Kamis, 21 Februari 2008

Dari Pemilu Pakistan yang Tanpa Benazir Bhutto:

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Benazir Bhutto, Perempuan, dan Demokrasi

Oleh: Nurani Soyomukti

Pemilu Pakistan yang diadakan pada 18 Februari 2008 merupakan pemilu yang ditunda setelah Benazir Bhutto dibunuh pada 27 Desember 2008. Penundaan dilakukan akibat kemarahan massa pendukung Benazir yang memuncak pada kerusuhan di berbagai kota, yang mengakibatkan banyak kerusakan pada prasarana pemilihan umum, misalnya kantor-kantor “Komisi Pemilihan Umum” Pakistan.

Tetapi dalam sejarah Pakistan, kehadiran Benazir Bhutto dalam sejarah Pakistan dan bahkan sejarah politik dunia merupakan suat berkah sekaligus tanda. Berkah bagi rakyat Pakistan karena, bagaimanapun, apa yang dilakukan Benazir lebih baik ketimbang pemimpin lainnya yang kebanyakan mempraktekkan perilaku diktator, memasung demokrasi, dan menyebarkan ideologi kebencian berdasarkan sentiment agama dan suku di masyarakat yang seharusnya dididik untuk melihat persoalan secara objektif dan terbuka. Dunia modern membutuhkan para pemimpin seperti Bhutto, baik Benazir Bhutto maupun ayahnya Zulfikar Ali Bhutto. Mereka diidentifikasi sebagai pemimpin yang murni berasal dari kalangan sipil, nasionalis, dan karakter ideologi dan kebijakan politiknya bersifat kerakyatan alias membeka rakyat kecil.

Meskipun telah meninggal, warisan demokrasi Bhutto tentunya masih melekat dikalangan rakyat, terutama mereka yang masih percaya bahwa demokrasi, bagaimanapun, merupakan sistem yang lebih baik dari pada fasisme dan pandangan keagamaan ekstrim yang tak mengenal toleransi dan menghalalkan kekerasan. Warisan inilah yang harganya mahal, yang dapat digunakan untuk merubah negeri Pakistan, yang nampaknya akan benar-benar jatuh ke tangan kaum fasis jika kaum demokratnya tidak bekerja keras untuk membangun gerakan demokrasi yang strategis dan taktis.

Sementara kehadiran Benazir adalah tanda karena kemunculannya dalam arena politik dunia seiring dengan diterimanya keterbukaan politik demokrasi yang berhembus pada tahun 1980-an. Gelombang demokrasi yang menurut Samuel Huntington, mau tak mau, akan melanda Negara manapun karena syarat-syarat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyediakannya. Sejak Benazir hadir sebagai perempuan pertama yang menjadi presiden pertama di Negara Muslim, mungkin juga salah satu dari perempuan yang sangat sedikit mendapatkan posisi sebagai pemimpin di Negara-negara Ketiga, lalu masyarakat mulai terbuka pada hadirnya pemimpin perempuan.

Sebuah tanda kemajuan, tanda bahwa telah terjadi kesetaraan. Benazir telah memberikan inspirasi bagi Negara-negara Ketiga lainnya, termasuk Indonesia. Memasuki millennium baru, inspirasi Benazir kian meluas. Banyak Negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang dipimpin oleh kaum perempuan.

Berkah Globalisasi
Hembusan angin demokrasi memang memberikan kondisi politik baru di masyarakat dunia. Seiring dengan globalisasi yang membawa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama informasi dan komunikasi, akan mengakibatkan mustahilnya membatasi ide-ide dan kesadaran akan adanya persamaan hak antara laki-laki perempuan. Selain itu, kesetaraan dan kebebasan itu sendiri merupakan suatu tujuan yang juga diperoleh melalui gerakan social-politik.

Gerakan perempuan—entah itu di dunia politik, ekonomi, maupun sosial-budaya—menyodorkan bukti adanya masyarakat warga (civil society) di negara di mana gerakan itu lahir dan tumbuh berkembang. Selain itu, bersama dengan gerakan sosial lainnya, gerakan perempuan-juga di dunia politik-meningkatkan harapan bahwa demokrasi dapat mendorong pencepatan serta pengejaran agenda-agenda progresif tetapi tidak radikal.

Pada akhirnya, karena kesempatan terbuka lebar dan pembatasan-pembatasan ide dan materialnya semakin melenyap bagi terciptanya nilai kesamaan, tak begitu mengherankan jika semakin banyak perempuan yang mampu tampil menjadi kaum yang memiliki posisi dan peran yang besar—yang pada jaman dulu hanya dapat diperoleh laki-laki. Masyarakat yang pada awalnya dipenuhi dengan ide-ide kolot yang anti-persamaaan, yang kadang dijaga dengan kekuatan militer yang represif, pada akhirnya harus membuka diri pada perubahan menuju demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu (entah laki-laki ataupun perempuan) untuk tampil ke depan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Ruang keterbukaan sendiri juga menawarkan bagi setiap orang untuk meningkatkan kapasitasnya, kekuatannya (kemandiriannya, kecerdasannya, dan memampuannya mengolah realitas).

Ketika pada tahun 1988 Benazir Bhutto terpilih sebagai perdana menteri Pakistan, seluruh dunia mulai terbelalak, terutama masyarakat muslim yang dulunya mengharamkan perempuan untuk berkiprah di ranah public. Pada akhirnya mereka paham bahwa dunia telah berubah. Ketika Bhutto menjalankan pemerintahan secara lebih baik, orang juga semakin sadar bahwa pemimpin perempuan itu adalah hal yang wajar. Penolakan musuh-musuh Bhutto terhadap kepemimpinannya sendiri harus dipahami sebagai tindakan politis yang hanya didasari pada kecemburuan kekuasaan—dan nampaknya rakyat Pakistan tahu persis itu. Ketika Bhutto dipecat dan diasingkan ke luar negeri, Pakistan justru berada dalam kondisi lebih buruk, berada dalam cengkeraman militer dictator di bawah Jenderal Nawas Sharrif yang pro-Amerika Serikat dan membuat kesejahteraan rakyat semakin mundur.

Maka ketika Benazir Bhutto hendak kembali lagi ke Pakistan dengan janji untuk merubah keadaan, maka kerinduan rakyat Pakistan padanya bagaikan kerinduan anak-anak pada seorang ibu yang mengayomi dan memberikan kasih saying pada mereka—dan di sinilah kekuatan perempuan ketika memimpin. Sayangnya, orang yang tak menyukai Bhutto dan merasa terancam kekuasaannya harus menempuh segala cara, sehingga Bhutto harus dibunuh. Iapun meninggal dunia pada akhir tahun 2007 lalu, dengan harapan rakyat Pakistan yang pupus karena kerinduannya tak akan terbalas. Pakistan dipastikan akan menjadi Negara yang rakyatnya kian terombang-ambing dalam konflik berkepanjangan atau berada dalam cengkraman militer yang mencirikan negeri ini selama berpuluh-puluh tahun sejak berdirinya.
Munculnya para pemimpin perempuan, terutama di era akhir abad ke-20 dan di awal abad ke-21 sekarang ini tak lepas dari pengaruh ketenaran Bhutto yang muncul seiring berhembusnya angina demokrasi di awal tahun 1990-an. Tengok saja sejarah politik Indonesia, pada era itu gerakan demokratisasi benar-benar berhembus kuat. Demikian juga gerakan feminisme atau perjuangan menuntut kesetaraan gender.

Kepemimpinan Perempuan Indonesia
Sindroma kepemimpinan perempuan benar-benar muncul. Nama Megawati Soekarnoputri di awal tahun 1990-an mulai popular, bahkan menjadi calon ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang kelak namanya dianggap berbahaya bagi kekuasaan Orde Baru (Soeharto). Beberapa kolumnis surat kabar waktu itu juga mengkait-kaitkan nama Megawati dengan Benazir Bhutto. Antara keduanya memang memilik banyak kesamaan. Benazir dan Mega sama-sama putra seorang ayah yang pernah menjadi orang nomer satu di negerinya masing-masing. Zulfikar Ali Bhutto (ayah Benazir) dan Soekarno (ayah Megawati) sama-sama pemimpin yang populis dan merakyat, anti-imperialis dan sekaligus sama-sama menjalankan program nasionalisasi.

Pada era awal 1990-an itu pula Benazir Bhutto kerapmuncul di televisi Indonesia (waktu itu masih TVRI) dan surat-surat kabar. Orang Indonesia cukup akrab dengan perempuan yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri Pakistan. Kepemimpinan perempuan, secara tak sadar, dianggap suatu fakta yang wajar—dan alam bawah sadar ini cukup penting untuk membantu menciptakan bentukan psikis masyarakat agar kesadaran demokrasi muncul. Di Indonesia, sejak saat itu, tokoh-tokoh perempuan yang muncul mendapatkan banyak apresiasi.
Selain Megawati banyak menghiasi media, pada saat Marsinah diketahui dienyahkan nyawanya, ia mendapatkan tingkat publikasi yang luar biasa: Marsinah disebut sebagai perempuan pembela rakyat kecil yang berani melawan kesewenang-wenangan penguasa. Setelah itu nama Dita Indah Sari yang mengorganisir buruh dan aktif di gerakan politik kerakyatan juga begitu dikenal. Setiap perempuan yang hendak tampil untuk berperan di ranah public, terutama yang dianggap membela kekuatan arus bawah, segera mendapatkan tempat di hati rakyat. Salahkah jika ini terjadi karena adanya “Sindrom Benazir Bhutto”? Tidak ada yang salah dari kemajuan dan keadilan!***


Tidak ada komentar: