Kamis, 29 Mei 2008
Dari Bedah Buku di Banyuwangi:
Tinggalkan “Aksi Ranjang”, Lakukan “Aksi Jalanan”!
(Makalah Bedah Buku “DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS” Kamis 29 Mei 2008, di Auditoroim Lt. 2 Universitas 17 Agustus (UNTAG) Banyuwangi)
Oleh Nurani Soyomukti
Seks adalah variabel independen. Seks selalu ada dalam tubuh manusia karena manusia adalah homo seksualis (makhluk seksual). Menekan kebutuhan seks adalah menyangkal keberadaan (eksistensi) manusia. Tetapi, mengumbar kebutuhan seks juga tidak menjelaskan hakekat kita sebagai manusia. Hidup bukan hanya seks, meskipun seks tetap kebutuhan yang sangat penting.
Keadilan pemenuhan seks adalah awal dari harmoni peradaban. Kita lihat sekarang, pemenuhan kebutuhan seks dibatasi oleh berbagai macam belenggu, mulai agama, negara, moral, hingga—yang paling penting adalah—tatanan ekonomi. Tanpa negara, agama, maupun moral, seks tetap lah ada dalam tubuh manusia.
Karenanya yang harus kita gugat adalah ketidakadilan ekonomi yang diskriminatif. Mayoritas rakyat miskin tetap kesulitan bertahan hidup, tertekan dalam melangsungkan proses produksi dan reproduksi. Para pemuda penganggur di desa-desa dan perkotaan tidak siap untuk mendapatkan seks secara “halal” karena—untuk menikah (jika ini salah satu cara “halal” untuk “ngeseks”)--dihadapkan pada kemiskinan. Maka, jalan “jahat” untuk mendapatkan seks adalah tindakan anti-demokrasi dan pelacuran.
KAPITALISME: JUAL BELI TUBUH!
Dan pelacuran atau jual-beli tubuh adalah pilar dari masyarakat kapitalisme. Pada akhir-akhir ini banyak kasus-kasus perkosaan dan seks bebas yang disebabkan oleh gambaran tubuh telanjang yang membodohi. Yang dialami rakyat adalah: dari ketertindasan ekonomi-politik menjadi perbuatan kriminal. Di berbagai tempat (terutama media-media kapitalis), mereka disuguhi tubuh-tubuh glamour yang menawarkan gaya hidup. Ketika rakyat miskin, yang banyak numpang nonton TV di rumah tetangganya, melihat kemewahan keluarga-keluarga dalam sinetron dan telenovela, di dalam hati mereka sangat mendambakan kehidupan seperti itu. Kebutuhan dan keinginan mereka dirangsang, dalam alam bawah sadar mereka menginginkan segala sesuatu yang mereka lihat.
Tetapi tidak bisa menjelaskan kenapa mereka tidak bisa seperti orang lain yang mampu memenuhi segala kebutuhannya, seperti gaya hidup selebritis yang ditonton dalam acara infoteinmen (yang tubuhnya estetis karena dirawat dan didandani dengan aksesoris dan pakaian yang mahal-mahal). Mereka hanya bisa pasrah dan dalam banyak hal dimanfaatkan dalam mobilisasi politik kaum elit feodal dan borjuasi. Banyak orang yang stressed dalam budaya yang mengobral tubuh dan kemewahan yang dalam pemenuhannya hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu. Makanya, muncullah praktek-praktek “ilegal” dalam kehidupan sehari-hari. Seperti diungkapkan Ignas Kleden pada tahun 1980-an, bahkan sebelum budaya masyarakat belum sedangkal sekarang: ”...godaan terhadap suatu gaya hidup yang belum dapat didukung oleh penghasilan yang sah, dengan mudah dapat membawa orang kepada praktek-praktek ilegal dan tidak sah untuk memperoleh penghasilan tambahan guna membiayai hidup yang dicita-citakan.”?
Tubuh yang “dicita-citakan” oleh masyarakat KAPITALIS yang terstandardisasi oleh iklan, dengan demikian adalah tubuh yang akhirnya bisa digunakan untuk kepentingan kapitalisasi dan komersialitas. Tubuh dijadikan alat dalam iklan, pada saat yang sama “ideal keindahan tubuh” juga dikonstruk dan distansardisasi agar memudahkan para produsen untuk menyesuaikan antara citra produk dengan gairah membeli masyarakat.
Produsen budaya kapitalis telah mensandardisasi estetika tubuh sampai hal-hal yang terkecil, mulai dari ukuran (besar-kecil), bentuk, warna, dan bahkan bau. Standar ini digunakan untuk meluncurkan produk-produk yang meluas, misalnya komoditas yang bisa membuat tubuh seksi, payu dara besar, pinggang ramping; yang bisa meninggikan badan; yang dapat menimbulkan aroma atau bau badan (parfum); yang dapat memutihkan, menghaluskan, dan melembabkan kulit; dan produk-produk yang dapat meningkatkan estetika tubuh (dan bagian-bagiannya) yang telah terstandardisasi.
Hal itu juga seiring dengan ideologi pemujaan tubuh yang meluas, yang awalnya dilakukan oleh para pekerja iklan dan hiburan dalam masyarakat kapitalis. Tubuh dan seluruh bagiannya harus dirawat kalau orang mau berharga dan bernilai dalam masyarakat komoditas ini. Aerobik, fitness, bodybuilding, operasi plastik, facial cream, dan cara-cara estetisasi tubuh lain dilakukan oleh orang yang berpunya uang dan juga untuk mengisi waktu luang.
Maka tubuh adalah modal dalam industri budaya itu sendiri. Tubuh digunakan untuk mencari uang, tanpa dukungan alat produksi lain pun jadi. Seorang wanita “cantik” dan “seksi” bisa dengan mudah menjadi peragawati ataupun bintang sinetron; kecantikan dan daya tariknya dengan sendirinya menjadi daya tawar (modal) untuk menjalani hubungan produksi uang dengan orang dan lembaga kapitalis lain. Dalam masyarakat kapitalis, jika kita berharga, maka akan banyak yang beli kita, harganyapun tinggi.
TUBUH-TUBUH DI KAMPUS
Beberapa tahun lalu ada kasus yang cukup terkenal di sebuah kampus di kota Bandung. Namanya adalah “ITENAS 15”—yaitu video cabul dua orang mahasiswa di Bandung. Kedua mahasiswa Bandung itu mengabadikan hubungan intimnya dalam sebuah kaset CD. Sayangnya video itu tersebar dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Hubungan intim keduanya pun terpublikasikan di mana-mana.
Belakangan kasus serupa juga seringkali terjadi. Artinya, itu bukan kasus yang pertama dan yang terakhir. Kasus semacam itu, tentu saja, tidak harus semata-mata hanya dipahami sebagai kebobrokan mental (mahasiswa sebagai makhluk) manusia, terutama sebagai homo seksualis. Kita harus jujur: Seks adalah realitas.
Dalam buku yang berjudul ”Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme” ini, saya telah menguraikan kencenderungan seksual dalam tingkahlaku mahasiswa sekarang ini dengan tinjauan filosofis dan psikologis—terutama memanfaatkan pandangan Sigmund Freud, Karl Marx, dan Kahlil Gibran.[2]
Kebejadan seksual yang terjadi di kalangan mahasiswa dan masyarakat secara umum tak bisa dilepaskan dari perkembangan tatanan ekonomi kapitalis. Dalam kapitalisme seks ditebarkan secara habis-habisan, bukan hanya secara sembunyi-sembunyi, tetapi semakin terang-terangan. Nafsu seks masyarakat dirangsang dan mereka sekaligus memberikan pelajaran liberalisme seks.
Kamu tahu kan bahwa di jaman sekarang ini, tontonan porno begitu mudah dilihat? Tayangan-tayangan TV, film, dan media cetak juga banyak sekali yang mengumbar pornografi, belum lagi film porno yang dengan mudah diakses lewat internet dan bahkan di-download ke HP. Intinya adalah bahwa, kapitalisme ingin bertahan dengan cara mempengaruhi kamu untuk menjadi remaja/kaum muda yang permisif dan suka merayakan kebebasan semacam seks bebas. Karena kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana keutamaannya adalah pengejaran keuntungan sebanyak-banyaknya bagi mereka yang memiliki modal dan menjalankan industri, maka industri seks juga merupakan suatu kegiatan ekonomi yang mendatangkan banyak keuntungan. Produksi seks, selain menguntungkan, juga akan menciptakan anak-anak muda yang mudah dicetak menjadi generasi yang mudah diatur.
Di negara-negara kapitalis maju seperti Amerika Serikat, misalnya, 4000 film porno diproduksi setiap tahun, dan uang yang dihasilkan lebih dari 12 milyar AS. Sebuah suvey memperkirakan penduduk Amerika Serikat setiap tahun mengeluarkan $8-10 milyar untuk mendapat majalah, kaset video atau akses ke siaran dan situs internet porno.[3]
Tentunya hal itu membawa akibat moral yang buruk bagi masyarakat. Sebuah survey oleh majalah Women’s Day mengatakan 21% dari 6.000 pembacanya pernah mengalami serangan atau pelecehan seksual sebagai akibat langsung dari konsumsi pornografi. Studi lain mengatakan tontonan pornografi cenderung membuat laki-laki menjadi lebih agresif terhadap perempuan.
Sebaliknya kekerasan seksual juga cenderung mendorong perempuan untuk terlibat dalam industri pornografi. Sekitar 70% perempuan dalam industri ini pernah mengalami serangan seksual atau menjadi korban incest semasa kecil. Dalam beberapa tahun belakangan kecenderungan melibatkan anak-anak dalam industri ini pun semakin besar untuk melayani konsumen pedofilia yang juga semakin meningkat.
Di Indonesia juga sama. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh dr. Andik Wijaya, DMSH terhadap 202 remaja di kota Malang, pada bulan September 2001, juga begitu adanya. Dengan 51, 5 % responden pria, 48, 5 % wanita. 6 % beusia 13-15 tahun, 67,3 % berusia 16-18 tahun, dan 26,7 % berusia diatas 18 tahun. Dari hasil penelitian itu terungkap bahwa 7 % dari responden mengaku melakukan aktifitas oral sex. 100 persen mereka yang melakukan oral sex ini mengaku mendapatkan gagasan untuk melakukan oral sex dari VCD porno yang mereka lihat, disamping itu 73 persen dari teman, 66 persen dari internet, 47 persen dari media cetak seperti koran, tabloid, maupun majalah.
Gambaran itu adalah petunjuk bagi kita betapa buruknya akibat yang ditimbulkan bagi liberalisasi tubuh. Para ”pekerja tubuh” di kalangan artis-selebritis memberika sumbangan yang besar bagi liberalisasi budaya dan secara nyata mendukung terciptanya liberalisasi pasar (ekonomi neoliberal) yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat. Mereka merelakan dirinya (tubuhnya) dieksploitasi dan pemilik industrilah yang paling banyak mendapatkan keuntungan.
CINTA SEJATI ADALAH “PERLAWANAN”
Percayalah, patokan cinta itu bukan sinetron atau film porno. Cinta memang indah, apalagi kalau dilambari nafsu—pasti memabukkan dan membuat kamu lupa diri. Tapi cinta bukan hanya kesenangan, tapi kebersamaan—bahkan termasuk kesedihan dan kebersamaan yang dibagi bersama. “Cinta bukan sekedar kata-kata”, begitu dilantunkan Once vokalis Dewa 19 dulu. Cinta adalah tindakan, perbuatan, komitmen untuk menciptakan kebaikan bersama. Makanya cinta itu dekat dengan konsep keadilan (justice) dan kesamaan (equality).
Tapi tidak semua lagu-lagu pop yang kamu dengarkan memberikan ajaran Cinta dengan baik. Lagu penuh pujaan memang mewakili rasa senang seorang mahasiswa dan meyakinkan bahwa mencari pasangan hidup (pacaran) adalah kegiatan yang paling penting. Sinetron juga demikian. Ada ajaran penting yang ada dalam sinetron. Ada dya kemungkinan bagi seorang remaja (dalam kisah sinetron) apabila ia tertolak cintanya: (1) ia menangis/cengeng atau pasrah dan berdoa pada Tuhan; (2) ia agresif jahat dan melakukan segala cara agar tujuannya terpenuhi (biasanya dikisahkan dengan melakukan tindakan-tindakan licik baik oleh dirinya sendiri maupun meminjam orang lain, hingga menggunakan bantuan “setan”—sebagaimana digambarkan dalam kisah sinetron “gaib-gaiban”.
Kedua hal itulah yang kemudian diikuti oleh masyarakat kita dalam bertindak untuk memaknai hidupnya dan hubungannya dengan orang lain. Ajaran picik dari sinetron itu turut bertanggungjawab untuk melemahkan dan merusak mental masyarakat, terutama juga kamu sebagai mahasiswa. Kemudian, makna cinta palsu lah yang banyak dipahami dan dilakukan oleh masyarakat kita.
Kalau kamu pacaran, tetapi kamu masih punya pikiran jernih akan apa yang terjadi dan kamu juga masih banyak meluangkan waktu untuk berperan dalam gerakan, maka kamu memang tidak sepicik teman-teman kamu yang waktunya habis-habisan di habiskan untuk pacaran dan bersenang-senang. Apalagi jika kalian berdua (kamu dan pacar kamu) sama-sama berperan dalam gerakan sosial-politik untuk perubahan, itu akan lebih bagus. Kalian nantinya akan menikah, membangun keluarga berdasarkan pengetahuan dan peran sosial di masyarakat, menghidupi keluarga tetapi juga masih punya tindakan bagi perjuangan untuk perubahan demi keadilan yang kini sedang dibangun oleh berbagai gerakan di berbagai negara—Wah, keluarga semacam itulah yang merupakan keluarga produktif! Kamu dan pacar/istrimu pun akan melahirkan anak-anak dan cucu-cucu yang diwarisi dengan cita-cita mulia, pengetahuan, keberanian, dan keterlibatan dalam perjuangan melawan penindasan.
Maka, dapat disimpulkan bahwa selama masih terjadi penindasan di masyarakat, Cinta Sejati yang paling agung adalah berhubungan dengan banyak orang dan membangun tindakan kolektif (kebersamaan) untuk membicarakan perubahan bagi masa depan umat manusia. Dalam sebuah situasi kehidupan yang dipenuhi kontradiksi, Cinta sejati nampak dalam perlawanan yang tegas dan berani terhadap keangkara-murkaan yang ada di depan kita.
Maka, sebagaimana dikatakan oleh Che Guevara, “tingkat tertinggi dari cinta adalah perlawanan (revolusi)”. Hal itu senada dengan pandangan seorang filsuf pendidikan dari Brazilia, Pailo Freire, yang pernah mengatakan:[4]
“Saya akui bahwa saya tidak percaya pada revolusi yang mengingkari adanya cinta, yang meletakkan isu cinta dalam tanda kurung. Dalam hal ini, saya termasuk “Guevarian”, Che Guevarian. Cinta dan revolusi itu berjalan bersama. Sensualisme itu berisi tubuh dan dibuat secara eksplisit oleh tubuh, sekalipun terkait dengan kemampuan kognitif. Akan terasa absurd jika kita memisahkan antara usaha yang teliti untuk mengetahui dunia dan keinginan untuk mengetahui. Saya tertarik bukan hanya pada dunia, tetapi pada proses mempelajari dunia secara sungguh-sungguh”.
—(Pauol Freire)—
***
___________________________
Catatan:
? Ignas Kleden, Transnasionalisasi Gaya Hidup: Pengalaman Indonesia, dalam “Sikap Ilmiah & Kritik Kebudayaan”, cetakan ke-2 (Jakarta: LP3ES, 1998) hal. 275
[2] Lihat Nurani Soyomukti. Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme. Yogyakarta: Garasi Book, 2008
[3] ”Dua Bintang Porno AS Terinfeksi HIV/AIDS”, dalam http://kaskus.us/archive/index.php/t-115729.html
[4] Paulo Freire. Pendidikan Masyarakat Kota. Yogyakarta: LKiS,2003, hal. 81
(Makalah Bedah Buku “DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS” Kamis 29 Mei 2008, di Auditoroim Lt. 2 Universitas 17 Agustus (UNTAG) Banyuwangi)
Oleh Nurani Soyomukti
Seks adalah variabel independen. Seks selalu ada dalam tubuh manusia karena manusia adalah homo seksualis (makhluk seksual). Menekan kebutuhan seks adalah menyangkal keberadaan (eksistensi) manusia. Tetapi, mengumbar kebutuhan seks juga tidak menjelaskan hakekat kita sebagai manusia. Hidup bukan hanya seks, meskipun seks tetap kebutuhan yang sangat penting.
Keadilan pemenuhan seks adalah awal dari harmoni peradaban. Kita lihat sekarang, pemenuhan kebutuhan seks dibatasi oleh berbagai macam belenggu, mulai agama, negara, moral, hingga—yang paling penting adalah—tatanan ekonomi. Tanpa negara, agama, maupun moral, seks tetap lah ada dalam tubuh manusia.
Karenanya yang harus kita gugat adalah ketidakadilan ekonomi yang diskriminatif. Mayoritas rakyat miskin tetap kesulitan bertahan hidup, tertekan dalam melangsungkan proses produksi dan reproduksi. Para pemuda penganggur di desa-desa dan perkotaan tidak siap untuk mendapatkan seks secara “halal” karena—untuk menikah (jika ini salah satu cara “halal” untuk “ngeseks”)--dihadapkan pada kemiskinan. Maka, jalan “jahat” untuk mendapatkan seks adalah tindakan anti-demokrasi dan pelacuran.
KAPITALISME: JUAL BELI TUBUH!
Dan pelacuran atau jual-beli tubuh adalah pilar dari masyarakat kapitalisme. Pada akhir-akhir ini banyak kasus-kasus perkosaan dan seks bebas yang disebabkan oleh gambaran tubuh telanjang yang membodohi. Yang dialami rakyat adalah: dari ketertindasan ekonomi-politik menjadi perbuatan kriminal. Di berbagai tempat (terutama media-media kapitalis), mereka disuguhi tubuh-tubuh glamour yang menawarkan gaya hidup. Ketika rakyat miskin, yang banyak numpang nonton TV di rumah tetangganya, melihat kemewahan keluarga-keluarga dalam sinetron dan telenovela, di dalam hati mereka sangat mendambakan kehidupan seperti itu. Kebutuhan dan keinginan mereka dirangsang, dalam alam bawah sadar mereka menginginkan segala sesuatu yang mereka lihat.
Tetapi tidak bisa menjelaskan kenapa mereka tidak bisa seperti orang lain yang mampu memenuhi segala kebutuhannya, seperti gaya hidup selebritis yang ditonton dalam acara infoteinmen (yang tubuhnya estetis karena dirawat dan didandani dengan aksesoris dan pakaian yang mahal-mahal). Mereka hanya bisa pasrah dan dalam banyak hal dimanfaatkan dalam mobilisasi politik kaum elit feodal dan borjuasi. Banyak orang yang stressed dalam budaya yang mengobral tubuh dan kemewahan yang dalam pemenuhannya hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu. Makanya, muncullah praktek-praktek “ilegal” dalam kehidupan sehari-hari. Seperti diungkapkan Ignas Kleden pada tahun 1980-an, bahkan sebelum budaya masyarakat belum sedangkal sekarang: ”...godaan terhadap suatu gaya hidup yang belum dapat didukung oleh penghasilan yang sah, dengan mudah dapat membawa orang kepada praktek-praktek ilegal dan tidak sah untuk memperoleh penghasilan tambahan guna membiayai hidup yang dicita-citakan.”?
Tubuh yang “dicita-citakan” oleh masyarakat KAPITALIS yang terstandardisasi oleh iklan, dengan demikian adalah tubuh yang akhirnya bisa digunakan untuk kepentingan kapitalisasi dan komersialitas. Tubuh dijadikan alat dalam iklan, pada saat yang sama “ideal keindahan tubuh” juga dikonstruk dan distansardisasi agar memudahkan para produsen untuk menyesuaikan antara citra produk dengan gairah membeli masyarakat.
Produsen budaya kapitalis telah mensandardisasi estetika tubuh sampai hal-hal yang terkecil, mulai dari ukuran (besar-kecil), bentuk, warna, dan bahkan bau. Standar ini digunakan untuk meluncurkan produk-produk yang meluas, misalnya komoditas yang bisa membuat tubuh seksi, payu dara besar, pinggang ramping; yang bisa meninggikan badan; yang dapat menimbulkan aroma atau bau badan (parfum); yang dapat memutihkan, menghaluskan, dan melembabkan kulit; dan produk-produk yang dapat meningkatkan estetika tubuh (dan bagian-bagiannya) yang telah terstandardisasi.
Hal itu juga seiring dengan ideologi pemujaan tubuh yang meluas, yang awalnya dilakukan oleh para pekerja iklan dan hiburan dalam masyarakat kapitalis. Tubuh dan seluruh bagiannya harus dirawat kalau orang mau berharga dan bernilai dalam masyarakat komoditas ini. Aerobik, fitness, bodybuilding, operasi plastik, facial cream, dan cara-cara estetisasi tubuh lain dilakukan oleh orang yang berpunya uang dan juga untuk mengisi waktu luang.
Maka tubuh adalah modal dalam industri budaya itu sendiri. Tubuh digunakan untuk mencari uang, tanpa dukungan alat produksi lain pun jadi. Seorang wanita “cantik” dan “seksi” bisa dengan mudah menjadi peragawati ataupun bintang sinetron; kecantikan dan daya tariknya dengan sendirinya menjadi daya tawar (modal) untuk menjalani hubungan produksi uang dengan orang dan lembaga kapitalis lain. Dalam masyarakat kapitalis, jika kita berharga, maka akan banyak yang beli kita, harganyapun tinggi.
TUBUH-TUBUH DI KAMPUS
Beberapa tahun lalu ada kasus yang cukup terkenal di sebuah kampus di kota Bandung. Namanya adalah “ITENAS 15”—yaitu video cabul dua orang mahasiswa di Bandung. Kedua mahasiswa Bandung itu mengabadikan hubungan intimnya dalam sebuah kaset CD. Sayangnya video itu tersebar dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Hubungan intim keduanya pun terpublikasikan di mana-mana.
Belakangan kasus serupa juga seringkali terjadi. Artinya, itu bukan kasus yang pertama dan yang terakhir. Kasus semacam itu, tentu saja, tidak harus semata-mata hanya dipahami sebagai kebobrokan mental (mahasiswa sebagai makhluk) manusia, terutama sebagai homo seksualis. Kita harus jujur: Seks adalah realitas.
Dalam buku yang berjudul ”Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme” ini, saya telah menguraikan kencenderungan seksual dalam tingkahlaku mahasiswa sekarang ini dengan tinjauan filosofis dan psikologis—terutama memanfaatkan pandangan Sigmund Freud, Karl Marx, dan Kahlil Gibran.[2]
Kebejadan seksual yang terjadi di kalangan mahasiswa dan masyarakat secara umum tak bisa dilepaskan dari perkembangan tatanan ekonomi kapitalis. Dalam kapitalisme seks ditebarkan secara habis-habisan, bukan hanya secara sembunyi-sembunyi, tetapi semakin terang-terangan. Nafsu seks masyarakat dirangsang dan mereka sekaligus memberikan pelajaran liberalisme seks.
Kamu tahu kan bahwa di jaman sekarang ini, tontonan porno begitu mudah dilihat? Tayangan-tayangan TV, film, dan media cetak juga banyak sekali yang mengumbar pornografi, belum lagi film porno yang dengan mudah diakses lewat internet dan bahkan di-download ke HP. Intinya adalah bahwa, kapitalisme ingin bertahan dengan cara mempengaruhi kamu untuk menjadi remaja/kaum muda yang permisif dan suka merayakan kebebasan semacam seks bebas. Karena kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana keutamaannya adalah pengejaran keuntungan sebanyak-banyaknya bagi mereka yang memiliki modal dan menjalankan industri, maka industri seks juga merupakan suatu kegiatan ekonomi yang mendatangkan banyak keuntungan. Produksi seks, selain menguntungkan, juga akan menciptakan anak-anak muda yang mudah dicetak menjadi generasi yang mudah diatur.
Di negara-negara kapitalis maju seperti Amerika Serikat, misalnya, 4000 film porno diproduksi setiap tahun, dan uang yang dihasilkan lebih dari 12 milyar AS. Sebuah suvey memperkirakan penduduk Amerika Serikat setiap tahun mengeluarkan $8-10 milyar untuk mendapat majalah, kaset video atau akses ke siaran dan situs internet porno.[3]
Tentunya hal itu membawa akibat moral yang buruk bagi masyarakat. Sebuah survey oleh majalah Women’s Day mengatakan 21% dari 6.000 pembacanya pernah mengalami serangan atau pelecehan seksual sebagai akibat langsung dari konsumsi pornografi. Studi lain mengatakan tontonan pornografi cenderung membuat laki-laki menjadi lebih agresif terhadap perempuan.
Sebaliknya kekerasan seksual juga cenderung mendorong perempuan untuk terlibat dalam industri pornografi. Sekitar 70% perempuan dalam industri ini pernah mengalami serangan seksual atau menjadi korban incest semasa kecil. Dalam beberapa tahun belakangan kecenderungan melibatkan anak-anak dalam industri ini pun semakin besar untuk melayani konsumen pedofilia yang juga semakin meningkat.
Di Indonesia juga sama. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh dr. Andik Wijaya, DMSH terhadap 202 remaja di kota Malang, pada bulan September 2001, juga begitu adanya. Dengan 51, 5 % responden pria, 48, 5 % wanita. 6 % beusia 13-15 tahun, 67,3 % berusia 16-18 tahun, dan 26,7 % berusia diatas 18 tahun. Dari hasil penelitian itu terungkap bahwa 7 % dari responden mengaku melakukan aktifitas oral sex. 100 persen mereka yang melakukan oral sex ini mengaku mendapatkan gagasan untuk melakukan oral sex dari VCD porno yang mereka lihat, disamping itu 73 persen dari teman, 66 persen dari internet, 47 persen dari media cetak seperti koran, tabloid, maupun majalah.
Gambaran itu adalah petunjuk bagi kita betapa buruknya akibat yang ditimbulkan bagi liberalisasi tubuh. Para ”pekerja tubuh” di kalangan artis-selebritis memberika sumbangan yang besar bagi liberalisasi budaya dan secara nyata mendukung terciptanya liberalisasi pasar (ekonomi neoliberal) yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat. Mereka merelakan dirinya (tubuhnya) dieksploitasi dan pemilik industrilah yang paling banyak mendapatkan keuntungan.
CINTA SEJATI ADALAH “PERLAWANAN”
Percayalah, patokan cinta itu bukan sinetron atau film porno. Cinta memang indah, apalagi kalau dilambari nafsu—pasti memabukkan dan membuat kamu lupa diri. Tapi cinta bukan hanya kesenangan, tapi kebersamaan—bahkan termasuk kesedihan dan kebersamaan yang dibagi bersama. “Cinta bukan sekedar kata-kata”, begitu dilantunkan Once vokalis Dewa 19 dulu. Cinta adalah tindakan, perbuatan, komitmen untuk menciptakan kebaikan bersama. Makanya cinta itu dekat dengan konsep keadilan (justice) dan kesamaan (equality).
Tapi tidak semua lagu-lagu pop yang kamu dengarkan memberikan ajaran Cinta dengan baik. Lagu penuh pujaan memang mewakili rasa senang seorang mahasiswa dan meyakinkan bahwa mencari pasangan hidup (pacaran) adalah kegiatan yang paling penting. Sinetron juga demikian. Ada ajaran penting yang ada dalam sinetron. Ada dya kemungkinan bagi seorang remaja (dalam kisah sinetron) apabila ia tertolak cintanya: (1) ia menangis/cengeng atau pasrah dan berdoa pada Tuhan; (2) ia agresif jahat dan melakukan segala cara agar tujuannya terpenuhi (biasanya dikisahkan dengan melakukan tindakan-tindakan licik baik oleh dirinya sendiri maupun meminjam orang lain, hingga menggunakan bantuan “setan”—sebagaimana digambarkan dalam kisah sinetron “gaib-gaiban”.
Kedua hal itulah yang kemudian diikuti oleh masyarakat kita dalam bertindak untuk memaknai hidupnya dan hubungannya dengan orang lain. Ajaran picik dari sinetron itu turut bertanggungjawab untuk melemahkan dan merusak mental masyarakat, terutama juga kamu sebagai mahasiswa. Kemudian, makna cinta palsu lah yang banyak dipahami dan dilakukan oleh masyarakat kita.
Kalau kamu pacaran, tetapi kamu masih punya pikiran jernih akan apa yang terjadi dan kamu juga masih banyak meluangkan waktu untuk berperan dalam gerakan, maka kamu memang tidak sepicik teman-teman kamu yang waktunya habis-habisan di habiskan untuk pacaran dan bersenang-senang. Apalagi jika kalian berdua (kamu dan pacar kamu) sama-sama berperan dalam gerakan sosial-politik untuk perubahan, itu akan lebih bagus. Kalian nantinya akan menikah, membangun keluarga berdasarkan pengetahuan dan peran sosial di masyarakat, menghidupi keluarga tetapi juga masih punya tindakan bagi perjuangan untuk perubahan demi keadilan yang kini sedang dibangun oleh berbagai gerakan di berbagai negara—Wah, keluarga semacam itulah yang merupakan keluarga produktif! Kamu dan pacar/istrimu pun akan melahirkan anak-anak dan cucu-cucu yang diwarisi dengan cita-cita mulia, pengetahuan, keberanian, dan keterlibatan dalam perjuangan melawan penindasan.
Maka, dapat disimpulkan bahwa selama masih terjadi penindasan di masyarakat, Cinta Sejati yang paling agung adalah berhubungan dengan banyak orang dan membangun tindakan kolektif (kebersamaan) untuk membicarakan perubahan bagi masa depan umat manusia. Dalam sebuah situasi kehidupan yang dipenuhi kontradiksi, Cinta sejati nampak dalam perlawanan yang tegas dan berani terhadap keangkara-murkaan yang ada di depan kita.
Maka, sebagaimana dikatakan oleh Che Guevara, “tingkat tertinggi dari cinta adalah perlawanan (revolusi)”. Hal itu senada dengan pandangan seorang filsuf pendidikan dari Brazilia, Pailo Freire, yang pernah mengatakan:[4]
“Saya akui bahwa saya tidak percaya pada revolusi yang mengingkari adanya cinta, yang meletakkan isu cinta dalam tanda kurung. Dalam hal ini, saya termasuk “Guevarian”, Che Guevarian. Cinta dan revolusi itu berjalan bersama. Sensualisme itu berisi tubuh dan dibuat secara eksplisit oleh tubuh, sekalipun terkait dengan kemampuan kognitif. Akan terasa absurd jika kita memisahkan antara usaha yang teliti untuk mengetahui dunia dan keinginan untuk mengetahui. Saya tertarik bukan hanya pada dunia, tetapi pada proses mempelajari dunia secara sungguh-sungguh”.
—(Pauol Freire)—
***
___________________________
Catatan:
? Ignas Kleden, Transnasionalisasi Gaya Hidup: Pengalaman Indonesia, dalam “Sikap Ilmiah & Kritik Kebudayaan”, cetakan ke-2 (Jakarta: LP3ES, 1998) hal. 275
[2] Lihat Nurani Soyomukti. Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme. Yogyakarta: Garasi Book, 2008
[3] ”Dua Bintang Porno AS Terinfeksi HIV/AIDS”, dalam http://kaskus.us/archive/index.php/t-115729.html
[4] Paulo Freire. Pendidikan Masyarakat Kota. Yogyakarta: LKiS,2003, hal. 81
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar