Senin, 27 Agustus 2007

ELIT POLITIK ISLAM, DAS SEIN DAN DAS SOLLEN

Oleh: Nurani Soyomukti

Barangkali harapan akan besarnya peran organisasi Islam di Indonesia bisa diwakili oleh Azyumardi Azra beberapa tahun lalu. Dalam sebuah dalam kolomnya di Majalah Tempo, ia begitu yakin bahwa proses reformasi yang dimulai tahun 1998 boleh dikatakan sebagai kemenangan Islam dalam blantika sosial-politik. Azyumardi Azra, misalnya, memandang bahwa era ini bisa dianggap sebagai kemenangan kaum santri.

Anggapan ini bertitik tolak dari kenyataan bahwa figur-figur kaum santri yang—waktu Beliau menulis kolomnya—banyak yang memegang tampuk kekuasaan di negeri ini: Ketua MPR M. Amien Rais, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah; Presiden Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum Tanfidziah NU; dan Ketua DPR Akbar Tandjung, mantan Ketua Umum PB HMI.Hasil pemilu 2004 sekarang ini nampaknya juga masih didominasi oleh kelompok dan tokoh-tokoh Islam, misalnya banyaknya wakil dari Partai Keadilan Sejahtera yang sekaligus kadernya juga sebagai Ketua MPR. Sekarang ini Euforia Islam dalam politik Indonesia, for better or worse, juga didukung oleh kenyataan banyaknya partai-partai organisasi-organisasi dan gerakan Islambaik yang menggunakan Islam sebagai formalitas politik maupun tidak.Akan tetapi terlalu naif untuk melihat kehadiran Islam seperti itu sebagai keberhasilan ajaran teologis Islam dalam menjawab persoalan bangsa. Politik Islam akhir-akhir ini memang sedang menggeliat, terutama manuver-manuver para elit dan aktivisnya yang kadang justru memakai cara-cara yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam sebagai agama yang menjadi rahmat dari seluruh manusia, serta justru tidak menunjukkan nilai-nilai cintanya di alam ini.
Tulisan ini secara khusus juga mencoba melihat bahwa tingkahlaku para elit politik pasca-reformasi belum mencerminkan moral-etika Islam. Pencarian terhadap wacana Islam yang relevan patut untuk dilakukan, terutama untuk meyakinkan masyarakat bahwa Islam adalah agama yang benar-benar mampu menjawab realitas sosial, ekonomi-politik, kebudayaan, dalam bingkai kebangsaan Indonesia. Dalam hal ini, persepsi dan daya tafsir manusia terhadap doktrin agama Islam akan mempengaruhi pandangan dan praktek-prakteknya dalam kehidupan.
Pemahaman para elit politik terhadap ajaran Islam, atau lebih tepatnya moral-etika elit politik yang Islami, akan mengarah pada rumusan visi dan tingkat kepedulian para elit politik rakyat yang diwakilinya.Mengharapkan Belas Kasih dari Elit Politik?Istilah elite berasal dari bahasa Latin eligere yang berarti “memilih”. Dalam pemakaian biasa kata itu berarti “bagian yang menjadi pilihan” atau “bunga” suatu bangsa, budaya, kelompok usia, dan juga orang-orang yang menduduki posisi sosial yang tinggi (Keller, 1995: 3). Umumnya yang disebut elit adalah orang-orang yang memiliki kekuatan tertentu; minoritas yang efektif dan dianggap bertanggung jawab untuk melayani kreatifitas menurut tata cara yang baik bagi masyarakat. Dalam dunia sosial, mereka adalah orang-orang yang memiliki pengaruh dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti agama, ekonomi, politik, dan termasuk dalam kelas sosial yang tinggi.
Di Indonesia banyak dijumpai para elit yang umumnya memiliki akses dalam berbagai bidang. Para elit politik Indonesia pada umumnya adalah orang-orang yang secara ekonomi berada di kelas atas; mereka memiliki kekayaan melimpah dan bahkan memonopoli aset-aset ekonomi. Elit-elit agama juga memiliki akses yang besar dalam bidang politik dan ekonomi. Kebanyakan Kiai dan Ulama, misalnya, tidak sedikit berada dalam posisi sosial yang tinggi, misalnya sebagai tuan tanah dan pedagang-pedagang kaya. Posisi sosial umumnya mengarah pada keterlibatan dan peran-peran sosial, bahkan politik (Reading, 1986: 135).Pada saat rezim otoriter-birokratik Orde baru berkuasa, para konglomerat memiliki cengkeraman yang kuat dalam politik.
Para pengusaha dan elit ekonomi banyak yang berkongkalikong dengan para pejabat dan orang-orang yang menduduki posisi politis yang penting. Para wakil rakyat dan petinggi negara, juga elit-elit partai, umumnya berada dalam kelas sosial yang tinggi—dengan ketimpangan yang mencolok terhadap rakyat Indonesia. Hal ini menguatkan pandangan bahwa percaturan sosial dengan dinamikanya selalu melekatkan wilayah ekonomi dengan wilayah politik. Dari sudut pandang ini patut dipertanyakan apakah konflik elit politik Indonesia yang selalu marak merefleksikan adanya perdebatan para wakil rakyat untuk benar-benar secara serius menyelesaikan persoalan yang ada, terutama bagaimana membawa keadilan sosial. Jangan-jangan konflik tersebut hanya semata-mata muncul demi kepentingan untuk mempertahankan dan mencapai kekuasaan (ekonomi-politik) mereka sendiri. Masalahnya, jatuhnya Suharto belum merubah struktur ekonomi dan pendistribusian aset-aset ekonomi dari rezim lama ke pemerintahan yang demokratik. Yang bermain saat ini justru elit-elit ekonomi politik yang ikut membangun sistem kapitalisme Orde baru.Centang-perenangnya situasi politik dan sengketa antar elit politik Indonesia, adanya isu-isu yang berseliweran dan bantah-membantah, bahkan membuat rakyat bingung dan kawatir. Pada hal rakyat sangat menggantungkan nasib mereka, masa depan mereka, kemakmuran dan kesejahteraan mereka pada para pemimpin bangsa.
***
Sementara sulit untuk tidak disangsikan apakah pihak-pihak elit yang bertikai itu, dengan berbagai manuver yang sifatnya mengancam dan menakutkan, melakukan tindakan politiknya berdasarkan kepentingan rakyat banyak ataukah hanya berkaitan dengan kekuasaan dan kepentingannya sendiri. Bila anggapan yang terakhir benar, maka ada kemungkinan bahwa negara Indonesia hanya menjadi ajang perebutan para elit yang secara sosial berada dalam posisi kelas atas dalam sistem kapitalisme-birokratik (inteligensia, pemodal, politisi, birokrasi, dan militer yang punya kepentingan kekuasaan). Jika demikian, maka tesis yang diungkapkan Karl Marx masih relevan, negara tidak lebih dari alat kelas atas (borjuasi) untuk melanggengkan kepentingannya.Pasalnya, hubungan antara elit politik Indonesia kontamporer dengan massa sering tidak mencerminkan garis yang egaliter, tetapi justru eksploitatif.
Jika dalam hal ini para elit politik bisa dipahami sebagai komunikator politik, maka komunikasi politik yang terbangun oleh elit politik hanya berkaitan dengan pembicaraan berupa suatu wacana dinamik dari kekuasaan, pengaruh, dan kewenangan (yang tidak terdamaikan) melalui kegiatan-kegiatan simbolik (ucapan-ucapan politik). Dan Nimmo (1989: 122), yang mencoba melihat fungsi komunikasi politik untuk meyakinkan dan membangkitkan massa, sampai pada kesimpulan bahwa pembicaraan politik itu cenderung mengarah pada upaya untuk pencapaian material, untuk peningkatan status, dan bahkan untuk mencari identitas elit itu sendiri. Bahkan Herbert Marcuse, dalam One-Dimensional Man (1969), juga mengungkapkan bahwa pembicaraan politik seperti itu adalah “bahasa keseluruhan pemerintahan”, suatu wacana manipulasi dan kendali otoriter. Dalam bahasa kekuasaan keseluruhan pemerintahan, pengaruh dan pembicaraan otoritas meningkatkan status orde yang memerintah dengan menghapus berpikir kritis. Dengan pemahaman ini, dalam kasus mobilisasi, massa sering tidak sadar bahwa mereka untuk banyak hal digerakkan dan dimanfaatkan demi kepentingan elit politik, bahkan juga dibantu oleh elit ekonomi yang—dalam kasus Indonesia—sering membayar massa demi target politik tertentu.Tidak bisa dipungkiri, budaya politik Indonesia masih berada pada tingkat yang rendah bagi proses demokratisasi jangka panjang.
Akan tetapi jika konflik elit politik itu dipahami dari perspektif upaya gerakan pro-demokrasi untuk menuntaskan reformasi total secara sungguh-sungguh dengan memberantas habis sisa-sisa Orde baru, dan untuk kemudian mewujudkan tatanan ekonomi-politik yang benar-benar adil, maka menurut teori transisi demokrasi kondisi konflik elit dewasa ini akan mengarah pada dua hal: pertama, jika kekuatan lama kuat dan masih hegemonik, mereka mungkin akan memenangkan proses tarik ulur kepentingan politik tersebut, dan mungkin Indonesia akan kembali pada tatanan kapitalisme-otoroter-birokratik lama—bahkan, seperti yang dikawatirkan oleh Budiman Sujatmiko di atas, akan muncul fasisme baru; kedua, jika elemen-elemen yang benar-benar pro-demokrasi—baik pada tataran formal maupun informal—menang, maka ada kemungkinan keadilan sosial akan terwujud; cinta akan jadi kenyataan.
Tetapi nampaknya sulit untuk memenangkan revolusi demokratik tersebut ketika agenda reformasi telah diambil alih oleh para elit politik yang nota bene tidak memiliki pandangan kerakyatan. Apalagi elemen demokrasi yang bersitegang dengan kekuatan lama pada tingkat formal (parlemen) sebagian adalah generasi tua dan status quo yang secara kultur politik dibesarkan dalam sistem lama.Apapun bentuknya, konflik politik antar elit bisa dipahami secara wajar bila di dalamnya melibatkan perdebatan yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Tapi juga akan merupakan suatu utopia jika mengharapkan elemen-elemen status quo (orang yang berkuasa dan berkemewahan serta pada saat yang sama tidak memiliki pandangan demokrasi kerakyatan) membebaskan diri dari kepentingannya, berpandangan dan bertindak menurut moral-etika kerakyatan. Karena jika konflik elit politik di Indonesia justru memperburuk keadaan dan memperparah kondisi bangsa, maka tidak menutup kemungkinan rakyat tidak akan percaya lagi pada elit politik.
Rakyat bisa bergerak anarkis atau apatis bila para elit dinilai tidak mencerminkan kepentingannya, bahkan menyakiti hatinya. Mungkin saat ini rakyat memang masih diam, tetapi secara diam-diam mereka mencatat perilaku dan kinerja para pemimpin yang mereka pilih.Moral-Etika Pembebasan Islam dan Konflik Kepentingan ElitIslam adalah agama yang diturunkan di muka bumi yang dari konteks sejarahnya dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari belenggu era jahiliyah Arab. Kedatangan Islam melalui Nabi Muhammad adalah antitesa (penolakan) atas kondisi penindasan dan perbudakan yang dilakukan oleh masyarakat Arab sebelum Islam diturunkan. Dengan demikian fungsi revolusioner Islam ditujukan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang baik, penuh cinta, egaliter dan adil. Manusia harus berserah diri kepada Allah SWT dan membebaskan dirinya sendiri dari pendewaan dunia, materi, dan keinginan yang merugikan sesamanya.
Dengan demikian, sebagai agama yang “rahmatan lil alamin”, Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah (“hablum minallah”) dan hubungan manusia dengan manusia (“hablum minannas”). Dan umat Islam harus mampu menterjemahkan hubungan itu untuk menjawab persoalan-persoalan sosial karena didalamnya tersedia etika-moral bagi manusia untuk bertindak.Menurut Dr. Tohari Musnawar, dalam ajaran Islam, istilah etika tidak sama dengan apa yang dipahami oleh para ilmuwan Barat. Etika Barat sifatnya antroposentrik (berpusat pada Tuhan). Karenanya dalam etika Islam suatu perbuatan selalu dihubungkan dengan amal shaleh atau dosa, pahala atau siksa, surga atau neraka.
Inilah spirit cinta (Agape) Islam. Pandangan ini memungkinkan bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan kelak kepada Allah SWT. Al-Qur’an sebagai landasan agama Islam memang memungkinkan timbulnya pandangan pada masa depan. Orientasi ke depan Al-Qur’an itu, menurut Dawam Rahardjo, pertama-tama memunculkan pandangan yang dipengaruhi oleh visi eskatologis. Di satu sisi, visi itu menyebabkan eskatisme yang pesimis terhadap hidup ini, terutama berkaitan dengan kepercayaan akan datangnya Hari Kiamat. Di lain sisi, ia justru menimbulkan sikap yang progresif, yaitu adanya upaya untuk menjawab realitas sosial secara tegas sesuai dengan misi ketuhanan (Saleh, 1989: 14).Meskipun dianggap sebagai penahan atau pendukung perubahan, jawaban Islam terhadap realitas sosial (persoalan kemanusiaan) akan kembali pada bagaimana manusia menafsirkan dan menterjemahkan ajaran Islam, terutama dari teks Al-Qur’an dan Hadits. Kaitannya adalah dengan kepentingan manusia dalam aktivitas aktualnya di mana hubungan produksi sangat menentukan. Orang yang kaya cenderung akan menafsirkan Islam sesuai dengan pelanggengan kekuasaannya itu.
Hal inilah yang mengakibatkan adanya pemikiran Islam yang berbeda-beda. Umumnya pemikiran Islam itu merumuskan bagaimana hubungan Islam dengan politik (negara), serta relasi pemimpin (elit politik) dengan umat (masyarakat, rakyat). Dengan demikian, dalam kaitannya dengan perilaku elit ormas Islam dan elit politik Indonesia, pemikiran Islam yang membebaskan bisa digali kembali untuk kemudian mengaktualisasikan doktrin teologisnya bagi persoalan bangsa, negara, dan kemanusiaan.Kita masih teringat jaman Orde Baru di mana elit politik Islam adalah para penguasa dan juga komprador yang menindas (taqhut). Akomodasi dan representasi politik Islam di era Orde Baru benar-benar hanya membuat Islam sebagai alat legitimasi kekuasaan. Elit agama hanya digunakan sumber dukungan baik elit pusat maupun elit daerah. Setidaknya, menurut Muhammad Asfar, ada tiga fenomena yang menandai kenyataan hegemoni negara atas agama Islam. Pertama, adanya fenomena kebulatan tekad yang dilakukan ulama. Seringkali dalam peristiwa pemilihan umum dan pencalonan presiden selalu didahului dengan kegiatan dukungan atau kebulatan tekad yang dilakukan ulama terhadap calon presiden atau wakilnya. Bahkan dalam situasi “kritis” dan menentukan ulama dapat dijadikan sebagai alat legitimasi (sumber dukungan) oleh pihak penguasa.
Kedua, fenomena sowan politik yang dilakukan ulama ke pejabat-pejabat tinggi baik pusat maupun daerah. Bahkan tindakan tersebut dianggap sebagai pijakan atau strategi perjuangan politik umat. Sowan politik ini—yang kadang juga merupakan kunjungan pejabat ke pesantren atau komunitas agama—dianggap mempunyai arti penting bagi kemaslahatan umat di bawahnya.Ketiga, adanya fenomena di kalangan ulama atau elit agama untuk mencari legitimasi ke pusat kekuasaan jika terjadi konflik di antara sesamanya. Sebagai kompensasinya, pencarian dukungan pada kekuasaan itu sama saja berarti memberi dukungan pada kekuasaan tanpa melihat bagaimana wajah kekuasaan yang dijalankan. Seringkali konflik kepentingan di antara elit organisasi massa Islam dicarikan legitimasi ke pemerintah, bukan diselesaikan dengan mekanisme demokratik berdasarkan suara dari bawah.
Fenomena usaha pendongkelan terhadap Gus Dur, gejala pasca mukhtamar Cipasung dengan munculnya sikap tidak puas kelompok Abu Hasan, misalnya, dicurigai banyak kalangan rekayasa pihak pemerintah Orde Baru.Bagaimana dengan kondisi saat ini?Meskipun Orde Baru tumbang, nampaknya elitisme Islam masih nampak meskipun dalam wajah yang lain. Islam yang elitis masih tampak kentara dalam berbagai fenomena elit dan organisasi Islam. Misalnya, dalam kasus “perebutan kekuasaan” di organisasi NU antara Gus Dur dan Hasyim Muzadi yang dasar perdebatannya bukanlah strategi pemberdayaan “rakyat NU” untuk menghadapi krisis kesejahteraan dan pemenuhan demokrasi dan HAM dalam ruang demokrasi yang relatif terbuka. Selain itu, perdebatan dalam pemikiran Islam yang manstreamnya didominasi antara dikotomi Islam fundamentalis dan Islam liberal, dan bukannya Islam pembebasan.
Yang terakhir ini, menurut saya, perdebatan pemikiran Islam telah mengkutub pada elitisme intelektual dari dua kubu, dan bukan pada fungsi Islam sebagai spirit praktek transformasi sosial untuk bersentuhan langsung dengan rakyat tertindas akibat penindasan kapitalisme global dan ekses-eksesnya. Dikotomi keduanya masuk dalam lingkaran setan yang disediakan oleh imperialisme (kapitalisme global) dan menggeser persoalan konkrit sosial-ekonomi masyarakat melulu pada persoalan elitisme pemikiran Islam. Hal yang sama juga cenderung terjadi pada intelektual Islam yang ada di parlemen. Mereka, misalnya, lebih suka memperdebatkan Piagam Jakarta dari pada bagaimana secepat mungkin untuk membuat kebijakan dan aturan yang pro-rakyat dan demokrasi. Jadi, di manakah ruang pembebasan akan muncul? Wallahu’alam!

Tidak ada komentar: