Melalui berbagai macam cara, kaum kapitalis terang-terangan berusaha masuk ke dalam sekolah-sekolah kita. Mereka merekrut para pelajar dan mahasiswa untuk menjadi pembantu dalam kegiatan promo, memasang berbagai macam iklan di dalam sekolah dan kampus, dan membiayai berbagai macam kegiatan para pembelajar yang sesuai dengan budaya yang mendukung kapitalisme.
Sebagaimana dikisahkan oleh Allisa Quart (2006), pada tahun 1996 di Inggris terjadi penentangan keras dari kalangan orangtua murid, para politisi, intelektual, dan para pekerja iklan atas upaya kapitalis untuk mengintervensi sekolah dengan iklan. Reaksi itu muncul karena adanya upaya "imagination for school media marketing" yang akan memberikan sumbangan dana kepada sekolah yang mengizinkan lembaga kapitalis memasang iklan di aula, tempat olah raga, dan tempat makan sekolah (kantin).
Tetapi kapitalis tidak menghentikan aksinya untuk secara langsung melancarkan aksi promosinya ke dalam lembaga pendidikan. Tahun 1998, perusahaan-perusahaan mulai menjalin kerja sama dengan sekolah "terbelakang" melalui program yang disebut Education Action Zone.
Akhirnya, mulai tahun 2000-an pemasangan mesin penjualan otomatis telah menjadi hal yang lazim di aula-aula sekolah. Perusahaan Walker Crips menyelubungi niatnya melakukan promosi produk dengan program amal melalui kampanye Free Books in the Schools.
Dibagikanlah "cenderamata" kepada konsumen melalui pembelian paket keripik, sehingga membuat para konsumen muda mengumpulkan dan menyumbang cenderamata tersebut kepada sekolah, kemudian sekolah akan mengganti cenderamata tersebut dengan buku pelajaran.
Tentu saja kampanye "beramal" ini merupakan strategi jangka panjang perusahaan makanan ringan (snack) agar anak-anak sekolah terus saja mengingat mereknya. Buktinya, tahun 2001 Walker's Crips terpilih sebagai merek yang paling diingat untuk kategori makanan kering dan makanan ringan, karena 70 persen anak usia 9-11 tahun dan 93 persen anak baru gede (ABG) usia 15-16 pertama-tama menyebut merek itu.
Bersama-sama dengan sponsor berupa perusahaan berorientasi bisnis, sekolah telah mengorganisasikan suatu produksi barang dan jasa (ilmu pengetahuan) untuk tampil menjadi sekolah yang berkualitas. Dengan demikian "laris" diminati oleh para "pembeli", yaitu orangtua yang menginginkan anak-anaknya masuk ke sekolah yang bergengsi, tentu saja dengan "harga" yang mahal.
Jadi, tak mengherankan jika di masa sekarang ini pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri (kapitalis). Pengelolaan model ini mengandaikan adanya upaya pihak pengelola lembaga pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan perkembangan ekonomi industri yang profesional, efektif, dan efisien.
Akhir-akhir ini banyak lembaga pendidikan yang berusaha menerapkan prinsip total quality management (manajemen mutu terpadu/TQM) dalam pendidikan. Menurut mereka, prinsip ini dapat diterapkan untuk memberikan panduan lengkap mengenai bagaimana pendidikan diatur untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan meningkatkan sumber daya manusia yang siap terjun dalam persaingan industrialisasi.
Penerapan manajemen mutu pendidikan telah dikenal di negara-negara industri Barat dengan istilah total quality education (TQE). Dasar dari manajemen ini dikembangkan dari konsep TQM, yang pada mulanya diaplikasikan pada dunia bisnis. Kemudian itu juga diterapkan di berbagai bidang kegiatan dan lembaga, termasuk dalam lembaga pendidikan.
Konsep manajemen mutu ini secara filosofis menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Strategi yang diterapkan dalam penggunaan manajemen tersebut adalah memosisikan institusi pendidikan sebagai (dengan kata lain) industri jasa. Yakni lembaga yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan (customer).
Jasa atau pelayanan yang diinginkan oleh pelanggan tentu saja merupakan sesuatu yang bermutu dan memberikan kepuasan pada mereka. Pada saat itulah, menurut mereka, dibutuhkan suatu sitem manajemen yang mampu memberdayakan institusi pendidikan agar lebih bermutu.
Membaca buku Edward Sallis berjudul "Total Quality Manajement in Education", kentara sekali bagaimana para pengambil kebijakan dan pelaksana pendidikan dipaksa mengikuti petunjuk menjalankan sekolah-sebagai lembaga pelayanan publik-seperti menjalankan manajemen perusahaan berorientasi bisnis. Padahal, jelas sekali bahwa sekolah bukanlah pabrik.
Menurut buku itu, secara operasional, menejemen mutu dalam dunia pendidikan menyangkut beberapa hal pokok. Pertama, perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement) yang berarti pihak pengelola melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan tanpa henti untuk menjamin agar komponen penyelenggara pendidikan mencapai standar mutu yang ditetapkan.
Kedua, menentukan standar mutu (quality assurance). Ketiga, perubahan kultur (cultural change). Hal ini digunakan untuk membentuk budaya organisasi yang menghargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasional. Jika hal ini diterapkan, maka pihak pimpinan harus berusaha membangun kesadaran para anggotanya, mulai dari kalangan pimpinan, staf, guru/dosen, pelajar, dan berbagai unsur yang terkait.
Keempat, perubahan organisasi (upside-down organization). Jika visi-misi organisasi berubah, maka dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi.
Kelima, mempertahankan hubungan dengan pelanggan (keeping close to the customer). Karena organisasi pendidikan harus menjaga kepuasan pelanggan, maka perlu mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan. Kerja humas (public relation) sangatlah penting dalam hal ini.
Situasi kapitalisme pendidikan seperti itu harus kita antisipasi. Pendidikan bukanlah sektor yang dapat diperdagangkan. Semua anak di negeri ini berhak memperoleh pengetahuan dengan cara bersekolah. Komersialisasi pendidikan akan mengancam masa depan negeri ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar