Jumat, 04 Juli 2008

Pelajar Progresif:

Kisah Para Remaja
Anti (Pendidikan) Kapitalis


Oleh: Nurani Soyomukti*)

Ini kisah nyata, tentang para remaja yang berani dan para pelajar yang kritis. Kisah ini bukan fiksi, karena merupakan laporan penelitian yang dijadikan buku, judulnya ”Branded” (1996), ditulis oleh Allisa Quart. Karena membaca ulasan Quart inilah sa
ya terdorong untuk menuliskan satu buku lagi, judul yang saya ajukan ke penerbit adalah ”Pendidikan Anti-Kapitalis”—dalam waktu dekat mungkin akan segera terbit!

”Branded” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan ”korban merek”—suatu frase untuk menggambarkan bagaimana para remaja di penjuru bumi ini dapat dengan mulusnya diseret untuk berpihak pada para pemasar korporasi, hingga mereka hanya menghabiskan hidupnya untuk membeli, meniru, dan bangga diri hanya dengan memiliki barang mewah.

Saya tidak dapat menyebutkan nama-nama para ”korban merek” itu satu persatu. Mereka adalah korban kapitalisme yang lumrah kita jumpai disekitar kita.

Tapi hal penting yang ingin saya tampilkan dalam esai ini adalah beberapa remaja yang punya nyali dan keberanian, dengan otak mereka yang cerdas dan kritis terhadap situasi kehidupan yang berkembang dewasa ini.

Salah seorang gadis yang ingin saya kenalkan pada Anda adalah Lindsay—bukan Lindsay Louhan tentunya! Remaja ini mewakili wilayah tersembunyi potensi reaksi balik remaja terhadap Iklan. Lindsay benar-benar mengalami perlakuan yang dianggapnya merasa terteror oleh ara pembela produk. Awalnya, pemasar produk Delia*s pernah mengikutsertakan Lindsay dalam diskusi kelompok mereka untuk memahami bagaimana agar remaja menjadi sosok yang ”arty”—begitu istilah para pengiklan produk Delia*s. Akhirnya Lindsay justru mengatakan bahwa upaya pemasar itu sama sekali tak ada gunanya. Bayangkan, Lindsay didiamkan ketika ia mengaku tak begitu mengenal Shakira, seorang penyanyi yang menjadi model iklan Delia*s terbaru. Lindsay berkomentar: ”Tindakan mereka itu sungguh merendahkan kepandaian saya”.
[1]

Lindsay pun menjadi salah satu remaja yang belakangan kian mengetahui dekadensi kapitalis yang benar-benar ingin mecetak remaja yang hafal nama-nama artis dan suka belanja. Pada saat para pembela produk dan para remaja maniak-belanja membenci seorang gadis seperti Lindsay, juga banyak remaja-remaja yang semakin sadar pada kebodohan dan pembodohan kapitalis. Di sini seakan kita akan melihat bahwa kontradiksi kapitalisme semakin nyata saat kita melihat kontradiksi budaya. Antara kapitalis
dan para pembelanya, dengan anak-anak muda yang mewakili keresahan buruh-buruh dan rakyat miskin yang tertindas.

Keresahan remaja juga tak sedikit yang muncul pada saat mereka melihat situasi pendidikan. Keresahan dahsyat dialami oleh seorang pelajar Amerika bernama Tristan, yang oleh kawan-kawannya dikenal sebagai ”pemberontak McDonald”. Tristan berkata: ”Aku masuk sekolah untuk belajar pelajaran sekolah, bukan menghafal dogma korporasi. Aku anak yang tak mau mengenakan pakaian bermerk yang dibuat oleh buruh yang diperlakukan seperti budak”.
[2]

Tristan punya seorang teman yang punya tingkat kekritisan yang sama. Nama Nick Salter (17 tahun). Anak ini adalah tipe ’pemberontak’ yang berpikir taktis dan bekerja keras agar kebohongan korporasi daat dimengerti oleh publik. Lihatlah tingkahlakunya: ia pernah berjalan menelusuri (sekolah) SMU-nya, Cherry Creek High School yang berlokasi di pinggiran kota Denver. Ia mencatat semua produk korporasi di lorong-lorong sekolah dan ruang-ruang kelas dan hasil itu semua dilaporkan pada Center for Commercial-Free Education yang tak lagi berfungsi. Menurut hitungan Nick, ada 34 mesi soda, semuanya ditempeli iklan. Papan reklame iklan mengitari seluruh lapangan baseball dan fottball di sekolahnya.

Ada buku pelajaran yang mncantumkan iklan M&M; kafetaria sekolah memiliki outlet Domino dan Blimpie. Sampul plastik untuk melindungi buku juga disesaki dengan sponsor korporasi bisnis, yaitu perusahaan seperti Clinique; sebagai bagian dari sampul buku gratis menyediakan kupon untuk pembelian bedak dan pemulas pipi. Nick menyatakan kebenciannya terhadap teknik penjualan diam-diam itu; ia juga seringkali merasa dibodohi oleh dunia orang dewasa. Dia berkata: ”Kita dipaksa menonton iklan-iklan di Channel One sejak kelas 6. Suatu yang tidak beres telah terjadi”.
[3]

Nick dan Tristan juga membangun kelompok organisasi yang bertujuan untuk melaan kesewenang-wenangan korporasi. Organisasi-organisasi perlawanan semacam inilah, yang kalau kita telisik, yang turut menyemarakkan aksi-aksi global di berbagai belahan dunia untuk menentang organisasi-organisasi ekonomi seperti WTO (World Trade Organization) yang mengendaki agar pendidikan bukan lagi sektor publik, tetapi sektor jasa komersial. Contoh yang paling fenomenal adalah aksi Seattle tahun 1999 pada saat anak-anak muda, pelajar, dan mahasiswa mengepung gedung mewah di mana para dedengkot kapitalis dunia berkumpul untuk membicarakan bagaimana agar penindasan atas nama ”pasar” berjalan terus.

R e m a j a A n t i - M T V
Anak-anak muda dan para pelajar itu tentu saja marah, justru karena mereka sadar atas apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini. Tampaknya mereka paham akan kemunafikan kapitalisme bahwa tak mungkin kapitalisme butuh anak-anak dan remaja-remaja pintar dan cerdas (berpengetahuan dan berteknologi) karena kalau itu terjadi maka pend
idikan dan ilmu pengetahuan tak lagi bisa dikomersialkan oleh pihak korporasi.

Para remaja berotak kritis itu tentu juga sadar bahwa demi menciptakan pasar, kapitalisme tak segan-segan mengorbankan nyawa dengan cara membunuhi orang—seperti terjadi di Irak dan Afghanistan.

Aksi itu terjadi di Times Square New York City. Sekelompok aktivis remaja dan plajar berkumpul. Perang Afghanistan baru saja dimulai dan gerakan ini adalah gabungan antara aktivisme perdamaian dengan gerakan anti-MTV.

Tentu ara remaja ideot lainnya akan bertanya: Apa hubungannya perang Amerika terhadap Afghanistan dengan MTV yang ”asyik” itu?

Pertanyaan itu daat dijawab secara fasih dan yakin oleh seorang gadis berusia 16 tahun, yang bernama Sandra Garcia. Ia berseru: ”Kita sangat menderita, mengapa kita harus menyakiti negara lain? Kita sudah dicuci otak oleh TV dan merek: MTV dan Amerika berusaha menguasai negara lain. Saya tinggal di New Jersey dan di sana tak ada seorangpun yang setuju dengan saya, tetapi orang-orang takut mengetahui kebenaran. Lihatlah mereka berteriak-teriak untuk band mereka. Seluruh hidup mereka hanya berputar di sekitar omong kosong ini. Lihatlah remaja MTV itu”.
[4]

Sandra bersama-sama remaja lain berkumpul di depan markas utama MTV. Di bawah panji organisasi Youth Action Network mereka membentangkan spanduk bertuliskan: ”Remaja New York Menolak Perang!”, ”Anak Muda Ingin Perdamaian!”, ”Ini Masa Depan Kami, MTV!” Seorang remaja secara berani memegang tanda MTV dengan huruf V yang serupa dengan tanda perdamaian di pasang terbalik. Sandra sendiri membawa poster bertuliskan: ”Mata Dibalas Mata Hanya Membuat Seluruh Dunia Buta”.

Anak-anak itu adalah anak kandung kapitalisme. Mereka dilahirkan dari rahi ibu kapitalisme, tetapi ketika mulai tumbuh mereka mulai tahu bahwa kapitalisme berusaha menyuapinya dengan racun atau zat-zat yang akan membuat anak-anak itu bidoh dan cepat mati. Makanya, anak-anak yang menyadari bahwa ia akan hanya dimanfaatkan ibu kandungnya, dengan tegas segera membangkang terhadap orangtua—dan kadang memang dicap durhaka oleh anak-anak dan saudara-saudara kapitalisme yang lain.

P e l a j a r S M U Menolak Privatisasi Pendidikan
Mereka tahu bahwa kapitalisme ingin terlalu berkuasa. Dan mereka yang masih percaya pada sekolah, anak-anak itu juga menolak kampus dikuasai. Sebelum, para mahasiswa Indonesia ramai-ramai menolak privatisasi kampus belakangan ini, anak-anak SMU di negara-negara Barat telah memulainya lebih dulu.

D
i Amerika, misalnya, aksi yang dapat dicatat di sini terjadi pada bulan Desember 2001. Lebih dari 2.500 remaja berjalan keluar ruang-ruang kelas SMU negeri Philadelphia menuju perempatann kota. Masih sebagaimana dikisahkan Allisa Quart
[5], sekelompok remaja yang memakai seragam melewati beratus-ratus bangunan di ”kota perumahan” sekaligus kota kemiskinan. Mereka ini adalah 500 pelajar dari sekolah-sekolah yang relatif miskin, seperti Strawberry Mansion High School. Juga ada anak-anak yang berasal dari sekolah mewah seperti Materman High School dan Central High School.

Artinya, anak-anak dari 15 sekolah yang berbeda berkumpul di depan aula kota, kerumunan itu bahkan berpawai sampai Broad Streetm salah satu jalan utama kota itu. Isu yang diangkat dalam aksi itu adalah menolak privatisasi yang hendak dilakukan terhadap sekolah mereka oleh Edison School Inc., perusahaan perdagangan aset-aset publik. Berkantor pusat di New York, perusahaan itu telah berhasil membeli berbagai macam sekolah di Amerika. Lebih dari 133 sekolah negeri di 22 negara bagian dan Washington D.C.

Sebagian upaya anak-anak sekolah menolak privatisasi ini berhasil. Awalnya pada musim gugur tahun 2001, Mark Schweiker, gubernur Pennsylvania menawarkan kontrak pengolahan seluruh sekolah negeri di bawah sistem administrasi terpusat Edison, bersama dengan pengelolaan sampai 60 sekolah. Akhirnya, pada 7 April, setelah pemungutan suara panel pemerintah akhirnya hanya 20 sekolah kota yang diberikan pada Edison; tidak semua sekolah distrik diambil-alih, hanya beberapa kontrak. Selain beberapa sekolah yang dikelola Edison, 25 sekolah dikelola oleh dua universitas, yaitu Temple University dan University of Pennsylvania.
Anak-Anak Anti-Kapitalis Indonesia
Di Indonesia, kita bukan hanya melihat anak-anak muda yang frustasi karena tidak mendapatkan hak-haknya di bidang pendidikan. Di antara mereka lari ke arah budaya negatif dan justru menjadi bagian dramatis dari musibah kapitalisme—yang tak jarang dieksploitasi dalam kisah-kisah sinetron dan film Hollywood yang menghibur. Sebagian lagi juga ada yang menangkap ketidakpuasannya dan diekspresikan melalui lirik-lirik lagu yang mereka nyanyikan di bus-bus dan kereta-kereta.

Sebagian dari mereka, meskipun mereka adalah anak-anak remaja yang tak dapat masuk sekolah, tetap saja dapat memahami betapa pendidikan sangat penting. Tentunya, mereka menghendaki sekolah yang adil. Saya seringkali mendengar anak-anak kecil yang kotor dan dekil menganyikan lagu-lagu di dalam bus atau kereta. Liriknya seperti ini:

”Belajar sama-sama...
Bekerja sama-sama...
Semua orang itu guru...
Alam raya sekolahku...
Sejahteralah bangsaku!”

Di tempat lain, juga sering saya dengar lagu-lagu-lagu yang, menurut saya, mampu menunjukkan kontradiksi kapitalisme terhadap pendidikan. Berikut ini liriknya:

”Apa guna punya ilmu tinggi,
Kalau rakyat masih kau bodohi.

Apa guna banyak baca buku,
Bila mulutmu sering menipu.

Di desa-desa, tani dipaksa,
Menjual gabah tapi tapi... dengan harga murah.

Di kota-kota, buruh dipaksa,
Bekerja keras tapi api... dengan upah rendah.

Di mana-mana, moncong senjata,
Berdiri tegak kongkalikong... dengan kaum cukong”.


Itu adalah syair lagu anak-anak muda Indonesia yang frustasi dan memberontak. Tentu saja mereka juga m
enambah daya gerakan yang dilakukan oleh teman-teman sebaya yang seringkali tak mau mengenal mereka, yaitu mahasiswa yang kadang juga tidak puas terhadap kebijakan negara dan kampus. Berbagai macam aksi radikal anak-anak muda kampus itu seringkali terjadi, misalnya menuntut kenaikan SPP dan sekolah mahal—hingga menolak kebijakan privatisasi pendidikan tinggi yang benar-benar akan mengancam masa depan negeri Indonesia ini.

Para remaja sekolahan dengan usia yang lebih rendah, anak-anak SD, SMP, dan SMU, belakangan juga begitu suka turun ke jalan, terutama menolak kebijakan Ujian Nasional (UN atau Unas). Anak-anak itu mungkin terbiasa terpasung di dalam kelas, hingga mereka begitu ceria ketika diajak demonstrasi di jalanan. Pendidikan aksi massa semacam ini tentu akan melatih ’mental berontak’ (rebellious spirit) anak-anak—yang sebenarnya sangat berguna bagi upaya awal menempa jiwa kritis mereka. Mereka akan terbiasa, dan tak asing, dengan aksi massa pada saat mereka beranjak dewasa. Pasti ada di antara mereka yang akan menjadi aktivis-aktivis berani dan cerdas pada saat anak-anak itu nanti menjadi mahasiswa.

Di Barat, anak-anak sekolah dan para remaja sudah mulai kritis dan cemerlang dalam memahami kapitalisme, dan sebagian dari mereka juga menolak dibohongi oleh korporasi-korporasi yang membuat mereka bodoh dan kadang tertekan. Mereka adalah remaja yang kadang merasa bahwa perusahaan-perusahaan yang menyuruh remaja ini bergabung juga menganggap remaja itu bodoh.***

_______________________
Catatan Kaki:
[1] Lihat (baca) Allisa Quart. Belanja Sampai Mati. Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. 192
[2] Ibid., hal. 196
[3] Ibid.
[4] Ibid., hal. 198
[5] Ibid., hal. 215-220

Tidak ada komentar: