Minggu, 18 Mei 2008

Budaya Kerja:

“Sosialisme Kecil” dalam Ruang Kerja

Oleh: Nurani Soyomukti*)

Bekerja itu ternyata asyik. Bekerja itu sangat manusiawi.
Pengalaman menarik sekali kualami akhir-akhir ini saat berada di ruang kerja. Tidak selamanya memang, tetapi seringkali suatu ketika aku berada di sebuah ruangan (tempat aku bekerja) semua orang nampak ceria dan terlelap dalam kerjanya masing-masing.


Semua orang nampak berproduksi. Ada yang menyusun arsip-arsip, ada yang mengkliping, ada yang mendesain gambar dan terbitan. Sementara aku juga asyik menyusun kata-kata, sesekali mengernyitkan dahi dan kadang menjauhkan pandanganku dari monitor labtop saat mataku lelah. Dan seringkali kulirik mereka satu persatu.


Ada seorang pemuda, belum lulus kuliah yang asyik mengliping koran-koran yang memberitakan informasi tentang isu yang kami kerjakan, dan seringkali juga opini yang berkaitan. Namanya Ruudj. Pemuda itu, masih seorang aktivis progresif, dan kini bersama-sama ada di ruangan ini untuk membantu menyusun perlawanan ”dengan cara yang lebih taktis tanpa meninggalkan kerja-kerja radikal lainnya”—begitulah dalam bahasa dia. Aku sudah berhubungan dengannya sejak lama dengan dia. Dan pernah beberapa orang Kiri kacangan menuduh kami sebagai ”pengkhianat” atau ”memihak borjuis”.


Sungguh dia tidak tahu, bahwa ruangan ini bukan ”sarang” kami sebenarnya. Dan ia tak tahu bahwa aku bukannya berubah moderat, tetapi sungguh semakin radikal dalam mengambil sikap ideologis dan juga taktis yang lebih tepat. Aku, dan sebenarnya bersama dengan banyak kawan bersamaku, hanya ingin lepas dari massa lalu, yaitu mengerjakan proyek perubahan hanya dengan ”umpatan” dan ”kemarahan” yang egois dan menunjukkan eksistensi diri yang sempit, yang kadang tidak mempertimbangkan aspek strategis maupun taktisnya.


Perubahan didasari oleh kerja-kerja produktif dan kreatif karena landasan perubahan sejarah itu adalah struktur basis, yaitu sektor produktif. Kamu tidak bisa merubah keadaan hanya dengan kemarahan hampa atau jargon yang melangit. Carilah substansi, dan pelajarilah alur perubahan, jangan tinggalkan produktitas dan justru ajarkan produktifitas itu pada siapapun! Jangan perbanyak generasi malas, ajaklah semua untuk bekerja saat mereka marah pada keadaan.


Maka, itulah alasanku berada di ruangan ini.


”Ini sosialisme kecil”, batinku.


Kok?


Masalahnya semua orang nampak tidak terisolasi pada jam-jam itu, pada hari itu. Dan kejadian ini tampaknya seringkali terjadi. Setelah bosan berada di ruangan kami juga bisa bebas keluar, berinteraksi dengan anak-anak muda lain yang mendiskusikan perubahan, dan kadang juga memenuhi hasrat orang-orang yang ingin mendengarkan siraman-siraman pengetahuan dalam kaitannya dengan karya-karya yang kuhasilkan.


Dari ruang ini pulalah aku diijinkan—bahkan dianjurkan—untuk menulis karya-karyaku dan dari ruang inilah aku—kami!—bisa menjelajah ilmu pengetahuan dengan jaringan global (internet). Di ruang ini kami menyusun kata-kata propaganda, memperjuangkan pendidikan gratis, kesehatan gratis, meskipun kadang juga ada seruan-seruan normatif seperti “pertahankan NKRI” dan “Melaksanakan Pancasila 1 Juni Bung Karno”.


“Di ruang ini kita menjadi Soekarnois”, seloroh anak muda kawanku itu.
“Memang kenapa?”, tanyaku.
“Iya, ternyata bagus. Sama seperti Aidit, Semaun, dan lain-lain”.
“Iya, kenapa kita harus dipaksa untuk memilih satu tokoh saja. Kan banyak orang yang baik di masa lalu, bahkan semua orang tak mungkin tidak memiliki kelemahan. Dan kita tak bisa lagi memakai pendekatan hitam-putih karena itu akan membentuk watak kita. Dogmatis. Pola pikir kacamata kuda dan hanya akan melahirkan sikap sok atau heroisme kosong, perubahan tak bisa dilalui dengan cara itu!”


*
Ruangan itu tidak besar. Sehingga kami bisa sering menyapa, antara orang-orang yang saling memiliki meja kursinya masing-masing. Dengan menghadapi PC (komputer) dan labtopnya masing-masing.


Tetapi ruangan itu juga tidak sempit. Di dalamnya ada TV, ada kulkas, dan kami bisa membuat teh hangat atau kopi sendiri. Tidak ada pembantu, tetapi tiap pagi dan malam hari seorang muda berambut gondrong sekali, yang pandai melukis, namanya Mas Slamet, bekerja membersihkan ruangan. Tapi dia bukan pembantu, bahkan tak ada dari kami yang menganggapnya pembantu. Aku dan penghuni ruangan itu bahkan juga sering berkeluhkesah padanya. Kadang juga kucoba bertanya padanya: ”Ada perintah?”


Hanya satu yang paling aku benci dari ruangan itu, AC yang membuatku kedinginan dan membuatku sering ke kamar kecil karena tubuhku tak siap untuk teknologi itu. Seorang kawan di ruangan itu mengejekku dengan mengatakan: ”Wah, kamu tak bakat jadi orang kaya”. Aku tahu dia hanya bercanda karena aku tahu dia sudah mengerti bahwa aku tidak ada obsesi untuk jadi orang kaya.


Kadang memang kami tak selamanya bekerja. ”Sosialisme membutuhkan waktu luang juga, man!”, tukas Ruudj. Dia katakan itu pada setelah aku menyemprotkan kata-kata padanya: ”Gimana? Masih berproduksi atau main game?”


”Main, Bos! Capek nih, menurunkan ketegangan dulu”, jawabnya.


Baiklah, batinku, manusia adalah homo ludens, makhluk yang suka permainan. Otak tidak bisa diperas, ia harus mendapatkan hiburan. Ketegangan harus dikurangi.
Sebenarnya ada 4 orang lain lagi penghuni ruangan ini. Pertama adalah Mas Widodo Eka Tjahyana, dosen Hukum di UNEJ yang sudah bergelar doktor dalam usianya yang relatif muda. Dialah kordinator para pekerja-pekerja yang bersarang di ruangan itu—dan dialah yang menamai tim yang ada di ruangan itu dengan ”Task-Force”. Dia tak pernah mengajar di kampusnya karena berkecimpung sebagai staf ahli DPR/RI sejak 2006. Lalu ada Mbak Anis Megawati, kuliah di Ohio State University Amerika, menjadi sekretaris dan asisten pribadi seorang anggota DPR/RI. Lalu ada Mbak Dyah Ayu Winarti (Wiwin), mantan aktifis SMID dan GMKI di tahun 1990-an. Lalu ada Fifi (nama lengkapnya aku tak tahu), fresh graduated dari UNIBRAW. Ada Eliza Zakia, mahasiswi semester akhir Ilmu Politik UNAIR yang juga pernah terlibat di gerakan mahasiswa radikal.


Kemudian, ada Mas Sumarsono, seorang desainer handal yang kemampuan komputasinya tak bisa kubayangkan. TE-O-PE BE-GE-TE untuk urusan desain. Lalu baru aku dan Ruudj.
Ruangan itu sangat demokratis dan menyenangkan, mungkin kebanyakan yang ada di situ—meskipun kadang tidak dengan formasi lengkap karena ada kesibukan di luar—adalah insan-insan yang pola pikirnya rasional. Fifi adalah yang paling relijius dan selalu minta ijin keluar ruang pada saat waktu sholat. Tetapi dia tidak pernah menanyakan apakah yang lain sholat atau tidak. Untungnya tidak semua dari kami muslim.


Tidak ada konflik di ruangan ini karena kami diikat atas nama produktifitas. Tetapi bukan tanpa subjektifitas, subjektifitas dapat terfasilitasi asalkan tidak mengganggu produktifitas. Apalagi kalau subjektifitas itu menyenangkan, seperti aku dan Mbak Wiwin yang suka menyanyi—kami memang pernah menyanyi di karaoke (Inul Vista) pada saat kami masih tinggal di Jakarta.


Sayangnya, tak ada yang suka karaoke selain aku, Mbak Wiwin, dan Mbak Anis. Mas Widodo dan Eliza mengaku sebagai orang yaang tak suka dan tak bisa menyanyi. Makanya, kegiatan mencari hiburan bersama yang kami lakukan bareng-bareng di luar ruangan itu adalah makan bareng di restoran. Mbak Anis sebagai “bandar”-nya. Dan memang dialah yang menjadi pengorganisir dana dari seluruh kegiatan ini. Dia juga yang menggaji kami dengan alasan bahwa “kerja kita adalah kerja profesional”—pada hal menurutku dan Ruudj “kerja kita adalah kerja politis”. Itu mungkin beda antara Mbak Anis yang terdidik di kampus Barat (Amerika Serikat/AS) dengan kami.


Itu bukan prinsip.
Yang lebih prinsip adalah bahwa kami bisa berproduksi, dan tidak menekankan semua kegiatan pada mengolok dan mengejek. Kami juga dapat sokongan dan dapat banyak jaringan. Karena sesungguhnya kami tak hanya ada di ruang itu.
30 dari kegiatan kami ada di lapangan. Bayangkan, kami menyusun dan menyetak bahan propaganda kami sendiri, lalu juga turun ke bawah (berkeliling ke seluruh kabupaten dan kota Jawa Timur) untuk menyebarkan selebaran-selebaran berisi tuntutan-tuntutan kerakyatan:
TOLAK KENAIKKAN BBM!
PENDIDIKAN GRATIS, ILMIAH, DAN DEMOKRATIS UNTUK RAKYAT!
KESEHATAN GRATIS UNTUK RAKYAT!
PILIH CALON GUBERNUR YANG ANTI-NEOLIBERALISME!!!
***

1 komentar:

manajemen stress mengatakan...

saya masih belum yakin engkau dalah pejuang sejati....