Kamis, 24 Juli 2008
Renungan Hari Anak Nasional (HAN):
MENAMAI ANAK, MENAMAI POSISI
DAN PERANNYA KELAK
Oleh: Nurani Soyomukti,
penulis buku ”Pendidikan Berperspektif Globalisasi (2008)”
dan sekarang aktif di TAMAN BACAAN UNTUK RAKYAT (T.A.B.U.R) Jawa Timur
Tugas orangtua adalah mengawal produktifitas dan kreatifitas anak agar ia mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan yang cukup dan digunakan untuk mengabdikan diri pada masyarakat.
Yang lebih penting adalah bagaimana anak-anak kita tanggap terhadap kehidupan yang sedang berkembang. Mereka juga harus memiliki identitas ketika berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Maka, anak-anak kita yang baru lahir harus kita namai sebagus dan sebaik mungkin, nama-nama yang bermakna agar kelahirannya di dunia juga membawa kemandirian identitas baginya.
Banyak nama-nama dan kata-kata di dunia ini untuk menjelaskan benda-benda yang ada, juga menjelaskan suatu situasi dan gejala yang ada. Nama-nama itu tentu memiliki sejarahnya, yang menjelaskan asal-usul sesuatu itu.
Demikian juga dalam memberikan nama-nama pada anak-anak kita. Setelah mereka lahir, ketika dia baru muncul di suatu tempta di mana orang-orang baru melihatnya, oang bertanya: siapakah dia? Pertama-tamana namalah yang biasanya ditanyakan. Karenanya nama begitu dekat dengan setiap orang, kebangaan seorang pada namanya merupakan suatu bentuk identifikasi diri yang cukup penting yang dalam banyak hal berpengaruh pada psikologisnya, yang tak jarang pula berkaitan dengan pertanyaan: siapakah diriku dilihat dari namaku? Apakah arti namaku?
Pentingnya nama ini juga berkaitan dengan fakta adanya interaksi antar anak-anak yang kadang juga mengolok-olok dengan memakai nama. Tak jarang kita jumpai anak-anak kecil yang mengolok-olok nama-nama yang dianggap jelek. Kadang anak kita tak tahu arti namanya pada saat anak-anak orang lain mengetahui dan membanggakannya—karena saat berkumpul dan bermain, anak-anak kecil selalu saling memamerkan dan menunjukkan siapa dirinya.
Kadang betapa anak itu malu gara-gara ia beranggapan bahwa namanya jelek, pada hal yang penting bukan jelek atau tidak kalau dia tahu apa arti namanya. Jadi tugas kita sebagai orangtua adalah menggunakan “politik penamaan” ini untuk mebuat dia merasa termotivasi dan terdorong untuk melakukan hal-hal yang positif. Kita harus membuat anak bangga pada namanya dan membuat mereka tahu bahwa nama mereka berarti baik.
Maka tiba waktunya kita menganalisis mana nama yang baik dan yang tidak. Soal ini, ada perubahan dari sudut jaman dan ada perbedaan pula dari sudut tempat (kebudayaan). Hal itulah yang membuat orang dulu dengan orang sekarang berbeda dalam memberikan nama. Juga, ada perbedaan antara suatu komunitas masyarakat dengan masyarakat lainnya. Ada komunitas budaya yang memberi nama dengan keharusan untuk mencantumkan nama marga (klan)-nya seperti di Batak dan beberapa tempat lainnya. Ada nama-nama yang dalam suatu masyarakat relative hampir sama. Tetapi juga ada masyarakat yang relative terbuka soal memberikan nama pada anak-anaknya.
Masyarakat Jawa tempo dulu dipandang terlalu “pelit” dalam memberikan nama pada anaknya. Misalnya, anak selalu (seringkali) dikasih nama dengan satu kata, seperti Sukarno, Suharto, Marzuki, Poniyem, Katimah, dll.
Seiring dengan keterbukaan akibat globalisasi, terjadi interaksi antara satu kebudayaan satu dengan lainnya, yang nampaknya budaya dari luar lebih mendominasi, bukan hanya model nama-nama Barat tapi juga dari Timur Tengah. Nama-nama berbahasa Jawa/Sansakerta nampaknya relative tersingkir.
Menurut saya kita sebagai orangtua yang hidup di era modern seperti sekarang tak perlu menyesali hilangnya nama-nama Jawa atau terlalu berlebihan mengadopsi nama-nama dari luar. Memang nama ini seakan menjadi otoritas bukan dari si anak yang masih bayi yang bahkan tak dapat berucap apa-apa selai menangis, karenanya cukup pnting agar nama itu juga memuaskan si anak saat mereka dewasa nanti. Karena juga ada orang yang tak puas dengan nama yang diberikan padanya sejak bayi.
Mungkin ada criteria cara memilih nama yang baik, yang menurut saya bias kita gunakan untuk menamai anak kita.
Pertama, memberi nama dengan meniru nama-nama orang besar, orang berguna, dan orang yang dikenang sejarah—bisa jadi karena keberaniannya, karena pemikiran dan penemuannya, atau karena keperkasaannya, atau karena lain-lainnya. Nama-nama seperti yang sudah umum selalu dipakai untuk mengacu pada orang-orang besar: Muhhamad (kadang dipendekkan Ahmad) yang biasanya nama depan, Jusuf (nabi), Iqbal (pemikir Islam), dan lain-lain bagi yang beragama Islam—atau Robert, Joni, dan lain-lain. Tapi juga nama-nama orang besar seperti Soekarno, Gandhi, Fidel, dan lain-lain.
Memberi nama dengan merujuk pada orang besar dan tokoh sejarah tentu saja agar anak kita menjadi seperti mereka. Jangan segan-segan menegur anak dengan mengingatkan dengan nama mereka adalah nama orang besar. Misalnya pada saat anak kita malas belajar, maka kita akan berkata pada mereka: “Bagaimana ini, Soekarno kok malas belajar?! Bagaimana nanti dapat mmimpin massa dan pidato di hadapan banyak orang kalau mengerjakan tugas saja tidak mau?”
Kadang orangtua sama sekali tak memanfaatkan cara seperti itu. Pada hal secara psikologis hal semacam itu masuk dalam perasaan mereka, baik sadar maupun tidak. Orangtua lebih suka menegur atau menyuruh anak dengan cara pragmatis, misalnya mengatakan: “Hayoo, kalau nggak belajar nanti nggak saya ajak nonton sirkus!” atau “Wah, gimana papa mau beliin kamu mobil baru kalau kamu malas-malasan dan tak membahagiakan papa kayak gitu!”
Kadang juga hanya dimarahi agar menurut. Jelas hal itu tidak menunjukkan keintiman dalam mendorong anak agar berbuat baik. Cara semacam itu merupakan sesat pikir dalam mendidik anak-anak kita.
Kedua, nama tidak harus dari nama orang, tetapi juga dari kata yang mengandung makna tertentu yang tentu saja artinya harus kita jelaskan pada anak. Bisa kata sifat seperti Rahim (penyayang), Rahmat, dan lain-lain. Atau bias nama-nama benda baik binatang (Mahesa, Lembu, dll), tumbuhan (Bunga, Melati, Fatmosari, dll), atau bagian dari alam (Bintang, Siti [bumi], Wulan), gelar atau sebutan (Dewi, Putri, dll).
Tak jarang pula nama-nama seperti Eka, Dwi, Tri, Panca, dll digunakan untuk menunjuk anak keberapakah anak itu.
Ketiga, dalam pandangan saya sebaiknya untuk ukura jaman sekarang kita jangan memberikan nama yang terdiri dari satu huruf seperti orang Jawa dulu. Alasannya adalah bahwa mereka akan malu pada teman-temannya karena jujur saja hamper tak ada orangtua yang memberikan nama seperti itu. Kalau kita masih memberikan anak-anak kita akan malu kalau diolok-olok teman lainya.
Keempat, akan lebih baik jika menggunakan 3 kata yang masing masing kata menyusun makna yang berarti atau tiap-tiap kata mengacu pada makna-makna yang besar.
Meskipun demikian, tetap tergantung pada Anda dalam memandang anak, mau jadi apa mereka. Saya boleh ingatkan bahwa pemberian nama ini dapat Anda “politisir” untuk tujuan kebaikan bagi mereka.
Saya pribadi punya pndapat bahwa anak-anak kita harus kita bentuk jadi orang yang cakap dan kreatif untuk hidup secara ekonomi, tetapi yang lebih penting adalah agar anak saya kelak menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, menjawab apa kontradiksi (masalah) yang ada di masyarakat dengan kepandaian dan keberaniannya. Anak saya harus berpikir maju, demokratis, dan bebas dari pandangan subjektif misalnya yang dijangkiti prasangka keagamaan, kesukuan, dan lain-lain. Anak saya harus mampu memeluk dan memiliki dunianya, pertama-tama ia harus mampu menjelaskan dunianya yang luas dan kedua mengarahkan dunia itu secara bersama dengan anak-anak lainnya yang pintar.
Maka, misalnya, saya memilih nama-nama seperti Hugo Karno Adisuryo. Apa maknanya? Sesuai kepentingan subjektif saya akan jadi apa dan akan berperan apa anak itu, 3 kata dari nama itu merupakan nama-nama tokoh sejarah baik di masa lalu maupun masa kini. Hugo adalah bagian nama dari Hugo Chavez, presiden Venezuela yang memiliki keberanian luar biasa dalam melawan dominasi Amerika Serikat (AS) di dunia dan presiden yang memberikan kesejahteraan pada rakyatnya melalui kebijaksanaannya. Lalu, Karno saya ambil dari nama Bung Karno yang kita semua tentu telah tahu. Adisuryo adalah nama tokoh pergerakan melawan penjajahan Belanda pada saat Indonesia belum merdeka. Saya suka sealo tokoh Adisuryo ini dalam kisah yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam Novelnya tetralogi Bumi Manusia, yang dalam novel itu namanya “Minke”.
Saya bertahan hidup dan berperan di masyarakat dengan menulis, dan saya melihat peran ini bagus untuk merubah kesadaran dan menawarkan cara pandang saya pada pembaca, maka saya sangat mengidolakan Adisuryo karena beliau adalah tokoh pers pertama di Indonesia yang dengan kata-kata dan tulisan-tulisannya mampu membangkitkan kesadaran rakyat bumi putera. Karenanya saya ingin anak saya juga mewarisi kemampuan menulis seperti itu.
Itulah contoh rasionalisasi atas nama yang kita pilih, seperti yang saya contohkan secara pribadi. Kalau anak Anda perempuan, misalnya, cobaah berpikir untuk memberinya 3 kata untuk menamainya, yang masing-masing kata mewakili 3 peradaban yang berbeda—tentunya dipilih pilih 3 peradaban yang besar (Jawa, Barat, Arab). Untuk rasionalisasi semacam itu misanya namailah anak itu: Saienta Dewi Zahroh, misalnya!
Apa makna dari nama yang terdiri dari tiga kata yang mewakili 3 peradaban yang berbeda itu? Kalau Anda mengambil nama itu, saya cenderung akan berkesimpulan: pertama, Anda tipe orang yang (multkulturalis), yang tidak terkungkung pada satu agama/budaya tetapi terbuka pada semua peradaban karena tiap-tiap peradaban masing-masing punya kearifannya; kedua, kata “Saienta”, misalnya, berarti ilmu pengetahuan. Dugaan saya Anda menginginkan anak perempuan yang cerdas dan banyak ilmunya: Anda lebih suka anak Anda jadi ilmuwan daripada terobsesi jadi artis dan penghibur. Saya mengacungi jempol pada Anda, karena Anda punya perspektif yang modern dan demokratis di tengah-tengah banyak orangtua yang tak mengerti artinya hidup dan kehidupan.
Selanjutnya saya menawarkan beberapa hal yang dapat dipakai sebagai acuan agar Anda menghasilkan anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan baik bagi masa depannya dan masa depan kehidupannya.***
:: :: :: :: :: :: :: :: :: :: :: :: :: :: :: :: :: :: ::
Tanggapan untuk Santi Ratana:
Santi Ratana
http://santiratana.multiply.com/reviews/item/1
(Tentang Buku Tibet Saya)
Saya sampaikan terimakasih pada para pembaca buku karya saya, dan terimakasih yang lebih besar saya ucapkan pada mereka yang mau memberikan komentar, catatan, kritik, atau pandangan terhadap karya saya. Dunia gagasan memiliki wilayahnya sendiri untuk bertarung, meskipun saya tak percaya bahwa dunia gagasan adalah ruang hampa yang terbebas dari keterkaitannya dalam ranah material yang kadang bersifat politis, atau yang paling nyata bersifat ekonomis.
Prinsip tersebut saya pegang sejak awal, jauh-jauh hari sebelum saya menerjunkan diri menjadi penulis dan jauh-jauh hari sebelum karya-karya saya—baik buku maupun esai-esai—lahir dan diapresiasi oleh redaksi koran atau redaksi penerbit buku. Jika secara khusus dikaitkan dengan kasus kutipan-kutipan kata-kata dalam buku Tibet, maka saya yakin bahwa pandangan yang saya akan berkontradiksi dengan pandangan dan kenyataan yang sedang berlangsung. Terlalu riskan memang berbicara tentang agama dan tokoh agamawan seperti Dalai Lama.
Resiko itu harus saya tanggung ketika saya dipandang terlalu “tendensius” dalam melihat keberadaan Dalai Lama di Tibet, yang merupakan seorang tokoh yang memiliki banyak pengikut di berbagai belahan dunia. Saya minta maaf, dengan tulus dan ikhlas, jika kata-kata saya menyinggung Beliau (Dalai Lama) dan para pengikutnya, termasuk Saudara/i Santi Ratana.
Tetapi, dalam tulisan ini, saya hendak meluruskan beberapa hal yang menjadi kesalahpahaman Beliau (Mas/Mbak Santi) yang menurut saya juga tampak begitu tak objektif dan emosional, entah dalam memandang katya saya, terutama proses kreatifnya.
Ada baiknya saya kutipkan “kecurigaan-kecurigaan” beliau terhadap buku Tibet dan proses kreatif saya, sebagai berikut:
-
Tulisan saya terlalu instan dan memenuhi “kejar Tayang ala sinetron”;
Isi tak sesuai dengan judul yang terlalu “Bombastik”;
“Fitnah” terhadap sosok Dalai Lama;
Soal “komodifikasi pengetahuan”;
Saya akan menjelaskan “kecurigaan-kecurigaan” itu sebagai berikut:
Soal karya instan dan terkesan “kejar tayang”.
Kejar tayang ala Sinetron?
Oh, buku saya bukan buku yang mengajari anak-anak muda dan remaja untuk cengeng dan hanya mengejar “cinta cinta cinta dan cinta” seperti sinetron. Buku saya meamng diterbitkan untuk mencari keuntungan—atau mungkin bisa jadi untuk sekedar bertahan hidup—penerbitnya! Buku saya mengajak pembaca merenung dan mengetahui informasi alternatif, serta mengusung gagasan perlawanan terhadap manipulasi atas keadaan. “Buku yang isinya terlalu banyak anti-Amerika”, begitu banyak orang berkomentar.
Entah darimana informasi bahwa karya saya itu dilakukan dengan instan. Seakan Saudara/i Ratna adalah orang dekat saya yang tahu bagaimana saya berproses kreasi. Sebagai sarjana Hubungan Internasional yang seharusnya tahu banyak hal tentang politik dunia, saya memang mengakui bahwa saya tidak menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari kawasan Asia, meskipun secara geografis saya berada di wilayah ini. Saya lebih merasa enjoi untuk membaca buku-buku filsafat dan juga lebih asyik menghabiskan karya tulis untuk melakukan serangan terhadap asumsi-asumsi filsafat dan kebudayaan kapitalis. Skripsi saya untuk lulus kuliah adalah tentang Neoliberalisme dipandang dari kacamata materialisme-historis.
Tetapi bukan berarti saya tak punya hak untuk menulis apapun. Untuk menyebut suatu karya instan atau tidak, tidak tergantung pada lamanya waktu, tidak tergantung pada tebal tipisnya buku, juga bahkan tak tergantung pada apapun. Menulis bukanlah suatu kegiatan yang bisa dipaksakan atau didefinisikan secara sederhana.
Buku TIBET yang saya tulis adalah satu-satunya buku tentang konflik Tibet yang belakangan berlangsung. Dan saya tidak akan pernah berubah, saya ingin menunjukkan bahwa Tibet tidak semata seperti apa yang digambarkan oleh media massa Indonesia, meskipun tidak berarti bahwa semua berita tentang Tibet manipulatif 100%.
Saya sudah memenuhi prosedur yang benar, tidak ada yang melarang kita untuk mengutip koran-koran, apalagi koran sekaliber Kompas. Karena saya memang tak sanggup pergi secara langsung ke Tibet, tak cukup uang bagi saya untuk mengadakan survey langsung ke Himalaya. Makanya, saya juga mencari sumber yang sekiranya dapat mengimbangi berita-berita dalam negeri (Indonesia). Sumber internet yang saya kutip adalah situs koran/media yang kebanyakan adalah koran resmi dan besar—yang bahkan adalah koran kapitalis, mereka lebih kapitalis daripada penerbit buku yang menerbitkan karya saya [sic!].
Dengan mengutip koran, tentu saja kita bertanggungjawab karena pembaca buku akan tahu siapakah sumbernya—dan ini merupakan standard penulisan ilmiah yang sangat disarankan oleh dosen-dosen dan akademisi sejak saya kuliah dulu. Dan kebiasaan menggunakan footnote itu memang selalu saya pakai dalam setiap tulisan.
Menggunakan 4 buku sebagai sumber, menurut saya, tak menggunakan bahwa karya saya instan. Saya suka sekali menulis mengalir tanpa sumber apapun, itu sudah seringkali saya lakukan. Tapi untuk soal kejadian semacam Tibet, saya ingin menulis karya yang ilmiah, meskipun tak tebal tak apa-apa, yang penting saya mampu melontarkan gagasan dan info untuk meng-counter info-info yang bertujuan untuk memanipulasi keadaan demi kekuasaan tertentu. Saya curiga pada Amerika Serikat (AS) dalam berbagai kejadian global, karena pada kenyataannya keterlibatan AS atas setiap kejadian global sudah tak terbantahkan lagi.
Dalam kasus Tibet, saya memang begitu tendensius terhadap AS terutama pada seruan Boikotnya pada Olimpiade Beijing. Oh, saya suka sekali aktor Hollywood Richard Gere, tapi saya tak setuju sikapnya melakukan boikot Olimpiade Beijing. Dan saya bukan antek Cina—meski saya berwajah Cina atau keturunan Cina [Hehe..!].
Jujur saja, fakta bahwa buku Tibet dianggap tipis dan kerempeng sebagaimana dituduhkan Ratna, tak akan berpengaruh apa-apa buat saya, juga buat penulis yang lain. Bahkan akan membantu mereka yang haus informasi dan kutu buku. Dengan buku tipis, harga akan terjangkau. Menulis buku tipis dan padat juga menyenangkan sekali, ini saya alami dalam proses menulis buku Tibet.
2. Soal Isi tak sesuai judul, judul terlalu bombastis
Judul tak terlalu bombastis. Ada berbagai kepentingan yang saya angkat. Ada bab I yang cerita bagaimana isu Tibet naik dan ada peran media di situ. Lalu bab-bab selanjutnya ada kisah tentang pihak Cina, lalu ada pihak Dalai Lama, dan terakhir ada pihak Amerika Serikat (AS): Jadi, wah, cukup nyambung dan sesuai dengan judulnya. Karena memang ketiga kepentingan itulah yang tarik-menarik, judulnya juga ada kata Tibet, Cina, dan Amerika—yang menuliskan judul untuk karya ini cukup pintar, saya salut pada penerbit Garasi Book yang begitu kreatif!
Intinya memang ada di bab akhir, yaitu keterlibatan AS. Poin inilah yang menjadi fokus karya-karya “Hubungan Internasional” saya—mulai dari Venezuela-Nikaragua dan Amerika Latin, hingga berbagai kajian politik dunia yang saya kerjakan. Jadi Tibet bukannya karya instan, tetapi justru menunjukkan eksistensi saya yang konsisten [sic!].
Soal Komodifikasi pengetahuan
Komodifikasi pengetahuan bukan urusan saya, tetapi urusan penerbit, tetapi bukan penerbit buku Tibet (Garasi Book) yang merupakan penerbit “haus uang”. Saya memilih penerbit ini karena ia mencetak buku-buku yang kritis dan dalam hal tertentu juga mengangkat topik-topik yang radikal. Ia menerbitkan kisah Fidel Castro, Hugo Chavez, Ahmadinejaad, Sandinista, dan tentunya secara subjektif ia mau menerbitkan tulisan-tulisan saya yang juga radikal. Tak banyak penerbit yang berani mengambil pilihan untuk mengangkat “topik minor” yang tak disukai penguasa yang hanya mau mendukung buku-buku neoliberalistik.
Kok?
Kalau untuk membaca buku harus mengeluarkan uang (beli), ya itu komodifikasi pengetahuan! Kita hidup di jaman jual-beli, dan bahkan gagasan apapun bisa didapat dengan beli?
Saya menolak komodifikasi pengetahuan, tapi saya juga harus bertahan hidup, demikian juga penerbit itu. Bukan berarti saya tidak mengerjakan sesuatu untuk memperjuangkan perlawanan terhadap monopoli kapitalis terhadap ilmu pengetahuan. Esai-esai saya di blog ini, juga kata-kata dalam buku-buku saya jelas sekali menolak kapitalisme apapun. Hingga sekarang saya juga masih punya aktivitas untuk mengaktualisasikan kebencian saya terhadap sistem ekonomi komersil ini. Dan ketika penerbit mau menerbitkan kata-kata yang mencerminkan kebencian saya terhadap kapitalisme... wah, saya bersyukur dan berteriak seperti anak kecil: Horeeeeeeeeeeeeeeee..!!
Mungkin Anda perlu bertanya pada orang-orang yang bekerja di penerbitan, terutama di kota Yogyakarta, tentang apakah mereka menerbitkan buku semata-mata untuk mencari keuntungan?
Soal memfitnah Dalai Lama
Tidak ada maksud untuk memfitnah. Sungguh, saya mohon maaf kalau “terlanjur” bernada seperti itu. Ini karena saya adalah anak muda yang terlalu emosional....
Maksud saya bukannya menghakimi, tetapi melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang memang berdasarkan pada kenyataan yang bisa kita lihat. Ketika saya mengatakan bahwa Dalai Lama “bersembunyi di balik jubah kerahiban”, juga kata-kata saya bahwa Dalai Lama adalah “tokoh yang menikmati konflik ini”, mungkin ini gara-gara saya terlalu subjektif! Saya minta maaf sebesar-besarnya pada Dalai Lama dan para pengikutnya, termasuk saudara/i Ratna. Saya berjanji tak akan mengulanginya lagi, tak akan menggunakan kata-kata seronok seperti itu.
Saya berangkat dari fakta objektif: Dalai Lama adalah elit agamawan yang sekaligus elit ekonomi politik, karena beliaulah yang memiliki sumber daya ekonomi-politik di Tibet, rakyat seakan kehilangan perannya. Tetapi saya membayangkan nasib rakyat yang membangun istana Polata yang tetap saja kembali pada Dalai Lama yang dikenal sebagai penghuni istana.. saya hany menginginkan pembaca tahu di manakah keringat rakyat pekerja Tibet mengalir saat secara fisik harus bekerja keras membangun istananya, tetapi mereka tetap dalam keadaan miskin dan tak diingat sama sekali dalam sejarah. Keterasingan rakyat Tibet yang bekerja keras untuk peradaban para Lama tergantikan oleh perasaan akan keagungan lokalitas budaya dan tradisi Tibet yang dalam sejarahnya tak menyebut sedikitpun peran (rakyat pe)kerja sebagai awal mula kebudayaan.
Oh, saya selalu benci pada feodalisme!
Dan dengan ini saya minta maaf. Mungkin saya hanya perlu merangkaikan kata-kata dengan baik dan menjauhi penjelasan yang langsung menunjuk pada subjektifitas yang ada.
Saya bangga kok dengan karya itu, karena poinnya adalah perjuangan demokrasi dan melawan kesewenang-wenangan penjajahan Amerika Serikat. Jika Tibet merdeka dari Cina, saya tak akan menyesal pula. Tetapi untuk jatuh ke tangan Amerika Serikat yang akan mengeruk kekayaan minyak dan gas di punggung Himalaya? Oh, kasihan sekali rakyat Tibet!!!***
Senin, 21 Juli 2008
Kritik untuk Buku Saya: Mohon Tanggapannya!!!
(TULISAN INI PERLU KITA TANGGAPI, PERLU KITA RENUNGKAN!!!, MOHON TANGGAPANNYA...)!!!
Revolusi Tibet: Fakta, Intrik,
dan Politik Kepentingan Tibet - China - Amerika Serikat
http://santiratana.multiply.com/reviews/item/1
Apa jadinya bila sebuah studi dikerjakan dengan semangat “kejar tayang” a la sinetron? Nurani Soyomukti tentu tahu jawabannya. Sebab dengan semangat seperti inilah bukunya ditulis dan kemudian diterbitkan. Terkesan serba-kesusu, demi mengejar aktualitas – pergolakan di Tibet (10 Maret 2008) dan Olimpiade Beijing (Agustus 2008), buku ini bagaikan bayi yang lahir prematur. Kesan serba-instan tersebut juga tampak pada referensi yang seadanya.
Hanya empat buah buku tentang Tibet yang digunakan sebagai acuan; sisanya adalah beberapa buku politik dan media. Referensi yang paling berlimpah tentu saja dari dokumen-dokumen online. Bagi seorang penulis “kejar tayang”, ini menjadi jalan pintas paling gampang.
Judulnya yang bombastik sungguh tidak sesuai dengan isi buku yang kerempeng. Bahkan pembaca pun nyaris tidak dapat menemukan hubungan antara judul dan isi bab demi bab. Bab 1 berupa ringkasan berita-berita di media cetak dan online tentang pergolakan Tibet beberapa bulan lalu; Bab 2 meringkas sejarah Tibet (hanya) dalam 16 halaman; Bab 3 tentang Tibet di bawah pendudukan RRC; Bab 4 tentang riwayat hidup singkat para Dalai Lama, sejak yang pertama hingga yang terakhir (Tenzin Gyatso, Dalai Lama XIV). Barulah pada bagian terakhir, Bab 5, penulis masuk ke dalam pokok bahasannya, yaitu tentang intervensi Amerika Serikat dalam konflik Tibet-RRC. Apakah judul yang “heroik” tersebut cuma bagian dari strategi pemasaran alias komodifikasi pengetahuan?
Yang membuat sakit hati saya adalah pernyataan-pernyataan Nurani Soyomukti yang terlalu tendensius, terutama bila menyangkut Dalai lama. Coba simak pernyataan-pernyataannya ini (hlm. 22-23).
• "(...), Dalai Lama dan elite ekonomi-politik Tibet lainnya yang bersembunyi di balik jubah kerahiban, (...)".
• "Atau jangan-jangan Dalai Lama juga merupakan sosok yang menikmati konflik ini, sementara tak sedikit rakyat Tibet yang dikorbankan".
• "Siapa yang membangun Istana Potala di pusat kota Lhasa yang sekarang ini banyak dikunjungi para turis mancanegara, di mana Dalai Lama menikmati kucuran dana darinya?"
... Cukup tiga saja! Kalimat-kalimat yang tiada beda dari fitnah ini telah dituliskan oleh seorang yang ironisnya bernama Nurani. Semoga Anda semakin makmur (soyo mukti) lewat buku ini.
Resensi Buku "MEMAHAMI FILSAFAT CINTA":
Komersialisasi
Cinta
(Koran Pak Oles, 17 Juli 2008)
Oleh: Ahmad Zaenurrofik, Peneliti di CSSR (Center for Social Science and Religion) Surabaya; sedang menyusun tesis di Program Master Hukum di Universitas Negeri Jember
Judul Buku:
”Memahami Filsafat Cinta”
Penulis:
Nurani Soyomukti
Penerbit:
Prestasi Pustaka, Surabaya
Cetakan:
Pertama, Juni 2008
Tebal:
xi + 186 halaman
Seorang pemikir Mazhab Frankfurt Erich Fromm dalam bukunya yang berjudul “The Art Of Loving” menegaskan pentingnya relevansi Cinta untuk menjadi solusi bagi masyarakat kapitalis modern yang telah terdisintegrasi oleh ketimpangan sosial. Bagi Fromm, disintegrasi itu adalah cerminan dari eksistensi manusia yang tidak dapat mengatasi keterpisahan (separateness) ketika cinta itu sendiri tidak mungkin dibahas tanpa menganalisa eksistensi manusia itu sendiri. Menurut Fromm, ”teori apapun tentang cinta harus mulai dengan teori tentang manusia, tentang eksistensi manusia”.
Peradaban yang baik ditentukan oleh hubungan manusia yang dihiasi dengan penuh perhatian (mutual understanding) dan penghormatan. Fromm, misalnya, memberikan contoh mengenai hubungan dua orang yang sedang jatuh cinta. Tentunya mereka berdua saling memperhatikan. Dan cinta mereka bisa menyatukan individu dalam sebuah integrasi sosial. Cinta tidak membedakan ras, suku bangsa, agama, dan kelas sosial karena cinta membuat segalanya menjadi mungkin.
Cinta adalah jawaban bagi problem eksistensi manusia yang berasal secara alamiah dari kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan dan “meninggalkan penjara kesepian”. Tetapi penyatuan dalam cinta melebihi suatu simbiosis karena “cinta yang dewasa adalah penyatuan di dalam kondisi tetap memelihara integritas seseorang, individualitas seseorang”. Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan “yang meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia dari sesamanya”.
Sayangnya Cinta di era kapitalisme sekarang hanya menjadi barang dagangan (komoditas). Begitu banyaknya kisah cinta kacangan diumbar dalam lagu-lagu, sinetron, dan lain-lainnya. Karenanya komersialisasi Cinta semacam itu justru menunjukkan bahwa kata cinta dan prakteknya dalam hubungan sosial mengalami degradasi.
Atas kondisi semacam itulah buku ”Memahami Filsafat Cinta” ini keluar dari hati ”nurani” penulisnya, Nurani Soyomukti, seorang psikoanalis kebudayaan yang selalu konsisten menggugat budaya kapitalis dalam setiap tulisan-tulisannya. Begitu ”PD” (percaya diri) Si Penulis, ketika ia membuka buku ini dengan kalimat pembuka: ”Buku ini tak layak dibaca oleh mereka yang tak percaya pada Cinta” (hlm. 1).
Ternyata uraian di dalam buku ini juga sepadan dengan pernyataan itu. Penulis sepakat dengan Fromm bahwa cinta adalah maalah eksistensi manusia yang dibentuk oleh kondisi sosial. Cinta hanya akan dapat dijelaskan dengan menganalisa manusia dan menelisik bagaimana hubungan sosial dibangun. Dengan memanfaatkan pemikiran Karl Marx dalam ”Manuskrip Ekonomi dan Filsafat”, Nurani begitu tegas menyatakan bahwa kepalsuan Cinta berawal dari alienasi (keterasingan) manusia dalam berhubungan. Tentu saja, dari pandangan maerialisme dialektis, keterasingan itu dapat dijelaskan secara objektif dari hubungan produksi kapitalis yang menindas dan menyengsarakan. Cinta pada akhirnya menjadi seruan moral dari para orang-orang munafik agar yang kaya membantu yang miskin tanpa mempertimbangkan bagaimana kekayaan yang didapat sesungguhnya diperoleh dari hubungan eksploitatif yang dilakukan terhadap orang-orang kaya.
Itulah yang menjadikan buku ini tak lebih dari tulisan-tulisan filosofis Marx yang dibahasakan dengan cara bertutur seorang Nurani. Terus terang belum banyak orang yang memahami arti filsafat Marx, karena Marx selama ini lebih banyak dianggap sebagai ’penjahat” hanya karena praktek diktatorisme komunis di beberapa negara—yang tentu saja lepas dari kesalahan Marx dan banyak faktor yang perlu dijelaskan, terutama karena serangan kapitalis dan deligitimasinya (’black-propaganda’) terhadap sosialisme-komunisme yang cukup berhasil.
Hanya sedikit yang tahu bagaimana Marx sesungguhnya seorang yang humanis dan romantis, serta konsisten dalam perjuangan kemanusiaan. Sebagaimana kita tahu dari buku ini yang banyak mngutip Marx, dalam filsafatnya ternyata banyak uraian Marx yang berbicara maalah Cinta dan kepercayaan yang bisa dibangun oleh manusia. Cita-cita Marx adalah: ”… Kemudian cinta hanya dapat ditukar dengan cinta, kepercayaan dengan kepercayaan..” (hlm. 22).
Tentu cita-cita akan datangnya cinta sejati dalam hubungan social dianggap oleh penulis akan terjadi jika kapitalisme dapa dihancurkan dan tatanan demokratis telah muncul. Buktinya, kapitalismelah yang begitu agresif menggelorakan cinta hanya sebagai ilusi, hanya “sebagai kata-kata, bukan tindakan konkrit”.
Lihat saja, beberapa waktu lalu demam film “Ayat-Ayat Cinta” (AAC) menunjukkan bahwa kata “Cinta” benar-benar masih menjadi magnet bagi banyak orang, terutama remaja dan kaum muda. Tetapi sudahkah mereka memahami filsafat Cinta itu sendiri ataukah mereka hanya menjalani hubungan cinta yang dangkal dan tidak menunjukkan hakekat kemanusiaan itu sendiri.
Cinta bukanlah kata-kata, tetapi adalah tindakan konkrit yang diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Demikianlah, buku ini adalah risalah Cinta yang sangat penting: renungan seorang filsuf muda yang telah menghasilkan berbagai karya (buku dan catatan-catatan budaya), Nurani Soyomukti.
Dengan menawarkan konsep Cinta yang akan membawa Anda pada pemahaman tentang cinta tang mendalam dan bermakna dalam hubungan antar manusia, buku ini menawarkan universalisasi hubungan Cinta. Lebih dari sekedar buku yang memberikan kiat-kiat membangun hubungan cinta eksklusif (pacaran dan pernikahan), buku ini mengkonstruksi sebuah pemahaman yang sangat utuh dan reflektif.
Membaca uraian kata-kata yang mencerahkan tetapi dikemas dengan bahasa yang tidak terlalu berat ini, memang akan membuat kita menemukan hal-hal baru yang disampaikan secara sentimental oleh Nurani. Maka inilah buku filsafat Cinta yang akan membawa kita pada pemahaman komprehensif tentang Cinta dan kisah kasih yang Anda jalin dalam kehidupan ini. Reflektif, humanis, enlighten, dan kaya akan landasan teoritik... Inilah ‘Ayat-Ayat Cinta Universal’ itu!***
=========================
Jumat, 04 Juli 2008
Pelajar Progresif:
Anti (Pendidikan) Kapitalis
Oleh: Nurani Soyomukti*)
Ini kisah nyata, tentang para remaja yang berani dan para pelajar yang kritis. Kisah ini bukan fiksi, karena merupakan laporan penelitian yang dijadikan buku, judulnya ”Branded” (1996), ditulis oleh Allisa Quart. Karena membaca ulasan Quart inilah saya terdorong untuk menuliskan satu buku lagi, judul yang saya ajukan ke penerbit adalah ”Pendidikan Anti-Kapitalis”—dalam waktu dekat mungkin akan segera terbit!
”Branded” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan ”korban merek”—suatu frase untuk menggambarkan bagaimana para remaja di penjuru bumi ini dapat dengan mulusnya diseret untuk berpihak pada para pemasar korporasi, hingga mereka hanya menghabiskan hidupnya untuk membeli, meniru, dan bangga diri hanya dengan memiliki barang mewah.
Saya tidak dapat menyebutkan nama-nama para ”korban merek” itu satu persatu. Mereka adalah korban kapitalisme yang lumrah kita jumpai disekitar kita.
Tapi hal penting yang ingin saya tampilkan dalam esai ini adalah beberapa remaja yang punya nyali dan keberanian, dengan otak mereka yang cerdas dan kritis terhadap situasi kehidupan yang berkembang dewasa ini.
Salah seorang gadis yang ingin saya kenalkan pada Anda adalah Lindsay—bukan Lindsay Louhan tentunya! Remaja ini mewakili wilayah tersembunyi potensi reaksi balik remaja terhadap Iklan. Lindsay benar-benar mengalami perlakuan yang dianggapnya merasa terteror oleh ara pembela produk. Awalnya, pemasar produk Delia*s pernah mengikutsertakan Lindsay dalam diskusi kelompok mereka untuk memahami bagaimana agar remaja menjadi sosok yang ”arty”—begitu istilah para pengiklan produk Delia*s. Akhirnya Lindsay justru mengatakan bahwa upaya pemasar itu sama sekali tak ada gunanya. Bayangkan, Lindsay didiamkan ketika ia mengaku tak begitu mengenal Shakira, seorang penyanyi yang menjadi model iklan Delia*s terbaru. Lindsay berkomentar: ”Tindakan mereka itu sungguh merendahkan kepandaian saya”.[1]
Lindsay pun menjadi salah satu remaja yang belakangan kian mengetahui dekadensi kapitalis yang benar-benar ingin mecetak remaja yang hafal nama-nama artis dan suka belanja. Pada saat para pembela produk dan para remaja maniak-belanja membenci seorang gadis seperti Lindsay, juga banyak remaja-remaja yang semakin sadar pada kebodohan dan pembodohan kapitalis. Di sini seakan kita akan melihat bahwa kontradiksi kapitalisme semakin nyata saat kita melihat kontradiksi budaya. Antara kapitalis dan para pembelanya, dengan anak-anak muda yang mewakili keresahan buruh-buruh dan rakyat miskin yang tertindas.
Keresahan remaja juga tak sedikit yang muncul pada saat mereka melihat situasi pendidikan. Keresahan dahsyat dialami oleh seorang pelajar Amerika bernama Tristan, yang oleh kawan-kawannya dikenal sebagai ”pemberontak McDonald”. Tristan berkata: ”Aku masuk sekolah untuk belajar pelajaran sekolah, bukan menghafal dogma korporasi. Aku anak yang tak mau mengenakan pakaian bermerk yang dibuat oleh buruh yang diperlakukan seperti budak”.[2]
Tristan punya seorang teman yang punya tingkat kekritisan yang sama. Nama Nick Salter (17 tahun). Anak ini adalah tipe ’pemberontak’ yang berpikir taktis dan bekerja keras agar kebohongan korporasi daat dimengerti oleh publik. Lihatlah tingkahlakunya: ia pernah berjalan menelusuri (sekolah) SMU-nya, Cherry Creek High School yang berlokasi di pinggiran kota Denver. Ia mencatat semua produk korporasi di lorong-lorong sekolah dan ruang-ruang kelas dan hasil itu semua dilaporkan pada Center for Commercial-Free Education yang tak lagi berfungsi. Menurut hitungan Nick, ada 34 mesi soda, semuanya ditempeli iklan. Papan reklame iklan mengitari seluruh lapangan baseball dan fottball di sekolahnya.
Ada buku pelajaran yang mncantumkan iklan M&M; kafetaria sekolah memiliki outlet Domino dan Blimpie. Sampul plastik untuk melindungi buku juga disesaki dengan sponsor korporasi bisnis, yaitu perusahaan seperti Clinique; sebagai bagian dari sampul buku gratis menyediakan kupon untuk pembelian bedak dan pemulas pipi. Nick menyatakan kebenciannya terhadap teknik penjualan diam-diam itu; ia juga seringkali merasa dibodohi oleh dunia orang dewasa. Dia berkata: ”Kita dipaksa menonton iklan-iklan di Channel One sejak kelas 6. Suatu yang tidak beres telah terjadi”.[3]
Nick dan Tristan juga membangun kelompok organisasi yang bertujuan untuk melaan kesewenang-wenangan korporasi. Organisasi-organisasi perlawanan semacam inilah, yang kalau kita telisik, yang turut menyemarakkan aksi-aksi global di berbagai belahan dunia untuk menentang organisasi-organisasi ekonomi seperti WTO (World Trade Organization) yang mengendaki agar pendidikan bukan lagi sektor publik, tetapi sektor jasa komersial. Contoh yang paling fenomenal adalah aksi Seattle tahun 1999 pada saat anak-anak muda, pelajar, dan mahasiswa mengepung gedung mewah di mana para dedengkot kapitalis dunia berkumpul untuk membicarakan bagaimana agar penindasan atas nama ”pasar” berjalan terus.
R e m a j a A n t i - M T V
Anak-anak muda dan para pelajar itu tentu saja marah, justru karena mereka sadar atas apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini. Tampaknya mereka paham akan kemunafikan kapitalisme bahwa tak mungkin kapitalisme butuh anak-anak dan remaja-remaja pintar dan cerdas (berpengetahuan dan berteknologi) karena kalau itu terjadi maka pendidikan dan ilmu pengetahuan tak lagi bisa dikomersialkan oleh pihak korporasi.
Para remaja berotak kritis itu tentu juga sadar bahwa demi menciptakan pasar, kapitalisme tak segan-segan mengorbankan nyawa dengan cara membunuhi orang—seperti terjadi di Irak dan Afghanistan.
Aksi itu terjadi di Times Square New York City. Sekelompok aktivis remaja dan plajar berkumpul. Perang Afghanistan baru saja dimulai dan gerakan ini adalah gabungan antara aktivisme perdamaian dengan gerakan anti-MTV.
Tentu ara remaja ideot lainnya akan bertanya: Apa hubungannya perang Amerika terhadap Afghanistan dengan MTV yang ”asyik” itu?
Pertanyaan itu daat dijawab secara fasih dan yakin oleh seorang gadis berusia 16 tahun, yang bernama Sandra Garcia. Ia berseru: ”Kita sangat menderita, mengapa kita harus menyakiti negara lain? Kita sudah dicuci otak oleh TV dan merek: MTV dan Amerika berusaha menguasai negara lain. Saya tinggal di New Jersey dan di sana tak ada seorangpun yang setuju dengan saya, tetapi orang-orang takut mengetahui kebenaran. Lihatlah mereka berteriak-teriak untuk band mereka. Seluruh hidup mereka hanya berputar di sekitar omong kosong ini. Lihatlah remaja MTV itu”.[4]
Sandra bersama-sama remaja lain berkumpul di depan markas utama MTV. Di bawah panji organisasi Youth Action Network mereka membentangkan spanduk bertuliskan: ”Remaja New York Menolak Perang!”, ”Anak Muda Ingin Perdamaian!”, ”Ini Masa Depan Kami, MTV!” Seorang remaja secara berani memegang tanda MTV dengan huruf V yang serupa dengan tanda perdamaian di pasang terbalik. Sandra sendiri membawa poster bertuliskan: ”Mata Dibalas Mata Hanya Membuat Seluruh Dunia Buta”.
Anak-anak itu adalah anak kandung kapitalisme. Mereka dilahirkan dari rahi ibu kapitalisme, tetapi ketika mulai tumbuh mereka mulai tahu bahwa kapitalisme berusaha menyuapinya dengan racun atau zat-zat yang akan membuat anak-anak itu bidoh dan cepat mati. Makanya, anak-anak yang menyadari bahwa ia akan hanya dimanfaatkan ibu kandungnya, dengan tegas segera membangkang terhadap orangtua—dan kadang memang dicap durhaka oleh anak-anak dan saudara-saudara kapitalisme yang lain.
P e l a j a r S M U Menolak Privatisasi Pendidikan
Mereka tahu bahwa kapitalisme ingin terlalu berkuasa. Dan mereka yang masih percaya pada sekolah, anak-anak itu juga menolak kampus dikuasai. Sebelum, para mahasiswa Indonesia ramai-ramai menolak privatisasi kampus belakangan ini, anak-anak SMU di negara-negara Barat telah memulainya lebih dulu.
Di Amerika, misalnya, aksi yang dapat dicatat di sini terjadi pada bulan Desember 2001. Lebih dari 2.500 remaja berjalan keluar ruang-ruang kelas SMU negeri Philadelphia menuju perempatann kota. Masih sebagaimana dikisahkan Allisa Quart[5], sekelompok remaja yang memakai seragam melewati beratus-ratus bangunan di ”kota perumahan” sekaligus kota kemiskinan. Mereka ini adalah 500 pelajar dari sekolah-sekolah yang relatif miskin, seperti Strawberry Mansion High School. Juga ada anak-anak yang berasal dari sekolah mewah seperti Materman High School dan Central High School.
Artinya, anak-anak dari 15 sekolah yang berbeda berkumpul di depan aula kota, kerumunan itu bahkan berpawai sampai Broad Streetm salah satu jalan utama kota itu. Isu yang diangkat dalam aksi itu adalah menolak privatisasi yang hendak dilakukan terhadap sekolah mereka oleh Edison School Inc., perusahaan perdagangan aset-aset publik. Berkantor pusat di New York, perusahaan itu telah berhasil membeli berbagai macam sekolah di Amerika. Lebih dari 133 sekolah negeri di 22 negara bagian dan Washington D.C.
Sebagian upaya anak-anak sekolah menolak privatisasi ini berhasil. Awalnya pada musim gugur tahun 2001, Mark Schweiker, gubernur Pennsylvania menawarkan kontrak pengolahan seluruh sekolah negeri di bawah sistem administrasi terpusat Edison, bersama dengan pengelolaan sampai 60 sekolah. Akhirnya, pada 7 April, setelah pemungutan suara panel pemerintah akhirnya hanya 20 sekolah kota yang diberikan pada Edison; tidak semua sekolah distrik diambil-alih, hanya beberapa kontrak. Selain beberapa sekolah yang dikelola Edison, 25 sekolah dikelola oleh dua universitas, yaitu Temple University dan University of Pennsylvania.
Anak-Anak Anti-Kapitalis Indonesia
Di Indonesia, kita bukan hanya melihat anak-anak muda yang frustasi karena tidak mendapatkan hak-haknya di bidang pendidikan. Di antara mereka lari ke arah budaya negatif dan justru menjadi bagian dramatis dari musibah kapitalisme—yang tak jarang dieksploitasi dalam kisah-kisah sinetron dan film Hollywood yang menghibur. Sebagian lagi juga ada yang menangkap ketidakpuasannya dan diekspresikan melalui lirik-lirik lagu yang mereka nyanyikan di bus-bus dan kereta-kereta.
Sebagian dari mereka, meskipun mereka adalah anak-anak remaja yang tak dapat masuk sekolah, tetap saja dapat memahami betapa pendidikan sangat penting. Tentunya, mereka menghendaki sekolah yang adil. Saya seringkali mendengar anak-anak kecil yang kotor dan dekil menganyikan lagu-lagu di dalam bus atau kereta. Liriknya seperti ini:
”Belajar sama-sama...
Bekerja sama-sama...
Semua orang itu guru...
Alam raya sekolahku...
Sejahteralah bangsaku!”
Di tempat lain, juga sering saya dengar lagu-lagu-lagu yang, menurut saya, mampu menunjukkan kontradiksi kapitalisme terhadap pendidikan. Berikut ini liriknya:
”Apa guna punya ilmu tinggi,
Kalau rakyat masih kau bodohi.
Apa guna banyak baca buku,
Bila mulutmu sering menipu.
Di desa-desa, tani dipaksa,
Menjual gabah tapi tapi... dengan harga murah.
Di kota-kota, buruh dipaksa,
Bekerja keras tapi api... dengan upah rendah.
Di mana-mana, moncong senjata,
Berdiri tegak kongkalikong... dengan kaum cukong”.
Itu adalah syair lagu anak-anak muda Indonesia yang frustasi dan memberontak. Tentu saja mereka juga menambah daya gerakan yang dilakukan oleh teman-teman sebaya yang seringkali tak mau mengenal mereka, yaitu mahasiswa yang kadang juga tidak puas terhadap kebijakan negara dan kampus. Berbagai macam aksi radikal anak-anak muda kampus itu seringkali terjadi, misalnya menuntut kenaikan SPP dan sekolah mahal—hingga menolak kebijakan privatisasi pendidikan tinggi yang benar-benar akan mengancam masa depan negeri Indonesia ini.
Para remaja sekolahan dengan usia yang lebih rendah, anak-anak SD, SMP, dan SMU, belakangan juga begitu suka turun ke jalan, terutama menolak kebijakan Ujian Nasional (UN atau Unas). Anak-anak itu mungkin terbiasa terpasung di dalam kelas, hingga mereka begitu ceria ketika diajak demonstrasi di jalanan. Pendidikan aksi massa semacam ini tentu akan melatih ’mental berontak’ (rebellious spirit) anak-anak—yang sebenarnya sangat berguna bagi upaya awal menempa jiwa kritis mereka. Mereka akan terbiasa, dan tak asing, dengan aksi massa pada saat mereka beranjak dewasa. Pasti ada di antara mereka yang akan menjadi aktivis-aktivis berani dan cerdas pada saat anak-anak itu nanti menjadi mahasiswa.
Di Barat, anak-anak sekolah dan para remaja sudah mulai kritis dan cemerlang dalam memahami kapitalisme, dan sebagian dari mereka juga menolak dibohongi oleh korporasi-korporasi yang membuat mereka bodoh dan kadang tertekan. Mereka adalah remaja yang kadang merasa bahwa perusahaan-perusahaan yang menyuruh remaja ini bergabung juga menganggap remaja itu bodoh.***
_______________________
Catatan Kaki:
[1] Lihat (baca) Allisa Quart. Belanja Sampai Mati. Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. 192
[2] Ibid., hal. 196
[3] Ibid.
[4] Ibid., hal. 198
[5] Ibid., hal. 215-220
Rabu, 02 Juli 2008
Dimuat di 'Suara Karya'/Kamis, 3 Juli 2008:
Melalui berbagai macam cara, kaum kapitalis terang-terangan berusaha masuk ke dalam sekolah-sekolah kita. Mereka merekrut para pelajar dan mahasiswa untuk menjadi pembantu dalam kegiatan promo, memasang berbagai macam iklan di dalam sekolah dan kampus, dan membiayai berbagai macam kegiatan para pembelajar yang sesuai dengan budaya yang mendukung kapitalisme.
Sebagaimana dikisahkan oleh Allisa Quart (2006), pada tahun 1996 di Inggris terjadi penentangan keras dari kalangan orangtua murid, para politisi, intelektual, dan para pekerja iklan atas upaya kapitalis untuk mengintervensi sekolah dengan iklan. Reaksi itu muncul karena adanya upaya "imagination for school media marketing" yang akan memberikan sumbangan dana kepada sekolah yang mengizinkan lembaga kapitalis memasang iklan di aula, tempat olah raga, dan tempat makan sekolah (kantin).
Tetapi kapitalis tidak menghentikan aksinya untuk secara langsung melancarkan aksi promosinya ke dalam lembaga pendidikan. Tahun 1998, perusahaan-perusahaan mulai menjalin kerja sama dengan sekolah "terbelakang" melalui program yang disebut Education Action Zone.
Akhirnya, mulai tahun 2000-an pemasangan mesin penjualan otomatis telah menjadi hal yang lazim di aula-aula sekolah. Perusahaan Walker Crips menyelubungi niatnya melakukan promosi produk dengan program amal melalui kampanye Free Books in the Schools.
Dibagikanlah "cenderamata" kepada konsumen melalui pembelian paket keripik, sehingga membuat para konsumen muda mengumpulkan dan menyumbang cenderamata tersebut kepada sekolah, kemudian sekolah akan mengganti cenderamata tersebut dengan buku pelajaran.
Tentu saja kampanye "beramal" ini merupakan strategi jangka panjang perusahaan makanan ringan (snack) agar anak-anak sekolah terus saja mengingat mereknya. Buktinya, tahun 2001 Walker's Crips terpilih sebagai merek yang paling diingat untuk kategori makanan kering dan makanan ringan, karena 70 persen anak usia 9-11 tahun dan 93 persen anak baru gede (ABG) usia 15-16 pertama-tama menyebut merek itu.
Bersama-sama dengan sponsor berupa perusahaan berorientasi bisnis, sekolah telah mengorganisasikan suatu produksi barang dan jasa (ilmu pengetahuan) untuk tampil menjadi sekolah yang berkualitas. Dengan demikian "laris" diminati oleh para "pembeli", yaitu orangtua yang menginginkan anak-anaknya masuk ke sekolah yang bergengsi, tentu saja dengan "harga" yang mahal.
Jadi, tak mengherankan jika di masa sekarang ini pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri (kapitalis). Pengelolaan model ini mengandaikan adanya upaya pihak pengelola lembaga pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan perkembangan ekonomi industri yang profesional, efektif, dan efisien.
Akhir-akhir ini banyak lembaga pendidikan yang berusaha menerapkan prinsip total quality management (manajemen mutu terpadu/TQM) dalam pendidikan. Menurut mereka, prinsip ini dapat diterapkan untuk memberikan panduan lengkap mengenai bagaimana pendidikan diatur untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan meningkatkan sumber daya manusia yang siap terjun dalam persaingan industrialisasi.
Penerapan manajemen mutu pendidikan telah dikenal di negara-negara industri Barat dengan istilah total quality education (TQE). Dasar dari manajemen ini dikembangkan dari konsep TQM, yang pada mulanya diaplikasikan pada dunia bisnis. Kemudian itu juga diterapkan di berbagai bidang kegiatan dan lembaga, termasuk dalam lembaga pendidikan.
Konsep manajemen mutu ini secara filosofis menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Strategi yang diterapkan dalam penggunaan manajemen tersebut adalah memosisikan institusi pendidikan sebagai (dengan kata lain) industri jasa. Yakni lembaga yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan (customer).
Jasa atau pelayanan yang diinginkan oleh pelanggan tentu saja merupakan sesuatu yang bermutu dan memberikan kepuasan pada mereka. Pada saat itulah, menurut mereka, dibutuhkan suatu sitem manajemen yang mampu memberdayakan institusi pendidikan agar lebih bermutu.
Membaca buku Edward Sallis berjudul "Total Quality Manajement in Education", kentara sekali bagaimana para pengambil kebijakan dan pelaksana pendidikan dipaksa mengikuti petunjuk menjalankan sekolah-sebagai lembaga pelayanan publik-seperti menjalankan manajemen perusahaan berorientasi bisnis. Padahal, jelas sekali bahwa sekolah bukanlah pabrik.
Menurut buku itu, secara operasional, menejemen mutu dalam dunia pendidikan menyangkut beberapa hal pokok. Pertama, perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement) yang berarti pihak pengelola melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan tanpa henti untuk menjamin agar komponen penyelenggara pendidikan mencapai standar mutu yang ditetapkan.
Kedua, menentukan standar mutu (quality assurance). Ketiga, perubahan kultur (cultural change). Hal ini digunakan untuk membentuk budaya organisasi yang menghargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasional. Jika hal ini diterapkan, maka pihak pimpinan harus berusaha membangun kesadaran para anggotanya, mulai dari kalangan pimpinan, staf, guru/dosen, pelajar, dan berbagai unsur yang terkait.
Keempat, perubahan organisasi (upside-down organization). Jika visi-misi organisasi berubah, maka dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi.
Kelima, mempertahankan hubungan dengan pelanggan (keeping close to the customer). Karena organisasi pendidikan harus menjaga kepuasan pelanggan, maka perlu mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan. Kerja humas (public relation) sangatlah penting dalam hal ini.
Situasi kapitalisme pendidikan seperti itu harus kita antisipasi. Pendidikan bukanlah sektor yang dapat diperdagangkan. Semua anak di negeri ini berhak memperoleh pengetahuan dengan cara bersekolah. Komersialisasi pendidikan akan mengancam masa depan negeri ini.***