Senin, 12 Mei 2008

Dari Bedah Buku "DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS" di Gedung Soetarjo UNEJ:

Mahasiswa:
Generasi ”CAPEK DECH!!”


Oleh: Nurani Soyomukti*)

Tulisan ini saya buat setelah beberapa waktu yang lalu (Hari Kamis, 07 Mei 2008/sekitar pukul 19.30) saya diundang oleh panitia Pameran Buku Nasional yang diadakan di Gedung Soetarjo Universitas Jember untuk berbicara mengenai buku saya yang berjudul ”Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme” (DDHSB).
Seorang mahasiswa bertanya pada saya dengan mengatakan pada saya bahwa ia tidak setuju dengan buku saya yang terlalu banyak mengembalikan semua masalah pada kapitalisme. Saya menanggapinya dengan nada dingin, tidak meledak-ledak seperti biasanya—mungkin saya terlalu lelah karena dari Surabaya saya datang agak terlambat, membela agar acara ini berjalan karena kedatangan saya.


Saya menjawab dengan mengaitkannya dengan bagaimana tatanan ekonomi (kapitalisme) membentuk kesadaran, ideologi, dan watak manusia. Saya mengutip Marx dalam ”German Ideology” bahwa ”ide-gagasan, cara berpikir, dll suatu masyarakat mencerminkan ideologi kelas yang mendominasi”. Artinya, kalau masyarakatnya kapitalis, maka ideologi yang tersebar adalah ideologi kapitalis. Watak ideologi dalam masyarakat berkelas selalu mirip dengan ”kesadaran palsu” (false consciousness). Hal itulah yang membuat mahasiswa terlena.

Tak Mampu Melihat Kemiskinan
Biasanya mereka yang menjadi mahasiswa, yang segala fasilitasnya telah disediakan karena hubungan ekonomi yang sedang berjalan, tidak mengetahui adanya realitas sejati di luar kampus. Realitas di mana hubungan eksploitatif kapitalisme yang menindas terus berjalan. Biasanya sulit bagi mahasiswa untuk mengetahui bahwa realitas yang timpang itu karena mahasiswa berada di dalam ”istana pendidikan” di mana anak-anak orang mampu konon kabarnya merayakan statusnya sebagai mahasiswa (pembelajar di perguruan tinggi).

Kesulitan dalam melihat realitas sejati berupa realitas penindasan dan kemiskinan di masyarakat itu tentu saja dipelihara. Bahkan upaya untuk membuat mahasiswa tidak mengetahui (baca: buta) akan terjadinya proses eksploitasi dan kemiskinan itu juga diupayakan secara terus-menerus. Kapitalisme memang punya cara kerja yang bagus untuk menyembunyikan penindasan yang dilakukannya. Simak kisah yang ditulis seorang pengamat bernama Jeremy Seabrook dalam bukunya ”Kemiskinan Global” berikut ini:

”Orang miskin dibentuk ulang dalam citra orang kaya. Mereka menjadi subjek berondongan publisitas dan iklan, untuk memiliki dan untuk membelanjakan... di kalangan yang terpinggirkan, budaya itu membangkitkan suatu karikatur partisipasi pasar kejahatan, penyalah-gunaan obat, kecanduan, persaingan... tersingkir dari pasar global, kaum muda menjadi prajurit bayaran transnasional, dalam kancah perang untuk memenangkan logo dan merk. Obsesi mereka pada emblem yang menunjukkan kepemilikan—kaos, jeans, pakaian olah-raga, telfon genggam—mendorong mereka melakukan apapun untuk menggenggam barang-barang itu”.
1

Mahasiswa atau kaum muda lainnya hanya disuguhi realitas hidup lewat TV melalui acara-acaranya di mana yang ada hanyalah kisah orang-orang kaya atau iklan yang memamerkan produk-produk. Melihat media seperti TV, yang juga menjadi kegiatan yang paling banyak dilakukan, akan membuat mahasiswa hanya tahu bagaimana dunia hanyalah kebahagiaan dan situasi glamour.

Masalahnya yang tampil hanyalah orang-orang kaya yang bicara soal kebahagiaannya, atau masalahnya yang remeh denfgan komentar-komentar yang gampangan. Jika kamu melihat TV, terutama acara gosip selebritis (infoteinment), maka kata-kata utama—dan paling banyak dicekokkan pada kamu (maksudnya: agar kamu menirunya)—adalah: ”Plis Dech!”, ”Gitu Lho(h)!!”, ”Capek Dech!!!”.

TV, dan bahkan berbagai media, atau singkatnya KAPITALISME tampaknya hanya ingin kamu menjadi ”GENERASI CAPEK DECH”. Kapitalisme tidak menginginkan kamu mencari kosa kata lain, kapitalisme ingin kamu meniru kata-kata para selebritis dan bintang iklan karena mereka menginginkan kamu hanya bisa membeli (mengkonsumsi), meniru, dan tak berpikir bagaimana supaya kamu mencipta, berkreasi, atau menciptakan gaya hidup (berpikir dan bertindak)
atas inisiatifmu sendiri.

Tahukah kamu kenapa negeri kita kian terpuruk dan terbelakang?
Sebab utamanya adalah: Karena kita selalu tergantung pada ilmu dan teknologi (IPTEK) asing. Kenapa hal itu terjadi? Karena tenaga produktif kita lemah. Sebagai generasi muda, kamu adalah bagian penting dari tenaga produktif nasional. Jika kamu memiliki kemampuan mencipta dan berkreasi di bidang pengetahuan dan teknologi, kamu tak hanya meniru dan membeli (gila belanja), maka jika orang kayak kamu banyak... aku yakin negeri ini akan menjadi negeri yang kuat.
Tahukah kamu bahwa remaja-remaja, pelajar dan mahasiswa di India dan Cina saat ini begitu bersemangatnya untuk belajar menguasai dan mengembangkan hardware dan software. (Sementara ketika remaja kita ditanya, ”Kamu ingin belajar apa?”, maka mereka hanya menjawab: ”Nowhere”!). Cina dan India saat ini pertumbuhannya terus naik, sementara negeri kita kian terpuruk. Remaja-remaja Jepang masih bangga membawa dan membaca buku pada saat mereka menunggu bus atau saat duduk-duduk di stasiun kereta, mereka sangat gila membaca dan memasok terus-menerus pengetahuannya. Sedangkan kebanyakan remaja kita malah begitu bangganya dengan produk-produk baru yang dibelinya, terutama baju atau produk-produk yang dibeli untuk trendi-trendian, untuk bisa tampil seperti yang ada di TV.
Menurut pengamat gaya hidup remaja, Alissa Quart dalam bukunya yang berjudul Brabded (2003), dikatakan bahwa: ”Sebagian besar remaja memang gandrung pada merek, tetapi yang paling terobsesi pada merk adalah remaja yang merasa kekurangannya hanya dapat ditutupi dengan merek paling terkenal untuk melindunginya dari tekanan sosial”.
2

Tahukah mereka bahwa mereka memang berusaha dibentuk oleh kapitalis (pemodal) asing agar mereka sebagai generasi muda Indonesia akan hanya pasif-konsumtif dan diharapkan hanya akan menjadi kalangan yang mendatangkan keuntungan bagi produk-produk kapitalis. Kalau kaum muda itu hanya bangga ketika menghabiskan uang untuk belanja dan memiliki produk-produk baru—atau bangga saat bisa tampil seperti di TV atau sinetron—, maka dengan gembiranya para kapitalis dengan kondisi itu yang hanya menghabiskan banyak waktu untuk ”kebanggaan semu”. Artinya, mereka telah menjadi korban dari upaya yang dilakukan kapitalis agar kamu hanya bisa membeli, meniru, dan tidak menghasilkan sesuatu.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa, sebagaimana saya tuliskan di bagian pendahuluan buku tersebut, saya tidak hitam-putih dalam melihat persoalan yang dihadapi mahasiswa. Mahasiswa adalah produk atau—lebih tepatnya—korban. Tetapi masih ada potensi bagi mahasiswa untuk bisa menjadi progressif, tetapi hal itu membutuhkan kepemimpinan dari elemen mahasiswa yang maju serta didukung oleh syarat-syarat objektif perkembangan sejarah masyarakat yang ada. Saat ini, ketika krisis kapitalisme terus meningkat, ke depan pasti akan muncul lagi gerakan mahasiswa. Saya sungguh tidak apatis, saya optimis. Bahkan akhir-akhir ini hidup saya semakin optimis, seperti energi tersendiri dalam hidup saya!***

Catatan:
1 Jeremy Seabrook, Kemiskinan Global, Resist Book, Yogyakarta, 2006
2 Alissa Quart, Belanja Sampai Mati, Resist Book, Yogyakarta, 2008, hal. 24-25

Tidak ada komentar: