(Esai ini Dimuat di Harian "SURYA", Minggu/19 Agustus 2007)
Oleh: Nurani Soyomukti
Menurut Amitabachan, film tidak hanya merupakan gambar hidup yang dipertontonkan semata, namun film merupakan ungkapan emosi dan perasaan, refleksi budaya, dan ekspresi seseorang dalam seni, social, dan politik dengan keunikannya. Yang dapat mempengaruhi perilaku penonton dengan dukungan seting dalam film maupun tempat untuk menonton (Amitabachan, Festival Film India, 2004). Sebagai sosok yang menerjuni dunia perfilman, bintang India yang terkenal ini mengakui bahwa film memang hendak mengarahkan penonton (masyarakat) pada pemahaman tertentu.
Hubungan antara film dan kekuasaan sesungguhnya menjadi perhatian yang serius dari para pemikir dan ahli komunikasi. Menurut Stuart Hall (dalam Eriyanto, 2000), misalnya, mengatakan bahwa film sebagai medium massa pada dasarnya tidak memproduksi melainkan menentukan realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih; maka tidaklah secara sederhana dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa tetapi sebuah pertentangan social, perjuangan dalam mewenangkan wacana.
Di negeri ini, kekuasaan juga telah menggunakan film sebagai media untuk melakukan dominasi dan hegemoni terhadap rakyat banyak, demi kepentingan segelintir orang yang ingin hidup enak sendiri. Di masa pemerintahan rejim militeristik Orde Baru, film digunakan untuk mengkonstruksikan pandangan ideologis warga Negara yang tujuannya adalah mengekang kehidupan berdemokrasi. Nasionalisme semu ditebarkan dengan memperbanyak film-film perjuangan merebut kemerdekaan, tetapi menyembunyikan fakta bahwa pemerintah melakukan tindakan sistematis untuk menciptakan ketertundukan, menumpulkan nalar kritis sebagai landasan kehidupan demokrasi. Kebebasan seniman film di era Orde Baru begitu sempit dan yang ada hanyalah penulis cerita yang didikte oleh perusahaan produser film yang diawasi secara ketat oleh pemerintah.
Film yang berkembang dikontrol secara ketat di bawah kendali pemerintah militeristik dengan memberlakukan penyensoran formal, informasi, dan kepemilikan suatu karya. Pada masa itu, film-film bertemakan sejarah politik yang tampil sebatas pada kisah perlawanan bersenjata terhadap penjajahan sebelum dan sesudah Perang Dunia II di mana dominasi kekerasan fisik lebih ditonjolkan oleh perjuangan tokoh utamanya, seperti Joko Sembung dan Si Pitung. Dominasi militer sangat menonjol dalam film-film yang ditonton secara massif oleh rakyat karena mobilisasi struktur pemerintahan militer waktu itu, misalnya film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1983). Belakangan diketahui bahwa film tentang “Serangan Umum 1 Maret 1949” ini tidak objektif dalam menggambarkan sejarah yang sebenarnya karena terlalu menonjolkan (posisi dan peran) Soeharto dalam merebut ibukota Yogyakarta (sebagai ibukota RI waktu itu); sedangkan peran diplomatis yang sangat menentukan dari Hamengku Buwono IX dinegasikan. Film-film sejarah lain seperti Mereka Kembali (1972) dan Bandung Lautan Api (1975) yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) dan disponsori oleh Kodam Siliwangi juga bertujuan sama, untuk melanggengkan dominasi militer dalam kebudayaan Indonesia.
Menjelang akhir keruntuhan Orde Baru, film-film Indonesia mengalami kemunduran. Bahkan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru, perfilman Indonesia berada titik yang paling mengerikan. Masyarakat dibombardir dengan produksi film-film ‘panas’ yang mengumbar syahwat.
Maka setelah Soeharto tumbang dan peran militer mulai berkurang, dominasi militer dalam film juga mulai digugat. Film sejarah Gerakan Tiga Puluh September (G 30 S) 1965 yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PPFN), yang selama pemerintahan Ode Baru diputar setiap tahun, menjadi kontroversial. Film tersebut bukan hanya menceritakan konteks politik yang terjadi pada awal tahun 1960-an hingga tahun 1966, tetapi juga sangat kentara sekali dalam menonjolkan Soeharto sebagai seorang prajurit yang paling nasionalis setelah mempelopori pembantaian sejuta lebih nyawa rakyat yang dituduh terlibat memberontak terhadap bangsa dan Negara. Ada permainan dan manipulasi nasionalisme dalam film sejarah ini.
Film-film independen yang mencoba menjernihkan manipulasi sejarah Orde Baru pun juga mulai dibuat. Kehadiran film dokumenter “Kado Buat Rakyat Indonesia (KBRI)” yang dipeoduksi oleh Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), mencoba menarasikan peristiwa mulai tahun 1960-an hingga Orde Baru secara kronologis dan dialektis. Artinya, film ini mengungkap konstelasi politik yang sebenarnya dari peristiwa yang terjadi hingga kekuasaan rakyat disodomi oleh minoritas elit bersenjata dan borjuis kecil Indonesia yang pada perkembangannya mendominasi panggung politik bangsa ini. Sebelum film documenter yang dibuat pada tahun 2003 itu, film “Gerakan Mahasiswa 1998” (Student Movement in Indonesia 1998) yang diproduksi pada tahun 1999 juga ikut memberikan pencerahan bagi rakyat karena film ini juga bercerita dari perspektif gerakan (mahasiswa), sebuah refleksi penting tentang transisi demokrasi di Indonesia antara sebelum dan sesudah Soeharto jatuh dari kursi kepresidenan. Tak mengherankan jika film yang disutradarai oleh Tino Saroengalo ini dinobatkan sebagai film dokumenter terbaik dab mendapatkan Piala Citra FFI (Festival Film Indonesia) 2004.
Selain film dokumenter tersebut, FFI 2004 memberikan film-film perjuangan rakyat tertindas dalam memaknai nasionalisme. Nasionalisme kekinian masihlah menjadi spirit perjuangan rakyat bawah, yaitu nasionalisme yang mengakar. Sendal Bolong untuk Hamdani, Marsinah, yang juga dinobatkan sebagai karya terbaik memotret kesusahan hidup dan perlawanan yang dilakukan oleh kaum buruh.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar