Oleh: Nurani Soyomukti
Ketika budaya membentuk watak manusia yang justru mengarah pada kontradiksi kebudayaan, maka pendidikan harus menempatkan dirinya sebagai kekuatan counter-hegemony terhadap dominasi. Dalam era kapitalisme (neoliberalisme—pasar bebas) sekarang ini, lembaga pendidikan tidak memiliki banyak waktu untuk mengajari anak-anak didik (pelajar, mahasiswa, masyarakat) tentang cara membangun kebudayaan yang memberdayakan. Sekolah, kampus, dan lembaga pendidikan lainnya seakan hanya mengajari menghafal nama-nama dan merk-merk produk dan bahkan hanya sekedar memastikan bahwa mereka bisa berhitung agar mengerti untung-rugi.
Mereka tidak pernah diajarkan cara melihat kehidupan secara dialektis dan mengetahui bagaimana sejarah berjalan. Pendidikan hanya mengikuti arus globalisasi kapitalis yang didominasi oleh kepentingan untung-rugi. Peserta didik diarahkan pada satu makna budaya, tunggal, linear, dan homogen. Lembaga pendidikan hanya mengikuti arus kebudayaan, tidak memiliki daya kontrol terhadap perkembangan budaya yang membentuk kehidupan yang tingkat kontradiksinya semakin kita rasakan akhir-akhir ini.
Kapitalisme dewasa ini (pasar bebas) didukung oleh media-media—yang menurut Peter Saunders (1995: 79)—mampu menstimulasi kebutuhan-kebutuhan semu (false need) akan barang-barang dan jasa material yang berlebih. Kebutuhan-kebutuhan yang terus diperbaharuhi melalui citra-citra oleh industri periklanan dan industri budaya massa menutupi kebutuhan riil (real needs) yang lebih mendasar dengan mekanisme sublimasi psikologis yang dihasilkannya. Seakan kebutuhan, tujuan, cita-rasa, ideologi massa masyarakat di bawah hegemoni pasar bebas (kapitalisme lanjut) ini hanya bisa dilihat sebagai hasil dari sebuah mesin industri raksasa yang mampu menciptakan masyarakat dalam satu dimensi. Maka individu-individu yang lahir adalah—apa yang disebut Herbert Marcuse—manusia satu dimensi (one-dimensional man).
Rekayasa psikologis yang diciptakan tentu saja benar-benar menghujam kesadaran massa bahkan mampu terendap ke alam bawah sadarnya yang mengendalikan pikiran, perasaan, dan pada akhirnya tingkah lakunya. Para desainer budaya liberal (pasar bebas) nampaknya paham benar akan analisa Sigmund Freud yang mengatakan bahwa di alam bawah sadar manusia terdapat suatu dorongan terdalam yang sangat berperanan dalam perkembangan psikologisnya, yaitu libido atau dorongan seksual (sexual drive). Maka tidak heran jika pelembagaan kultur liberal yang dianggap kondusif bagi pasar bebas disandarkan pada liberalisasi seks.
Dorongan seks dan kebutuhan instinktual lainnya disalurkan dalam bentuk-bentuk ekspresi yang sangat tidak pernah terpuaskan. Budaya massa dengan film-film dan drama yang kebanyakan berkiblat pada Hollywood, dan konsumsi massa dengan periklanan yang provokatif (baca: sensual) serta janji-janji kepuasan yang sulit ditepati melalui kepemilikan pribadi dan paham individualisme yang memilarinya, menawarkan pada masyarakat (tanpa memandang usia dan kelas sosial) suatu bentuk pelepasan dan ekspresi yang bisa diisi dan dikontrol dengan sistem sosial kapitalisme lanjut yang tengah melembaga (serta dilembagakan).
Seakan, semua energi libidinal dari massa didesain agar tidak muncul suatu psikologi ketidakpuasan massa yang mengarah pada perlawanan terhadap sistem, dan supaya kapitalisme sebagai mesin industri besar yang diuntungkan mampu meneruskan produk-produk yang terus diperbaharui baik secara teknologis maupun hanya sekedar perubahan citra-citra yang mampu menciptakan gaya hidup dan budaya yang melanggengkan sistem dan menguntungkan industri besar. Hasilnya adalah bahwa kemajuan-kemajuan teknis yang dilakukan mampu mendefusikan semua oposisi yang ada (technical progress defuse all opposition).
Para elit pasar bebas (kapitalis) tidak mengeluarkan sedikit biaya untuk menciptakan struktur dan kultur sosial yang menguntungkannya. Mereka tidak hanya membayar ahli-ahli teknologi dan teknik yang mampu meningkatkan produksi yang dibuat dan dikembangkan agar produk-produk yang dilakukannya tidak ketinggalan jaman dan kalah bersaing atau dalam istilah yang lebih ekonomis untuk menciptakan “produk unggulan”. Mereka juga mengeluarkan banyak biaya untuk membayar ahali-ahli sosiologis dan psikologis, bahkan dengan sendirinya akhirnya berkembang semacam industri budaya yang di era kapitalisme neo-liberal ini seakan-akan menjadi pilar utama masyarakat (pos)modern sekarang ini.
Globalisasi dan Monokulturalisme
Dengan menyeruaknya budaya pasar bebas, di mana mayoritas manusia seakan tergiring pada suatu budaya semu yang direkayasa elit industri (kapitalis) demi memburu keuntungan pribadinya, maka kita melihat sendiri bagaimana budaya masyarakat Indonesia sekarang ini. Budaya konsumtifisme dan hedonisme ditebarkan ke masyarakat, memberi kebahagiaan bagi segelintir elit ekonomi-politik dan kelas atas dan memberi penderitaan lahir batin (baik disadari maupun tidak) pada mayoritas kaum miskin yang ada. Ketidakadilan ekonomi melahirkan ketidakadilan sosial dan diskriminasi budaya.
Pertama, sistem ekonomi pasar bebas (kapitalisme lanjut) yang membelah masyarakat menjadi dua kelas kaya dan miskin tidak memungkinkan semua manusia untuk mengembangkan dirinya sebagai mahkluk yang berbudaya. Kemiskinan dan kondisi ketertindasan yang dialami masyarakat membuat mereka tidak mampu menikmati kehidupan yang memungkinkan mereka mengembangkan kebudayaan yang beradab. Mereka yang masih harus memikirkan dan memenuhi kebutuhan yang paling mendasar akan sulit untuk mendapatkan kondisi yang menumbuhkan kekuatan produktif dan budaya. Masyarakat miskin yang tiap harinya harus bekerja sekedar untuk bisa makan, menyekolahkan anak, dan membeli baju dan obat, tidak mungkin akan mampu menjadi manusia yang produktif dalam makna menghasilkan pemikiran dan teknologi yang maju.
Bahkan banyak di antara mereka yang tidak dapat mengakses sekolah, tentunya tidak ada yang diharapkan dari mereka selain budaya “minder”, tanpa pengetahuan, dan kondisi kehidupannya identik dengan kekerasan baik secara psikologis maupun fisik. Kedua, pasar bebas telah menghasilkan homogenisasi persepsi budaya atau menciptakan “manusia satu dimensi”. Diskriminatif secara budaya karena tidak memberi ruang bagi setiap individu untuk memaknai dunianya sendiri dan mengembangkan nilai budaya sesuai dengan dunianya yang lebih objektif dan tidak manipulatif, membodohi serta melanggengkan penindasan. Homogenisasi budaya menghambat diversifikasi budaya dan keragaman gaya hidup manusia dan dengan demikian memandulkan setiap potensi manusia untuk memperkaya khasanah budaya. Yang terjadi adalah budaya meniru (imitatif) dalam masyarakat kita. Lihat saja kelatahan masyarakat kita bukan hanya kita jumpai dari makro budayanya, tetapi bahkan bisa kita lihat dari pergaulan sehari-hari kita hingga berupa ucapan-ucapan (kosa-kata) yang ditirukan dari TV-TV (biasanya iklan). Budaya meniru juga tumbuh subur dalam karya seni, misalnya remaja yang hanya bisa meniru lagu-lagu pop dan bukan menciptakan lagu sendiri baik secara gaya artistik maupun muatan ideologi seninya.
Sehingga, akibat homogenisasi budaya yang lain adalah tumpulnya tenaga produktif masyarakat. Budaya meniru jelas seiring dengan budaya tidak produktif dalam mencipta. Segala karya cipta hanya diperankan berdasarkan acuan budaya pasar yang didesain oleh elit pasar bebas. Bahkan media-media seperti TV dan tabloid ‘gaul’ adalah sarana efektif untuk mendoktrinkan baju apa yang harus dipakai, gaya apa yang harus dijalani, dan kosa kata apa yang bisa dikatakan dalam bahasa sehari-hari untuk menjadi manusia yang “gaul” dan “trendy”—tentunya sesuai dengan standardisasi budaya pasar. Ketidakproduktifan bangsa kita juga tercermin dari rendahnya teknologi yang berkembang, sehingga kita selalu ketinggalan dengan produk luar negeri dan di stu sisi masyarakatnya sangat bangga dengan mengkonsumsi “produk sampah” dari luar negeri yang di negara asal (negara maju) sudah tidak “ngetrend” alias out of date, tetapi diterima para konsumen Indonesia karena diikuti dengan citra-citra mewah yang hanya membuat mereka bisa mengkonsumsi (dan tidak berproduksi). Hal ini memperparah kondisi keterbelakangan bangsa ini secara terus menerus. Budaya konsumtif yang timpang dengan budaya produktif inilah yang menyebabkan budaya korupsi di masyarakat kita.
Dari kondisi itu, maka paham multikulturalisme tidak berhenti pada kritik budaya saja, tetapi diharapkan akan menjadi counter-hegemony yang bermakna penolakan terhadap akar-akar sosial yang menyebabkan terciptanya monokulturalisasi di masyarakat. Karena multikulturalisme menekankan pada kesetaraan budaya dan ekonomi politik sebagai struktur dasar yang mendukungnya.
Budaya monokultural terbukti menjadi alat penguasa untuk menindas masyarakat. Orde Baru telah menggunakan pandangan ini dalam penyeragaman budaya dan politik yang ternyata mengandung penindasan ekonomi selama 32 tahun. Pasar bebas melalui medianya juga berusaha menyeragamkan selera dan gaya hidup masyarakat untuk menggiring mereka menuju budaya pasar (konsumtifisme dan hedonisme). Dari ritik kritis inilah, seharusnya multikulturalisme mendasarkan dirinya sebagai gerakan baru menuju demokrasi dan keadilan budaya.
*
Pendidikan adalah suatu cara untuk menciptakan kualitas manusia. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang dapat menggunakan potensi fisik dan non-fisiknya untuk melihat dan merespon lingkungan sosialnya. Semakin banyak manusia yang berkualitas dalam makna dapat melihat persoalan yang objektif dan itu kemudian dijadikan landasan untuk mengatasi persoalan, maka dapat dipastikan bawa masyarakat kita berjalan secara beradab.
Pandangan seperti itu melihat bahwa antara modal manusia (human capital) dan modal material sama dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi perpektif kapitalistik dalam memandang hubungan antara kemajuan pendidikan dengan pertumbuhan—dan bukan pemerataan—seperti itu akan mengarahkan pendidikan untuk menciptakan mesin-mesin pertumbuhan. Pada hal yang dibutuhkan sebenarnya adalah keberadaan manusia yang dapat melihat persoalan secara komprehensif, objektif, toleran, dedikatif, dan aktif dalam kegiatan keberadabannya.
Artinya, antara pendidikan dan pembangunan tidak bersifat satu arah; pembangunan juga mempengaruhi perkembangan dan arah pendidikan. Pengalaman menunjukkan bawa pertumbuhan produksi tidak harus membawa perbaikan pada tingkat hidup semua golongan masyarakat, tetapi hanya bagi segelintir orang yang ada; sedang golongan lain tetap mengalami deprivasi, sehingga melahirkan ketidakseimbangan antara produksi pendidikan, misalnya lulusan-lulusan lembaga pendidikan dan kebutuhan pembangunan.
Kondisi inilah yang kemudian juga melanggengkan kontradiksi di masyarakat. Sementara ketimpangan ekonomi dan kemiskinan adalah landasan objektif bagi munculnya potensi konflik di masyarakat baik bermakna suku, ras, agama, dan kelas. Apa lagi pada kenyataannya surplus values (nilai lebih) tenaga produktif masyarakat terserap ke tangan para pemodal dan korporasi-korporasi bisnisnya. Logika kaum modal adalah mencari keuntungan dan mereka tidak cukup hirau apakah masyarakat terdidik atau tidak. Mereka akan mendukung pendidikan—bahkan membangun lembaga-lembaga pendidikan yang dikomersialkan dan mendukung pemerintah melakukan privatisasi sektor pendidikan—untuk menciptakan generasi-generasi yang mampu dipergunakan sebagai mesin dan alat kerja kapitalisme.
Akan tetapi di bawah dominasi neo-liberalisme, upaya penciptaan kesadaran masyarakat lebih didorong pada suatu hal yang mengarah pada budaya konsumtifisme dan bukan pada kesadaran objektif. Liberalisme lebih diarakan kepada kebebasan untuk menghambur-hamburkan harta membeli produk-produk sesuai propaganda iklan, mendidik generasi berwatak sophaholic (gila belanja) yang identik dengan budaya imitatif, permisif, tidak produktif; dan bukannya menjadikan watak workaholic (gila kerja) yang identik dengan watak produktif, kreatif, dan independen.
*
Selain itu, tantangan terciptanya pemikiran multikultural adalah sulitnya masyarakat mengakses pendidikan itu sendiri. Masalahnya, pendidikan adalah cara bagaimana manusia dapat mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan supaya lebih dapat memahami realitas sosial. Fakta membuktikan bahwa orang yang lebih banyak memiliki ilmu pengetahuan objektif lebih dapat menghormati perbedaan. Pola pikir menghargai perbedaan inilah yang menjadi kata kunci dari multikulturalisme. Sedangkan kemiskinan itu sendiri, selain mempersulit masyarakat mengakses pendidikan, juga menyediakan kondisi yang dipenuhi prasangka dan sentiment. Sejarah telah membuktikan bahwa prasangka interkultural dan sentimen identitas (suku, ras, agama, bangsa) lebih mudah tumbuh dan terbangun dalam situasi ekonomi yang centang-perenang dan tidak merata di kalangan rakyat.
Bagaimanapun kita harus menegaskan multikulturalisme ini sedini mungkin sebagai dasar bagi setiap pembuatan kebijakan dan cara memandang persoalan. Kita harus menekan supaya pendidikan sebagai lembaga yang penting bagi penyadaran dapat diakses ole semua individu dalam masyarakat kita. Pada saat yang sama, pendidikan yang suda ada harus kita bersihkan dari racun-racun monokulturalisme dan prasangka-prasangka sempit yang membuat hubungan sosial menjadi tidak berjalan secara damai.
Pendidikan multikultural pada prinsipnya mengajarkan pada kita tentang pentingnya menjaga harmoni hubungan antar manusia meskipun kita berbeda-beda secara kultural, etnik, religi, dan lain-lainnya. Paham ini di era ini menjadi semarak setelah masyarakat Indonesia belajar dari pengalaman pahit dari diterapkannya politik monokulturalisme selama 32 tahun oleh Orde Baru. Monokulturalisme Orde Baru tersebut juga diiringi dengan upaya politik untuk menguasai (politics of conquer) hak-hak rakyat dalam makna ekonomi, demokrasi, bahkan hak-hak kultural dan kepercayaannya. Misalnya dilarangnya perayaan hari besar agama dan kepercayaan seperti pada agama Tionghoa yang baru diperbolehkan oleh Pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputri.
Penyeragaman yang ada didalamnya, praktis, juga dimaksudkan untuk membatasi ruang demokrasi rakyat. Gerakan mahasiswa 1998 juga tidak bisa dipisahkan dari gerakan multikultural ini. Mahasiswa, sebagai elemen rakyat yang memiliki kesempatan untuk menikmati akses informasi dan ilmu pengetahuan dalam lembaga pendidikan tinggi, adalah kalangan yang bisa dikatakan paling kedap pada propaganda anti-demokrasi (baca: monokulturalisme) rejim. Gelombang demokratisasi di Indonesia yang bertiup kencang sejak awal tahun 1990-an juga menambah semangat demokrasi dan kesadaran akan pentingnya pluralitas. Di satu sisi, kesadaran mahasiswa juga dibentuk oleh pengalaman empirisnya dalam kehidupannya di kampus, suatu wilayah pendidikan di mana mahasiswa mengenal kenyataan perbedaan secara nyata. Kampus dan lingkungannya adalah tempat di mana orang-orang yang datang dari berbagai tempat, asal-usul, dan latar belakang baik suku, ras, agama, kepercayaan, bahkan bahasa. Pengetahuan yang di dapatkannya juga sangat memungkinkan bagi mahasiswa untuk melihat persoalan hubungan sosial secara objektif tanpa prasangka dan subjektifitas.
Tak heran jika dalam sejarahnyapun gerakan multikulturalisme dalam makna penghormatan atas keberadaan berbagai macam identitas suku dan agama di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari kaum muda dan mahasiswa. Di jaman pergerakan kesadaran multikultural itu telah dimulai dengan diadakannya Sumpah Pemuda oleh kaum muda dan mahasiswa yang berasal dari berbagai macam organisasi pemuda kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Bali, Jong Borneo, dan jong-jong yang lain. Kesadaran kemerdekaan justru muncul meluas dengan adannya gerakan kebinekaan tersebut.
Maka perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya adalah tempat persemaian wacana multikulturalisme dan demokrasi. Strategi taktik pendidikan multikulturalisme diabdikan untuk menciptakan generasi-generasi yang sadar akan keragaman budaya di dunia ini, juga memberikan landasan teoritik untuk mencari sebab-sebab konflik dan kekerasan yang bersinggungan dengan keragaman itu.
Rumusan pendidikan multikultural menurut James Banks memiliki berbagai dimensi pokok. Pertama, content integration, yaitu upaya mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu; kedua, the knowledge construction process, yaitu suatu metode/cara bagaimana membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin); ketiga, an equity paedagogy, yaitu usaha untuk menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial; keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki cirri-ciri yaitu; Pertama, peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya. Kedua, mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. Ketiga, peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda. Keempat, peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Gagasan pendidikan multicultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Tentu saja, era ini sangat relevan untuk menerapkan pendidikan multikultural karena kontradiksi masyarakat memasuki globalisasi justru semakin jelas. Bakan konflik interkultural juga semakin semarak mewarnai percaturan politik global, nasional dan lokal. Jelas, masyarakat kita membutuhkan cara baru dalam memandang realitas, karena sejarah juga berubah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar