Jumat, 16 Mei 2008

Opiniku di Suara Karya:

Korupsi dan Elitisme Keberagamaan
Oleh Nurani Soyomukti

Suara Karya/Jumat, 16 Mei 2008


Korupsi adalah produk dari hubungan sosial yang kontradiktif. Sedangkan agama merupakan bagian dari realitas sosial yang ikut mengiringi pembangunan karakter masyarakat, meskipun kondisi sosial yang memberi basis bagi perkembangan mental manusia.

Di Barat, sebagaimana ditulis Max Weber, pertumbuhan ekonomi kapitalis dapat berjalan lancar untuk memakmurkan peradaban, karena spirit agama berperan begitu kuatnya. Spirit dan kekuatan etis dari aliran/ sekte agama Protestan membantu melicinkan pertumbuhan ekonomi yang kemudian terbukti mampu bertahan dan melakukan ekspansinya ke berbagai belahan dunia bersama modernisasi yang dibawanya.

Pertanyaannya, bisakah semangat keagamaan menjadi faktor pelicin (lubricating factor) bagi perkembangan dan kemakmuran ekonomi Indonesia? Korupsi di negeri ini bukan hanya parah, tetapi telah membudaya dan mendarah daging. Korupsi telah menghambat produktivitas dan modernisasi yang seharusnya berpilar pada diferensisi peran sosial yang mulus karena masing-masing kelompok bersaing secara sehat, rasional, dan didasarkan pada prestasi kerjanya. Korupsi telah menghambat orang yang punya potensi produktif dan kreatif dapat berperan karena terhalangi oleh keputusan yang didasarkan pada keputusan korup (baca: irrasional).

Selama ini peran ormas-ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU ternyata belum cukup efektif, karena agama seakan hanya dijadikan simbol moral dan konsolidasi elitis, dan bukan tindakan-tindakan partisipatoris dalam menegakkan penyimpangan. Di tahun 2003, pada saat dua organisasi m
enyatakan berkoalisi dengan menyatukan tekad bulat untuk memerangi korupsi, wacana pemberantasan korupsi seakan menguat. Sayangnya, itu hanya menjadi wacana di media massa, karena setelah deklarasi kedua organisasi dilakukan, ternyata tidak ada gerakan kedua organisasi untuk mendampingi aparat hukum menangkapi para koruptor.
Inilah yang saya maksud bahwa agama hanya menjadi simbol dan kosmetik. Agama Islam yang pernah berperan untuk melawan penjajahan bangsa Quraisy sebagai pelanggeng perbudakan, ternyata di negeri ini tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali pemanis dari langgengnya berbagai kontradiksi yang terjadi.


Saya yakin seandainya deklarasi untuk memberantas korupsi dari dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu diikuti oleh tindakan konkret dan serius, warga NU dan Muhammadiyah akan mendorong penegak hukum mengadili para koruptor secara tegas dan tidak berbelit-belit.

Akhirnya, akan banyak orang bertanya-tanya akan imbauan moral agama terhadap berbagai permasalahan sosial di Indonesia. Apalagi adanya fakta bahwa Departemen Agama justru menjadi sarang korupsi yang paling besar di pemerintahan kita. Agama terkesan kian ompong dalam menghadapi masalah korupsi.

Korupsi memang bukan hal mudah untuk diberantas karena menyejarah dalam kelahiran bangsa kita. Dulu Tan Malaka pernah menyarankan pada Soekarno untuk memotong satu generasi, mengganti generasi birokrasi peninggalan Belanda dengan para kaum muda yang bersih dari didikan kolonial. Sayangnya, usulan itu tak terlaksana.

Simbiosis antara budaya feodal yang berpilar pada budaya irrasionalitas-dengan hubungan industrialisasi kapitalis peninggalan penjajahan-menjadi bahaya laten bagi rakyat. Pelayanan publik yang demokratis dan memakmurkan tidak kunjung datang akibat simbiosis antara dua budaya menindas dalam dua fase corak produksi itu.

Feodalisme menggunakan irrasionalitas agama dan kepercayaan kolot sebagai produk kebangsawanan untuk menundukkan rakyat agar segelintir penguasa dapat hidup menghisap rakyat. Sedangkan modernisasi kapitalisme juga menindas rakyat pekerja dengan hubungan produksinya yang eksploitatif.

Yang dominan sekarang ini, posisi agama di dalam masyarakat feodal adalah untuk melegitimasi kekuasaan atas nama Tuhan, sebagai simbol perekat kesatuan dan solidaritas meskipun diiringi ketimpangan. Ketokohan berdasarkan agama sangat penting untuk merekatkan rakyat dari tercerai-berai, meskipun secara ekonomi timpang.

Ketika kapitalisme kian menjadi-jadi, ternyata semangat keagamaan di negeri ini juga masih sama. Hal ini terjadi karena feodalisme tidak dihancurkan oleh penjajah, kapitalisme juga tidak tumbuh bersama semangat keagamaan-sebagaimana terjadi di Barat dalam pengertian Weberian-tetapi dicangkokkan dan dibiarkan tidak dapat berkembang secara produktif. Tujuannya agar Indonesia tetap menjadi negara kapitalis pinggiran yang tergantung pada modal (penjajah asing).

Dengan demikian, korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari hubungan imperialistik itu. Modernisasi tidak dapat
berkembang pesat karena korupsi, dan ini memang dibiarkan, karena kalau modernisasi maju modal asing akan tersaingi. Tak heran jika sejak Orde Baru pemikiran dan praktik keagamaan selalu saja diupayakan agar terjebak pada simbolisasi saja. Agama tidak mampu menurunkan pemikiran kritis dan progresif untuk mendorong peran partisipatoris para aktivis ormas keagamaan.

Agama gagal menurunkan teologi pembebasan untuk membela rakyat miskin (mengentaskan kemiskinan), dan gagal memerangi korupsi. Dalam hal pemberantasan korupsi, agama yang secara jelas melarang korupsi (penipuan dan penindasan), ternyata hanya menjadi penyeru moral sloganistik. Lagi-lagi yang terjadi hanyalah konsolidasi elite keagamaan untuk menjadikan isu korupsi sebagai daya tawar politik kepada penguasa. Agama tidak menggerakkan kesadaran massa rakyat agar kampanye antikorupsi bukan hanya jadi wacana, tetapi juga jadi sebuah gerakan.***

Tidak ada komentar: