Senin, 25 Februari 2008

Politik Budaya Massa:



Kebutuhan(ku) dan Kebahagiaan(ku) Bukan Semu!

Oleh:Nurani Soyomukti*)

“Kebahagiaan adalah kesedihan yang terbuka kedoknya”.
(Kahlil Gibran)

Belakangan ini aku merasa bahagia. Bagaimana aku harus mendefinisikan kebahagiaan ini sebab aku perlu tahu kenapa aku bahagia dan bagaimanakah kualitas kebahagiaanku. Umumnya kebahagiaan dianggap sebagai kondisi perasaan atau pikiran yang disebabkan karena kebutuhan-kebutuhan yang tercapai atau terpenuhi. Bukankah dengan demikian, aku harus mendefinisikan kebutuhan-kebutuhanku?
“Terlampau banyak, bahkan tak bisa dihitung”—begitulah orang selalu menjawab ketika kita tanyakan “apa saja kebutuhanmu akhir-akhir ini?”
Bagiku, hidup sebenarnya begitu sederhana. Hidup harus melahirkan peran karena manusia—yang membedakannya dengan binatang—memiliki akal untuk menilai, mengukur, dan merubah: pada tingkat ini kita bicara soal universalitas kemanusiaan yang harus bisa diukur.
Hakekat manusia adalah makhluk yang sadar dan berkesadaran. Jika ia tak menyadari posisinya, termasuk kebutuhannya, ia hanya akan terombang-ambing oleh ketidaktahumenahuan yang didalamnya diisi oleh kehendak objek di luarnya yang mempermainkan dan membentuknya—yang dalam banyak hal demi kepentingan tertentu.
Lalu bagaimana kalau kebutuhan itu dibentuk? Artinya, bagaimana kalau manusia butuh sesuatu tetapi kebutuhan yang ada pada dirinya itu adalah bentukan oleh sesuatu yang berasal dari luarnya, misalnya melalui rayuan, godaan, bahkan terror (iklan)? Kata Herbert Marcuse, dalam “One-Dimensional Man”, inilah yang dinamakan ‘kebutuhan semu’ (false needs).
Maka kebutuhan inilah yang terus melingkar mirip legenda yang direkayasa oleh para penumpuk modal yang hanya menginginkan kita hanya untuk mengkonsumsi dan membeli. Ada hal lain yang sebenarnya kita butuhkan—atau bahkan dibutuhkan orang lain tetapi orang lain itu (terutama orang miskin) tak mampu memenuhinya (membelinya)—tetapi kita pada akhirnya hanya menginginkan suatu benda atau barang (atau juga gaya hidup) yang seakan mendesak karena iklan terus merayu kita, atau karena kita malu kalau tak punya karena kita malu kalau tak punya. Kita butuh sesuatu karena gengsi, atau malu kalau “nggak gaul” atau ‘ketinggalan jaman’.

Anda kenal System Of A Down, sebuah kelompok musik metal dari Amerika Serikat (AS) yang kerap menyuarakan lirik anti-globalisasi, lirik ekologis dan anti-budaya konsumeristik itu? Dalam lagunya “Chick And Stew” ia menggambarkan kebutuhan semu bentukan iklan yang datang “setiap detik” (every second) yang menyuruh kita hanya untuk “beli” (buy) karena “iklan membuat kita menuju pelarian” (when advertising got you on the run):

This ballgame's in the refrigerator,T
he door is closed,
The lights are out
And the butter's getting hard.

What a splendid pie,
Pizza-pizza pie,
Every minute,
every second,
Buy, buy, buy, buy, buy,
What a splendid pie,
Pizza-pizza pie,
Every minute,
every second,
Buy, buy, buy, buy, buy,
Pepperoni and green peppers
Mushrooms, olives, chives,
Pepperoni and green peppersMushrooms, olives, chives,
Need therapy, therapy,Advertising causes need,

Therapy, therapy,Advertising causes,
What a splendid pie,Pizza-pizza pie,
Every minute, every second,Buy, buy, buy, buy, buy,
What a splendid pie,Pizza-pizza pie,
Every minute, every second,Buy, buy, buy, buy, buy,
Pepperoni and green peppersMushrooms, olives, chives,

Pepperoni and green peppersMushrooms, olives, chives,
Need therapy, therapy,Advertising causes need,
Therapy, therapy,Advertising causes need,Therapy, therapy…


Jadi, betapa psikologisnya proses terciptanya kebutuhan. Bahkan dari mulut Serj Tankian (sang vokalis), SoaD nampak begitu percaya bahwa para ‘korban iklan’ adalah mereka yang layak untuk diterapi: “need teraphy, teraphy… advertising causes need” (butuh terapi… iklan menimbulkan kebutuhan). Dan kadang, para koban memang menciptakan remaja-remaja gila yang hanya menghabiskan waktu belanja (shoppaholic).

*
Dan untungnya aku bukanlah korban iklan karena aku paling sumpek ketika diajak belanja. Meskipun pernah suatu ketika (mantan) ‘pacar’-ku marah-marah dan ngambek karena aku malas diajak belanja, aku tetap tak mau kompromi karena mondar-mandir di toko swalayan membuatku pusing, seakan kaki juga cepat pegal.

“Kamu butuh hem bagus, agar layak dilihat orang. Nggak pantas untuk ukuran orang kayak kamu, nggembel terus, Mas”, katanya berkali-kali, “Bagaimana kamu bisa membuat orang yakin pada apa yang kamu sampaikan kalau kamu nggak menghargai dirimu sendiri?”
Aku tak pernah membeli apa yang ia inginkan. Kadang aku juga tak melihat keinginannya rasional. Dan dia, tanpa sepengetahuanku, membelikan sandal dan celana untukku. Pada hal aku tak menginginkannya. Secara psikologis, aku tak merasa malu atau resah hanya dengan pakai celana belel, sandal seadanya, kaos yang berisi tulisan propaganda dan berjaket.
“Sudahlah, lebih baik uang itu kita simpan untuk makan agar bisa bertahan hidup lebih lama. Apa sih yang kita butuhkan? Yang penting kita dapat berperan kan?”, jawabku selalu. Aku memang lebih suka wisata kuliner (berkeliling mencari makanan yang enak dan baru) daripada belanja beli baju. Atau mendingan membeli buku untuk koleksi “agar perpustakaan keluarga kita cepat besar dan meriah” [sic!].

Sejak awal (mantan) ‘pacar’-ku memang tak pernah paham aku, terutama ketika belakangan ia begitu pragmatisnya dan begitu mudah tergoda untuk mendandani tubuhnya dan menciptakan citra-citra dirinya. Aku bukan tak mau konformis dengan tuntutan-tuntutannya agar aku ‘merubah penampilan’. Tapi sejak awal, bahkan sebelum dia datang dalam hidupku, aku adalah orang yang tak begitu takut dan hirau pada pendapat kacangan orang-orang awam yang masih mempertimbangkan citra diri. Menurutku, orang tak harus dilihat dari caranya berpenampilan atau merekayasa diri agar kelihatan ‘alim’, ‘baik’, ‘manis’, ‘gak aneh-aneh’. Kalau dia membaca catatan-catatanku, dan dia mengerti diriku, tentu segalanya sudah tuntas sejak awal. Aku mencatat, yang kelak catatan ini juga terkodifikasikan dalam bukuku yang berjudul “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (lihat http://www.bukubukunurani.blogspot.com/):

“.... Tanpa celana, baju dan kebudayaan, tanpa koteka, tanpa jas almamater, tanpa mahkota dan tanpa pakaian resmi seperti para legeslatif dan majikan yang telah terlanjur jadi orang “kotor, misalnya koruptor”.
... Sejak kelahirannya manusia telah ditakdirkan miskin, tapi murni, tulus, tanpa tuntutan dan tak ternoda apalagi oportunis. Siapa dan apa yang disalahkan kemudian?: Setelah besar mereka berlagak secara vulgar di hadapan dirinya, menyangkal keabsahan dan keotentikannya, menempatkan diri sebagai makhluk hipokrit dan penipu—dan terparah lagi menciptakan jaring-jaring penindasan dan kemunafikan yang dilembagakan...”
[1]


Ah, mengingat-ngingat soal masa lalu yang mirip sampah memang tak ada gunanya.
(Mantan) ‘pacar’-ku sudah pergi dengan membawa keegoisan dan beban kebutuhan yang nampaknya begitu berat karena keinginannya harus segera dilampiaskan: kalau tidak ia akan stressed atau kepalanya meledak—seperti membentur-benturkan kepalanya saat kebutuhan libidinalnya memuncak dan tanpa pelampiasan, hingga ia begitu cepat mendapatkan laki-laki setelah meninggalkanku. Ia hanyalah sampah psikologis dalam otakku, dan kenyataannya ia sejak awal tak pernah paham ‘kesederhanaan’-ku. Ia takut pada pilihanku pada kemiskinan, keotentikan, ke-‘murni’-an.

Kepergiannya adalah anugerah terbesar karena berarti aku tak perlu memasang kata-kata dan tulisanku untuk diklaim miliknya. Belakangan ia terpaksa memungut kata-katanya sendiri, tetapi tetap tak bisa lepas dari model dan urutan kata-kataku, meskipun disampaikan secara berbata-bata dan diulang-ulang, tema-tema yang itu-itu juga. (Kami sama-sama sentimental, tapi kami tak ketemu dalam hal lain, terutama karena ia begitu tergesa-gesa dan takut kehilangan pelampiasan libidinalnya: Atau jangan perempuan identik dengan ketergesaan?).
Jadi, belakangan saya aku begitu bebasnya untuk mendefinisikan, mengkalkulasi, dan mendaftar kebutuhan-kebutuhanku. Karena aku telah memiliki otonomi diri, bebas dari represi hubungan yang menindas dan membebani atau yang nyatanya membuat aku ikut larut dalam ketergesa-gesaan. Bangga dan menyandarkan diri pada keinginan, obsesi, atau kebutuhan yang sederhana itu membuat jiwa tenang (safe, secure).

Aku tak tahu apakah kebutuhan-kebutuhan ini begitu borjuistik atau terlalu ‘rendahan’. Tapi aku telah mendaftar apa-apa yang aku inginkan dan kubutuhkan dalam waktu ke depan. Aku telah menulisnya di notebook-ku. Tapi alangkah baiknya aku cantumkan pula apa kebutuhan dan obsesiku saat ini—dan ini yang membuat aku bahagia.

Aku bahagia karena secara financial tak lagi kesulitan, artinya ada peningkatan, dan aku ingin bekerja keras agar siap memenuhi kebutuhan berikutnya. Misalnya, banyak orang yang selalu menanyakan kapan aku akan menikah. Dan aku selalu menjawab bahwa aku akan melakukannya setelah umurku 30 tahun atau minimal setelah pemilu 2009 usai. Aku punya alasan untuk itu. Pertama, umur 30 tahun secara medis dan biologis, bagi laki-laki (seperti aku), adalah masa di mana sperma kita sedang matang dan saat bersetubuh dengan calon ibu anakku akan menghasilkan anak yang terbaik. Bagi kaum perempuan (calon istriku) usia yang baik untuk melahirkan anak adalah usia 20-25 tahun. Artinya, kalau saat ini aku sedang menjalin hubungan kasih (‘pacaran’) dengan seorang perempuan cantik dan baik hati berumur 21 tahun, artinya itu harus kupertahankan—dan karena alasan ini pula aku merasa bahagia! Hehehe…

- Obsesi terbesarku akhir-akhir ini: (A) membeli 4 buku tetralogi Pramoedya Ananta Toer untuk menambah koleksi perpustakaanku karena buku-buku itu adalah karya terbaik milik bangsa ini. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca menjadi mata bacaan wajib bagi mata kuliah sastra di luar negeri (berbagai Negara), sementara aku belum menuntaskan bagian keempatnya (Rumah Kaca)—kata kawan-kawanku, yang keempat itulah yang terbaik; (B) Hingga akhir tahun 2009, aku telah berujar bahwa aku sudah menerbitkan sepuluh buku—sekarang sudah lima buku yang terbit dan kedepan akan ada beberapa buku yang menyusul dan aku sedang mempersiapkan naskah-naskah lainnya; (C) Merapikan kembali koleksi buku dan mengorganisir perpustakaan agar lebih memudahkan mencari buku, tak berantakan dan membuat kamarku mirip ‘kapal pecah’… buku-bukuku sudah aku sampuli semua, tinggal bagaimana meningkatkan kerapiannya pada level yang lebih tinggi.

-Aku harus tetap bisa berperan dalam mendukung (gerakan) demokrasi, entah apa alatnya dan dimana tempatnya: gabung dengan partai politik lagi? Gabung dengan NGO? Belum tahu pasti, yang jelas aku tak kan bisa meninggalkan peran ini. Artinya kulakukan semaksimal mungkin sesuai kondisi yang ada. Tapi,,,, bukankah menulis buku, puisi, esai, opini di media juga bagian dari membangun kesadaran demokratis? Tapi aku perlu organisasi, komunitas…
Apalagi ya? Itu dulu lah! Karena aku sering bingung kalau ditanya apa yang akan aku beli dalam waktu dekat. Mungkin TV, mungkin HP baru, …
Ah, ribet sekali. Pada hal kebutuhanku hanya sederhana: bisa bertahan hidup dan berperan!
Itu saja!

***
___________________________________
[1] Nurani Soyomukti, “Pendidikan Kapitalisme yang Licik”, dalam buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi”. Yogyakarta: Arruzzmedia, 2008, hal. 63

1 komentar:

Anonim mengatakan...

See HERE