menggagas pembentukan ALBA—Alternativa Bolivariana para las Americas, sebagai boikot terhadap FTAA—Free Trade Area of the Americas—yang disponsori oleh Amerika Serikat. Berbeda dengan FTAA, ALBA dimaksudkan untuk mendorong blok perdagangan berorientasi sosial, egaliter dan keadilan bagi kemanusiaan daripada logika pro-pasar yang selama ini dipergunakan yaitu maksimalisasi deregulasi profit.
Kekuatan pemerintahan revolusioner terletak pada partisipasi demokratik rakyat secara langsung lewat Lingkaran Bolivarian yang isinya adalah, serikat buruh, kaum tani, mahasiswa, NGO dan koperasi-koperasi dan kelompok demokratik lainnya. Gerakan massa sebagai benih-benih sosialisme memang telah lama ditempa di Amerika Latin. Berbeda dengan negara-negara Ketiga di Asia dan Afrika, investasi kesadaran politik kerakyatan dan strategi taktik gerakannya telah lama dilakukan. Hal itu tentunya sebagai reaksi atas neo-liberalisme yang lebih dulu dan lama dari pada negara-negara Asia dan Afrika. Pemretelan peran negara, pencabutan subsidi rakyat, privatisasi yang berakibat pada pemiskinan telah lebih dulu terjadi di kawasan tersebut.
Lebih dari dua dekade Amerika Serikat (AS) memaksakan neo-liberalisme pada negara-negara Di Amerika Latin agar dunia menyediakan kondisi lebih baik bagi bisnis perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Bagi banyak kalangan, kekuasaan ekonomi AS yang meluas, didukung oleh senjata dan pinjaman hutang lelihatannya tanpa perlawanan sama sekali. Tapi akhir-akhir ini, tidak dapat mengalahkan para milisi-milisi Irak yang melakukan perlawanan tiap hari, dan juga terciptanya aliansi yang cepat di Latin Amerika, kekuasaan globalisasi neo-liberal di bawah arahan AS seakan kelihatan tidak memiliki daya kekuatan lagi.
Tanggal 1 Januari 2005 barangkali adalah saat yang signifikan untuk menandai gejala itu di Amerika Latin. Pada tanggal itu, Free Trade Area of the Americas (FTAA) dianggap sebagai isyarat. FTAA adalah salah satu proyek kesayangan Washington—lembaga tersebut adalah andalan utama dalam merubah hambatan yang memusuhi perusahaan-perusahaan AS yang menjarah Amerika Latin. Tapi pada akhir tahun 2004, negosiasi FTAA telah dibekukan oleh pemerintah-pemerintah Venezuela, Brazil, Argentina, Bolivia, dan Uruguay yang menolak menegosiasikan masa depan rakyatnya secara lebih jauh.

Kepemimpinan Alternatif
Di negeri kita, sentimen anti-neoliberalisme belum bisa dikatakan menguat. Bahkan konon para ekonom liberal selalu mendominasi pemerintahan kita sejak jaman Orde Baru. Sementara para ekonom dan politisi dengan perspektif anti-neoliberal tidak mampu mengorganisir kekuatan politik yang solid.
Sekarang ini tingkat ketidakpuasan rakyat terhadap nasibnya kian membesar karena kehidupan mereka memang kian memburuk akibat kebijakan-kebijakan neoliberalisme, bahkan rakyat kian muak dengan watak elit yang tetap saja korup, aji mumpung, dan mengurusi kepentingannya sendiri (dalam menumpuk kekayaan). Corak perlawanan yang salah juga kian banyak terjadi, misalnya adanya konflik dan kekerasan bernuansa agam dan suku. Tetapi intinya, entah reaksi rakyat benar atau salah (objektif atau subjektif), potensi bagi pembesaran dan kemajuannya tak diragukan lagi.
Sekarang tinggal bagaimana muncul tokoh yang menjadi sang pelopor dan mampu memimpin reaksi massa tersebut. Yang jelas saat ini rakyat butuh penjelasan tentang apa yang terjadi dan tentang bagaimana kemudian cara merubah nasib mereka—setelah tahu apa yang terjadi (tahu bahwa mereka ditindas dan butuh merubah nasibnya). Harus ada sarana untuk memungkinkan rakyat berkumpul dan mendiskusikan persoalan-persoalan itu dan menbicarakan perubahan. Yang lebih penting juga mendorong agar massa rakyat terlibat aktif dalam kegiatan politik semacam itu.
Singkatnya, saat ini rakyat butuh alat politik bagi mereka untuk memperjuangkan nasibnya. Alat politik modern bagi perubahan sosial tentunya adalah organisasi atau wadah tempat berkumpul yang terikat dalam satu tujuan yang maju, yaitu pembebasan diri dari penindasan dan mewujudkan tatanan yang adil. Sekian banyak organisasi perlawanan dan perjuangan rakyat, maka harus didorong semakin banyak pula keterlibatan mereka secara aktif. Organisasi tersebut haruslah maju secara ideologis (anti penindasan dan mencitakan tatanan baru), secara programatik (dengan program-program yang mampu menjawab masalah yang ada), dan strategi-taktik (suatu cara untuk menyusun kekuatan dan mewujudkan tujuan).***

Tidak ada komentar: