Rabu, 29 Agustus 2007

UNDANGAN DISKUSI SASTRA (Politik Kebudayaan Kita)


Undangan Terbuka

PENGAJIAN “SASTRA KORAN”:

Menelaah Cerpen “Corat-coret di Toilet”,

karya Eka Kurniawan

(Adakah Nasionalisme dalam Sastra Indonesia di Era Globalisasi?)

Sebuah pertanyaan menggelitik pada saat banyak pengamat sastra mencurigai bahwa sastra Indonesia telah menceburkan diri dalam estetika dan ideologi globalisasi neoliberal, di mana identitas dan kedaulatan bangsa telah digerus dan akhirnya dikaburkan. Untuk mengujinya kita bisa mengambil sampel, membaca dan menganalisis karya sastra dan proses kreatif sastrawan itu sendiri. Sastra koran, demikian istilahnya, barangkali adalah wujud sastra yang paling mudah terjangkau karena kita bisa menikmatinya tiap hari minggu dalam hampir setiap koran harian. Tak heran jika, hari minggu disebut sebagai “Hari Cerpen Indonesia”.

Ya, masih adakah nasionalisme dalam sastra Indonesia? Bagaimanakah manusia Indonesia dalam cerpen? Pertanyaan ini jarang sekali dijawab.

Oleh karena itu, kami dari Galeri Publik, Institute of Global Justice (IGJ) dan Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Kawan dalam acara google

gtersebut, yang akan kami selenggarakan pada:

Hari & Tanggal : Kamis,30 Agustus 2007
Jam : 18.30-selesai (Plus dinner)

Tempat : Galeri Publik, INSTITUTE FOR GLOBAL JUSTICE, Jl. Diponegoro

No. 9 Menteng, Jakarta Pusat 10340.

Pembicara : Eka Kurniawan (Penulis);

Helvy Tiana Rosa (Cerpenis, ketua Forum Lingkar Pena/FLP, Dosen Sastra

Universitas Negeri Jakarta);

Ramses Sihar Simatupang (Cerpenis, Esais, dan mantan Redaksi Budaya

SINAR HARAPAN);

Moderator : Nurani Soyomukti (Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat/JAKER)

Demikian surat undangan dan permohonan peliputan ini kami buat. Atas perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan terimakasih.

Revitriyoso Husodo

Koordinator

GALERI PUBLIK

INSTITUTE FOR GLOBAL JUSTICE
Jl. Diponegoro No. 9 Menteng, Jakarta Pusat 10340.
Telp.: 62-21-3193 1153, Fax.: 62-21-3913956
Email: galeri_publik@globaljust.org/www.galeripublik.multiply.com

Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER)

Jl. Tebet Dalam II G no 1/Telp.: 021-8354513; E-mail: pp.jaker@yahoo.com

Informasi: Irma :081387760879; Nurani Soyomukti: 081 559 947 664

Lampiran:

Corat-coret di Toilet

“Apa yang kutulis, tetap tertulis.”

– Yohanes 19:22

Ia membuka pintu toilet sambil menikmati bau cat yang masih baru. Pintu ditutupnya kembali, dikunci dari dalam, dan beberapa waktu kemudian ia sudah berdiri di depan lubang kakus, membuka celana. Desis air memancar tercurah ke lubang kakus sambil menyebarkan bau amoniak, dan mimik si bocah menyeringai penuh kepuasan. Setelah semuanya tumpah, ia meng-kopat-kapit-kan apa yang dipegangnya, dan disiram dengan beberapa guyuran air dari gayung, sisanya dicurahkan ke lubang kakus. Celana ditutup kembali.

Bocah itu berumur dua puluh tahun, berpakaian gaya anak punk, dan terkagum-kagum dengan dinding toilet yang polos. Baru dicat dengan warna krem yang centil. Ia tertawa kecil, memperlihatkan giginya yang keropos empat biji, lalu merogoh tas punggungnya dan menemukan apa yang dicarinya: spidol. Dengan seringai penuh kemenangan, ia menulis di dinding:

Asu, reformasi gagal total, Kawan! Mari tuntaskan revolusi demokratik!

***

Pukul tujuh pagi, ketika para mahasiswa belum membuat kegaduhan di ruang kuliah mereka, seorang bocah sudah menyerbu toilet yang terdapat persis di bawah tangga. Ia punya sedikit kelainan dengan salurannya: tampaknya beser. Mungkin karena sering minum kopi, atau jarang olah raga. Setelah ritual paginya yang membosankan, ia menatap tulisan di dinding yang mencolok itu dengan gemas.

Dengan sebatang pena, ia membuat tanda panah dari kalimat pertama tersebut. Tapi tulisan pena itu tak terlampau ketara, sebab ujungnya lancip benar. Ia merogoh tasnya, mengaduk-aduk isinya, mencari sesuatu yang jika dituliskan bisa sedikit lebih tebal. Ia tak menemukan apa pun, dan mesti puas dengan pena. Seseorang menggedor pintu toilet, ia pura-pura mengerang, memberitahu seseorang ada di dalam dan tak ingin diganggu. Dengan sedikit mempercayakan diri kepada kesabarannya, ia menulis, membalas, kecil namun bisa terbaca:

Mulut bawel penghasut! Revolusi sudah mati sejak moyang embahmu. Bangsa kita mencintai kedamaian, juga tidur siang. Mari mencari perek dan temukan revolusi di tempat tidur.

***

Dan gadis itu kemudian muncul, seorang gadis tomboi dengan tas punggung seorang petualang. Ia mengenakan celana jins ketat, dan kaus oblong yang kedombrangan; lubang lehernya kadang merosot, sekali dua kali mempertontonkan isinya yang tanpa bra. Ia benci saat-saat pipis, karena merasa repot harus membuka-buka celananya. Pernah ia pipis sambil berdiri, mengikuti kebiasaan buruk anak lelaki, agar praktis, tapi hasilnya kurang memuaskan. Air menyebalkan itu tumpah ke mana-mana, termasuk meleleh di celananya. Tapi hidup di dunia sudah ditakdirkan untuk pipis, maka pipislah ia di toilet yang sama. Meskipun merepotkan.

Dan seperti kebanyakan konsumen toilet, ia tertarik dengan coretan di dinding, dan tergoda untuk ikut berkomentar pula. Dicarinya spidol di tasnya, tapi ia hanya menemukan lipstik. Ketika hendak menuliskannya, ia termenung sejenak. Ia mencari cermin kecil dari tasnya, tapi tak ia temukan. Bukan kebiasaannya membawa cermin kecil, meski lipstik selalu dibawanya. Tanpa peduli, ia mengolesi bibirnya dengan lipstik, lalu mencium dinding toilet, meninggalkan jejak bibirnya yang merekah. Ia tersenyum memandangi tanda tersebut, tapi kemudian ia merasa pesannya terlampau samar. Maka menulislah ia dengan lipstik:

Kau pasti antek tentara! Antek orde baru! Feodal, borjuis, reaksioner goblok! Omong kosong mulut bawel, persiapkan revolusi!

***

Dua hari berlalu tanpa kejadian yang menghebohkan di toilet, sampai seorang anak yang lain masuk. Ia membuka celananya, dan kemudian jongkok di atas kakus. Plung! Plung! Terkejutlah ia dengan bunyi yang nyaring itu. Dibukanya kran air agar suaranya menyaingi bunyi ‘plung, plung’ yang menjijikkan. Malu. Dan sambil menikmati saat-saat penuh bau itu, si bocah mulai membacai tiga kalimat yang tertulis di dinding. Ia tersenyum dengan tulisan terakhir, dan membayangkan gadis macam apa yang menuliskannya.

Setelah cebok, ia berdiri menarik celananya ke atas masih sambil memandangi baris-baris tulisan di dinding toilet. Dengan senyum nakal, ia mencondongkan badannya dan mengecup bibir merekah tersebut. Sambil memegangi bibirnya sendiri dengan dua telunjuk, barangkali sambil bertanya di mana kehangatan yang mestinya ia rasakan, bocah ini pun mengambil pena dan ikut berkomentar dengan penuh gairah.

Hai, Manis! Aku suka bibir merahmu, semerah dan sehangat jiwa binatang jalang. Mau bertukar rasa bibir denganku?

***

Kemudian di siang bolong, muncullah seorang gadis lain dan dari jenis yang lain. Seorang hedonis yang suka berdandan. Tas punggungnya yang sungguh terlampau mungil, penuh dengan tetek-bengek alat perang seorang gadis ganjen. Dan kemunculannya di toilet, jelas tak semata-mata untuk pipis atau bikin konser ‘plung, plung’, bahkan tidak pula untuk sekadar cuci tangan dan meludah. Ia hampir setiap hari berkunjung ke toilet, tak lain dan tak bukan untuk merenovasi wajahnya yang berantakan setelah beberapa jam teraduk-aduk udara penuh jelaga. Ia kurang percaya diri dan tentunya harus selalu berdandan.

Si gadis berdiri di samping bak mandi, menatap bayangan wajahnya di cermin mungil yang ia genggam. Ditaburinya wajah yang tak pernah diakuinya bertampang mesum dengan pupur agak tebal, lalu seputar matanya dihiasi lagi dengan eye shadow. Tak lupa perona pipi. Rambutnya yang acak-acakan, disisirinya lagi, dipasangi bando, jepit, dan pita sekaligus. Bibirnya yang sudah pucat, disapu pula dengan lipstik warna merah menyala, semerah bendera nasional, dan ketika itulah ia membaca segala uneg-uneg orang di dinding. Sambil tertawa centil, ia ikut menulis, juga dengan lipstik:

Garong, mau bertukar rasa bibir denganku? Boleh! Jemput jam sembilan malam di rumah simbahku. nb: jangan bawa intel.

***

Entah hari yang ke berapa setelah toilet tampil dengan cat barunya, muncullah ke toilet tersebut seorang laki-laki. Tubuhnya besar dan agak tinggi, dengan rambut pendek sisa digundul. Kumis dan janggut tipis menghiasi mukanya yang putih. Di telinga kirinya tergantung anting-anting perak, dan lehernya diganduli empat atau lima kalung. Kemeja yang dikenakannya, model longgar dari kain jumputan, dan pantolannya model baggy. Orang kalau melihatnya, pasti menduga ia seorang wadam, meskipun agak sulit untuk membuktikannya.

Bahkan melalui apa yang kemudian ditulisnya di dinding, yang merupakan ungkapan dasar jiwanya, ia tetap tidak bisa dipastikan seperti apa perilaku seksualnya. Ia datang ke toilet untuk menemukan tempat ngobrol yang bebas bising, maka ia mengeluarkan telepon genggamnya, yang sedari tadi berbunyi di saku pantalonnya. Sembari memegang telepon dengan tangan kanan yang menyilang ke telinga kiri, dan mulutnya terus nyerocos, tangan kirinya masih sempat mencari pensil dan menemukannya, sementara otaknya masih sempat membaca tulisan di dinding. Beginilah kemudian apa yang ia tulis:

Lempar batu sembunyi tangan! Revolusioner tempat tidur, digebuk tentara sekali sudah kabur ke selangkangan mami. Hoy, kalau memang revolusioner, kasih muka kalian ke sini. Dasar tukang teriak, biang rusuh, ulat p-k-i!

***

Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristiwa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bangsat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket-roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemudian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah-sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan di lubang kakus.

Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah sambil memegangi bagian depan celananya. Takut kebobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi. Toilet kedua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah, juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, melompat ke sana melompat ke sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu. Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah, dan wussssh ....

Selama itu ia menahan napas dan memejamkan mata. Namun setelahnya, kemudian ia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menutup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk, hingga semuanya larut dan menghilang, walau terasa mual.

Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia mengambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis:

Inilah reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Begajul, aku memang p-k-i: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?

***

Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marjinal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas, tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajakan kencan mesum, dan ada pula penyair-penyair yang puisinya ditolak penerbit menuliskan seluruh mahakaryanya di dinding toilet. Dan para kartunis amatir, ikut menyemarakannya dengan gagasan-gagasan ‘komedi toilet’. Hasilnya, dinding toilet penuh dengan corat-coret nakal, cerdas maupun goblok, sebagaimana toilet-toilet umum di mana pun: di terminal, di stasiun, di sekolah-sekolah, di stadion, dan bahkan di gedung-gedung departemen.

Karena kemudian menjadi tampak kumuh, sang dekan sebagai pihak yang berwenang di fakultas, memutuskan untuk mengecat kembali dinding toilet. Maka terhapuslah buku harian milik umum itu. Tapi seperti kemudian diketahui, tulisan pertama mulai muncul, lalu ditanggapi oleh tulisan kedua, dan ramailah kembali dinding-dinding toilet dengan ekspresi-ekspresi yang mencoba menyaingi kisah-kisah relief di dinding candi. Kenyataan ini membuat gelisah mahasiswa-mahasiswa alim, yang cinta keindahan, cinta harmoni, dan menjunjung nilai-nilai moral dalam standar tinggi.

Salah satu mahasiswa jenis ini kemudian masuk toilet, dan segera saja merasa jengkel melihat dinding yang beberapa hari lalu masih polos, sudah kembali dipenuhi gagasan-gagasan konyol dari makhluk-makhluk usil. Ia bukan seorang vandalis dan tak pernah berbuat sesuatu yang merusak, tapi kali ini ia menjadi tergoda luar biasa. Tentu saja karena jengkel. Maka ia pun ikut menulis, walau hatinya nyaris menangis.

Kawan-kawan, tolong jangan corat-coret di dinding toilet. Jagalah kebersihan sebab kebersihan merupakan sebagian dari iman. Toilet bukan tempat menampung uneg-uneg. Salurkan saja aspirasi Anda ke bapak-ibu anggota dewan, please ….

***

Alkisah, di bawah tulisan si mahasiswa alim itu, tertulislah puluhan komentar dalam satu minggu. Hampir seratus setelah satu bulan kemudian. Tak jelas siapa saja yang telah ikut menulis, membuat dinding toilet semakin berubah wajah, kembali ke hakekatnya yang paling kumuh. Tanggapan-tanggapan atas usul si mahasiswa alim, ditulis dengan baragam alat: pena, spidol, lipstik, pensil, darah, paku yang digoreskan ke tembok, dan ada pula yang menuliskannya dengan patahan batu bata atau arang. Betapa inginnya mereka menanggapi, sehingga berlaku pepetah secara sempurna, tak ada rotan akar pun jadi.

Tulisan pertama berbunyi:

Bawel, aku tak percaya bapak-ibu anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet.

Tulisan kedua berbunyi: Asu, aku juga.

Dan seratus tiga belas tulisan tersisa, hanya menulis:

Juga aku.

Tidak ada komentar: