Rabu, 20 Februari 2008

Budaya: Perempuan Non-Produktif


“Parasite Eve”

Oleh: Nurani Soyomukti*)


"Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri "
(Pramoedya Ananta Toer —via Nyai Ontosoroh, dalam “Bumi Manusia”, hal 39)


Sebagai peresah budaya, ada baiknya saya mengajak Anda untuk merenungkan suatu ketidakadilan kebudayaan yang sebenarnya berakar dari ketidakadilan kelas (ekonomi). Orang yang bersenang-senang dan mengejar kebebasan adalah orang yang tidak pernah bekerja keras, tetapi hanya melakukan aktifitas ringan dengan resiko lelah dan ancaman maut yang sedikit. Sedangkan orang yang bekerja keras (bahkan tak jarang mengeluarkan banyak keringat, darah, dan air mata) mendapatkan ruang budaya yang sempit.

Konon Krisdayanti menghabiskan biaya dandan sekitar 100 juta tiap bulannya. Tampil di atas panggung dengan dua lagu mendapatkan bayaran (honor) dengan jumlah yang tak pernah didapat oleh buruh yang bekerja setahun. Pada saat yang bersamaan, jangankan beli bedak untuk pipinya yang jelek karena sejak kecil memang tidak terawat, untuk membeli sabun cuci atau susu bayinya saja seorang ibu di desa atau perkampungan kumuh tidak bisa.

Peradaban kita terlanjur salah (manipulatif) karena lebih menghargai aktifitas gampangan yang tak membutuhkan kerja keras atau kerja sejati dalam makna berhadapan dengan realitas dan benda-benda yang ada di alam lalu mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna. Orang-orang yang malas kerja dan lebih banyak memiliki waktu luang, atau kerja ringan dan santai, lebih bisa menikmati kekayaan yang melimpah.

Sejak awal, ada seorang sosiolog melontarkan kritik pedas atas gejala kebudayaan santai, yang merongrong kebudayaan Amerika Serikat (AS). Sosiolog tersebut bernama Thorsten Veblen (1857-1929). Dalam bukunya yang berjudul “The Theory of the Leisure Class” ia merasa jijik dengan budaya kolektif pada kelas yang malas bekerja tetapi menghabiskan banyak waktu senggang dan menjalani gaya hidup yang bebas. Mereka adalah kelas non-produktif, karena mampu mengumpulkan modal dalam dorongan pembajakan (predatory instinct). “The Leissure Class” atau kelas pemboros ini berminat pada urusan manajemen (mengurus orang lain, kelompok pekerja lapangan atau pelaksana teknis), atau berperang (militer, angkatan bersenjata), mengurus upacara keagamaan (kaum ulama), atau berolahraga.

Sebagai sosiolog kritis, Veblen nampaknya begitu membenci para spekulan, makelar, cukong, lintah-darat, plutokrat, birokrat, dan kaum manipulator, yang mengerumuni kota-kota besar Amerika waktu itu. Didorong oleh instink penyamun atau pembajak, mereka berusaha memperkaya diri tanpa kerja produktif, sibuk memajukan pelbagai pengetahuan yang tidak relevan dengan keadaan yang nyata, memamerkan gengsi dari dalam budi bahasa halus dan etiket eksklusif untuk memikat perhatian kelas bawah—tetapi pada saat tertentu juga bisa menjadi agre
sif dan galak serta mampu menggunakan cara-cara yang kotor, keras, dan korup untuk mencapai tujuannya.

Dari kelas ‘pemboros’ dan ‘pemalas’ ini tercipta gaya hidup snobisme, mode-mode yang meledak dan hilang dalam sekejab, lagu dan novel pop, selera eksklusif. Merekalah pencipta kebudayaan kota yang belakangan membawa dampak besar pada kebudayaan desa. Dengan singkat kata, Veblen lebih menghargai manusia kerja (homo faber) karena menurut dia kebudayaan kerja (workmanship) memunculkan sosialitas manusia yang paling nyata.

Perempuan-Perempuan Non-Produktif
Kata-kata yang saya kutip dari Pramoedya Ananta Toer di atas adalah kritikan dan sindiran (baca: kebenaran): Orang yang makan dan memenuhi kebutuhan hidup dari keringatnya sendiri adalah orang yang paling tidak teraalienasi (terasing) dari kehidupan. Sedangkan orang yang tidak melakukan aktifitas kerja tetapi berharap akan mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup adalah orang pemimpi, peminta, dan pemalas. Kerja yang paling utama dan pertama adalah kerja buruh-tani karena merekalah yang terlibat langsung dalam proses produksi, mengubah dan mengolah bahan menjadi produk-produk dan barang-barang lain yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Kepada kelas pekerjalah peradaban berjalan. Jika tiada tangan perempuan petani yang rajin menancapkan tanaman padi setelah beberapa laki mencangkul dan menyemai benihnya, saya pastikan Anda semua tak akan bisa makan nasi. Jika tak ada tangan-tangan dan badan perempuan buruh-buruh tekstil, saya pastikan kita semua akan telanjang dan tak punya pakaian.

Jadi saya hanya ketawa (‘ngempet’) melihat perempuan-perempuan sekarang yang begitu bangganya mengenakan pakian-pakaian trendi dan seksi, yang bangga hanya karena bisa berbelanja pakaian tiap bulan. Saya bayangkan, seandainya tak ada tangan-tangan perkasa yang menyentuh kapas jadi kain, lalu kain jadi baju, perempuan-perempuan itu pasti telanjang: dan akan kelihatan pantatnya yang sebenarnya hitam atau susunya yang kendor (karena kutang juga tak dibuat).

Kebiasaan berbelanja dan mendandani tubuh awalnya memang merupakan kebiasaan perempuan elit feudal: mereka dipaksa memoles mukanya dengan kosmetik agar sang raja senang, perempuan-perempuan yang hanya dinikmati tubuhnya oleh penguasa kerajaan untuk melengkapi (narsisme) kekuasaannya. Perempuan yang rajin mendandani tubuh dan mengenakan pakian bagus dan hiasan emas ini adalah murni pelayan (pure servant—“servant” dalam bahasa Inggris artinya “pembantu”). Tentu saja mereka adalah sedikit sekali perempuan di jaman kerajaan karena sebagian besar perempuan lainnya tak memiliki pakaian sebagus itu, bahkan hanya berpakaian seadanya (sewek atau kemben yang menutupi dada hingga betisnya).

Setelah feudal kerajaan runtuh, titik ekstrim antara perempuan kaum elit dan perempuan rakyat jelata semakin parah. Para perempuan yang menjadi istri atau anak (perempuan) laki-laki kapitalis mampu membeli apa saja yang diinginkan. Dengan menjadi pelayan suaminya yang kaya, ia mendapatkan sogokan ekonomis yang besar, yang memungkinkan mereka memiliki banyak uang untuk belanja. Kecantikan, apa lagi kalau bukan itu, yang dituntut dan ditonjolkan. Ia berkata: “Papi, pakaian ini pantas nggak? Mami cantik, kan?”
“Pantes, mi. Harus cantik, jangan sampai istri papi gak cantik. Papi bisa malu sama kolega-kolega bisnis Papi”.

Sebuah peran pelengkap. Sebuah peran pelayan. Perempuan bekerja melayani laki-laki dengan dan demi gaya hidup, agar bisa tampil cantik dan dipuji banyak orang karena kecantikannya. Dan didandaninya tubuh dan dibuat-buatlah pencitraan dirinya agar ia dapat menarik laki-laki yang kaya.
Citra diri dilengkapi dengan gaya hidup dan tindakan mengkonsumsi positional goods. Mereka memang mengonsumsi/mengkoleksi buku-buku, film-film, barang-barang bagus dan branded goodies—tetapi semuanya hanya untuk menunjukkan gaya hidup dan mencipta citra (merayakan narsisme). Benda-benda itu, bagi mereka, dianggap sebagai penanda bagi ‘kekayaan” hidupnya.

Menurut Bourdieu dalam bukunya Distinction (1984), selera terhadap berbagai benda budaya berfungsi sebagai tanda kelas. Struktur kelas/pekerjaan yang prinsip struktur dasarnya adalah volume dan komposisi (ekonomi dan budaya) kapital mendasari dinamika gaya hidup masyarakat sekarang ini. Sebagai contoh, mereka yang memiliki volume kapital ekonomi tinggi (industriawan, penguasaha komersil, selebritis) memiliki selera makanan praktis (business meals), mobil impor, perlelangan, rumah lain (second house), dan lain-lainnya. Dalam masyarakat berkelas seperti saat ini, kelompok atau kelas dominan berusaha untuk memiliki atau memapankan ‘benda-benda posisional’ (positional goods), menurut istilah William Leiss, yaitu benda-benda yang prestisius karena kejarangan artifisial dari suplai yang ditentukan.
Kelas atas yang terdiri dari kaum korporasi bisnis dan kerabatnya bukanlah pihak yang paling berperan dalam mempercepat penularan gaya hidup. Dalam masyarakat industri yang kompleks—yang sering disebut sebagai masyarakat (pos)modern sekarang ini—lembaga-lembaga yang ada juga semakin kompleks dan bervariasi. Lembaga-lembaga ini biasanya diisi oleh kelas menengah yang terdiri dari seniman, intelektual, dan artis selebritis ini biasanya memiliki independensi dalam menemukan definisi budaya atau gaya hidup baru, meskipun untuk kasus Indonesia dalam banyak hal meniru dari rekan-rekannya di negara-negara Barat. Lihatlah mulai dari acara TV hingga model baju, hampir semuanya adalah acara-acara yang dijiplak dari TV-TV di Amerika dan Eropa—paling banyak untuk acara reality show.

Menurut Featherstone (2002), kaum intelektual tersebut harus masih dilihat sebagai fraksi kelas dominan yang mendominasi, yang menggunakan logika sistem simbolik untuk menghasilkan pembedaan yang memberikan kontribusi pada reproduksi antara fraksi kelas dan kelas-kelas yang ada. Dalam hal ini mereka sama saja dengan kaum borjuis (fraksi yang mendominasi dari kelas yang dominan) yang untuk mempertahankan kondisi material hubungan kelas yang ada di dalam hubungan kelas itu kapital ekonomi mengalami prestise dan nilai tukar yang tinggi jika dirubah menjadi kapital budaya.

Oleh karena itu, menurut Featherstone, “mereka akan selalu berupaya untuk meningkatkan otonomi bidang budaya serta menambah langkanya kapital budaya dengan cara menolak demokratisasi budaya.” Dari sinilah, banyaknya kekecewaan yang muncul dari para kritikus terhadap budaya posmodern adalah karena terjadinya homogenisasi budaya dan menciutnya kreatifitas masyarakat. Budaya instan, imitatif, permisif, dan karikatif adalah hasil dekaden dari masyarakat industri pasar bebas (posmodern).

Kaum perempuan borjuis—atau yang ‘sok’borjuis—adalah barisan dari kalangan parasit dalam kelasnya yang hanya mengharap belas kasihan dari laki-laki, berharap menemukan pasangan hidup yang kaya sehingga status kian meningkat. Merekalah yang sering disebut sebagai “parasist eves” (‘hawa-hawa parasit’)—bahasa kasarnya: pelacur papan atas. Ketakutan utama mereka adalah kalau tidak bisa bertahan hidup dengan menunjukkan kecantikan tubuh dan citra diri narsistik, dan ketakutan itu dibayar dengan kerja rekayasa yang keras agar dapat mendapatkan laki-laki kaya atau kerja-kerja apa saja yang menghasilkan penghasilan tetap. Mereka hanya menyadari potensi tubuhnya dan kecerdasan artifisialnya yang hanya relevan untuk merayu, melayani, dan memanipulasi hubungan sejati.

“Parasite Eve”—entah identik dengan istilah yang dibuat Ayu Utami (‘Parasit Lajang’)—adalah penyangga berlangsungnya kebudaan manipulatif dalam menyokong tatanan material kapitalisme yang memang mengeksploitasi kerja-kerja produktif untuk dieksploitasi dan tiada dihargai. Betapa banyak pengangum kaum perempuan yang hanya tampil cantik (entah mereka punya otak atau tidak)! Dan betapa tak berharga perempuan yang secara fisik buruk di masyarakat yang kian manipulatif sekarang ini!

Inilah awal dari kebangkrutan keberadaan kaum perempuan setelah di jaman sebelumnya kaum perempuan justru berperan secara produktif di masyarakat. Perempuan sejati—sebagaimana manusia sejati—adalah mereka yang berproduksi memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan masyarakatnya. Berproduksi untuk ekonomi, dan lebih maju lagi berproduksi untuk ideologi dan kesadaran maju—mereka adalah perempuan pendidik dan pejuang perubahan! Minimal produktif secara ekonomi dan tak menggantungkan pada orang lain, dan lebih maju ikut berjuang dalam proses pembebasan dan penggagas kesadaran maju (seperti Kartini yang mendobrak kesadaran lama yang membuat perempuan jamannya tertindas).
Perempuan sejati hilang di masa kini, dia hanya dapat kita lihat pada masa lalu. Pada hal. dalam sejarah ditunjukkan bahwa kaum perempuan lebih identik dengan peran mengayomi kehidupan dan mewarnainya dengan produktifitas dan kreatifitas yang dilakukannya. Sementara kaum laki-laki di jaman dulu lebih disibukkan dengan pekerjaan berburu dan membunuh hewan-hewan di di hutan-hutan dan menebangi pohon-pohon, pada saat yang sama kaum perempuan disibukkan dengan usaha pertanian, bumbu-bumbu masakan yang dibutuhkan bagi keperluan hidup sehari-hari, dan peralatan-peralatan masak lainnya. Artinya, kaum perempuan berhasil menemukan teknologi bagi keberlangsungan hidup, kesehatan, dan pertumbuhan manusia.

Sebagaimana dikisahkan Nawal El Sadawi dalam buku “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan”, perempuan-perempuan Mesir kuno adalah nenek moyang penemu kebudayaan bercocok tanam di Mesir di sepanjang pesisir sungai Nil. Di antara mereka bahkan ada yang dikenal dalam sejarah kemanusiaan yang disimbolkan sebagai dewi langit yaitu Nut, dewi hikmah yaitu Izis, dewi keadilan yaitu M’ât, dan dewi kedokteran yaitu Sekhmet. Kaum perempuan Mesir waktu itu benar-benar leluasa untuk melakukan aktifitas yang produktif dan kreatif. Mereka tidaklah terkekang oleh hijab ataupun tembok-tembok kokoh rumah dan dapur. Akan tetapi di antara perempuan ada yang menjadi pemikir, ahli filsafat, ahli ilmu pengetahuan dalam disiplin ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu arsitektur, ilmu perundang-undangan sosial, politik, ekonomi, strategi perang, dan ilmu perdamaian.

Berhadapan dengan adanya tatanan yang menindas dan tidak adil, perempuan-perempuan Mesir kuno telah terlebih dahulu melakukan gerakan pembebasan kaum perempuan mendahului saudara-saudara mereka yang ada di Yunani dan negara-negara lainnya. Akan tetapi, sejarah yang bersifat patriarkis seolah-olah tidak mengakui gerakan perempuan dan aktivitas mereka, persis seperti sikap acuh sejarah penjajahan modern yang tidak mengakui gerakan massa dan aktivitas mereka.

Kalau kita mau jujur, kaum perempuan di masyarakat sekarang ini masih terbelakang dan tertindas karena sistem sosio-ekonomi yang ada membuat mereka sedikit terlibat dalam proses dan tindakan produksi. Dilegitimasi oleh budaya yang mengharuskan perempuan hanya berperan di wilayah yang sempit (domestik), peran-peran memenuhi kebutuhan produktif keluarga dianggap sebagai tugas laki-laki. Sistem keluarga semacam ini berarti mengkonsepsikan bahwa laki-laki adalah pihak yang paling dominant dan perempuan (istri) adalah pelayan yang harus tunduk dan patuh. Parameter kepatuhan dan ketundukan bahkan disokong oleh doktrin-doktrin budaya seperti agama dan adat-istiadat.

Memang telah muncul masyarakat modern yang memungkinkan keterlibatan kaum perempuan berpartisipasi dalam ranah publik, baik sector industri maupun pengambilan keputusan (sosial-politik). Tetapi aturan yang diberlakukan (biasanya dikukuhkan secara legal oleh Negara) juga masih tetap diskriminatif. Bahkan dalam masyarakat yang telah menuju fase industri (kapitalis), keterlibatan perempuan di sector industri dapat dikatakan lebih banyak dari pada laki-laki. Tetapi seringkali imbalan dan pendapatan yang diperoleh juga masih dibedakan daripada laki-laki.

Di Indonesia, sektor industri membutuhkan lebih banyak perempuan untuk kerja di pabrik-pabrik daripada laki-laki. Upah mereka lebih rendah, bahkan terlalu rendah dan tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Industrialisasi kapitalis memang menarget kaum perempuan dalam menjalankan proses produksinya. Modal asing begitu senang menanamkan modalnya di Indonesia karena buruh perempuan Indonesia dapat diupah dengan biaya murah, sangat jauh dibanding buruh-buruh perempuan di Negara-negara Barat.
Selain itu, bagi pemilik modal yang menjalankan industri, perempuan merupakan sasaran pasar yang lebih potensial daripada laki-laki. Perempuan yang berjumlah lebih banyak daripada laki-laki adalah konsumen yang diharapkan akan menjadi pembeli produk-produk yang dihasilkan untuk mencari keuntungan. Tak heran jika kebanyakan iklan lebih banyak mempengaruhi kaum perempuan daripada laki-laki.

Ketergantungan
Bagi kaum perempuan yang kebanyakan masih tak memperoleh pendapatan dari keringatnya sendiri (kerja produktif dan menghasilkan upah), mereka hanya berharap pada laki-laki (suami) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak heran jika bagi kebanyakan kaum perempuan, mereka lebih berharap mendapatkan laki-laki yang kaya dan mampu memenuhi kebutuhannya. Kondisi ini membuat kaum perempuan hanya sibuk untuk berkegiatan mencetak citra diri agar menjadi sosok yang cantik dan kualitas-kualitas lainnya agar menghasilkan daya tawar yang kuat untuk mendapatkan suami yang kaya dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya akan barang-barang dan gaya hidup.
Mencetak citra dan kualitas dalam konteks “menjual” ini juga berlaku dalam hal mencari kerja. Agar kaum perempuan diterima kerja, mereka harus menyiapkan diri untuk tampil cantik dan kelihatan cerdas atau terampil. Sayangnya, kebanyakan kerja yang diperuntukkan bagi perempuan adalah kerja-kerja yang membutuhkan “kualitas” yang menegaskan bahwa kaum perempuan hanya layak untuk tampil cantik, seksi, ramah, terampil, dan servicefully. Penjaga toko, mode, entertainer, administrasi, customer service, sales, dan sejenisnya adalah kerja yang jelas-jelas menonjolkan kualitas tersebut.

Terutama dalam sektor industri hiburan (entertainment), ideologi kecantikan merupakan pilar dari keberadaan industrialisasi yang menempatkan perempuan disajikan untuk menghibur masyarakat. Dan kalau mau jujur, ideologi kecantikan yang menyokong logika produktifitas dan kreatifitasnya, kini juga mempengaruhi sector industri dan kegiatan produktif (kerja) lainnya. Misalnya, perempuan pekerja administrasi haruslah dipilih dari perempuan yang cantik, pegawai bank harus cantik dan seksi, pada hal tak ada hubungannya antara kualitas kecantikan dan mutu pelayanan.

Dan hanya karena citra akan tubuh itulah industrialisasi era ini dibangun. Ideologi kecantikanpun menular ke mana-mana. Pada akhirnya, seorang perempuan dosen atau guru akan merasa lebih percaya diri kalau ia tampil cantik, pada hal jelas-jelas tak ada kaitannya antara kecantikan guru dengan meningkatnya kecerdasan mahasiswa atau pelajar. Hal ini tak lepas dari konstruksi media kapitalis seperti iklan yang menghargai perempuan dari penampilan fisiknya dalam rangka membuat kaum perempuan (baik cantik ataupun jelek) tergoda untuk membeli produk-produk yang ditawarkan. Bahkan kalau kita telisik, citra tentang perempuan guru dan dosen juga dibangun (baca: dirusak) oleh sinetron remaja di mana para guru perempuan ditampilkan dengan citra yang negative (tak memiliki kekuatan edukatif sebagaimana keberadaan guru yang dibutuhkan masyarakat).

Dengan demikian, harus ada upaya serius untuk mengembalikan produktifitas perempuan sebagai upaya membalikkan sejarah penindasan menjadi sejarah keadilan yang pernah terjadi dalam sejarah. Hal ini berarti bahwa sejarah membuktikan bahwa dalam kehidupan jaman dulu, perempuan bisa lebih produktif dan memainkan peranan yang besar dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Belakangan, perempuan justru tertindas karena mereka terlempar dari kegiatan produktifnya.

Menjauhkan manusia dari aktifitas produksi sama dengan menjauhkan mereka dari kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, pada saat yang sama juga membuat mereka tergantung pada orang lain. Pihak yang tergantung cenderung untuk patuh pada pihak yang bergantung. Ketergantungan inilah yang menjadi awal bagi kebiasaan menindas dan menundukkan.***


Surabaya, 19 Februari 2008

Tidak ada komentar: