Senin, 27 Agustus 2007

KETIKA DEMOKRASI POLITIK DIKANGKANGI KORPORASI BISNIS

Belajar dari Pengalaman Swastanisasi
di Amerika Serikat (AS)

Oleh: Nurani Soyomukti

(Esai ini pernah dimuat di Majalah PRIMA Edisi Jurnal
FISIP UNIVERSITAS JEMBER pada saat penulis masih menjadi mahasiswa)

Komitmen Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono-Yusuf Kalla untuk menempuh jalur pasar bebas di bawah WTO merupakan kebijakan ekonomi-politik yang tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya dan tentunya bukanlah sebuah “terapi kejut” untuk mengawali kebijakan ekonomi makro. Kebijakan neo-liberalisme yang merupakan kebijakan populis di antaranya di tempuh dengan memberikan kesempatan yang besar (maksimal) bagi swasta untuk menjalankan aktivitas ekonominya. Artinya, Indonesia akan terbuka bagi modal asing; juga akan diikuti dengan penjualan aset-aset negara berupa BUMN-BUMN sebagaimana beberapa waktu lalu sudah ditempuh oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya.
Apakah kebijakan yang diklaim pemerintah sebagai solusi krisis tersebut akan mampu merubah keadaan, terutama persoalkan ekonomi rakyat dan demokrasi yang ada? Dalam hal ini, marilah kita belajar dari pengalaman negara Amerika Serikat yang konon disebut sebagai negara Demokrasi Liberal yang menempuh jalur Pasar Bebas. Amerika Serikat adalah pusat perusahaan-perusahaan besar swasta (korporasi bisnis) yang aktivitasnya menjagad dan menjangkau berbagai belahan dunia.
Sejarah korporasi dalam menjajah, menguasai aset-aset ekonomi rakyat, dan—seperti yang dikatakan David C. Kortens—“menggadaikan demokrasi” sebenarnya telah terjadi sejak lama, hingga mereka akhirnya berhasil membuat tatanan internasional sesuai dengan yang mereka agendakan dalam rangka mengakumulasi kapital dan menjadikan diri mereka sebagai penguasa dunia. Contoh paling nyata adalah East India Company yang pada jamannya menakhlukkan seluruh sub-Benua dan berkuasa atas 250 juta orang, mendirikan tentara-tentara reguler terbesar dunia, menyebarkan 43 kapal perang, dan mengangkat menteri-menterinya sendiri. Nenek moyang para manajer dunia sekarang ini adalah saudagar-saudagar yang menjajah negara lain dengan mencari rempah-rempah dan pedagang-pedagang (sekarang kapitalis) yang berusaha untuk memonopoli pasar, dan mereka aktif dalam kegiatan politik.Belajar Dari Swastanisasi di Amerika SerikatDi AS, piagam korporat (corporate charter) adalah hibah hak istimewa yang diberikan oleh negara kepada sekelompok investor untuk melayani kepentingan masyarakat. Sejarahnya bermula sedikitnya pada abad enam belas.
Jelasnya, piagam korporat merupakan anugerah dari raja yang membatasi kewajiban investor atas kerugian korporasi hanya sejumlah investasi yang dilakukannya dalam korporasi tersebut—suatu hak yang tidak dimiliki seorang warga masyarakat secara perseorangan. Setiap piagam menetapkan hak dan kewajiban spesifik yang diberikan kepada suatu koorporasi tertentu—termasuk bagian keuntungan yang diberikan kepada raja sebagai imbalan istimewa yang dinikmati korporasi. Tidaklah mengherankan hubungan korporat-pemerintah sejak masa itu merupakan hubungan yang diwarnai oleh upaya korporat untuk memperpanjang umur hak korporat dan membatasi kewajiban korporat.
Dalam hal ini, Amerika lahir dari revolusi melawan penyalah-gunaan kekuasaan raja Inggris itu. Piagam korporat resmi (chartered corporations) dimanfaatkan oleh Inggris untuk mengendalikan ekonomi jajahannya. Selain korporasi-korporasi terkenal seperti East India Comanpy dan Hudson’s Bay Company, banyak koloni Amerika menjadikan mereka sendiri korporasi. Korporasi di masa itu diresmikan oleh raja dan berfungsi sebagai perpanjangan kekuasaan kerajaan. Umumnya korporasi ini diberi hak monopoli atas wilayah industri yang dipandang sangat penting bagi kepentingan negara Inggris.
Layak diperhatikan bahwa penerbitan The Wealth of Nations tulisan Adam Smith dan Declaration of Independence AS keduanya terjadi pada tahun 1776. Keduanya, dengan caranya sendiri-sendiri, merupakan manifesto revolusioner yang menantang penyalahgunaan aliansi kekuasaan negara dan korporat untuk meraih kontrol monopolistik atas pasar dan karenanya mengangkangi laba tanpa susah payah dan menghambat perusahaan-perusahaan lokal. Smith dan koloni Amerika waktu itu sama-sama menaruh curiga yang besar atas kekuasaan negara maupun korporat. Konstitusi AS melembagakan kekuasaan pemerintahan untuk menciptakan sistem pengawasan yang dirancang secara cermat guna membatasi peluang penyalahgunaan negara oleh korporat.
Di republik Amerika yang masih muda waktu itu, memang tidak dirasakan perlunya korporasi. Pertanian dan usaha keluarga merupakan sokoguru konomi. Korporasi yang kemudian mulai tumbuh berada dalam pengawasan pemerintah. Kekuasaan untuk menerbitkan piagam korporat dipegang oleh negara bagian dan bukan pemerintah federal. Tujuannya adalah menjaga agar kekuasaan berada sedekat mungkin di bawah pengawasan rakyat. Umumnya, piagam korporat itu menetapkan batas jumlah pinjaman yang boleh dilakukan korporasi, kepemilikan atas tanah, dan adakalanya bahkan laba korporasi. Sampai tahun 1800, hanya sekitar 200 piagam korporasi yang diterbitkan negara bagian.
Abad ke-19 muncul sebagai masa perjuangan legal yang aktif dan terbuka antara korporasi dan masyarakat umum menyangkut hak rakyat, melalui pemerintah negara bagian mereka, untuk membatalkan atau mengubah piagam korporat. Tindakan oleh legislator negara bagian untuk mengubah, membatalkan, atau tidak memperbaharui piagam korporat merupakan hal yang cukup lazim selama paruh pertama abad itu. Bagi masyarakat waktu itu, korporasi merupakan badan milik publik (semacam BUMN), bukan swasta, dan wakil rakyat mempunyai hak legal absolut untuk mengubah atau mencabut piagam mereka jika dikehendaki. Seruan publik seperti ini mengakibatkan kekuasaan legal negara bagian untuk mengawasi sepak terjang korporasi; pemilik dan penumpuk modal tidak seenaknya sendiri mengobok-ngobok rakyat AS waktu itu.
Perang Saudara AS (1861-65) menandai titik balik bagi hak-hak korporat. Kerusuhan anti-wajib militer mengguncang kota-kota dan membuat sistem politik kacau balau.
Dengan laba besar yang diperoleh dari kontrak pembelian pihak militer, industri berhasil memanfaatkan ketidaktertiban dan korupsi politik yang merajalela untuk membeli undang-undang yang memberi mereka uang yang banyak dan tanah yang luas untuk mengembangkan sistem rel kereta api di Barat. Makin besar laba, makin kuat cengkeraman kelompok industrial atas pemerintah untuk mendapatkan manfaat-manfaat lebih jauh. Melihat perkembangan ini, Presiden Lincoln mengatakan tidak lama sebelum beliau wafat: “Korporasi telah dinobatkan… Era korupsi di tingkat atas akan mengikuti dan kekuasaan uang akan berusaha memperpanjang masa kekuasaannya dengan memanfaatkan prasangka rakyat… sampai kekayaan terkumpul hanya di beberapa tangan saja… dan Republik ini hancur.”
Bangsa AS terpecah-belah oleh perang di antara mereka sendiri; pemerintah menjadi makin lemah akibat pembunuhan atas Lincoln dan terpilihnya pahlawan perang pecandu alkohol Ulysses S. Grant sebagai presiden. Jutaan orang Amerika kehilangan pekerjaan dalam masa depresi setelah itu, dan pemilihan presiden yang kacau pada tahun 1876 diselesaikan melalui negosiasi rahasia. Korupsi dan persekongkolan merajalela. Presiden Rutherford B. Hayes, yang akhirnya menjadi pemenang dari negosiasi yang didominasi korporat itu, bahkan belakangan sempat mengeluh, “ini bukan lagi pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ini sudah menjadi pemerintahan korporasi, oleh korporasi, dan untuk korporasi.” Dalam karya klasiknya “The Robber Barons”, Matthew Josephon menulis bahwa selama tahun 1880-an dan 1890-an, “balai legislasi berubah bentuk menjadi pasar tempat harga suara ditawar, dan undang-undang, yang dibuat menurut pesanan, dibeli dan dijual.”
Waktu itu adalah masa-masa para tokoh (pemikir dan praktisi) kapitalis era itu seperti John D. Rockefeller, J. Piermont Morgan, Andrew Carnegie, James Mellon, Cornelius Vanderbilt, Philip Armour, dan Jay Gould. Kekayaan mengembangbiakkan kekayaan ketika korporasi memanfaatkan kekacauan untuk membeli undang-undang tarif, perbankan, kereta api, tenaga kerja, dan hak tanah masyarakat yang makin memperkaya mereka. Akibatnya, kelompok-kelompok masyarakat yang berkomitmen untuk menuntut tanggung jawab korporat terus melawan penyalahgunaan korporat di tingkat negara bagian, dan piagam korporat dibatalkan oleh pengadilan maupun dewan legislatif negara bagian.
Tetapi, perlahan-lahan, korporasi berhasil memperoleh kendali yang cukup atas badan legislatif negara bagian penting untuk merancang undang-undang yang mengatur pembentukan dan keleluasaan gerak mereka. Badan legeslatif di New Jersey dan Deleware memimpin dalam melemahkan hak rakyat mencampuri urusan korporat. Mereka membatasi kewajiban pemilik dan manajer korporat dan menerbitkan piagam yang bersifat abadi. Mungkin inilah kenapa pada abad ini kekuatan kapitalis internasional mencoba membuat kesepakatan dalam WTO tentang hak paten melalui poin Intelectual Property-nya.
Yang jelas, korporasi dengan segera mempunyai hak untuk beroperasi dengan cara apapun yang tidak secara eksplisit dilarang undang-undang. Jadi, korporasi pada akhirnya selalu menikmati hak penuh, melampaui hak warga negara biasa dan dibebaskan dari tanggung jawab sosial. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa korporasi mampu memanfaatkan kekuasaan politik untuk menghilangkan tanggung jawabnya pada publik (rakyat Amerika).
Menurut satu estimasi, 11 juta dari 12,5 juta keluarga di Amerika pada tahun 1890 memperoleh penghasilan $380 setahun dan harus menerima kos untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Pemogokan terorganisasi maupun liar merupakan hal yang lazim, begitu juga sabotase industrial oleh buruh. Pihak majikan menggunakan segala cara dalam mengatasi pemogokan, termasuk penggunaan tenaga keamanan swasta dan pasukan militer federal dan bagian negara lain. Kekerasan melahirkan kekerasan, dan banyak orang tewas dalam perang industrial di masa itu.
Kaum buruh mulai terorganisasi. Antara tahun 1897 dan 1904 keanggotaan dalam serikat pekerja (union) meningkat dari 447.000 menjadi 2.073.000 orang. Serikat pekerja merupakan lahan yang subur bagi gerakan sosialis yang mengakar di Amerika dan menuntut sosialisasi pengawasan demokratik atas sarana produksi, sumber daya alam, dan paten.
Dialektika antara tuntutan buruh sosialis dan kaum korporat menghasikan landasan bentuk hubungan industrial khususnya dan hubungan institusional lainnya. Para industrialis besar mulai menyadari bahwa dengan memberikan upah, tunjangan, dan kondisi kerja yang lebih baik, mereka dapat melemahkan daya tarik sosialisme dan sekaligus merebut loyalitas dan motivasi pekerja yang lebih besar. Bisnis besar mulai melihat manfaat kerjasama dengan serikat pekerja besar yang moderat (non-sosialis) yang mengasosiasi upah dan standar yang seragam di keseluruhan satu industri dan menegakkan disiplin pekerja sesuai aturan yang disepakati. Pola ini meningkatkan stabilitas dan prediktibilitas dalam sistem tanpa mengancam kekuasaan para industrialis atau sistem pasar.
Reformasi ini dilakukan untuk menghilangkan pertentangan yang berlarut-larut. Sistem peradilan pro-bisnis yang secara konsisten merugikan kepentingan tenaga kerja membantu mendorong gerakan pekerja untuk menjadi semakin politis, mengakibatkan masuknya tenaga kerja dalam agenda legislatif dan aliansi dengan Partai Demokrat. Undang-undang reformasi di tingkat lokal, negara bagian, dan nasional mulai menetapkan standar-standar sosial baru dan mengubah bentuk konteks tata hubungan ketenagakerjaan. Yang sangat penting bagi kaum pekerja adalah Undang-undang Anti-Trust Clayton, yang melarang campur tangan pengadilan terhadap pekerja yang melakukan pemogokan.
Namun demikian pada tahun dua puluhan yang riuh, monopoli korporat dibiarkan berjaya dalam perekonomian AS yang regulasinya longgar. Pasar saham yang didukung dengan dana pinjaman tampaknya merupakan mesin penciptaan kesejahteraan yang tak terbatas. Dengan kepercayan pada pasar bebas dan kekuatan bisnis besar, Presiden Herbert Hoover yang bersemangat bersumbar, “Dengan pertolongan Tuhan kita akan segera menjelang masa-masa ketika kemiskinan terhapus dari bangsa ini.” Irving Fisher, mungkin merupakan ahli ekonomi terkemuka masa itu, mengatakan bahwa masalah siklus bisnis telah terpecahkan dan bahwa negara telah memasuki dataran tinggi kemakmuran yang abadi. Warga AS memang rata-rata menikmati makanan yang lebih baik, memiliki pakaian yang lebih baik, dan dilimpahkan kenyamanan hidup yang lebih baik ketimbang rata-rata keluarga sepanjang sejarah AS sebelumnya. Tapi kenyataan ini menyembunyikan ketidak merataan kesejahteraan yang begitu besar di AS, di mana 1% keluarga menguasai 59% kekayaan.Demokrasi Bagi Elit BisnisPaling tidak hingga tahun 1960-an pluralisme demokrasi berjaya. Generasi baru, anak-anak bunga yang vokal, menentang asumsi-asumsi dasar tentang gaya hidup, kompleks industri militer, intervensi militer di negara asing, eksploitasi lingkungan, hak dan peran kaum wanita, hak-hak sipil, persamaan hak, dan kemiskinan rakyat. Badan korporat AS diguncang oleh ancaman yang nyata atas nilai-nilai dan kepentingannya. Barangkali yang paling menakutkan mereka adalah kenyataan bahwa anak muda dan remaja menanggalkan kultur konsumen.
Program bantuan bilateral yang digunakan untuk mensubsidi korporasi AS di luar negeri tidak lagi diterima secara politis di AS dalam bentuk tradisional. Richard Barnet dan Ronald Muller dalam Global Reach (1986) mencatat, bahwa antara tahun 1950 sampai 1970, kira-kira 4% dari seluruh ekspor AS dibiayai oleh AID (Badan Pembangunan Internasional) dan para pendahulunya.
Peraturan mengikat memaksa negeri miskin membeli produk AS dengan utang luar negeri mereka secara luar biasa menguntungkan perusahaan AS. Misalnya, dalam tahun 1967, sebuah panitia penyelidikan Senat menemukan bahwa dana bantuan kesehatan masyarakat untuk negeri Amerika Latin tertentu dipergunakan untuk membeli obat-obatan dari Pfizer, Merck, dan perusahaan obat lainnya dengan tambahan cukup besar di atas harga AS. Ada peningkatan dalam pemanfaatan Bank Ekspor-Impor untuk membiayai ekspor korporasi sejagat. Melalui kekuatan suaranya dalam berbagai organisasi bantuan dan keuangan internasional seperti Bank Dunia, pemerintah AS masih berusaha menggunakan uang rakyat untuk mensubsidi bisnis korporasi sejagat Amerika, tanpa mempedulikan meningkatnya tantangan Konggres terhadap “pekerjaan-pekerjaan yang tak berguna” dan “hadiah-hadiah” bantuan luar negeri.
Departemen keuangan AS berdiri paling depan dalam membela kepentingan korporat dalam menunjang pembiayaan bagi Bank Dunia. Para pejabat pemerintah keuangan mengatakan bahwa untuk setiap $1 yang disumbangkan pemerintah AS untuk Bank Dunia, lebih dari $2 kembali ke para eksportir AS dalam bentuk kontrak pembelian. Seperti dikatakan oleh Menteri Keuangan Llyod Benstein di depan Kongres pada tahun 1994, “Dolar yang kita kirimkan ke manca negara melalui bank-bank pembangunan kembali ke negara kita dalam bentuk peningkatan ekspor AS dan penambahan kesempatan kerja bagi rakyat AS.”
Masih menurut penelitian Barnet dan Muller, diketahui bahwa “prospek penyelamatan oleh operasi militer AS atau yang bersifat kemiliteran tidaklah seperti dulu, taktik pemerintah AS untuk melindungi korporat Amerika di luar negeri telah berubah.” Sebagai contoh yang merupakan rahasia umum adalah pencegahan naiknya tokoh dari partai sosialis Chilli di bawah Allende. Ketika dalam tahun 1970 John McCone, seorang direktur ITT (International Telephone and Telegraph) dan bekas kepala CIA menawarkan kepada penggantinya sumbangan sebesar $1 juta untuk membantu membiayai kampanye tersembunyi dan cepat dari badan tersebut guna mencegah calon dari golongan Marxis untuk memperoleh jabatan, tawaran itu ditolak secara halus. Pada tanggal 15 September Departemen Luar Negeri menginstruksikan Duta Besar Edward Korry untuk “mengambil tindakan apa saja yang mungkin selain dari tindakan jenis Dominika” untuk mencegah pelantikan Allende.
Demikian juga dengan jadwal ITT untuk menyebarkan “kekacauan ekonomi”. Jack D. Neal, seorang pegawai ITT yang berpengalaman 35 tahun dalam Departemen Luar Negeri telah mempersiakan sebuah program 18 pasal yang dirancang untuk menciptakan kudeta. Menurut seorang bekas Duta Besar AS di Chilli, CIA dan badan-badan lainnya mengeluarkan $20 juta untuk mengalahkan Allende pada tahun 1964.
Dalam setahun “rencana permainan” pemerintahan Nixon untuk melancarkan perang ekonomi terhadap Chilli mulai membentuk. Dalam bulan Agustus 1971, tanggung jawab perumusan kebijakan luar negeri AS di Amerika Latin banyak bergeser kepada Departemen Keuangan, yang pada waktu itu dipimpin oleh John Connally. Bermula sebagai prioritas yang lebih rendah, Chilli kemudian mendapat perhatian utama setelah terjadi nasionalisasi tambang tembaga milik Anaconda dan Kennecott. Dalam bulan Oktober 1971, Menteri Luar Negeri William Rogers memberitahukan pada rapat tertutup para eksekutif korporat antara lain dari ITT, Ford, Annaconda, Purina, First National City Bank, dan Bank America, bahwa “pemerintahan Nixon adalah pemerintah bisnis. Misinya adalah melindungi bisnis Amerika”. Kemudian upaya-upaya untuk merongrong pemerintahan Allende ini dilakukan secara rapi oleh CIA, kekuatan bisnis, dan militer AS sampai Allende terguling melalui kudeta pada tahun 1973.
Penggulingan Allende adalah suatu contoh bagaimana korporasi yang ingin menguasai dunia harus menyelesaikan hambatan tatanan masyarakat. Setidaknya ideologi dan praktek negara Marxis adalah musuh utama yang harus dilenyapkan dalam rangka menciptakan tatanan dunia yang liberal. Tumbangnya pemerintahan negara Ketiga lain juga diduga tidak lepas dari permainan korporat yang mmanfaatkan lembaga-lembaga internasional, CIA, dan bantuan Amerika lainnya. Di negara kita, Indonesia, data-data dari penelitian yang valid juga menemukan fakta bahwa jatuhnya Soekarno juga tidak lepas dari rekayasa CIA dan AS.
Senyatanya, pemerintahan OrBa awal Soeharto telah mengadopsi undang-undang PMA (Penanaman Modal Asing) sebagai tanda dimulainya pembangunan jalur kapitalistik Indonesia—sejak itu peran negara untuk kesejahteraan rakyat hilang; ketergantungan terhadap utang luar negeri membuat negara kita hancur; hingga saat ini, dalam rejim militeristik Megawati, pemerintah semakin patuh dalam mengabdikan diri bukan pada rakyat, tetapi pada korporasi internasional lewat IMF dan AS.Terpilihnya Ronald Reagan sebagai presiden pada tahun 1980 menjadi awal bagi kebijakan neoliberal dan membuka jalan bagi kemenangan korporasi bisnis di atas keutamaan demokrasi. Inilah yang bisa kita pelajari, bahwa di bawah kebijakan neo-liberal Reagan, sumber daya korporat Amerika sepenuhnya dimobilisasi untuk memulihkan kembali pengaruh korporat atas agenda politik dan peradilan. Akibat dari kebijakan ini ternyata juga merusak distribusi pendapatan rakyat AS.Bila pasar semakin bebas dan semakin global, bukan rakyat lah yang sejahtera, tapi kaum korporatlah yang mengangkangi jagat.
William Greider, seorang wartawan Washington, menulis dalam Who Will Tell the People?:
Sumber daya keuangan korporasi… difokuskan pada politik untuk menguasai (politics of gonerning)… merupakan titik pusat dalam kehancuran demokrasi kontamporer. Korporasi ada untuk mengejar maksimisasi laba mereka sendiri, bukan demi aspirasi bersama masyarakat. Mereka dikendalikan oleh sekumpulan manajer, bukan oleh aspirasi bersama masyarakat.
Dengan kemenangan korporasi bisnis dan sistem neo-liberalisme kesenjangan di AS terus terjadi (meskipun dari luar nampak sebagai negara yang “sempurna”).

Pada tahun 1989, 20% keluarga terkaya di AS mempunyai pendapatan rata-rata $109.424 setahun. Tetapi, keluarga yang termasuk dalam 18 sampai 19% menerima, rata-rata, pendapatan yang relatif moderat, $65.900. jadi 1% teratas menerima rata-rata $559.795—yaitu menerima pendapatan total yang lebih besar dari pada 40% keluarga termiskin di seluruh AS. Angka inipun hanya kecil saja bagi para pialang Wall Street seperti Michael Milken, yang dalam setahun membawa pulang setengah miliar dolar sebagai hasil jerih payahnya menjual surat berharga (junk bonds) di Wall Street, dan bagi CEO korporasi-korporasi besar Amerika serta tokoh-tokoh terkenal lainnya. Pada tahun 1992, Thomas F. Frist Jr., CEO Hospital Corporation of America, menerima $127 juta, hampir 780.000 kali pendapatan perkapita rata-rata 20% rakyat termiskin di dunia yang sebesar $163.
Angka pendapatan rata-rata tahun 1992 dari para CEO 1000 korporasi terbesar yang disurvai Business Week adalah $3,8 juta—naik 42% dari tahun sebelumnya. Tambahan lagi, senjang antara bayaran untuk eksekutif puncak dan bayaran untuk mereka yang bekerja bagi para eksekutif ini terus melebar dengan cepat. Pada tahun 1960, rata-rata CEO sebuah perusahaan besar menerima empat puluh kali kompensasi pekerja rata-rata. Pada tahun 1992, eksekutif ini (dalam daftar 1000 CEO teratas Business Week hanya ada dua perempuan) menerima 157 kali kompensasi pekerja rata-rata. Artinya, kesenjangan yang nyata adalah konsekuensi dari kemenangan korporasi yang mengalahkan demokrasi.
Itulah suatu pelajarn yang bisa kita petik dari menguatnya posisi korporasi bisnis untuk memenangkan sistem ekonomi politik yang diciptakannya, yang pada akhirnya menjadi pukulan telak bagi demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Kita akan melihat untuk selanjutnya, sebuah efek kebijakan swastanisasi yang ditempuh oleh pemerintahan baru yang belum genap seratus hari ini. Wallahu’alam!

Tidak ada komentar: