Senin, 18 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
"Nasibmu dalam hal ekonomi bersumber dari kebijakan politik dan pemerintahan... Jika kamu tak berpolitik, kamu akan diPolitiki oleh para politisi dan penipu rakyat!!!"
KEINTIMAN (intimacy) agaknya telah hilang dari kehidupan kita: anak-anak yang tak lagi dielus-elus orang dewasa, terutama Ibu dan bapaknya; gaya pacaran yang dipenuhi kekerasan; hingga relasi makro-sosial dalam masyarakat kita yang kian centang-perenang sebagaimana konflik dan gejolak semakin meluas gara-gara krisis ekonomi, krisis kebudayaan, dan krisis kepercayaan. Tidak bisakah kita membangun suatu keintiman yang mendalam, bermakna, agar hubungan menjadi indah dan jauh dari kekerasan dan kebohongan?
Nurani Soyomukti terdorong untuk selalu bertanya: bagaimana menjalin ikatan yang harmonis itu? Tentunya, dengan bantuan para psikolog ternama dalam sejarah (Freud, Fromm, dll), penulis merasa menemukan apa yang menjadi faktor pengikat hubungan manusia. Keintiman antara sesama adalah hakekat peradaban yang sejati dan maju. Sejarah yang menyangkal keintiman dan hasrat penyatuan manusia pada dunianya (alam dan sesamanya) adalah sejarah kehidupan yang buruk!
Buku ini menawarkan pemahaman yang utuh dan mendalam tentang Keintiman, juga ditunjukkan cara-cara untuk membangun keintiman dengan pacar (kekasih), suami/istri, hingga keintiman dengan anak-anak yang dipraktekkan dengan cara merawat anak-anak. Buku ini wajib dibaca oleh mereka yang ingin memaknai keintiman yang bermakna dan produktif-kreatif dalam hubungan antara sesama manusia, terutama dalam hubungan dengan kekasih atau orang-orang yang dicintai.
(PRESTASI PUSTAKA, Cover Belakang)
(Dimuat di Harian SURYA, Rabu 24 Januari 2007)
Ketiga, partai baru hasil penggabungan partai-partai kecil yang dulunya memperoleh suara kecil dan terancam oleh mekanisme verifikasi Depkeham dan KPU, maupun electoral threshold, misalnya Partai Kristen Bersatu. Keempat, partai-partai baru yang digagas oleh aktivis gerakan rakyat, gerakan mahasiswa, LSM, serikat buruh, serikat tani, atau pekerja seni seperti Partai KP-Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) dan Partai Pesyarikatan Rakyat (PPR).
Ghiroh mendirikan partai ini tampaknya masih berkaitan dengan nuansa pasca-Orde Baru yang menunjukkan rakyat lebih bebas untuk menyalurkan aspirasinya. Dalam sebuah negara yang demokratis dan menghormati hak-hak warganya, pendirian partai-partai baru tentunya merupakan kemajuan. Logikanya, semakin banyak organisasi berdiri, kanal (saluran) politik bagi rakyat semakin banyak.
Banyak pendapat yang dilontarkan oleh para pengamat tentang munculnya partai-partai baru ini. Sebagian memandang sinis, sebagian juga ada yang optimistis. Yang jelas, pandangan dan tanggapan terhadap partai-partai baru tidak lepas dari kondisi kepartaian yang ada di
Alat Perjuangan dan Pencari Kekuasaan
Apatisme terhadap partai-partai baru harus dilihat dalam konteks citra partai-partai yang ada selama ini, terutama yang mempunyai hubungan langsung dengan proses pengambilan kebijakan ekonomi-politik di masyarakat. Partai-partai ramai didirikan dan ada yang lolos untuk berkompetisi dalam pemilu 1999 dan 2004. Maka, output kebijakan yang menimpa nasib rakyat logikanya adalah hasil dari proses pembuatan kebijakan (policy making process) yang dilakukan oleh kekuasaan/pemerintah yang orang-orangnya direkrut dari partai-partai politik yang ada.
Sayang, masih sangat jelas, partai lama (Golkar) masih menjadi kekuatan. Sedangkan partai-partai baru yang memiliki kekuatan hampir sama, yang awal-awal berwatak sok reformis, akhirnya juga ikut larut dalam upaya untuk membuat kebijakan yang menindas. Dengan partai-partai dan para tokoh-tokoh yang menjadi aktor kunci dalam pembuatan kebijakan di negeri ini semuanya menghasilkan kebijakan yang bukannya mengatasi permasalahan rakyat, tetapi justru menambah kesengsaraan. Dalam konteks sekarang, partai-partai baru masih mewarisi citra partai lama yang 'anti-rakyat' tersebut, padahal partai adalah alat organisasi bagi rakyat untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya.
Meskipun demikian, pada saat yang bersamaan, partai-partai baru sebenarnya bergantung pada kemampuan mencitrakan diri 'bersih' dan 'berbeda'. Masa depannya bergantung pada landasan ideologis, strategi-taktik, dan program-program yang berbeda dengan partai lama, dan memiliki kemampuan untuk menunjukkan bahwa ia memang berbeda.
Objectively, ada dua hal yang menunjukkan bahwa partai lama memang tidak mampu dan mau untuk memberikan perbaikan pada nasib rakyat. Pertama, partai lama ketika berkuasa tidak menjawab persoalan, tetapi justru mengkhianati rakyat. Sejak Orde Baru dianggap tumbang setelah Soeharto jatuh, ternyata partai Golkar (yang dalam pemilu 1999 dan 2004 masih berada di papan atas) masih kuat. Sedangkan partai-partai baru seperti PDIP, PAN, PKB, PKS, PBB, Demokrat, dan lain-lain juga menjadi penopang bagi kebijakan pemerintah untuk mengambil kebijakan dan tindakan-tindakan ekonomi politik yang justru semakin menyengsarakan rakyat.
Kedua, partai-partai lama banyak yang dilanda perpecahan. Perpecahan ini kadang-kadang dibaca oleh rakyat sebagai konflik rebutan jabatan dan kekuasaan, dan dengan demikian keberanian para elit partai-partai tersebut bukanlah keberanian untuk menyuarakan suara dan tuntutan rakyat--tetapi keberanian dan tindakan untuk berebut kekuasaan dalam menipu rakyat.
Demikian pula yang dibangun oleh partai politik lain, termasuk PKS misalnya. Meskipun dianggap partai yang berlatar belakang bersih namun posisi PKS berkoalisi dengan rezim sekarang sedikit banyak memengaruhi dukungan
Ketika berhadapan dengan imperialisme maka PKS menyerukan masyarakat berlawan hanya karena penjajah global itu berasal dari Barat/dunia non-Islam tetapi tidak ada sebuah program politik-ekonomi untuk melawan/ berkonfrontasi dengan imperialisme pada saat imperialisme telah memiskin semua umat manusia (termasuk di Indonesia), bukan hanya orang Islam. Di beberapa daerah tempat PKS dominan, penggusuran tetap saja terjadi. Upah buruh tetap saja murah, pendidikan dan kesehatan tetap saja mahal, korupsi tetap saja terjadi. Situasi material kemiskinan masyarakat semacam itu membuat tawaran agamis dari partai-partai Islam tampaknya tidak akan cukup efektif dalam menggaet
Sebagaimana disampaikan pengamat politik Bachtiar Effendi, partai Islam diyakini tidak akan menjadi pemenang pemilihan umum. Perolehan terbanyak partai ini dalam sejarah hanya 42.5 persen pada Pemilu 1955 (Koran Tempo, Minggu, 15 Oktober 2006). Menurutnya, partai Islam tidak bisa tampil sebagai partai penguasa layaknya partai-partai berbasis sekuler, seperti Partai Golkar, PDI Perjuangan, ataupun Partai Demokrat. Sebab, kata dia, wilayah politik partai Islam terbatas. Partai Islam kerap membawa isu lama, seperti penerapan syariat, pembentukan negara Islam, dan presiden beragama Islam. Partai Islam yang pada 2004 memperoleh suara yang cukup signifikan seperti PKS, yang awalnya membawa isu-isu populis (dan bukan sekedar isu religius atau moralis), ternyata justru mendukung kebijakan SBY-Kalla yang tidak populis.
Hal inilah yang juga dicatat oleh partai-partai baru yang hendak membawa simbol Islam dalam partainya. Menggunakan retorika, sentimen, dan isu-isu agama dalam sebuah kampanya politik demi menangguk simpati
Partai politik Islam, apalagi tanpa mengakomodasi tuntutan-tuntutan kerakyatan dan memperjuangkan keadilan ekonomi, tampaknya masih akan ditinggalkan oleh banyak pemilih. Sebagaimana diungkapkan Bachtiar Effendi yang mengamati dan meneliti politik Islam di Indonesia, setelah Pemilu 1955 dukungan ke partai Islam terus menurun. Data ini dikuatkan hasil jajak pendapat Lembaga Survei
Partai-partai lama tentunya akan melakukan hegemoni kesadaran terhadap masyarakat agar kekuasaan tetap bisa direngkuh. Sebagai contoh, Golkar akan tetap mengorganisasi modal ekonomi-politik lama untuk menampilkan citra dan memobilisasi suara, melalui struktur dan media-media yang dikuasainya. Demikian juga, PKS akan tetap melakukan hegemoni kesadaran dengan menggunakan agama dan rasialisme, mengumandangkan sentimen moral dan agama untuk mempertahankan dan meningkatkan perolehan suaranya--bahkan juga menyebarkan paham fatalisme dan mistisisme dengan mengintervensi media (TV, koran, majalah, tabloid) agar kesadaran rakyat terpaku pada kebenaran program-program partainya.
Meskipun demikian, partai baru masih akan tetap memiliki peluang untuk mengambil posisi berhadapan dengan partai-partai lama sepanjang ia mampu menerapkan landasan ideologis, strategi-taktik, program, dan tindakan politik yang mampu merubah kesadaran
Artinya, partai-partai baru disediakan oleh kondisi objektif masyarakat yang harus direspons dengan tampilan partai yang cocok untuk perubahan. Partai baru masih punya ruang terbuka untuk menantang--bahkan menggantikan--posisi partai-partai lama yang nyata-nyata tidak mampu menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah permasaalahan bangsa (kemiskinan dan penindasan).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar