Kamis, 24 Juli 2008

Tanggapan untuk Santi Ratana:

Tanggapan untuk

Santi Ratana
http://santiratana.multiply.com/reviews/item/1

(Tentang Buku Tibet Saya)

Saya sampaikan terimakasih pada para pembaca buku karya saya, dan terimakasih yang lebih besar saya ucapkan pada mereka yang mau memberikan komentar, catatan, kritik, atau pandangan terhadap karya saya. Dunia gagasan memiliki wilayahnya sendiri untuk bertarung, meskipun saya tak percaya bahwa dunia gagasan adalah ruang hampa yang terbebas dari keterkaitannya dalam ranah material yang kadang bersifat politis, atau yang paling nyata bersifat ekonomis.

Prinsip tersebut saya pegang sejak awal, jauh-jauh hari sebelum saya menerjunkan diri menjadi penulis dan jauh-jauh hari sebelum karya-karya saya—baik buku maupun esai-esai—lahir dan diapresiasi oleh redaksi koran atau redaksi penerbit buku. Jika secara khusus dikaitkan dengan kasus kutipan-kutipan kata-kata dalam buku Tibet, maka saya yakin bahwa pandangan yang saya akan berkontradiksi dengan pandangan dan kenyataan yang sedang berlangsung. Terlalu riskan memang berbicara tentang agama dan tokoh agamawan seperti Dalai Lama.

Resiko itu harus saya tanggung ketika saya dipandang terlalu “tendensius” dalam melihat keberadaan Dalai Lama di Tibet, yang merupakan seorang tokoh yang memiliki banyak pengikut di berbagai belahan dunia. Saya minta maaf, dengan tulus dan ikhlas, jika kata-kata saya menyinggung Beliau (Dalai Lama) dan para pengikutnya, termasuk Saudara/i Santi Ratana.

Tetapi, dalam tulisan ini, saya hendak meluruskan beberapa hal yang menjadi kesalahpahaman Beliau (Mas/Mbak Santi) yang menurut saya juga tampak begitu tak objektif dan emosional, entah dalam memandang katya saya, terutama proses kreatifnya.

Ada baiknya saya kutipkan “kecurigaan-kecurigaan” beliau terhadap buku Tibet dan proses kreatif saya, sebagai berikut:

  • Tulisan saya terlalu instan dan memenuhi “kejar Tayang ala sinetron”;

  • Isi tak sesuai dengan judul yang terlalu “Bombastik”;

  • “Fitnah” terhadap sosok Dalai Lama;

  • Soal “komodifikasi pengetahuan”;

Saya akan menjelaskan “kecurigaan-kecurigaan” itu sebagai berikut:

  1. Soal karya instan dan terkesan “kejar tayang”.

Kejar tayang ala Sinetron?

Oh, buku saya bukan buku yang mengajari anak-anak muda dan remaja untuk cengeng dan hanya mengejar “cinta cinta cinta dan cinta” seperti sinetron. Buku saya meamng diterbitkan untuk mencari keuntungan—atau mungkin bisa jadi untuk sekedar bertahan hidup—penerbitnya! Buku saya mengajak pembaca merenung dan mengetahui informasi alternatif, serta mengusung gagasan perlawanan terhadap manipulasi atas keadaan. “Buku yang isinya terlalu banyak anti-Amerika”, begitu banyak orang berkomentar.

Entah darimana informasi bahwa karya saya itu dilakukan dengan instan. Seakan Saudara/i Ratna adalah orang dekat saya yang tahu bagaimana saya berproses kreasi. Sebagai sarjana Hubungan Internasional yang seharusnya tahu banyak hal tentang politik dunia, saya memang mengakui bahwa saya tidak menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari kawasan Asia, meskipun secara geografis saya berada di wilayah ini. Saya lebih merasa enjoi untuk membaca buku-buku filsafat dan juga lebih asyik menghabiskan karya tulis untuk melakukan serangan terhadap asumsi-asumsi filsafat dan kebudayaan kapitalis. Skripsi saya untuk lulus kuliah adalah tentang Neoliberalisme dipandang dari kacamata materialisme-historis.

Tetapi bukan berarti saya tak punya hak untuk menulis apapun. Untuk menyebut suatu karya instan atau tidak, tidak tergantung pada lamanya waktu, tidak tergantung pada tebal tipisnya buku, juga bahkan tak tergantung pada apapun. Menulis bukanlah suatu kegiatan yang bisa dipaksakan atau didefinisikan secara sederhana.

Buku TIBET yang saya tulis adalah satu-satunya buku tentang konflik Tibet yang belakangan berlangsung. Dan saya tidak akan pernah berubah, saya ingin menunjukkan bahwa Tibet tidak semata seperti apa yang digambarkan oleh media massa Indonesia, meskipun tidak berarti bahwa semua berita tentang Tibet manipulatif 100%.

Saya sudah memenuhi prosedur yang benar, tidak ada yang melarang kita untuk mengutip koran-koran, apalagi koran sekaliber Kompas. Karena saya memang tak sanggup pergi secara langsung ke Tibet, tak cukup uang bagi saya untuk mengadakan survey langsung ke Himalaya. Makanya, saya juga mencari sumber yang sekiranya dapat mengimbangi berita-berita dalam negeri (Indonesia). Sumber internet yang saya kutip adalah situs koran/media yang kebanyakan adalah koran resmi dan besar—yang bahkan adalah koran kapitalis, mereka lebih kapitalis daripada penerbit buku yang menerbitkan karya saya [sic!].

Dengan mengutip koran, tentu saja kita bertanggungjawab karena pembaca buku akan tahu siapakah sumbernya—dan ini merupakan standard penulisan ilmiah yang sangat disarankan oleh dosen-dosen dan akademisi sejak saya kuliah dulu. Dan kebiasaan menggunakan footnote itu memang selalu saya pakai dalam setiap tulisan.

Menggunakan 4 buku sebagai sumber, menurut saya, tak menggunakan bahwa karya saya instan. Saya suka sekali menulis mengalir tanpa sumber apapun, itu sudah seringkali saya lakukan. Tapi untuk soal kejadian semacam Tibet, saya ingin menulis karya yang ilmiah, meskipun tak tebal tak apa-apa, yang penting saya mampu melontarkan gagasan dan info untuk meng-counter info-info yang bertujuan untuk memanipulasi keadaan demi kekuasaan tertentu. Saya curiga pada Amerika Serikat (AS) dalam berbagai kejadian global, karena pada kenyataannya keterlibatan AS atas setiap kejadian global sudah tak terbantahkan lagi.

Dalam kasus Tibet, saya memang begitu tendensius terhadap AS terutama pada seruan Boikotnya pada Olimpiade Beijing. Oh, saya suka sekali aktor Hollywood Richard Gere, tapi saya tak setuju sikapnya melakukan boikot Olimpiade Beijing. Dan saya bukan antek Cina—meski saya berwajah Cina atau keturunan Cina [Hehe..!].

Jujur saja, fakta bahwa buku Tibet dianggap tipis dan kerempeng sebagaimana dituduhkan Ratna, tak akan berpengaruh apa-apa buat saya, juga buat penulis yang lain. Bahkan akan membantu mereka yang haus informasi dan kutu buku. Dengan buku tipis, harga akan terjangkau. Menulis buku tipis dan padat juga menyenangkan sekali, ini saya alami dalam proses menulis buku Tibet.

2. Soal Isi tak sesuai judul, judul terlalu bombastis

Judul tak terlalu bombastis. Ada berbagai kepentingan yang saya angkat. Ada bab I yang cerita bagaimana isu Tibet naik dan ada peran media di situ. Lalu bab-bab selanjutnya ada kisah tentang pihak Cina, lalu ada pihak Dalai Lama, dan terakhir ada pihak Amerika Serikat (AS): Jadi, wah, cukup nyambung dan sesuai dengan judulnya. Karena memang ketiga kepentingan itulah yang tarik-menarik, judulnya juga ada kata Tibet, Cina, dan Amerika—yang menuliskan judul untuk karya ini cukup pintar, saya salut pada penerbit Garasi Book yang begitu kreatif!

Intinya memang ada di bab akhir, yaitu keterlibatan AS. Poin inilah yang menjadi fokus karya-karya “Hubungan Internasional” saya—mulai dari Venezuela-Nikaragua dan Amerika Latin, hingga berbagai kajian politik dunia yang saya kerjakan. Jadi Tibet bukannya karya instan, tetapi justru menunjukkan eksistensi saya yang konsisten [sic!].

  1. Soal Komodifikasi pengetahuan

Komodifikasi pengetahuan bukan urusan saya, tetapi urusan penerbit, tetapi bukan penerbit buku Tibet (Garasi Book) yang merupakan penerbit “haus uang”. Saya memilih penerbit ini karena ia mencetak buku-buku yang kritis dan dalam hal tertentu juga mengangkat topik-topik yang radikal. Ia menerbitkan kisah Fidel Castro, Hugo Chavez, Ahmadinejaad, Sandinista, dan tentunya secara subjektif ia mau menerbitkan tulisan-tulisan saya yang juga radikal. Tak banyak penerbit yang berani mengambil pilihan untuk mengangkat “topik minor” yang tak disukai penguasa yang hanya mau mendukung buku-buku neoliberalistik.

Kok?

Kalau untuk membaca buku harus mengeluarkan uang (beli), ya itu komodifikasi pengetahuan! Kita hidup di jaman jual-beli, dan bahkan gagasan apapun bisa didapat dengan beli?

Saya menolak komodifikasi pengetahuan, tapi saya juga harus bertahan hidup, demikian juga penerbit itu. Bukan berarti saya tidak mengerjakan sesuatu untuk memperjuangkan perlawanan terhadap monopoli kapitalis terhadap ilmu pengetahuan. Esai-esai saya di blog ini, juga kata-kata dalam buku-buku saya jelas sekali menolak kapitalisme apapun. Hingga sekarang saya juga masih punya aktivitas untuk mengaktualisasikan kebencian saya terhadap sistem ekonomi komersil ini. Dan ketika penerbit mau menerbitkan kata-kata yang mencerminkan kebencian saya terhadap kapitalisme... wah, saya bersyukur dan berteriak seperti anak kecil: Horeeeeeeeeeeeeeeee..!!

Mungkin Anda perlu bertanya pada orang-orang yang bekerja di penerbitan, terutama di kota Yogyakarta, tentang apakah mereka menerbitkan buku semata-mata untuk mencari keuntungan?

  1. Soal memfitnah Dalai Lama

Tidak ada maksud untuk memfitnah. Sungguh, saya mohon maaf kalau “terlanjur” bernada seperti itu. Ini karena saya adalah anak muda yang terlalu emosional....

Maksud saya bukannya menghakimi, tetapi melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang memang berdasarkan pada kenyataan yang bisa kita lihat. Ketika saya mengatakan bahwa Dalai Lama “bersembunyi di balik jubah kerahiban”, juga kata-kata saya bahwa Dalai Lama adalah “tokoh yang menikmati konflik ini”, mungkin ini gara-gara saya terlalu subjektif! Saya minta maaf sebesar-besarnya pada Dalai Lama dan para pengikutnya, termasuk saudara/i Ratna. Saya berjanji tak akan mengulanginya lagi, tak akan menggunakan kata-kata seronok seperti itu.

Saya berangkat dari fakta objektif: Dalai Lama adalah elit agamawan yang sekaligus elit ekonomi politik, karena beliaulah yang memiliki sumber daya ekonomi-politik di Tibet, rakyat seakan kehilangan perannya. Tetapi saya membayangkan nasib rakyat yang membangun istana Polata yang tetap saja kembali pada Dalai Lama yang dikenal sebagai penghuni istana.. saya hany menginginkan pembaca tahu di manakah keringat rakyat pekerja Tibet mengalir saat secara fisik harus bekerja keras membangun istananya, tetapi mereka tetap dalam keadaan miskin dan tak diingat sama sekali dalam sejarah. Keterasingan rakyat Tibet yang bekerja keras untuk peradaban para Lama tergantikan oleh perasaan akan keagungan lokalitas budaya dan tradisi Tibet yang dalam sejarahnya tak menyebut sedikitpun peran (rakyat pe)kerja sebagai awal mula kebudayaan.

Oh, saya selalu benci pada feodalisme!

Dan dengan ini saya minta maaf. Mungkin saya hanya perlu merangkaikan kata-kata dengan baik dan menjauhi penjelasan yang langsung menunjuk pada subjektifitas yang ada.

Saya bangga kok dengan karya itu, karena poinnya adalah perjuangan demokrasi dan melawan kesewenang-wenangan penjajahan Amerika Serikat. Jika Tibet merdeka dari Cina, saya tak akan menyesal pula. Tetapi untuk jatuh ke tangan Amerika Serikat yang akan mengeruk kekayaan minyak dan gas di punggung Himalaya? Oh, kasihan sekali rakyat Tibet!!!***

Tidak ada komentar: